Tampilkan postingan dengan label ALAM R.SURAWIDJAJA 1952-1978. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ALAM R.SURAWIDJAJA 1952-1978. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Januari 2011

ALAM SURAWIDJAJA 1952-1978

ALAM SURAWIDJAJA


(lahir di Sindang Laut, Cirebon, 24 Desember1924 – meninggal di Jakarta, 12 Mei 1980 pada umur 55 tahun) adalah pemeran dan sutradaraIndonesia di era tahun 1950an hingga tahun 1980. Alam juga pernah menjadi pemeran utama dalam film "Si Djimat". Alam membuat film "Janur Kuning" yang menceritakan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam meraih kembali kemerdekaannya yang direbut kembali oleh pasukan sekutu. Di dalam filmnya, aktor Amak Baldjun sempat dinominasihkan sebagai aktor pendukung terbaik pada Festival Film Indonesia.
 
Pendidikan :Sekolah Tinggi Teknik Cine Drama Institut Kementrian Penerangan, Yogyakarta
Kegiatan lain :Anggota Dewan Film Nasional,Anggota Dewan Produksi Film Indonesia,Anggota DKJ (1973-1980)

Awalnya ia bermain dan menyutradarai pementasan-pementasan perkumpulan sandiwara Raksi Seni Yogyakarta, selain mengisi siaran Pancaran Sastera”di RRI Yogyakarta. Karirnya didunia film diawali dengan jabatan asisten sutradara dalam film Taufan (1952) dan kemudian menjadi sutradara dalam Manusia Suci (1955) dan Daerah Tak Bertuan (1963). 
 
Sejak menyutradarai film Sehelai Merah Putih, ditahun 1960-an, namanya kian dikenal sebagai sutradara film perjuangan, dengan beberapa karya garapannya antara lain; Perawan disektor Selatan (1972), Bandung Lautan Api (1975), dan Janur Kuning (1979) yang bercerita tentang Serangan Umum 1 Maret.
 
Dalam filmnya yang berjudul Nyi Ronggeng (1970), suami dari aktris Deliana Lubis Surawidajaja ini berupaya untuk berbicara dalam bahasa gambar tentang kehidupan etnis Sunda (yang ia buat di Sumedang dan sekitarnya. Lebih dari separuh filmnya, la tampil sebagai pemain, meskipun hasil penyutradaraannya cukup bagus. Berperan Sebagai pemain ia lakoni dalam film Menyusuri Jejak Berdarah (1967), Si Bongkok (1972), Cinta Petama (1973), dll. Karena penampilannya yang sangat sederhana degan gaya bicara yang lamban dan perlahan, peran-peran yang dimainkan alam biasanya sebagai orang-orang kecil yang serba kekurangan.
 
Sineas yang pernah menjadi Dewan Film Nasional Indonesia, Dewan Produksi Film Indonesia dan Dewan Kesenian Jakarta selama 4 periode (1973-1980) ini dalam kebanyakan film garapannya sering memilih Diki Zulkarnaen sebagai pemain utama. Alam Surawijaya Wafat pada tanggal 12 Mei 1980, di Jakarta.

BANDUNG LAUTAN API 1974 ALAM SURAWIDJAJA
Director
MANUSIA SUTJI 1955 ALAM SURAWIDJAJA
Director
PERAWAN BUTA 1971 LILEK SUDJIO
Actor
WULAN DI SARANG PENCULIK 1975 ISHAQ ISKANDAR
Actor
BANTENG BETAWAI 1971 NAWI ISMAIL
Actor
SEHELAI MERAH PUTIH 1960 ALAM SURAWIDJAJA
Director
FLAMBOYANT 1972 SJUMAN DJAYA
Actor
PERAWAN DI SEKTOR SELATAN 1971 ALAM SURAWIDJAJA
Director
SI MAMAD 1974 SJUMAN DJAJA
Actor
PERKAWINAN DALAM SEMUSIM 1976 TEGUH KARYA
Actor
DAERAH TAK BERTUAN 1963 ALAM SURAWIDJAJA
Director
KABUT DI KINTAMANI 1972 KURNAEN SUHARDIMAN
Actor
ANAK EMAS 1976 LILIK SUDJIO
Actor
SI BONGKOK 1972 LILIK SUDJIO
Actor
SI BUTA DARI GUA HANTU 1970 LILIK SUDJIO
Actor
PAHITNYA CINTA MANISNYA DOSA 1978 WAHAB ABDI
Actor
SUZIE 1966 LILIK SUDJIO
Actor
LUKA TIGA KALI 1965 ALAM SURAWIDJAJA
Director
PEMBALASAN SI PITUNG 1977 NAWI ISMAIL
Actor
EXSPEDISI TERAKHIR 1964 ALAM SURAWIDJAJA
Director
ISTRIKU SAYANG ISTRIKU MALANG 1977 WAHAB ABDI
Actor
PENCOPET 1973 MATNOOR TINDAON
Actor
SI DJIMAT 1960 KURNAEN SUHARDIMAN
Actor
RIDHO ALLAH 1977 YUNG INDRAJAYA
Actor
CINTA REMAJA 1974 LILEK SUDJIO
Actor
LUPA DARATAN 1975 TINDRA RENGAT
Actor
RIO ANAKKU 1973 ARIFIN C. NOER
Actor
ANJING-ANJING GELADAK 1972 NICO PELAMONIA
Actor
TAUFAN 1952 ALI YUGO
Actor
DETIK-DETIK REVOLUSI 1959 ALAM SURAWIDJAJA
Director
CHEQUE AA 1966 ALAM SURAWIDJAJA
Director
PEMBURU MAYAT 1972 KURNAEN SUHARDIMAN
Actor
SI PENDEK DAN SRI PANGGUNG 1960 ALAM SURAWIDJAJA
Actor.Director
DIMANA KAU IBU 1973 HASMANAN
Actor
MENJUSURI DJEDJAK BERDARAH 1967 MISBACH JUSA BIRAN
Actor
AWAN DJINGGA 1970 LILEK SUDJIO
Actor
KENANGAN REVOLUSI 1960 ALAM SURAWIDJAJA
Director
CHRISTINA 1977 I.M. CHANDRA ADI
Actor
JANUR KUNING 1979 ALAM SURAWIDJAJA
Director
JINAK-JINAK MERPATI 1975 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
SI RANO 1973 MOTINGGO BOESJE
Actor
NJI RONGGENG 1969 ALAM SURAWIDJAJA
Director.

MANUSIA SUTJI / 1955

MANUSIA SUTJI

Di waktu revolusi fisik, Gusti Pageh (Imansjah Lubis) meninggalkan isterinya Wati (Lely Sulastri) dan adiknya perempuan Miasti (Asmarani) untuk bergerilya melawan pasukan Belanda, yang coba menjajah lagi Indonesia yang telah merdeka. 

Sementara itu Durraksara (MA Husin Arief) kerjanya hanya mengganggu wanita, menodai Wati dan kemudian membunuh Miasti, karena nafsu kebinatangannya tak dituruti. Dua kejadian itu bikin kecewa Gusti Pageh, yang pulangnya disambut sebagai pahlawan.

 ROLLEICON


IMANSJAH LUBIS
M.A. HUSIN ARIEF
LELY SULASTRI
ASMARANI
BAMBANG IRAWAN

DETIK-DETIK REVOLUSI / 1959

 

Semula berjudul "Kenangan Revolusi"
Peristiwa berlangsung sesudah revolusi fisik 1945-1949. Rosadi berpedoman pada "tugas negara di atas segalanya", sedang Amran lebih mementingkan "kemewahan hidup". Rosadi beristrikan Hastuti, sedang Amran mendapat pasangan Hartati. Rosadi pulang dari membasmi pengacau dengan sukses, meski terluka di tangan, sedang Hartati menyesali suaminya yang harus mempertanggungjawabkan dosanya karena melanggar hukum. 

