Tampilkan postingan dengan label AKSI PENONTON MENOLAK MENONTON. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AKSI PENONTON MENOLAK MENONTON. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Maret 2010

AKSI PENONTON MENOLAK MENONTON

Akan kita simak kisah “penonton” Indonesia dalam salah satu periode perfilman yang paling politis, riuh, dan radikal 

“Penonton” Menolak Menonton

Sesungguhnya tuntutan untuk melarang pemutaran film berita maupun film cerita Amerika Serikat (AS) sudah diajukan Sarbufis (Sarekat Buruh Film dan Senidrama Indonesia) sejak tahun 1955 dengan alasan menolak proyek nuklir. Kembali ia menuntut pelarangan film-film AS pada tahun 1958 dengan tuduhan mendukung gerakan separatis PRRI-Permesta. Agustus 1963 dituntut pula pelarangan film-film Inggris oleh Sarbufis karena konfrontasi pembentukan negara Malaysia, tetapi seruan ini tidak mendapat dukungan dari komunitas film maupun kelompok budaya sayap kiri (Sen 1994).

Seminggu setelah Festival Film Asia-Afrika III (FFAA III) yang ditentang oleh Persatuan Pengusaha Film Indonesia (PPFI), tepatnya tanggal 30 April 1964, diumumkan pendirian Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Sebagai organisasi payung, PAPFIAS beranggotakan 16 organisasi. Di antaranya adalah LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), Front Pemuda, LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), SARBUFIS, OPS Bioskop (Organisasi Pengusaha Sejenis Bioskop), PIDFIN (Persatuan Importir dan Distributor Film Indonesia), dan beberapa organisasi lain.


Tanggal 9 Mei dimulailah aksi boikot pertama berupa penempelan plakat-plakat dan seruan-seruan di bioskop-bioskop dan berbagai tempat di Jakarta. Tanggal 12 Mei PAPFIAS beserta panitia FFAA III dan beberapa artis film menghadap Gubernur Jakarta Brigdjen. Dr. Sumarno. Joebaar Ajoeb menjelaskan bahwa aksi tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan Dwikora pengganyangan proyek neokolonialisme “Malaysia” yang disokong AS. 

Dalam siaran pers PAPFIAS tanggal 16 Mei 1964, N.K. Surbakti sekretaris PAPFIAS Pusat merinci kejahatan film AS sebagai berikut: propaganda perang, raja rasialis internasional, propaganda garong, cabul, apatis, avonturis, defaitis, … segala kumpulan dari yang paling jahat, paling jelek, dan paling berbahaya. Mereka menyebut kata cabul bersandingan atau satu nada dengan jahat, jelek, dan berbahaya. Pramoedya di awal juga menyebut percabulan. Dalam pikiran saya, keduanya bukan kebetulan. Akan tetapi bagian ini akan saya bahas nanti. 

Tidak sampai seratus hari, aksi yang sama telah berlangsung di Semarang, Jawa Barat, Surabaya, Sumatra Utara dan Selatan, Bojonegoro, kemudian diikuti Yogyakarta, Solo, Blitar, Madiun, Banjarmasin, Makasar, Denpasar, Sumatra Selatan, dan Bengkulu. Dengan tegas PAPFIAS Pusat dan berbagai daerah mengeklaim bahwa aksi tersebut adalah aksi nasional dan dilakukan oleh massa rakyat. 


Puncaknya, pada tanggal 17 Agustus 1964 Menteri Perdagangan membubarkan AMPAI (American Motion Picture Association Indonesia) yang pada masa itu menjadi pemasok film-film AS dengan jumlah mencapai 70% dari seluruh film yang diputar bioskop. 

Kisah tidak berhenti di sini. Setelah itu perselisihan produser (PPFI), importir-distributor (PIDFIN), pengusaha bioskop (OPS), dan organisasi massa (LESBUMI, LKN, LEKRA dengan berbagai organisasi afiliasinya) makin menjadi dalam upaya menentukan kebijakan perfilman nasional. Apakah impor film AS masih akan dilakukan? Siapakah pengimpornya? Bagaimana suplai bioskop? Apakah Dewan Film Indonesia (DFI) masih diperlukan? 

