Tampilkan postingan dengan label AKSI PROTES MAHASISWA LPKJ/IKJ. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AKSI PROTES MAHASISWA LPKJ/IKJ. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 November 2009

AKSI PROTES MAHASISWA IKJ/LPKJ

1977
"Gerakan 24 Oktober" Di Kampus ...

Mahasiswa lembaga pendidikan kesenian jakarta, mengadakan aksi, memprotes dosen-dosen yang sering membolos, sehingga menimbulkan keresahan dikalangan mahasiswa dan dosen lpkj.


INI mungkin ledakan kecil, mungkin pula besar. Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) sudah 7 tahun berjalan.

Semula ia menempati lantai III dari gedung utama Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, Jakarta -- dengan 5 akademi di tempat yang gerah-sesak: Akademi Seni Rupa, Musik, Tari, Sinematografi dan Teater. Dari sana sekolah calon seniman itu pindah agak ke belakang ke bangunan-bangunan yang lebih megah letaknya di atas tanah seluas 300 MÿFD, harganya setengah milyar rupiah. Pada usianya yang ke-6, 25 Juni 1976, gedung baru itu dibuka dengan sebuah pesta --~ dan diresmikan tak kurang oleh Kepala Negara. Tak heran jika tempat ini adalah salah satu kebanggaan Bang Ali, Gubernur waktu itu. Ia telah mendirikan suatu lembaga pendidikan yang unik -- mungkin satu-satunya di Asia Tenggara. 

Tapi sejarah perguruan ini toh tak selalu rapi. Mungkin karena belum pernah ada presedennya, LPKJ misalnya tak bermaksud memberikan gelar. LPKJ yang merupakan proyek Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sesungguhnya suatu eksperimen. Selama ini baru dua dari mahasiswanya yang lulus, sementara -Rektor (atau "Ketua") sudah berganti 3 kali: Asrul Sani, Umar Kayam - dan kini Taufiq Ismail. "Ternyata," kata Ajip Rosidi, Ketua DKJ, "merumuskan metode mengajar dan kurikulum menghabiskan waktu yang tidak sedikit. "Perbedaan faham antar pengajar sering terjadi. Pelukis Oesman Effendi dan Nashar, misalnya, keluar dari barisan dosen karena mereka lebih setuju "pendidikan a la pesantren," kata Ajip.

Perselisihan faham antar para seniman yang sekaligus jadi pengajar ini memang bisa meletup-letup. Maklum, ego mereka besar sungguh. Pembolosan Keterlaluan Sementara itu mencari tenaga pengajar yang bukan dari kalangan seniman dewasa ini sulit. Banyak pengajar di sini jadi dosen bukan karena karir. Tak sedikit yang mengajar bukan karena ingin jadi guru kesenian -- tapi mungkin karena diminta, atau rasa ikut bertanggungjawab kepada proyek unik ini, atau ingin melimpahkan ilmu, atau sekedar cari nama sebagai "dosen". 

Maka dosen bisa saja tak muncul, sebab pekerjaan utama mereka di luar LPKJ. Karena mahasiswa menganggap pembolosan dosen agak keterlaluan, suatu ketika di tahun 1974 mereka melancarkan aksi mengecam. Toh dosen yang tak pernah datang masih ada -- meski tak semuanya terus ikut ambil uang honor. Yang meledak 24 Oktober lalu agaknya merupakan lanjutan dari kerusuhan itu. Dengan aksentuasi lain. Hari itu para mahasiswa mengambil-alih kunci kampus. LPKJ dinyatakan ditutup. Kunci diserahkan kepada Wk. Gubernur DKI, Urip Widodo -- ,mungkin karena DKI-lah yang mengongkosi LPKJ, walaupun lebih tepat sebenarnya jika aksi itu dibatasi sampai ke DKJ saja. Urip Widodo bertindak sesuai dengan prosedur: kunci itu dikembalikan kepada Dewan Kesenian Jakarta. Bagi Wk. Gubernur, soal itu masih bisa diselesaikan oleh Dewan yang selama ini memang menganggap LPKJ sebagai salah satu masalah internnya. Lagipula, musim ujian mendekat, dan kelangsungan belajar dibutuhkan.