Bekerja sama dengan staf militer Angkatan Darat, dengan penasehat teknis militer, Letkol. Willy Sujono. 
ANOM PICTURES

KAPTEN SUKARYADI
ANNE RUFAIDA SOHANA
TUTY S
JEFFRY SANI

SEHELAI MERAH PUTIH / 1960

SEHELAI MERAH PUTIH

Waktu penjajahan Belanda, Suharjo (Kapt. Suhardono) bekerja di pabrik gula dan berkenalan dengan Sumarni (Pudji Suratmo), anak asisten wedana, yang kemudian diperistrinya. 

Kebahagiaan tidak lama berlangsung, karena Suharjo terlibat perkelahian dengan seorang Belanda dan dipenjara. Anaknya lahir semasa ia masih dipenjara. Selepas penjara, datang pendudukan Jepang. Suharjo membentuk barisan bawah tanah. Jepang pergi, Suharjo membentuk barisan perjuangan lagi untuk melawan Belanda. Kali ini Suharjo gugur. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia sempat memesankan agar pistolnya yang dibungkus sehelai merah putih diberikan pada Sumarni. 

Kini giliran Sumarni yang membentuk barisan Srikandi yang merepotkan Belanda, hingga ayahnya ditangkap dan dibunuh. Setelah Belanda angkat kaki, Sumarni bekerja di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Di sinilah ia menceritakan pengalamannya pada ibu-ibu Persit, yang kemudian menjanjikan bea siswa pada anak Sumarni sampai ke universitas.
Yayasan Ikrar Bhakti milik Persit (Persatuan Istri Tentara).
 
LASKAR SRIKANDI, PEJUANG WANITA MILITAN
Perdana Menteri Kuniaki Koiso merilis keputusan resmi Kekaisaran Jepang yang membuat seisi ruangan berguncang. Isi putusannya adalah Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia secepatnya, sebelum wilayah itu lumat diterkam pasukan Sekutu.

Putusan sidang yang dibacakan pada 7 September 1944 itu segera memicu reaksi pelbagai pihak di tanah air, termasuk organisasi perkumpulan perempuan bikinan Jepang yang disebut Fujinkai. Dalam kondisi yang serba tak tentu, Fujinkai memutuskan untuk mengadakan rapat di Taman Raden Saleh, Jakarta, pada pertengahan September 1944.

Melalui rapat itu, nyonya R.A. Abdurrachman selaku ketua Fujinkai Jakarta menyatakan keberatan jika perempuan tidak dilibatkan dalam usaha penyambutan kemerdekaan. “Perempuan Indonesia belum berpuas hati sampai kami bisa mengadakan sendiri pertemuan untuk menyambut kebahagiaan Indonesia merdeka di masa yang akan datang,” katanya seperti dilansir Asia Raya edisi 17 September 1944.

Siti Fatimah dalam The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War (2010: hlm. 292) menyebutkan bahwa sejatinya perempuan Indonesia awalnya tidak sudi bergabung dengan Fujinkai. Akan tetapi, seiring waktu mereka berharap dapat melanjutkan gerakan emansipasi perempuan melalui organisasi tersebut. Demikian negosiasi secara tidak langsung antara perempuan dengan pihak Jepang telah terjadi sedari awal.

Tuntutan tersebut sebagian memang sesuai dengan ideologi fasisme Jepang. Sejak tahun 1943, Jepang sudah berusaha membentuk jiwa militan di kalangan perempuan Indonesia melalui serangkaian propaganda. Hal ini ditunjukkan melalui pembentukan beberapa badan semi-militer istimewa bernama Barisan Srikandi.
 
Propaganda merupakan kawan setia Jepang sepanjang periode Perang Pasifik. Agar strategi ini berjalan mulus, Jepang selalu berusaha memusatkan informasi ke satu titik dengan jalan melarang diskusi-diskusi yang bersifat politik di setiap wilayah kekuasaannya.

Sebelas hari setelah pemerintah kolonial Belanda menyerah pada bulan Maret 1942, Jepang dengan sigap menggulung habis partai-partai politik dan organisasi pergerakan di Indonesia. Organisasi perempuan yang saat itu tengah tumbuh tidak luput terkena imbasnya. Mereka dipaksa untuk menggabungkan diri ke dalam satu wadah bernama Fujinkai yang diresmikan pada 3 November 1943 di Jakarta.

Fujinkai pada hakikatnya dibentuk memakai dasar-dasar perkumpulan perempuan militan Jepang yang bernama Dai Nippon Fujinkai. Di Jepang, anggota Fujinkai mencapai 15 juta perempuan berusia 20 tahun ke atas. Tugas mereka selalu berkaitan dengan pertahanan garis belakang, seperti mendukung perekonomian dan pengadaan peralatan perang.

Fungsi Fujinkai di Indonesia tidak berbeda dengan apa di Jepang. Namun, karena Indonesia belum memiliki industri alat-alat berat, maka sebagian anggota Fujinkai lebih sering dikerahkan di bidang domestik seperti bercocok tanam dan membuat baju karung goni bagi para pekerja romusha.

Di pengujung tahun 1944, pemerintah Jepang di Indonesia sudah menunjukan gelagat kewalahan mempertahankan kekuasaan mereka di Asia Tenggara. Oleh karena itu, Jepang mulai memobilisasi kaum perempuan melalui serangkaian propaganda. Anna Mariana dalam Perbudakan Seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru (2015: hlm. 29) menyebut segala upaya pengerahan kaum perempuan didukung sistem pemerintahan yang berasas militerisme.
 
 Melalui tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan Fujinkai, Jepang memberi kesan seolah perempuan Indonesia berusaha menanggalkan nilai-nilai ketimurannya. Oleh karena itu, Jepang beralasan bahwa mereka patut dididik kembali sebelum pasukan Sekutu menyerbu Indonesia.

Beberapa bulan sebelum Nyonya R.A. Abdurrachman menyampaikan pidatonya yang berapi-api dalam rapat Fujinkai, sejumlah surat kabar serempak mengampanyekan konsep perempuan ideal serta tanggung jawab mereka di era perang suci.

“Perempuan Indonesia telah diberikan hak dan tanggung jawab. Mereka sekarang memiliki kesempatan untuk menentukan nasib sendiri dengan segala konsekuensinya. Diharapkan mereka mempertahankan moralitas ketimuran,” tulis surat kabar Asia Raya edisi 28 Agustus 1944.

Pada bulan Maret, surat kabar Tjahaja bahkan merilis artikel hasil tulisan seorang anggota Fujinkai bernama Juningsih yang bertujuan mengampanyekan sosok Sembadra dari tradisi pewayangan Jawa yang lemah lembut dan setia kepada suami. Di saat bersamaan, artikel yang sama juga menyebut pentingnya perempuan Indonesia menjadi seperti Srikandi.

“Srikandi adalah perempuan yang sangat berani, siap mengorbankan diri melindungi tanah airnya, sementara Sembadra memiliki moral yang tinggi, suci, setia, dan pemimpin dan pengajar yang ideal,” tulis Juningsih dalam Tjahaja edisi 4 Maret 1944 seperti dikutip Siti Fatimah (hlm. 296).

Bukan sebuah kebetulan jika satu bukan kemudian, surat kabar yang sama memberitakan pembentukan Barisan Srikandi. Kelompok ini wajib diikuti oleh perwakilan gadis remaja dari setiap desa di Karesidenan Jakarta. Menurut catatan Fatimah, lebih dari 660 gadis berusia 15 sampai 20 tahun dipaksa memenuhi panggilan latihan memanggul senjata dan berpartisipasi dalam perang Asia Timur Raya (hlm. 297)
 
Barisan Srikandi secara resmi berdiri pada bulan April 1944 di Jakarta. Badan semi-militer ini dibentuk di bawah Fujinkai melalui pangreh praja. Agar tidak menimbulkan kesan badan ini dikuasai sepenuhnya oleh Jepang, maka putri Residen Jakarta yang bernama Sudharti Sutarjo ditunjuk sebagai pimpinan pelatih membawahi tiga orang guru perempuan.