Akan tetapi, justra saya akan berhenti di sini sebab kisah penonton (tanpa tanda kutip) dan ”penonton” (dengan tanda kutip) pada dasarnya tidak banyak berubah hingga sekarang. Penonton adalah bagian minor, sedangkan “penonton” selalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa mayor baik menyangkut politik luar negeri, impor film, kebijakan selera, maupun pornografi. Penonton hanya mendapat ruang-ruang kecil dalam pikiran pembaca, surat penggemar, atau kuis. Sebaliknya “penonton” diberi tajuk rencana, opini, kolom, dan berita utama. 

Kata penonton (dengan atau tanpa tanda kutip) yang saya pakai di muka sebenarnya malah hampir tidak dipakai dalam berbagai tulisan di media massa. Akan tetapi saya temukan kasus menggelitik dalam Harian Harapan edisi 30 Juni 1964. Kasus ini berpangkal pada tulisan Djakaraun dalam ruang “Keliling Kota” di harian Tjerdas Baru edisi 19 Juni 1964 yang berbunyi “bahwa penonton agak berkurang dimana selama ini belum matang akan film2 dalam negeri bersama film2 AA lainnja”. Pernyataan ini mendapat tanggapan keras dari Abubakar Abdy ketua I Komite Nasional FFAA III yang merangkap anggota PAPFIAS Pusat. Menurut Abdy, sikap demikian merupakan penghinaan tidak saja terhadap “Rakjat Indonesia serta negara2 Afrika-Asia dan Negara2 Nefos lainnja”, melainkan juga “terhadap kerangka tiga Manipol”. 

Perhatikan bahwa wartawan Djakaraun menulis tentang situasi tontonan dalam acara FFAA III. Ia datang, ikut melihat, mengamati, dan menulis tentang orang-orang konkrit, aktual meskipun belum tentu ia kenal. Maka tulisan tersebut mengenai perilaku orang-orang. Tanggapan keras Abdy sebagai panitia FFAA III dan anggota PAPFIAS pusat berdasarkan hal lain. Ia segera mengubah penonton Djakaraun menjadi “penonton”. Siapakah “penonton” Abdy? Ia adalah rakyat Indonesia.

Penonton Djakaraun dikosongkan dari rujukan historisnya (para pelaku) sehingga lepas dan lentur. Pertama ia lepas dari tempat pemutaraan FFAA III dan masuk dalam sirkuit Afrika-Asia dan negara-negara Nefos (New Emerging Forces). Kedua ia sangat lentur hingga dapat diulur mencakup sekian banyak rakyat Indonesia dengan puluhan partai (kalau kita mau hitung lembaga politik formalnya). 

Di tangan elit penguasa festival dan panitia aksi politik, penonton aktual-historis menjadi penanda kosong (“penonton”) yang dibiarkan lepas mengapung-apung dalam lautan politik penandaan. Karenanya, ia haruslah berupa kategori abstrak, bukan sosok manusia hidup yang bisa membantah. Ia tidak boleh menjadi kategori fungsional (seperti halnya kategori peran pembuat film, penyandang dana, penonton, kritikus), tetapi direntang kuat-kuat hingga mencakup apa saja yang sebenarnya sama sekali lain. “Penonton” hanyalah konstruksi normatif yang memberi legitimasi aksi politik tertentu. 

Persis dengan prosedur inilah penonton mangkir dari teks media massa. Tidak ada disebut tindakan spesifik yang dilakukan penonton. 

Penonton bertransformasi menjadi “rakjat, massa manipolis, masjarakat, pemuda-pemudi, peladjar, mahasiswa, cross-boys, rok span, rambut sasak, beatles,” dan lain-lain. Mengapakah, kira-kira, pada masa itu pandangan fungsional tidak berlaku? Mengapa penonton lenyap? 