Aksi mahasiswa itu berpusat di depan gedung utama. Mahasiswa yang menyiapkan gerakan itu sejak pagi sudah siap menunggu teman mereka untuk diberi seutas kain hitam yang dililitkan ke lengan. Juga mereka siap dengan memorandum sepanjang 4 halaman, yang mengecam banyak hal. Mereka berkumpul di tangga masuk gedung Akademi Teater sambil menabuh benda-benda yang bisa dipukul. Ada pula yang bernyanyi seraya memetik gitar. Sebuah mobil Fiat dan dua Toyota dangkat ramai-ramai dipindah dari tempat parkir. Tembok dipenuhi pamflet D. Djajakusuma, tokoh yang tak banyak bicara dan kini menjadi Pj. Rektor (istilahnya di LPKJ "Ketua") kabarnya menitikkan air mata melihat kekalutan ini. Pamflet yang ditempelkan antara lain bertuliskan: "Pak Guru Kamu Ngajar Apa Bikin Film Di Luram" "Dosen LPKJ Kurang Gizi." Dosen dan pegawai yang lewat mereka soraki. Soemardjono, dekan Akademi sinematografi yang kini berbadan subur itu nampak sebentar di depan mereka - dan dapat ejekan: "Semar, Semar, Semar Mendem." Soemardjono, yang 'rupanya jadi salah satu sasaran pokok mahasiswa, kemudian menyebut aksi itu "G-24-O". "Gerakan 24 Oktober". Produser Film Apakah benar itu gerakan yang diatur baik, tak jelas. 

Memorandum para mahasiswa ditandatangani oleh 9 pimpinan resmi mahasiswa. 

Namun isinya agak kurang berfokus. Meskipun ada beberapa hal yang dikecam yang nampak menonjol: soal absennya para dosen yang tak dikenai sanksi, dan tidak jelasnya status, arah dan laporan keuangan dari beberapa kursus yang dilakukan oleh beberapa akademi di sini, misalnya Akademi Musik dan Sinematografi. Di LPKJ kini, kata memorandum itu pula, sulit membedakan mana barang milik akademi mana yang milik pribadi. Sampai-sampai gedung megah itu, katanya,tiap saat siap untuk disewakan kepada produser film, dengan alasan menunjang hidup LPKJ. Nampaknya aksi protes itu merupakan buntut dari persoalan yang belum terselesaikan antara dosen dan Ketua. Pada mula penyairTaufiq Ismail jadi Ketua, ia menilai LPKJ harus berhemat dengan subsidi yang Rp 2,5 juta perbulan tahun lalu dari DKI. Maka panyair ini mengajukan idenya: kalau dana terbatas, pendidikan cukup dibatasi dengan memotong masa kuliah yang 5 sampai 6 tahun itu. Reaksi cukup keras dari sementara pengajar. Seorang dosen senirupa dari ITB keluar karena tak setuju dengan ide pemendekan masa pendidikan itu. Kini ide itu toh tak diteruskan Taufiq - yang rupanya memang belum bisa dapat dukungan dari para pengajar. Ia bahkan pernah dituduh meminta kenaikan gaji bagi diri sendiri-suatu hal yang dibantahnya. Namun gaji memang tak banyak di sana, dibandingkan dengan penghasilan dosen di perguruan tinggi pemerintah yang sering dapat proyek, ikut seminar atau lokakarya. Seorang dosen musik mengatakall: "Gaji kita kalah sama sopir bis kota." 

Tapi ia menambahkan bahwa mellgajar di LPKJ adalah con amor - demi cinta. Tentu saja ada pengajar yang berkesempatah cari tambahan uang dengan fasilitas LPKJ.