Berdasarkan tulisan Nino Oktorino dalam Nusantara Membara "Heiho": Barisan Pejuang Indonesia yang Terlupakan (2019: hlm. 31) diketahui bahwa Barisan Srikandi merupakan barisan istimewa. Para anggotanya wajib mengikuti pelatihan keprajuritan di tangsi-tangsi militer sembari dijejali tata krama dan adat kewanitaan.

“Pihak Jepang menginginkan agar jiwa, jasmani, dan rohani anggota Barisan Srikandi tergembleng oleh latihan ilmu keprajuritan itu agar mereka dapat menjadi pemimpin wanita yang berbudi luhur, di samping tugasnya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga,” tulis Oktorino.

G.A. Ohorella dan kawan-kawan dalam Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional (1992: hlm. 40) menjelaskan bahwa Barisan Srikandi memang dipersiapkan untuk bertempur lantaran proporsi pelatihan militernya yang unggul. Akan tetapi, harapan Jepang menerjunkan barisan ini ke garis depan tidak pernah tercapai. Tepat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Fujinkai beserta seluruh sub-organisasinya turut dibubarkan pemerintah.

Setelah kabar kekalahan Jepang sampai ke telinga golongan muda pada 14 Agustus 1945, beberapa anggota Barisan Srikandi menjadi perempuan-perempuan pertama yang ikut menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh Jakarta. Bersama gerakan pemuda bawah tanah, mereka ikut dalam aksi perampasan senjata dan bahan baku pembuatan bendera di gudang-gudang milik Jepang.

“Dalam aksi tersebut, kami dari Barisan Srikandi turut serta menurunkan bendera di kantor-kantor, yakni menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan Sang Merah Putih. Setelah itu, kami ditugaskan untuk membagi-bagikan bendera itu ke seluruh Jakarta,” tutur Partinah dalam kumpulan tulisan Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 Jilid I (1995, hlm. 183).

Sepanjang perang revolusi, anggota Barisan Srikandi berpencar ke seluruh penjuru Jawa. Banyak di antara mereka yang memilih berjuang bersama Laskar Wanita Indonesia (Laswi) dalam pertempuran mempertahankan Bandung. Beberapa di antaranya ada pula yang tercatat sebagai pendiri badan kelaskaran Pemuda Putri Republik Indonesia yang punya andil dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
 
Laskar Wanita/Srikandi Indonesia PANTANG BERCINTA SEBELUM MERDEKA
Sebagai organisasi perempuan pelopor setelah kemerdekaan, Perwari yang bermula dari Fujinkai menggelar kongres pertama pada 17 Desember 1945 untuk membahas kelanjutan perjuangan perempuan. Namun, ketimbang membulatkan pendapat, kongres itu malah membuka ruang perdebatan baru.

Menurut kesaksian salah seorang anggota Perwari, Nyonya Djatmani Suparta, dalam tulisannya pada buku Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi Jilid IV (1984, hlm. 79-80), kongres pertama sangat bertele-tele. Alur pembicaraan kongres semakin tak jelas. Sebagian peserta saling lempar argumen dan tidak mau mengalah.
 
 Tiba-tiba terdengar suara lantang yang terkesan galak dari barisan belakang. Seorang perempuan bersepatu lars, berseragam hijau, lengkap dengan pistol di sisi kanan, berdiri menegur para perempuan yang saling berselisih. Dia adalah Sumarsih Subiyati, pimpinan Laskar Wanita Indonesia (Laswi).

“Ibu-ibu, mengapa hal yang kecil-kecil dibicarakan sampai berlarut-larut, ingat ini masa perjuangan, masa revolusi! Di garis depan, kalau sesuatu soal tidak dapat dibicarakan dan diselesaikan dengan mulut, kami selesaikan dengan senjata!” ujar Sumarsih seperti dikutip dari catatan Nyonya Djatmani Suparta.

Busana yang dikenakan Sumarsih sangat kontras dengan kebaya dan selendang yang dikenakan para perempuan dalam kongres Perwari. Kehadiran Sumarsih di Yogyakarta saat itu memang bukan untuk bersosialisasi dengan para perempuan organisasi. Sumarsih sengaja datang sebagai peninjau sekaligus mencari kandidat baru Laswi.

Seusai kongres Perwari, Nyonya Djatmani Suparta yang sebelumnya sudah berpengalaman dalam Fujinkai, memutuskan untuk bergabung dengan Laswi cabang Yogyakarta. Penolakan dari orang tua sempat terlontar mengingat reputasi Laswi yang identik dengan citra tentara.

Selain Nyonya Djatmani, Laswi memang banyak menyerap keanggotaan dari kalangan perempuan revolusioner yang aktif berorganisasi. Beberapa perempuan yang kemudian dikenal sebagai pendiri Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) seperti Umi Sardjono dan Tris Metty pernah digembleng di bawah Laswi.
 
 Berdasarkan wawancara Sugiarta Sriwibawa dengan Sumarsih Subiyati, diketahui bahwa Laswi lahir di bawah komando Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jawa Barat. Setelah kabar tibanya pasukan Sekutu menyebar luas, Sumarsih—yang ternyata merupakan istri komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat Arudji Kartawinata—berusaha meyakinkan dua orang pimpinan TKR Jawa Barat agar perempuan Bandung diizinkan ikut berperang.

Wawancara yang dikisahkan kembali ke dalam novel perjuangan bertajuk Laskar Wanita Indonesia (1985, hlm. 36) itu juga menyatakan bahwa perjuangan Laswi yang sebenarnya baru dimulai ketika pasukan Inggris dan Gurkha tiba di stasiun Bandung pada 12 Oktober 1945.

Pasukan Laswi secara resmi berdiri untuk membantu TKR di garis belakang dalam pertempuran mempertahankan Bandung. Namun, sesekali mereka juga dilibatkan di garis depan. Konfrontasi antara Laswi dengan tentara Gurkha ditunjukan melalui kisah seorang gadis bernama Willy yang memiliki nama samaran Kambela Dewi.

“Pada suatu saat penyerbuan akan dimulai, saya berteriak pada mereka [tentara Gurkha]. Salah seorang dari mereka lalu menjawab. Ia begitu mengejek dan seolah-olah akan berbuat yang tidak baik. Samurai pendek memang sudah terhunus bila berada di front,” tulis Willy dalam antologi Seribu Wajah Wanita Perjuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 (1995, hlm. 358).

Dalam Laswi, para perempuan memang banyak mendapatkan pelatihan kedisiplinan, cara menembak, bahkan mempelajari siasat tempur serta pertahanan langsung dari TKR. Banyak pula anggota Laswi yang pernah dididik di bawah Barisan Srikandi, barisan perempuan perjuang di bawah Fujinkai bentukan Jepang. Tak heran, Laswi berkembang menjadi laskar perempuan yang dikenal berkat kedisiplinan dan rasa solidaritasnya dengan sesama pejuang.
 
Pada pengujung bulan Oktober 1945, Radio Pemberontakan mengkritik pedas kegagalan laskar Jawa Barat merebut markas Kempeitai Kiaracondong di Kota Bandung. Hal ini memicu pertikaian dan sempat menimbulkan kesalahpahaman di kalangan pejuang. Salah seorang anggota Laswi lantas menembak mati tentara Gurkha untuk membela laskar Jawa Barat.

“Untuk membuktikan bahwa pemuda-pemudi Bandung sama sekali bukan ‘peuyeumbol’ [bermental lembek], seorang Laswi bernama Soesilowati telah menembak mati seorang serdadu Gurkha dan memenggal kepalanya. Potongan kepala itu dikirim ke Jawa Timur,” tulis surat kabar Buana Minggu (3/9/1978).

Menurut penuturan Sumarsih Subiyati, dirinya sangat hati-hati saat membawahi Laswi agar tidak terjadi pelanggaran moral dalam masyarakat yang cenderung masih tradisional. Untuk itu, Sumarsih menetang keras segala hubungan percintaan dalam tangsi militer. Syarat ini secara khusus diperuntukkan bagi anggota Laswi yang masih gadis.