Jawabannya ada di luar film. Ia terletak dalam cara kelompok-kelompok elit membayangkan bagaimana kelompok-kelompok kepentingan, asosiasi profesi, organisasi massa, kelas produksi, dan strata sosial disusun dan membentuk ikatan sosial yang lebih besar. Dengan kata lain, bagaimana bangsa dibayangkan. 
Tubuh Bangsa 

Dalam laporan umum LEKRA Januari 1963, Joebaar Ajoeb menyampaikan, 

“Djadi, apa jang ditetapkan MPRS, jaitu “menolak pengaruh2 buruk kebudajaan asing”, menolak invasi kebudajaan imperialis, melaksanakan apa jang pernah diserukan Bung Karno untuk membasmi “rokenrol2an dikalangan pemuda dan mahasiswa terutama”, membendung peng[g]erajangan2 neo-kolonialisme dilapangan ilmu dan kebudajaan dan mentjegah “Twist2 society” dari kaum kapitalis birokrat, hal2 itulah djustru jg kurang diperhatikan dan dilawan oleh pemerintah”. (Harian Rakyat, 19/1/1963) 

Bangsa, menurut LEKRA, perlu menolak pengaruh buruk. Sebagai suatu entitas ia perlu menarik jarak dari bangsa yang lain. Ia perlu dilindungi oleh para elitnya. Nalarnya, kebudayaan bangsa luar adalah pengaruh buruk dan menginvasi. Cukup aneh dan penting kita perhatikan pemakaian kata penggerayangan. Seolah-olah bangsa asing punya tangan yang akan menggerayangi bangsa kita. Penggerayangan ini, tentu saja, tanpa seijin dan persetujuan bangsa kita. 



Pengandaian ini akan lebih jelas dalam bagian lain ketika dikatakan bagaimanakah bangsa kita hidup: “perkembangan dan pernafasan seluruh sektor kebudayaan nasional kita dicekek situasi ekonomi dan keuangan negeri yang terlunta-lunta di rawa-rawa krisis.” Budaya bangsa asing tidak hanya menggerayangi, tetapi juga mencekek sehingga bangsa kita tidak bisa berkembang dan bernafas. 

Kita simak dua dari banyak teks yang beredar di koran-koran pada masa pengganyangan film AS: 

“… tentang sebab kedua jakni untuk menjelamatkan kebudajaan kita dari pengaruh kebudajaan Imperialis, hal ini tampak dalam kebudajaan kita setelah kita ditjekoki film2 AS, demikian Iskandar meneruskan pendjelasan,…” (Terompet Masjarakat, 15/8/1964) 

“… sedang target selandjutnja adalah ditjabutnja samasekali dominasi film2 AS jang dikatakannja merupakan “kuman” dan bahkan “kanker” dan mengusahakan “obat” dan “vitamin” bagi perkembangan perfilman nasional…” (Warta Bhakti, 22/8/1964) 

Dicekoki, kuman, kanker, obat, dan vitamin. Sulit saya simpulkan lain bahwa bangsa dibayangkan seperti tubuh. Ia hidup, digerayangi, berkembang terlunta-lunta, tercekik napas, dicekoki, diserang kuman dan kanker, dan butuh obat serta vitamin. 

Bangsa seperti makhluk organik yang memiliki silsilah sejak jaman Borobudur, lahir dalam masa revolusi, berkembang, berkelahi, dewasa, dan seterusnya. 

Bayangan tentang tubuh ini cukup kuat hingga menjangkau tubuh wadag individu yang menjadi anggotanya. Manifestasi fisik dari tubuh bangsa pun (yaitu tubuh individu warga negara) perlu diatur, diarahkan, dan dibina. Ini bisa menerangkan mengapa pada masa itu Presiden, ketua partai politik, organisasi massa, hingga sutradara film sampai mengurusi rambut beatle, musik rokenrol, dansa-dansi, dan rok span. Coba baca petikan berita dari harian Terompet Masjarakat hari yang sama: 

“… sehingga pemuda2 kita mendjadi cross-boys, Cross-girl, rambut sasak, rok span, rambut beatles jang tidak sesuai dengan kepribadian kita dan semuanja ini sudah ada instruksikan oleh Presiden untuk diganjang.” 

