Tampilkan postingan dengan label ALBERT BALINK 1937-1935. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ALBERT BALINK 1937-1935. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Februari 2011

PAREH, HET LIED VAN DER RIJST / 1935


PAREH, HET LIED VAN DER RIJST
PAREH, DE MACHT VAN DE KRIS
PAREH
PAREH, SONG OF THE RICE

Film ini di Sutradarai oleh ALBERT BALINK dan MANNUS FRANKEN
Cameraman: MANNUS FRANKEN dan JOSHUA WONG
JAVA PACIFIC FILM

RD MOCHTAR
DOENAESIH
SOEKARSIH
T. EFFENDY
ROEGAYA


Kisah Mahmud (Rd. Mochtar), seorang pemuda dari kampung nelayan dan cintanya pada Wagini (Doenaesih), gadis petani. Sawah, pengunungan dan pemandangan alam melatarbelakangi kisah cinta ini, disertai lagu dan berbalas pantun.

Judul lain: "Het Lied van de Rijs", atau Nyayian Padi.
Judul Pareh yang dipakai di film ini maksudnya adalah padi dalam bahasa Sunda. Tahun produksinya diambil menurut riwayat hidup Mannus Franken dalam buku "Mensch en Kunstenaar". Pertunjukan perdana di bioskop Odeon Theater, Den Haag, 20/11, 1936. Perkenalan pertama Rd Mochtar dan Soekarsih. Mereka menikah setelah pembuatan film "Terang Boelan" (1937). Pasangan ini awet hingga kakek-nenek.



FULL MOVIE


Zie ook: Pareh, een Rijstlied van Java
Romance

Indonesië, 1936, 75 min.
Scenario: Albert Balink, Mannus Franken Camera: Mannus Franken Productie: Java Pacific Film 

Regie: Albert Balink , Mannus Franken
Met: Doenaesih (Wagini), T. Effendy , R.D. Mochtar (Kisah Mahnud), Roegaya , Soekarsih

Geef je mening over "Pareh".
Zie ook: Pareh, een Rijstlied van Java

Pareh (dalam bahasa Sunda berarti "beras"), dirilis di luar negeri dengan judul Pareh, Song of the Rice, adalah sebuah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1936. Film ini disutradarai Albert Balink dan Mannus Franken dari Belanda dan dibintangi oleh aktor amatir pribumi Raden Mochtar dan Doenaesih. Alurnya bercerita tentang cinta terlarang antara seorang nelayan dan putri petani.

Balink mulai mengerjakan film ini pada 1934, bekerja sama dengan Wong Bersaudara selaku sinematografernya. Mereka mengumpulkan dana sebesar 75.000 gulden – lebih besar daripada film-film lokal lainnya – dan memboyong Franken dari Belanda untuk membantu pembuatannya. Film ini disunting di Belanda setelah direkam di Hindia Belanda. Film ini sukses dan disambut hangat oleh penonton Eropa, namun mengecewakan para penonton pribumi; meski sukses, Pareh membuat para produsernya bangkrut.

Pareh menjadi tonggak peralihan dunia perfilman Hindia Belanda yang sudah lama berorientasi pada penonton Tionghoa. Film-film selanjutnya mulai ditargetkan pada penonton setempat. Balink kemudian sukses besar melalui Terang Boelan (1937). Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menganggap Pareh dan Terang Boelan dua karya sinema Hindia Belanda terpenting tahun 1930-an.

Mahmud (Rd. Mochtar), seorang nelayan, jatuh cinta dengan Wagini (Doenaesih), putri seorang petani. Akan tetapi, takhayul yang berkembang saat itu meramalkan hubungan mereka akan membawa petaka. Hal ini seolah benar-benar terjadi setelah keris kepala desa dicuri, tetapi akhirnya Mahmud dan Wagini berhasil bersatu.