“Tidak seorang lelaki pun diizinkan memasuki gedung kami. Tidak ada love affairs, karena para gadis Laswi tidak diperkenankan mempermalukan diri sendiri, dan jika aturan itu dilanggar maka sanksinya peluru,” ungkap Sumarsih kepada Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010, hlm. 148).

Laswi sering mendampingi tentara sepanjang perang revolusi. Sekilas, Laswi memang nampak seperti tentara perempuan. Bahkan mereka juga diberi pangkat kemiliteran, meski sifatnya hanya sementara.

“Saya masuk Laswi dengan pangkat sersan, tetapi saya tidak pernah memakai tanda pangkat tersebut karena malu. Lama-lama saya tahu bahwa pangkat tersebut hanya sebagai pelengkap,” ungkap Hajjah Habibah Lubis dalam Seribu Wajah Wanita Perjuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 (hlm. 59).

Laswi memang bukan satu-satunya laskar perempuan sepanjang masa perang revolusi. Masih banyak lagi perempuan yang berjuang di garis belakang. Laswi justru sebaliknya, mereka cenderung lebih keras berjuang menuntut kedaulatan.

Berdasarkan penelusuran majalah Femina (10/8/1982) diketahui bahwa Laswi pernah bergabung dengan laskar perempuan lain dari Solo yang bernama Laskar Putri Indonesia (LPI). Tetapi, penggabungan ini tidak berumur panjang karena terjadi perbedaan prinsip di antara keduanya.


SI PENDEK DAN SRI PANGGUNG / 1960

SI PENDEK DAN SRI PANGGUNG

Berdasarkan riwayat hidup M Nizar. 
Film pertama Ratno Timoer sebagai pemain.
 ANOM PICTURES

M. NIZAR
PUDJIATI SURATMO
ALAM SURAWIDJAJA
RATNO TIMOER
MOTINGGO BOESJE


Sosok M Nizar.
Memegang peran di atas pentas dalam bentuk drama, tak seorang dapat menyangkal adalah lebih sukar daripada memegang rol dalam film. Sutradara pada pentas drama )apalagi pada drama arena) benar-benar menyerahkan tanggung jawab penuh kepada pelaku setelah ia muncul. Sedang sutradara film dapat berteriak “CUT” apabila ada acting pelaku yang janggal. Ini tidak boleh diberi interpretasi bahwa akting dalam film begitu mudah. Di sat yang memerlukan close-up (yang tentunya tidak mungkin terjadi pada drama panggung) di sinilah diminta keunggulan bintang itu. Karena kita telah menyebut tanggung jawab penuh diberikan oleh sutradara kepada pemain drama, maka bagi aktor panggung yang baik, tentunya akan menolak bantuan souflleur karena bukan tak mungkin souffleur bukan malah membantu tapi meragukan.

M. Nizar (11-3-1936 di Bengkulu) menyatakan bahwa kalau pelaku benar-benar akan mendapat konsentrasi sebaiknya tidak memerlukan souffleur. Karena itu, cara yang sebaiknya untuk aktor panggung ialah: Merasakan pelaku cerita dari drama itu mendarah ke dalam dirinya. Untuk mengenalkan M. Nizar pada saat ini sebagai aktor panggung yang baik belum pada waktunya, apalagi untuk menamakan dia hampir khas seperti Frank Sinatra menurut pendapat Soebagijo Sastrowardojo. Frank Sinatra mempunyai keistimewaan all-round, sedang Nizar sampai saat ini belum mendapatkannya. Malah Nizar adalah orang yang beruntung karena peranan yang dimain-mainkannya dalam sukses-suksesnya selama ini, tidak memerlukan banyak perobahan dari watak dan aktingnya sehari-hari. Selain itu debut TEATER INDONESIA Jogja selama ini adalah karena ada rasa kekeluargaan dalam organisasinya. Dalam menyelesaikan drama “PENGGALI INTAN” dan “BARITO KERING”, Kirdjomuljo akan beruntung: pertama ia dapat menyaksikan manusia itu sendiri memerankan tipenya dalam drama tersebut! Kemudian kita mengingatkan keuntungan laind ari persahabatan dengan dia oleh penulis drama WS RENDRA, memakai tipe manusia itu juga dari tanggapan yang lain, pada drama yang ditulisnya. Orang Sekandang. Sayapun ingin menyatakan beruntung mendapat tipe Nizar (dari tanggapan dan teropong lain) ketika saya mencoba menulis drama “DJAHANAM”. Semuanya, untuk pelaku Mat Kontan, karena ide menulis itu langsung menyentuh inspirasi.

Tapi, apakah ia seorang aktor panggung yang baik ketika pelaksanaannya? Ia bengal dan banyak cincong!

Saya tak mau latihan kalau si “Anu” enggak menyaksikan”, katanya. “Saya hanya latihan kalau dibayar sepereak buat becak”cingcongnya. Pernah kirdjo hampir menangis karena Nizar akan membatalkan drama yang telah ditentukan buatnya. Nasjah kesal membudut dan membujuk pelan-pelan, dan Sumantri meninjunya dua kali di rumahnya. Perkara jailangkung di mana WS Rendra akan “memanggil” roh shakespeare, saking bengalnya ia ditinju Rendra, jatuh ke tempat tidur dan tempat tidur itu ambruk! Ia pernah tidak menegor saya selama seminggu, dan baru menyapa kembali setelah saya menulis resensi Barito Kering dalam majalah ini.

Ia jarang di rumahd an mudah sekali jatuh cinta kepada gadis. Dan kiranya cintanya ditolak ia selalu merasa, bahwa kemalangan itu menimpanya, bukan karena tampangnya yang jelek, tapi Cuma karena ukuran badannya yang pendek.

DAERAH TAK BERTUAN / 1963

DAERAH TAK BERTUAN


Kaelani (Zainal Abidin) berhasil lepas dari tahanan Inggris dan pulang ke desa. Kedatangannya membuat Item (Hamidy T. Djamil) dan gerombolannya merasa tak bisa berbuat semaunya lagi. Usaha Item untuk membunuh Kaelani, digagalkan anak buahnya sendiri, Ganda (Hadisjam Tahax). 

Meski selamat, Kaelani tetap tak percaya pada Ganda karena seperti juga Item, ia pelarian penjara Kalisosok. Ganda bisa membuktikan diri saat ia tertangkap lagi dan tak mau menunjukkan persembunyian Kaelani. Saksinya, Marno (Dicky Zulkarnaen), anak buah Kaelani. Item ditembak Amir (Jeffry Sani), lawannya, di gua persembunyian sendjata, padahal niat Item dan juga Amir adalah mencari emas. Karena hendak ditembak, Kaelani yang juga mengintip kegiatan Item, lalu menembak Amir lebih dulu. Kaelani kemudian beraksi meneruskan perjuangannya bersama anak buahnya, termasuk Marno dan Ganda yang berhasil lolos lagi. Ia membuktikan diri bahwa ia sungguh-sungguh dalam perjuangan. Ia menjadi algojo dalam menghabisi musuh. Tapi, ia sendiri tewas di tangan penolongnya yang meloloskannya dari penjara. Orang ini punya niat lain: mendapatkan emas. Maka orang ini dipaksa jadi pahlawan. Dengan tiga granat, ia berjibaku menghancurkan pos musuh.

Menurut ingatan sutradara, kisahnya dari komik "Pahlawan Kali Sosok". 




PENJARA KALISOSOK SURABAYA.



 
Menurut sejarah, hampir semua pejuang kemerdekaan Indonesia pernah merasakan kejamnya penjara Kalisosok. Terutama pada masa tahun 1940 sampai dengan 1943 ketika kita masih berjuang memerdekakan diri dari kekejaman Jepang. Sebelum kemerdekaan, tempat pengasingan bawah tanah penjara ini masih kerap digunakan untuk memenjarakan narapidana. Namun setelah 1945, ruangan bawah tanah sudah tak lagi digunakan.