Tubuh mendapatkan definisi dari batas-batasnya. Dengan kata lain, batas-batas ini menentukan seperti apakah bangsa. Prinsip yang dipakai sederhana: jika di luar bangsa adalah x, maka bangsa kita adalah bukan x. Dalam kasus film, x bisa jadi India (kasus perselisihan kuota impor), atau Amerika (kasus PAPFIAS), atau Soviet (kasus Festival Film Sovjet), atau Zionisme (kasus film The Bible), atau Amerika lagi (kasus kemerosotan produksi film nasional tahun ‘90-an). 

Batas ini tidak boleh dilanggar karena akan terjadi kekacauan tatanan identitas yang penting untuk memberi legitimasi politik tertentu. Diri dan bukan diri harus diberi jarak yang sangat terjaga. Apabila kamar pribadi pemuda/pemudi bertempelkan gambar dewa-dewi cinta dari Amerika (bukan diri) dan mereka membayangkannya sambil memetik dawai gitar, maka terjadilah percabulan sebab batas telah dilanggar (lihat kutipan di awal) seperti seks yang melanggar batas perkawinan. 



Selain berdimensi luar, bayangan tentang tubuh bangsa ini juga berdimensi dalam. Ke luar, tubuh bangsa didefinisikan menurut lingkungan eksteriornya, yaitu lingkungan luar yang mengancam, mengandung racun, bibit penyakit, dan ancaman. Ke dalam, tubuh didefinisikan menurut jiwa dan kepribadiannya. Kita masuk dalam jiwa bangsa. 
Jiwa Bangsa 

Usai mengadakan sidang sepanjang 3 malam kurang lebih 200 peserta kongres pertama PARFI (Persatuan Artis Film Seluruh Indonesia) pada tanggal 12 Maret 1956 mengadakan “demonstrasi” dalam bentuk pawai “raksasa” di Istana Merdeka. Itu bukanlah demonstrasi benar-benar karena para artis diceritakan berbaris menuju halaman istana dengan diikuti Ibu Fatmawati. Tetapi Ibu Fatmawati hanya akan mengantar sampai gerbang dan meninggalkan mereka begitu masuk pagar, seperti layaknya ibu mengantar anaknya bersekolah (Merdeka, 13/3/1956). 

Setelah menyampaikan resolusi yang berisi meminta proteksi pemerintah terhadap industri film nasional, Presiden memberikan amanat yang disambut pekik gembira dan disusul menyanyikan lagu Sorak-Sorak Bergembira. Amanat Presiden kurang lebih bahwa Indonesia telah merdeka sehingga harus kembali kepada kepribadian sendiri. Artis tidak boleh meniru film Amerika dengan mambo dan dansanya (Sin Po, 14/3/1956), tetapi mempunyai kebudayaan sendiri. Kebudayaan sendiri yang dimaksud adalah “keagungan tjandi2 Borobudur, Prambanan, dan lain2”. “Djika sdr2 kekurangan tjeritera, datanglah pada sdr. Kotot Sukardi, atau datanglah pada saja”, kata Bung Karno (Harian Rakyat, 15/3/1956). Soekarno memang dermawan, ia juga menyumbang Rp 10.000,00 untuk kongres PARFI. 

Sumanto, ketua PARFI, menyebut “bahwa pertemuan ramah tamah tsb. adalah sebagai pertemuan antara anak dan bapak, jang telah lama merindukan bapaknja” (Indonesia Raya, 15/3/1956). 

Bapak dan anak itu bergembira karena mereka terikat kerinduan dan cinta. Demikianlah keluarga, bapak dan anak, itu bergembira ria dan menemukan ikatan bersama mereka dari candi Borobudur dan Prambanan. Silsilah bangsa sedang diciptakan. 

Secara sederhana hal yang mereka maksud dengan jiwa, watak, kepribadian, karakter adalah esensi yang terkandung dalam imajinasi sosial bernama bangsa. Esensi itu dipandang relatif mapan, telah ada sejak dulu (kalau tidak kekal), dan utuh seperti candi Borobudur pascarenovasi. Benarkah demikian? 