Sepanjang 1934 dan awal 1935, semua film fitur yang dirilis di Hindia Belanda diproduseri The Teng Chun, diadaptasi dari mitologi Tiongkok atau seni bela diri, dan ditargetkan pada penonton kelas bawah, umumnya orang Tionghoa-Indonesia. Situasi ini tercipta akibat Depresi Besar yang memaksa pemerintah Hindia Belanda menaikkan pajak, sehingga pengiklan meminta bayaran lebih tinggi, dan bioskop menjual karcis lebih murah. Strategi tersebut berusaha menciptakan margin laba yang sangat rendah bagi perfilman lokal. Pada waktu itu, bioskop-bioskop di Hindia Belanda masih menayangkan film Hollywood.

Albert Balink, seorang jurnalis Belanda, mulai mengerjakan Pareh tahun 1934. Tidak seperti The Teng Chun, Balink yang tidak berpengalaman memutuskan menargetkan filmnya pada penonton Belanda. Ia mempekerjakan dua anggota Wong Bersaudara, pembuat film Tiongkok yang tidak aktif setelah membuat Zuster Theresia (Sister Theresa) tahun 1932.

Wong Bersaudara menyumbangkan studio mereka – pabrik tepung tapioka lama – dan peralatan pembuatan film mereka. Sementara itu, pendanaannya berasal dari pihak lain. Menurut sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran, dananya berasal dari pengusaha perfilman Buse, sedangkan catatan EYE Film Institute menunjukkan bahwa pendanaan film ini dibantu oleh Centrale Commissie voor Emigratie en Kolonisatie van Inheemschen dan bertujuan mempromosikan migrasi dari Jawa ke Sumatra.

Balink dan Wong Bersaudara menghabiskan dua tahun untuk mengumpulkan dana dan Balink ditugaskan memimpin Java Pacific Film, sebuah usaha patungan.[9] Balink justru menginginkan kesempurnaan dan memiliki bayangan jelas tentang aktor yang ia inginkan dalam film tersebut.[9] Tidak seperti pembuat-pembuat film sebelumnya di negara ini, Balink menghabiskan waktu dan uangnya untuk mencari lokasi dan aktor sebagus mungkin tanpa mempertimbangkan apakah ia terkenal atau tidak.

Kebanyakan pemeran Pareh belum pernah berakting sebelumnya.[8] Peran untuk Mahmud terisi saat Balink sedang kumpul-kumpul bersama Joshua dan Othniel Wong. Ia melihat seorang pemuda tinggi, kuat, dan tampan – sesuai yang diharapkannya – sedang mengemudi. Balink memanggil Wong Bersaudara dan mereka langsung mengejarnya. Pria tersebut, Mochtar, seorang priyayi Jawa, diminta memakai gelar Raden untuk film ini. Mochtar dan keluarganya sudah tidak lagi memakai gelar tersebut. Menurut antropolog Indonesia Albertus Budi Susanto, penekanan gelar Mochtar bertujuan menarik penonton kelas atas.

Pengarahan artistiknya dan sebagian penulisan naskahnya ditangani Mannus Franken, seorang pembuat film dokumenter avant-garde asal Belanda yang dibawa Balink ke Hindia Belanda. Franken memaksa agar film ini menyertakan adegan etnografis agar dapat menampilkan budaya lokal secara lebih baik kepada penonton asing. Franken tertarik dengan aspek dokumenter dan etnografi dalam film ini dan menyutradarai adegannya, sedangkan Wong Bersaudara menangani adegan umum. Menurut Biran, pembagian tugas mereka terlihat dari sudut kamera yang digunakan.

Film ini, yang direkam menggunakan film 35 mm dengan peralatan sistem tunggal, dibawa ke Belanda untuk menjalani penyuntingan. Di sana, suara-suara asli pemerannya dialihkan ke suara aktor Belanda, sehingga bahasanya bercampur dan memiliki aksen Belanda yang kental. Sejak awal sampai akhir pembuatannya, Pareh menghabiskan 75.000 gulden (sekitar US$ 51.000), 20 kali lebih banyak ketimbang film reguler lokal. Setelah proses penyuntingan, dihasilkan 2.061 meter film atau sama dengan durasi 92 menit.