Penjara ini memang disebut-sebut sebagai tempat yang paling ditakuti para narapidana lantaran tempatnya yang sempit, gelap, dan pengap. Bayangkan saja dalam satu ruangan yang kapasitasnya hanya 20 orang, dipaksa agar dapat ditempati 90 orang. Dinding antar bilik juga dibuat sangat tebal sampai paku saja tidak bisa ditancapkan di sana. Dulunya penjara bawah tanah ini juga digunakan sebagai tempat penyiksaan, sehingga tak heran bila sampai sekarang masyarakat sekitar sering mendengar suara teriakan meminta tolong setiap malam dari dalam tembok penjara. Sampai sekarang pun hampir setiap orang yang melewatinya seketika akan merinding karena saking menyedihkannya penjara tersebut.

Seperti yang sebelumnya disebutkan bahwa penjara ini menjadi saksi bisu banyak pejuang Indonesia. Selain Soekarno, ada pula tokoh Muhammadiyah bernama Kiai Haji Mas Mansur yang juga pernah mencicipi dinding penjara Kalisosok. Kebanyakan orang-orang yang dikirim ke sini adalah mereka yang dianggap mengancam serta memprovokasi agar masyarakat semakin benci dengan para penjajah.

WR Supratman dan pendiri Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto disebut-sebut juga sempat berada di balik dinding Kalisosok. Namun syukurlah nasib mereka tak seperti pejuang lain yang menghembuskan nafas terakhir dari dalam bilik penjara akibat kerasnya penyiksaan yang dilakukan Belanda. Tokoh Marhaenis, anti-fasis, dan PKI juga tak luput dari pengapnya udara Kalisosok yang legendaris ini.
 
 
ADA JUGA NOVELNYA YANG DI RILIS SAMA DENGAN TAHUN PEMBUATAN FILM ITU 1963, dengan judul yang sama DAERAH TAK BERTUAN.
Daerah Tidak Bertuan merupakan novel karya Toha Mohtar yang diterbitkan tahun 1963 oleh Pantjaka, Jakarta, dengan kete balan 115 halaman. Buku itu memperoleh hadiah sastra Yamin tahun 1964. Pada tahun 1971 novel itu diterbitkan kembali oleh penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, dengan tebal 137 halaman. Sebelum terbit sebagai buku, novel ini pernah dimuat dalam majalah Warta Dunia sebagai fragmen dengan judul "Gugurnya Ganda" (1 dan 2) dan "Tuntutan" (1 dan 2). Latar novel itu berkisar zaman revolusi, dengan mengisahkan pertemuan beberapa orang yang berasal dari latar belakang yang berlainan dalam satu keyakinan, yaitu perjuangan melawan kaum penjajah. Semangat merebut kemerdekaan telah menyatukan mereka, yaitu Kaelani (komandan pasukan), Marno, Pak Mantri, Truno, Ganda, dan Solimin yang tergabung dalam Pasukan Liar. Meskipun anggota pasukan itu memiliki visi yang sama tentang kemerdekaan dan perjuangan, perbedaan latar belakang sosial (Truno, Ganda, Solimin pernah menjadi narapidana) sempat menimbulkan permasalahan yang rumit dan membutuhkan penyelesaian yang bijaksana dan adil. Pak Mantri mendapat tugas yang cukup berat dari Kaelani, yakni menyerahkan sekampil perhiasan kepada induk pasukan guna perjuangan selanjutnya. Untuk menjalankan tugasnya itu, Pak Mantri dikawal oleh Truno (mantan narapidana). 
 
Semula ada perasaan kurang nyaman pada diri Pak Mantri yang tidak mempercayai Truno. Apalagi, setelah Truno mendesak Pak Mantri untuk menjelaskan apa sebenarnya tugas mereka itu. Dengan terpaksa, Pak Mantri menjelaskan tugas yang harus mereka jalankan kepada Truno walaupun dengan perasaan khawatir. Ternyata, Truno sangat puas dengan penjelasan Pak Mantri itu. Truno merasa dianggap sebagai manusia yang utuh. Pengalaman pahit selama di penjara seketika lenyap. Ia merasa sangat berharga dan berarti bagi bangsa dan tanah airnya. Untuk itu, ia bersedia mati demi tanah air. Berbeda dengan Truno, Solimin yang juga mantan narapidana justru berbuat sebaliknya. Ia menginginkan bagian dari perhiasan yang berada di kampil itu. Untuk mewujudkan niat buruknya itu, Solimin berusaha membujuk Ganda untuk menunjukkan di mana tempat sisa perhiasan itu disimpan. Karena tidak berhasil, Solimin mengancam Ganda dengan kekerasan. Ganda memilih melawan daripada bekerja sama dengan Solimin. Sebagai akibatnya, ia tewas di tangan Solimin. Kematian Ganda mengundang kecurigaan Kaelani. Laporan Solimin yang menyatakan bahwa Ganda mungkin tewas di tangan tentara Ghurka tidak dapat diterima Kaelani. Apalagi bukti-bukti menunjukkan bahwa Soliminlah yang telah membunuh Ganda. Di antara bukti yang menguatkan perbuatan Solimin ialah pipa rokok milik Ganda yang terjatuh di tempat Ganda terbunuh. 
 
Dengan siasat yang jitu, Kaelani mengajak Marno, teman dekat Ganda, untuk mengorek keterangan dan pengakuan Solimin. Semula Solimin berbelit-belit berusaha mengelak segala tuduhan Kaelani. Akan tetapi, setelah semua bukti menunjukkan bahwa dirinya telah membunuh Ganda, Solimin mengakui semua perbuatannya di hadapan Kaelani dan Marno. Sebagai hukuman, Kaelani mengajukan dua cara penyelesaian yang harus dipilih Solimin untuk menebus kematian Ganda. Cara yang pertama, Solimin dieksekusi di tempat itu dan disebarkan segala keburukannya serta pengkhianatannya. Cara yang kedua adalah Solimin diperintahkan menyerang markas tentara Inggris dengan granat. Solimin memilih cara yang kedua, menyerang markas tentara Inggris. Walaupun telah memilih salah satu dari dua pilihan itu, Solimin ternyata masih bimbang. Kebimbangan Solimin itu telah diduga oleh Kaelani. Untuk itu, ia mengatakan kepada Solimin bahwa jika Solimin melarikan diri dari tugas itu, Solimin juga akhirnya akan mati di tangan Mobin dan Alwi, dua orang penembak mahir di pasukan itu yang akan menghadang Solimin. Tampak di situ bahwa daerah tak bertuan merupakan daerah antara hidup dan mati. Secara fisik, jelas mengisyaratkan bahwa daerah tak bertuan mengandung berbagai kemungkinan. Di daerah itu tidak ada aturan hukum. Barang siapa yang tegar akan memiliki kemungkinan untuk tetap bertahan dan hidup. 
 