Kembali ke cerita PAPFIAS, kira-kira sebulan setelah diluncurkan aksi PAPFIAS mendapat serangan-serangan dari lawan-lawannya. Harian Duta Masyarakat (14/6/1964) yang merupakan organ Partai NU menuduh aksi PAPFIAS mulai “tidak terkendali”. Seharusnya aksi itu dimulai di Jakarta saja. Jika itu belum berhasil menakut-nakuti Amerika, dilanjutkan ke tiga kota besar: Surabaya, Makasar, Medan. Pada kenyataannya aksi itu meluas ke berbagai daerah hingga kota-kota kecil seperti Bojonegoro, Madiun, Blitar. Jika aksi meluas, maka stok film berkurang, maka bioskop tutup, maka “penonton” akan resah. Begitu logika mereka. 

Pada tanggal 15 Juli 1964, Duta Masyarakat mengutip surat pernyataan Badan Pool Perbioskopan (BPP) Surakarta kepada PJM (Paduka Jang Mulia) Presiden Pemimpin Besar Revolusi yang berisikan berbagai pernyataan. Pada pernyataan nomor 9 dikatakan, “timbulnja gedjala2 jang membahajakan seperti pertumbuhan para teenagers baik pemuda, peladjar maupun mahasiswa, karena belum adanja penampungan hiburan jang tjotjok dengan perkembangan pikiran dan djiwanja.” 

Keresahan “penonton” dicetak dalam koran untuk mengancam lawan politik. Sekali lagi “penonton” sekedar bahasa kosong. 

Jika “penonton” tidak mendapatkan penampungan hiburan yang cocok, yang akan terjadi adalah 

“… masjarakat sendiri ahirnja bisa mengalihkan perhatian dari gedung bioskop ketempat hiburan lainnja, misalnja keperdjudian, pelarian ketempat hiburan jang meluap, dansa-dansi, dan minum2 dan lain2 perbuatan jang gampang sekali merusakkan moral.” (Sinar Harapan, 21/6/1964) 

“Penonton”, apalagi yang masih muda, adalah individu-individu yang memiliki hasrat kuat untuk dihibur dan tidak bisa mengendalikan diri jika hiburan pemuas hasrat mereka hilang. Mereka mendadak menjadi tidak bermoral jika film sebagai hiburan rakyat yang sehat tiada. 

Jika pihak kontrapengganyangan membayangkan “penonton” demikian, apakah pihak propengganyangan membayangkan yang sebaliknya, yaitu “penonton” yang kritis, berdaulat atas dirinya sendiri, dan dewasa? 

Memang di satu sisi pihak propengganyangan melihat “penonton” sadar politik dan partisipatif karena 

“… aksi boikot tsb. sudah sampai kebawah artinja sudah diketahui masjarakat dipelosok2. Hal ini, demikian Bachtiar Siagian, menundjukkan adanja perspektip baru jaitu masjarakat sudah memberikan support dan control terhadap perfilman nasional jang dulu hanja dibitjarakan oleh produsir2 sadja.” (Suara Merdeka, 7/9/1964). 

dan 

“Produksi film sudah mendjadi masalah rakjat. 

Kalau dahulu masalah produksi film adalah masalah dari para pengusaha film sadja, maka sekarang rakjat pun tidak ketinggalan untuk memberikan dorongan dalam kalangan perfilman Nasional. Bahkan masalah pemboikotan film ini telah terintegrasi dengan persoalan2 pokok di daerah2, …” (Harian Tempo, 10/9/1964) 

Akan tetapi, ketika PAPFIAS memulai aksi, mereka sendiri merasa perlu “menghadap Gubernur Kepala daerah Djakarta Raya Brigjen. Dr. Sumarno” (Antara, 12/5/1964) untuk melaporkan pelaksanaan aksi. Selain memberi laporan, mereka meminta petunjuk. 