Tujuannya belum tentu buruk. Soemardjono, misalnya, membuka Akademi Sinematografi untuk menerima order film. Alasannya: "Dengan adanya order pembuatan film itu banyak mahasiswa yang dapat kesempatan praktek, dan mereka dapat bayaran, hingga secara tak langsung merupakan bea siswa." Tapi hal ini bisa jua punya akibat sampingan. D.A. Peransi, bekas dosen, menganggap pembuatan film order sampai buah setahun itu terlalu besar, kalau tujuannya hanya untuk menutupi kekurangan biaya akademi. "Uma sudah cukup," katanya. Rupanya Peransi mengritik kecenderungan gemar terima order itu, yang mengurangi konsentrasi pada kegiatan kuliah dan jangan-jangan menimbulkan korupsi. Dan terjadilah konflik dengan Soemardjono Peransi mengundurkan diri. Tapi memang ternyata ada kekurangjelasan soal keuangan dari penerimaan order film itu. Taufiq Ismail, sebagai Ketua LPKI, mencoba bertindak. Ia mengirim surat ke Soemardjono, berupa teguran - dan terjadilah konflik baru. "Surat teguran itu dikirim ke 12 penjuru angin," kata Soemardjono kepada wartawan TEMPO Said Muchsin. "Surat Taufiq itu memberi kesan adanya korupsi di Akademi Sinematografi." la merasa tersinggung. Dan laporan keuangan penerimaan order film itu kabarnya belum juga ia berikan. Hubungan antara Ketua LPKJ dengan Dekan Akademi Sinematografi itu pun memburuk. Soemardjono kabarnya mengajukan pilihan kepada Dewan Kesenian Jakarta: atu memecat Taufiq, atau dia mundur. Karena soal memecat Ketua LPKJ adalah soal besjar, DKJ membentuk sebuah panitia adhoc, diketuai oleh pengarang wanita Nursamsu Nasution. 

Panitia yang dibentuk 5 Oktober yang lalu itu akan menyelesaikan tugasnya akhir bulan.

Tapi aksi mahasiswa toh terjadi seelum itu. "Saya dapat kesan panitia tidak bekerja serius," kata M. Sulebar Soekarman, 34 tahun, tokoh mahasiswa yang ikut teen memorandum. Tapi ia mengakui bahwa ia belum pernah menanyakan langsung kepada panitia hasil kerja mereka. Nampaknya aksi itu dilancarkan tanpa pertimbangan yang cukup. Sebab seorang anggota panitia ad hoc bisa menunjukkar bahwa ia bekerja serius: seberkas hasil "dengar-pendapat" telah ia susun dalam menyelidiki perkara konflik Soemardjono-Taufig. Sementara itu beberapa dosen merasa tersinggung dengan aksi mahasiswa: kata mereka, kalau ada dosen yang bersalah, lebih baik mahasiswa "tunjuk hidung" dan tak memberikan kesan bahwa semua dosen "tukang ngobyek." Tapi aksi mahasiswa itu betapapun suatu petunjuk, bahwa ada yang kurang' beres di LPKJ. Selain perkara Soemardjono - yang Sabtu yang lalu menantang para mahasiswa untuk berdebat terbuka -- juga dirasakan kurang hadirnya kepemimpinan di kampus itu, untuk memberi semangat dan rasa kesatuan. Taufiq Ismail oleh banyak pihak dinilai teramat sering pergi, teru tama ke luar negeri. Waktu ia berada di London tahun lalu, balkan kedudukannya sebagai Ketua Senat LPKJ diambil-alih oleh SoemardSrlo. Dan waktu terjai aksi pekan lalu, dia memang- sedang cuti di Tugu -- menulis satu naskah. Dari sana Taufiq terus ke Ujung Pandang, memenuhi undangan baca puisi.
 (Bintang Timur, 14/6/1964)