Pak Mantri gugur karena ketuaannya dan ketidakmampuannya menggunakan pistol. Ganda mati ditikam Solimin karena ia kurang waspada dan salah perhitungan. Solimin mati karena ketamakannya dan pengingkarannya kepada hakikat perjuangan bangsanya. Kaelani dapat tetap hidup karena ia menggunakan nalar dan batinnya. Sebenarnya, ia dengan mudah dapat membunuh Solimin. Akan tetapi, perhitungan cermat menyebabkan Kaelani memberikan dua pilihan bagi Solimin untuk menebus dosanya. Bagi Kaelani, perjuangan adalah segala-galanya. Untuk itu, persatuan dan kekompakan pasukan ia utamakan. Dengan demikian, makna kata daerah tidak bertuan sangat kompleks. Pada daerah itulah hidup kita ditentukan di antara hidup dan mati. Menurut Jakob Sumardjo (1979) "Memang konflik batin lima tokoh utamanya digambarkan dengan jelas dan realistis, tetapi konflik-koflik batin yang personal tadi tidak terkait dalam konflik utama cerita."
Daerah Tidak Bertuan merupakan novel karya Toha Mohtar yang diterbitkan tahun 1963 oleh Pantjaka, Jakarta, dengan kete balan 115 halaman. Buku itu memperoleh hadiah sastra Yamin tahun 1964. Pada tahun 1971 novel itu diterbitkan kembali oleh penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, dengan tebal 137 halaman. Sebelum terbit sebagai buku, novel ini pernah dimuat dalam majalah Warta Dunia sebagai fragmen dengan judul "Gugurnya Ganda" (1 dan 2) dan "Tuntutan" (1 dan 2). Latar novel itu berkisar zaman revolusi, dengan mengisahkan pertemuan beberapa orang yang berasal dari latar belakang yang berlainan dalam satu keyakinan, yaitu perjuangan melawan kaum penjajah. Semangat merebut kemerdekaan telah menyatukan mereka, yaitu Kaelani (komandan pasukan), Marno, Pak Mantri, Truno, Ganda, dan Solimin yang tergabung dalam Pasukan Liar. Meskipun anggota pasukan itu memiliki visi yang sama tentang kemerdekaan dan perjuangan, perbedaan latar belakang sosial (Truno, Ganda, Solimin pernah menjadi narapidana) sempat menimbulkan permasalahan yang rumit dan membutuhkan penyelesaian yang bijaksana dan adil. Pak Mantri mendapat tugas yang cukup berat dari Kaelani, yakni menyerahkan sekampil perhiasan kepada induk pasukan guna perjuangan selanjutnya. Untuk menjalankan tugasnya itu, Pak Mantri dikawal oleh Truno (mantan narapidana). Semula ada perasaan kurang nyaman pada diri Pak Mantri yang tidak mempercayai Truno. Apalagi, setelah Truno mendesak Pak Mantri untuk menjelaskan apa sebenarnya tugas mereka itu. Dengan terpaksa, Pak Mantri menjelaskan tugas yang harus mereka jalankan kepada Truno walaupun dengan perasaan khawatir. Ternyata, Truno sangat puas dengan penjelasan Pak Mantri itu. Truno merasa dianggap sebagai manusia yang utuh. Pengalaman pahit selama di penjara seketika lenyap. Ia merasa sangat berharga dan berarti bagi bangsa dan tanah airnya. Untuk itu, ia bersedia mati demi tanah air. Berbeda dengan Truno, Solimin yang juga mantan narapidana justru berbuat sebaliknya. Ia menginginkan bagian dari perhiasan yang berada di kampil itu. Untuk mewujudkan niat buruknya itu, Solimin berusaha membujuk Ganda untuk menunjukkan di mana tempat sisa perhiasan itu disimpan. Karena tidak berhasil, Solimin mengancam Ganda dengan kekerasan. Ganda memilih melawan daripada bekerja sama dengan Solimin. Sebagai akibatnya, ia tewas di tangan Solimin. Kematian Ganda mengundang kecurigaan Kaelani. Laporan Solimin yang menyatakan bahwa Ganda mungkin tewas di tangan tentara Ghurka tidak dapat diterima Kaelani. Apalagi bukti-bukti menunjukkan bahwa Soliminlah yang telah membunuh Ganda. Di antara bukti yang menguatkan perbuatan Solimin ialah pipa rokok milik Ganda yang terjatuh di tempat Ganda terbunuh. Dengan siasat yang jitu, Kaelani mengajak Marno, teman dekat Ganda, untuk mengorek keterangan dan pengakuan Solimin. Semula Solimin berbelit-belit berusaha mengelak segala tuduhan Kaelani. Akan tetapi, setelah semua bukti menunjukkan bahwa dirinya telah membunuh Ganda, Solimin mengakui semua perbuatannya di hadapan Kaelani dan Marno. Sebagai hukuman, Kaelani mengajukan dua cara penyelesaian yang harus dipilih Solimin untuk menebus kematian Ganda. Cara yang pertama, Solimin dieksekusi di tempat itu dan disebarkan segala keburukannya serta pengkhianatannya. Cara yang kedua adalah Solimin diperintahkan menyerang markas tentara Inggris dengan granat. Solimin memilih cara yang kedua, menyerang markas tentara Inggris. Walaupun telah memilih salah satu dari dua pilihan itu, Solimin ternyata masih bimbang. Kebimbangan Solimin itu telah diduga oleh Kaelani. Untuk itu, ia mengatakan kepada Solimin bahwa jika Solimin melarikan diri dari tugas itu, Solimin juga akhirnya akan mati di tangan Mobin dan Alwi, dua orang penembak mahir di pasukan itu yang akan menghadang Solimin. Tampak di situ bahwa daerah tak bertuan merupakan daerah antara hidup dan mati. Secara fisik, jelas mengisyaratkan bahwa daerah tak bertuan mengandung berbagai kemungkinan. Di daerah itu tidak ada aturan hukum. Barang siapa yang tegar akan memiliki kemungkinan untuk tetap bertahan dan hidup. Pak Mantri gugur karena ketuaannya dan ketidakmampuannya menggunakan pistol. Ganda mati ditikam Solimin karena ia kurang waspada dan salah perhitungan. Solimin mati karena ketamakannya dan pengingkarannya kepada hakikat perjuangan bangsanya. Kaelani dapat tetap hidup karena ia menggunakan nalar dan batinnya. Sebenarnya, ia dengan mudah dapat membunuh Solimin. Akan tetapi, perhitungan cermat menyebabkan Kaelani memberikan dua pilihan bagi Solimin untuk menebus dosanya. Bagi Kaelani, perjuangan adalah segala-galanya. Untuk itu, persatuan dan kekompakan pasukan ia utamakan. Dengan demikian, makna kata daerah tidak bertuan sangat kompleks. Pada daerah itulah hidup kita ditentukan di antara hidup dan mati. Menurut Jakob Sumardjo (1979) "Memang konflik batin lima tokoh utamanya digambarkan dengan jelas dan realistis, tetapi konflik-koflik batin yang personal tadi tidak terkait dalam konflik utama cerita."

Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Daerah_Tidak_Bertuan | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

EXSPEDISI TERAKHIR / 1964

 
 
Film ini sempat terhenti pembuatannya. Kelanjutannya dilakukan dengan penggantian sutradara SJAHRIL GANI  dan juru kamera.


GEMA MASA FILM
DICKY ZULKARNAEN
RENDRA KARNO
RATNO TIMOER
SUKARNO M. NOOR
MIEKE WIJAYA
FAROUK AFERO
SALIM SURAPATI
TATANG
S. PARYA
ANNEKE ZAINUDDIN

NJI RONGGENG / 1969

NJI RONGGENG

 
Rasanya ini film terbaik Alam Surawidjaja.
Di tengah persaingan dua kampung, Cigugur dan Cijulang, di saat menjelang pemilihan lurah, serombongan ronggeng dengan primadona Sari (Chitra Dewi), mangkal di lapangan kecamatan. Sari ini dicintai dan mencintai Dadang (Dicky Zulkarnaen), anak Tua Kampung Cijulang, yang hendak merebut jabatan lurah. Di pihak lain, Ohim (Sandy Suwardi Hassan), anak Tua Kampung Cigugur, sangat ngebet dengan Sari. Apalagi ia hampir dipermalukan di pentas ronggeng, karena tak berhasil menaklukkan Sari dengan memegang sanggulnya sesuai syarat. Ayah Dadang marah besar pada hubungan Dadang dengan Sari, karena itu bisa mempengaruhi keinginannya jadi lurah. Rakyatnya juga tak suka, apalagi kabar pacaran itu sengaja dihembus-hembuskan pihak lawan, Tua Kampung Cigugur. 
 