Pareh ditayangkan di Belanda dengan judul Pareh, een Rijstlied van Java (dan Het Lied van de Rijst) pada 20 November 1936 dan juga ditayangkan di Hindia Belanda. Film ini gagal mengembalikan biaya produksi dan membuat produsernya bangkrut. Film ini mendapat tanggapan positif di Belanda, sebagian karena keterlibatan Franken. Meski berhasil menarik perhatian kaum intelek Hindia Belanda, Pareh tidak diminati penonton pribumi. Mochtar tidak pernah menontonnya sampai habis. Penulis dan kritikus budaya Indonesia Armijn Pane menulis bahwa Pareh melihat penduduk pribumi Hindia Belanda dari mata Eropa saja dan ini salah besar.

Sejarawan film Amerika Serikat John Lent tahun 1990 mendeskripsikan Pareh sebagai film yang "sangat terperinci dan memakan biaya" yang bertujuan tidak hanya mendapatkan uang, tetapi memperkenalkan budaya setempat. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menganggap Pareh sebagai satu dari dua karya sinematik Hindia Belanda terpenting pada 1930-an; satu lagi adalah film terakhir Balink, Terang Boelan (1937). Heider, John H. McGlynn, dan Salim Said menulis bahwa film ini memiliki kualitas teknis yang masih bisa dimaklumi, tetapi dikenal justru karena mengubah arus perkembangan perfilman di negara ini.

Peluncuran Pareh diikuti oleh pergantian genre yang dipopulerkan oleh bioskop setempat. The Teng Chun, yang terus menjadi satu-satunya pembuat film aktif bersama Balink di negara ini sampai 1937. Mulai beralih ke cerita yang lebih modern dan populer di kalangan pribumi. Biran berpendapat bahwa aksi ini dipengaruhi oleh Pareh. Sejumlah pembuat film lain pada akhir 1930-an yang terinspirasi Pareh mulai memperbaiki kualitas suara pada film-film mereka.

Mochtar dan Soekarsih, yang pertama kali bertemu saat ambil peran dalam Pareh, akhirnya menikah setelah terlibat dalam Terang Boelan. Film tersebut melibatkan pemeran yang sama dan sukses besar, sehingga memunculkan kembali ketertarikan masyarakat terhadap industri perfilman Hindia Belanda. Terang Boelan menjadi film lokal paling sukses sampai Krisis tahun 1953 yang dirilis setelah Indonesia merdeka.

Senin, 31 Januari 2011

ALBERT BALINK 1937-1935



Balink  dengan cepat dapat modal mendirikan perusahan ANIF karena mendapat  dukungan kerjasama dengan perusahan film Belanda, Profilti dan  perusahaan Amerika, RKO Radio Picture. Siaran ANIF pada akhir 1936  menyebutkan kerja sama tersebut serta nama para penggerak usaha besar  ini. Balink duduk sebagai produser, pimpinan kamera Mannus Franken,  laboratorium dipimpin W.G Sips, sedang kakak beradik Wong berada pada  staff kamera. Bahkan ia mengikut sertakan Nelson yang sedang sakit. Wong  bersaudara ini diajaknya karena ia ingin agar Wong mendapat uang banyak  untuk mengganti rugi uang Wong yang sudah habis sewaktu membuat film Pareh.