Di lain tempat dan waktu, 

“Inspektur Hoesodo selaku wk. Angk. Kepolisian Resort Bodjonegoro dalam pidato pemandangannja mengemukakan al. bahwa prakarsa PWI ini amat sympatik sekali karena dgn demikian tertjegahlah tindakan2 liar jang bersifat perseorangan. Tentang film2 ketjil jang diputar dgn projektor2 milik perseorangan dan dgn penonton jg terbatas pula, kewadjiban mendaftar berlaku pula. Hal ini dimaksudkan untuk mentjegah kemungkinan exses2 jang timbul terutama dibidang akibat dari isi film tsb.” (Terompet Masjarakat, 4/6/1964) 

“Panglima Kombespol T.A. Azis Jakarta menegaskan bahwa panitia aksi telah benar2 membantu dan memberikan kepertjajaan jang besar kepada angkatan kepolisian sehingga aksi mengganjang film2 imperialis AS jang merupakan aksi nasional jg besar itu berdjalan lantjar dan tertib.” (Bintang Timur, 12/7/1964) 



“Penonton” berwatak ambigu. Mereka memiliki perspektif dan terlibat dalam persoalan film nasional. Akan tetapi, pada saat yang sama mereka boleh beraksi hanya dengan petunjuk dan pengawasan dari aparat pemerintahan (gubernur dan polisi). Proyektor pribadi pun harus dilaporkan karena “penonton” harus dilindungi dari ekses-ekses yang lahir dari isi film. “Penonton” terkendali jika tidak beraksi secara individual, jika mereka bergerombol dengan nama tertentu yang berarti berafiliasi dengan kelompok politik tertentu, dan menghubungkan diri dengan otoritas penguasa. Lebih lanjut, jika memberikan kepercayaan yang besar kepada polisi, aksi mereka lancar dan tertib. 

Jadi baik pihak pro maupun kontrapengganyang film imperialis AS memandang “penonton” sebagai kelompok yang lemah, harus dilindungi, dituntun, minta petunjuk, melaporkan diri pada aparat, tetapi sekaligus mereka tidak mampu mengendalikan diri dan karenanya berpotensi mengancam. Kepribadian dan jiwa nasional apakah yang ada dalam diri “penonton”? 

Saya melihat ada dua jenis “penonton” di sini. Penonton lemah yang harus dilindungi dan penonton liar yang harus diawasi. Ini sejajar dengan pemikiran Siegel (1998) tentang rakyat dan massa. Keduanya merupakan proyeksi kelas menengah, tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Rakyat berfungsi meneguhkan fungsi kepemimpinan kelas menengah, sedangkan massa menjelmakan ketakutan kelas menengah. Keduanya bisa berubah dari satu menjadi yang lain sehingga hubungan ini tetap dalam keadaan ambigu, menegangkan, dan perlu terus-menerus dipantau dan dikendalikan. 



Persoalan ini mungkin sudah setua nasionalisme Indonesia. Begitu melepaskan diri dari kekangan kolonial dan lingkungan tradisional, perlu ditemukan identitas baru yang mengikat mereka bersama. Di dalamnya terkandung cara tepat berperilaku yang berlaku umum dan bersifat nasional dalam cakupan dan definisinya (Siegel 1998). Rakyat adalah bagian bangsa karena butuh tuntunan kelas menengah, tetapi massa adalah bagian yang tak terduga dan mengancam. 

Di sinilah “kepribadian nasional” menemui batasannya. Masih ada rakyat yang bisa menjadi massa, masih ada “penonton” yang bisa berubah menjadi amoral. Ada bagian dari tubuh bangsa yang liar dan tak terkendali. Ia seperti nafsu yang tak pernah dapat didefinisikan, tak bisa diduga, tetapi ada dan bisa keluar sewaktu-waktu melakukan kecabulan. 
Politik Penonton 

Retakan dalam kategori “penonton” (dengan tanda kutip), saya pikir, merupakan peluang bagi penonton (tanpa tanda kutip) untuk mengambil peran dalam menyusun artikulasi identitas nasional. Sehingga “penonton” tidak sekedar menjadi sekawanan domba yang lemah atau calon-calon pencabul yang liar. Berbagai bagian dalam sirkuit produksi budaya film mesti dimasuki oleh penonton. Beberapa waktu terakhir mulai berkembang luas produksi film amatir, pemutaran film di “bioskop” nonpermanen, festival nasional maupun internasional, juga berbagai terbitan film oleh para penonton. 

Tentu saja jalan ini tidak mudah, tidak begitu murah, dan tentu lama. Akan tetapi ini harus dilakukan sebab seperti dikatakan oleh Drs. Ie Keng Heng, ketua PAPFIAS Makassar, “Film tidak dapat dipisahkan dengan masala