Dadang seperti tak perduli. Pemuda ini dilukiskan rajin kerja dan santun. Kontras sekali dengan Ohim yang sok jago dan doyan perempuan. Dia makin penasaran dengan Sari, karena ternyata Sari ini tidak seperti ronggeng biasa yang gampang dibeli lelaki, seperti yang dilakukan teman-temannya. Trauma masa lalu tentang ibunya, ronggeng juga, yang mati karena diperebutkan lelaki, membentuk sikap Sari. Puncak persaingan terjadi dalam pesta rakyat. Dalam semua permainan desa Cigugur kalah, maka Ohim menantang main ujungan. Kali ini dia menang.. sampai datang Dadang yang mengalahkannya. Ohim tetap tak terima, hingga hampir terjadi pertumpahan darah. Sari datang menengahi dan menyalahkan para tua yang haus kekuasaan. Dengan itu film ini hendak menunjukkan bahwa tidak boleh memukul rata ronggeng, di samping ingin mempertunjukkan adat dan kesenian Sunda. Termasuk berhasil menyuguhkan erotisme dan sensualitas Ronggeng.
DEWAN PRODUKSI FILM NASIONAL

CHITRA DEWI
DICKY ZULKARNAEN
SANDY SUWARDI HASSAN
A. HADI
HADISJAM TAHAX
HASSAN SANUSI
MANSJUR SJAH
A. HAMID ARIEF
SYAMSUDDIN SYAFEI
S. PARYA
JEFFRY SANI
TATTY SALEH

BANDUNG LAUTAN API / 1974

BANDUNG LAUTAN API


Ini film Doku Drama, produksi Kodam Siliwangi menulis: Film semacam ini kurang menguntungkan secara komersial. Karena itu ditempuh jalan kompromi; setelah dokumentar, selebihnya khayalan. Hasilnya ya begitulah. Dan Alam R.Surawijaya yang menyutradarai terpaksa tidak sanggup mengimbangi karyanya terdahulunya, "perawan Di Sektor Selatan.."

Kisah berlatar belakang peristiwa 24 Maret 1946 di Bandung, yang membuat kota ini seperti lautan api. Adegan peperangan antara Indonesia-Belanda ini menyita sebagian besar film. Sisanya merupakan kisah konflik Nani (Christine Hakim), gadis Palang Merah, yang menaruh hati pada Priyatna (Arman Effendy), bekas perwira Peta. Sementara itu Nani sendiri ditaksir oleh Hidayat (Dicky Zulkarnaen), komandan kompi, komandannya Priyatna juga. Kisah kecil di balik peperangan ini berakhir dengan meninggalnya Hidayat.

Tetapi film ini jadi menarik karena Kodam Siliwangi memegang peranan besar. Hal yang sama juga terjadi pad film "Mereka Kembali"

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada bulan Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda menguasai kota tersebut. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946. Kol. Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota dan malam itu pembakaran kota berlangsung. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih diperdebatkan.
News
05 April 1975
Bandung lautan api
Bandung Lautan Api Cerita: Lukman Madewa Skenario: H. Misbach Jusa Biran Sutradara: Alam Rengga Surawidjaja *** BANDUNG lautan Api diproduksi oleh Kodam Siliwangi. Sudah jelas niatnya mengungkapkan kembli apa yang sebenarnya telah terjadi di masa revolusi. Film macam ini biasanya kurang menguntungkan secara komersiil, karena itu maka ditempuh jalan kompromi: setengah dokumenter, selebihnya khayalan Hasilnya, ya, begitulah. Dan Alam Rengga Surawidjaja yang menyutradarainya terpaksa tidak Sanggup mengimbangi karya terdahulunya: Perawan Di Sektor Selatan. Kendatipun demikian, film ini toh merupakan tontonan yang menarik, terutama bagi mereka yang masih berminat mengintip sejarah Bandung dan Siliwangi di masa revolusi. Komposisi skenario ditatah dengan rapi oleh Haji Misbach Jusa Biran, sehingga pemunculan tokoh-tokoh sejarah Bandung dan Siliwangi A.H. Nasution Aruji Kertawinata, Sutoko dan lain-lain -- berjalan paralel dengan tokoh-tokoh fiktif cerita yang disusun oleh Lukman Madewa. Dan cerita memang berkembang melalui konflik-konflik tokoh-tokoh khayalan macam Hidayat (Dicky Zulkarnaen), Nani (Christine Kakim), Priyatna (Arman Effendy) dan Jarot (Rofie Prabanca). Meskipun kehidupan dan konflik pribadi tokoh-tokohnya tidak dalam terselami oleh Alam Surawidjaja (sebagai yang ia lakukan dalam Perawan Di Sektor Selatan ) tapi perkembangan cerita masih juga sempat terdukung oleh perkembangan watak tokoh-tokohnya. 


Film bermula dengan sikap Hidayat yang penakut dan sinis sembari menaruh hati pada Nani. Sebagai umumnya film perang buatan Indonesia, tokoh wanita ini senantiasa menjadi penggerak cerita, sebagai yang dibuktikan lagi oleh tokoh Nani dalam film ini.

Di akhir cerita Hidayat tewas. Tokoh lain adalah perwira bekas Heiho, Priyatna. Hubungannya dengan Nani memanaskan hati Hidayat. Tapi konflik di antara mereka tidak sampai keluar rel perjuangan, sehingga tidak ada masaalah pengkhianatan. Yang terjadi malah sebaliknya, berlomba-lomba membuktikan kejantanan. Tokoh lain alalah Jarot. Bekas prajurit yang pernah bertempur di Birma, ini tidak tahu banyak kecuali bertempur. Ia jujur, polos, jantan dan penuh kesetiaan. Mendapatkan perintah membereskan para pengkhianat, ia menembak mati semua yang hadir dalam rumah, termasuk ayah Nani. Tahu bahwa Nani bukan mata-mata, ia menyediakan dirinya menjadi umpan peluru Priyatna. Jalinan konflik, usaha menghidupkan kejadian sebenarnya, adegan-adegan pertempuran yang dikerjakan dengan baik (barangkali terbaik dalam sejarah film Indonesia), semua itu merupakan alasan untuk menyebut film ini sebuah tontonan yang mengasyikkan. Tentu akan lebih baik lagi sekiranya Alam Surawidjaja masih punya cukup waktu untuk memperhalus skenario sehingga beberapa dialog terucapkan tidak bagaikan di panggung sandiwara. Haji Misbach yang menuliskan kalimat-kalimat pada skenario itu barangkali belum membayangkan saat opnamenya. Tapi ketika berada di tempat lokasi, menyesuaikan dengan tokoh, tempat dan waktu mengucapkannya, sutradara sebenarnya bisa menghindari kesan deklamasi macam yang dipertontonkan oleh seorang nenek menggendong cucu di adegan terakhir. Film dengan tema-tema heroik dengan dialog yang hebat-hebat memang mudah jatuh dari media slogan, jika sutradara kurang hati-hati. Kurang hati-hati juga terpaksa dialamatkan pada juru rias yang menghasilkan tentara gurka yang berdandan kurang rapi. Keadaan macam ini kadang-kadang mengganggu mata yang sedang asyik dengan adegan-adegan pertempuran yang dikerjakan nyaris sempurna.

Tapi yang jelas jauh dari kesempurnaan adalah pekerjaan laboratorium di Hongkong, pencetakan film maupun pengisian suara. Salim Said.

CHEQUE AA / 1966

CHEQUE AA
Ahmad dan Nuri bekerja di bank yang sama di Jakarta. Ahmad mencintai Nuri, tapi Nuri jatuh cinta pada Yanto dari Bandung. Padahal hati Yanto tertarik pada Lila, sementara Lila terpikat pada Darso, adik Nuri. Cinta segi lima ini bertambah rumit dengan hilangnya cek milik ayah Lila. Bank menugaskan Ahmad untuk mengusut hilangnya cek.
 SANGGAR KARYA FILM
BANK BUMI DAYA

RACHMAT HIDAYAT
NOORTJE SUPANDI
DJOHAN SUBANDRIO
AJU TRISNA
ALFIAN
BUNG SALIM
SHINTA DUNGGA
MIMI MARIANI

JANUR KUNING / 1979






SYNOPSIS
Film Janur Kuning di buat untuk mengenang mereka yang telah tiada semasa perjuangan merebut kembali kemerdekaan Republik Indonesia. Film Perjuangan yang saat ini sudah sangat susah sekali untuk di temui di TV.

Jenderal Sudirman (Deddy Soetomo) meski dalam kondisi sakit dan ditandu namun ia masih memimpin perang gerilya. Jenderal Sudirman meragukan perjalanannya ke Jogya karena kuatir perjanjian Roem Royen akan sama dengan perjanjian-perjanjian sebelumnya. Namun Letnan Suharto(Kaharuddin Syah) meyakinkan Jenderal Sudirman untuk memasuki kota Jogya karena Belanda telah kalah perang. Apalagi Presiden dan wakil presiden telah kembali ke Jogya hanya tinggal TNI yang belum kembali ke Jogya. Kalau Jenderal Sudirman menolak kembali Ke Jogya maka pemerintahan akan timpang dan tidak berjalan. Akhirnya Jenderal Sudirman luluh dan mau dibawa ke Jogya dengan ditandu.

Dalam upacara ketika memeriksa barisan prajurit TNI, Jenderal Sudirman menghampiri seorang prajurit gagah berani benama Komarudin. Komarudin meminta maaf pada Jenderal Sudirman karena ia pernah melakukan kesalahan dalam menghitung hari, namun sebagai seorang prajurit yang gagah berani, ia dianggap tidak bersalah oleh Jenderal Sudirman. Dalam pidatonya Jenderal sudirman menekankan kalau kita adalah cinta damai namun lebih cinta Kemerdekaan dari Belanda yang telah membuat persatuan dan kesatuan Indonesia bercerai berai. Dalam kondisi sakit Jenderal Sudirman tidak bisa tenang, ia tidak habis piker kenapa Belanda membatalkan perjanjian Renville. Sementara Jenderal Sudirman kalau boleh memilih ia akan mati di medan perang di bandingkan ia harus mati di tempat tidur.



****

Di kediamannya Istri Suharto, Siti Hartinah yang sedang hamil tua memiliki perasaan yang tidak enak. Ia menanyakan apakah latihan perangnya jadi atau tidak.  Namun Suharto meyakinkan kalau perasaan itu adalah bawaan bayi.

Sementara itu rakyat Jogya di kejutkan dengan suara raungan kapal terbang di atas langit Jogya. Termasuk juga dengan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Suharto yang di buat kaget. Pada awalnya penduduk mengira kalau itu adalah latihan perang, namun Suharto segera tanggap dan meminta istrinya untuk menyiapkan perlengkapan. Suharto segera mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya ia mengambil kesimpulan kalau Belanda ingin merebut lapangan terbang Maguwo.

Suharto memerintahkan untuk menyiarkan melalui RRI Jogya dengan poin-poin sebagai berikut :  Kita telah di serang, Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang Kota Jogyakarta dan lapangan terbang Maguwo(lebih di kenal dengan Agresi Militer Belanda 2), Angkatan Perang Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata dan terakhir Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah diadakan u ntuk menghadapi serangan Belanda. Suharto pun berharap agar Pasukan Siliwangi turut berjuang untuk mempertahankan ibukota Republik Indonesia ini. (Jogya kala itu, skg Ibukota Indonesia adalah Jakarta). Namun sayang sekali Pasukan Siliwangi telah ditarik kembali ke Jawa Barat.

Akhirnya terjawab sudah oleh Suharto, perasaan tidak enak yang di alami oleh istrinya adalah karena Ibukota akan di serang. Akhirnya Istri Suharto disuruh untuk mengungsi, sementara itu Jenderal Sudirman disinyalir sudah keluar dari istana Jogyakarta. Sedangkan Suharto menyuruh anak buahnya untuk membakar markas setelah dokumen-dokumen penting telah ia singkirkan.

Baku tembak antara pasukan TNI dengan Belanda pun terjadi. Belanda bergerak memasuki ibukota. Demi perjuangan, maka Jenderal Sudirman untuk sementara waktu di suruh menyingkir dari Jogya. Sedangkan Suharto mencoba memberi perlawanan terhadap Belanda. Jenderal Sudirman tidak mengira kalau Belanda menyerang Belanda dari Maguwo. AKhirnya demi perjuangan, Jenderal Sudirman pun menyingkir dari Jogya. Rakyat pun di buat kalang kabut akibat pendudukan Belanda di Ibukota Jogyakarta. Sementara dari pihak Indonesia jatuh banyak korban dari para pejuang. Pos Pertolongan pun terpaksa di didirikan di pinggiran kota karena kuatir Belanda akan segera memasuki kota. Yang menonjol, Di Indonesia memiliki prajurit yang gagah berani bernama Komarudin. Ia menantang Belanda dengan dadanya.

Belanda berhasil menduduki kota Jogya. Untuk mengamankan jika terjadi keadaan yang darurat, Presiden Sukarno kekuasaan kepada  menteri kemakmuran untuk membentuk pemerintahan di Sumatera Barat jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat di Ibukota, maka pemerintahan akan di pindahkan ke Sumatera Barat. Akibat pendudukan Belanda, rakyat menjadi susah dibuatnya, orang-orang yang dicurigai sebagai TNI di tangkap.  Sedangkan Suharto dan anak buahnya terus melanjutkan perang gerilya. Dengan menyamar sebagai petani Suharto dan anak buahnya dengan berjalan kaki menyingkir dari kota Jogya melalui hutan-hutan sambil memberikan perintah setiap singgah di komandan perang di sector yang di lewati. Suharto juga menyiapkan strategi untuk membuat serangan balasan terhadap Belanda.

Pasukan Belanda semakin bertindak sewenang-wenang terhadap warga pribumi yang tidak tahu apa-apa. Yang dianggap ekstrimis ditangkap. Dalam pelariannya pasukan yang di pimpin Suharto berhadapan dengan prajurit Belanda. Dalam baku tembak yang terjadi dengan Belanda, Suharto di isukan mati tertembak. Hingga membuat kemarahan prajuritnya. Namun isu tersebut tidak berlangsung lama, karena Suharto akhirnya muncul ditengah-tengah mereka.

Sementara itu Belanda terus berusaha memecah belah penduduk dengan membuat kekacauan. Belanda dibantu oleh pengkhianat-pengkhianat bangsa melakukan kegiatan yang meresahkan masyarakat. Rakyat yang sudah menderita dari kekejaman Belanda, namun masih ditambah menderita dengan ulah para pengkhianat bangsa. Sementara itu SUharto menyiapkan Serangan balasan kepada pihak Belanda. Untuk menandai serangan yang kedua, maka tanda yang akan di gunakan adalah Janur Kuning.



 
*******
Suharto menerima surat dari Istrinya yang mengabarkan bahwa ia akan segera melahirkan. Disaat demikian sebenarnya ia ingin di temani oleh suaminya, Suharto, namun mengingat tugas Suharto yang berat maka ia pun mengerti dan mendukung perjuangan Suharto.

Untuk menyusun strategi penyerangan, Suharto mengkoordinasikan rencana penyerangan secara matang. Rencana penyerangan akan di lakukan pada 1 Maret 1949.  untuk menyemangati perjuangan rakyat, Suharto memberikan keyakinan kalau Indonesia masih mampu. Suharto ingin menunjukkan pada dunia kalau Indonesia masih memiliki angkatan perang yang tangguh. Untuk memberi tanda pada serangan nanti, maka Suharto menyuruh untuk memakai tanda Janur kuning yang di kalungkan. Dengan di Bantu oleh elemen masyarakat dan TNI yang bersatu , maka Serangan umum 1 Maret 1949 pun terjadi. Indonesia memiliki seorang pejuang yang gagah berani dan tidak takut mati seperti Komarudin. Meski seringkali bertindak di luar kendali namun keberanian yang ditunjukkan untuk membela Indonesia membuat prajurit yang lain ikut bersemangat.

Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan belanda yang di pimpin oleh Kolonel Van Langen Kocar Kacir. Pasukan Indonesia terus maju dan memukul jantung pertahanan Belanda. Akhirnya pertempuran selama 6 Jam di Jogya membuahkan hasil bagi Indonesia. Jogya kembali di kuasai oleh RI.

 P.T. METRO 77

KAHARUDDIN SYAH
DEDDY SUTOMO
DICKY ZULKARNAEN
DIAN ANGGRIANIE D
NUNIEK GUNADI
SENTOT HS
PONG HARDJATMO
AMAK BALDJUN
AZWAR AN
ANNY KUSUMA
GINO MAKASUTJI