Perlengkapan suara yang selama ini  menjadikan film Hindia lemah, dibeli dari Paris dan Amerika. Rencananya  ia akan membuat film dokumentar De Spiegel Van Indie (cermin Hindia),  dan rencana peredarannya di Negeri Belanda, dan pemodal ada Amerika RKO  Radio Pictures untuk peredaran Internationalnya. Dan selain itu juga ada  rencana membuat film cerita diantara lainnya Goa Djin, Tanah Wangi,  Boemi Berapi, Terang Boelan, Gogoda dan Tjandoe. Tetapi Balink malah  tertarik bikin film cerita dari pada orderan film dokumentarnya yang  sebelumnya. Maka proyek film dokumentar itu ia berikan pada Mannus  Franken. Sedangkan ia January-Febuary 1937 sudah mulai membuat film  Terang Boelan yang dia pilih dari rencana film yang lainnya. Dan Mannus  Franken tidak ikut dalam pembuatan Terang Boelan ini. Franken  disingkirkan karena film cerita yang akan dibuat ini tidak sesuai dengan  titik utama perhatiannya, yakini pada segi Etnologi dan Dokumentar.


Film Indonesia dimulai dari sini saja, karena di setiap negara juga tidak pernah tahu dari mana mulai sejarah film sebuah negara, karena ini berhubungan dengan jaman kolonialisme, yang dimana Sinema dibawa oleh kaum kolonialis pertamakali ke tanah jajahan mereka. Dan sudah pasti Belanda lah pertama kali yang memperkenalkan Sinema pada orang Indonesia mengingat jamannya saat itu.

Meski pun ia cuma menghasilkan 2 buah film, tetapi namanya menjaditerkenal di kalangan dunia film Indonesia sebelum perang. Karena filmnya menjadi tonggak baru dalam sejarah perfilman Indonesia.

Albert muncul tahun 1934 orang yang berani membuat film dalam kondisi situasi yang pelik tentang perfilman. Orang Belanda ini bukan tidak gentar menghadapi berbagai masalah dalam industri pembuatan film dengan keyakinan penuh bisa menundukan penonton Hindia. Caranya adalah dengan menggoncangkan penonton Hindia dengan film yang hebat. Targetnya bukan penonton kelas kambing dengan mutu film rendah, tetapi dengan penonton bangsa Barat. Yaitu dengan membuat film Pareh dan Terang Boelan dengan merayap di lumpur. Ini sama dengan yang dilakukan oleh The Ten Chung lewat film silat Cina.

Albert adalah wartawan Soematra Post yang terbit di Medan. Belanda totok ini sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam membuat film. Pengetahuannya, kata Wong hanya dari bacaan saja. Misinya dalam membuat film juga tidak tahu, kenapa ia tertarik. Tetapi ia juga yang melontarkan agar membuat film cerita 1926 sama seperti di Birma saat itu.


Mungkin ia melihat kegagalan film saat itu karena produser dan pembuat filmnya membuat film-film yang berbau picisan. Oleh karena itu ia ingin membuat film yang besar yang berbeda dilakukan oleh The Ten Chung. Sponsor utama dalam proyeknya adalah dari F.F.Buse raja bioskop Bandung. Mungkin kepandaian Balink dalam meyakinkan Buse sehingga Buse mau terlibat. Balink adalah tokoh yang penuh semangat dan yakin terhadap gagasannya itu. Sampai ia meninggal 1976 setelah menyaksikan kenyataan yang pahit. Walaupun ia masih terus mencita-citakan sebuah film yang hebat, yang membuat orang tertawa saja.

Ia bekerja sama dengan Wong dalam menyediakan peralatan Studio primitif di Bojong Loa, bekas pabrik tepung Tapioka. Sangat primitf sekali untuk kamar gelap saja hanya dengan menempelkan kertas hitan dan berteduh di bawah pohon. Seluruh modal datang dari Balink, sehingga ia yang berkuasa. Nama perusahaan yang dipakainya adalah JPF milik Balink.

Cerita yang mereka bikin adalah Pareh (kata Sunda), yang artinya padi. Oleh karena itu harus ditambahi dengan Een Rijslied van Java (Lagu padi dari Jawa), cerita yang diangkat adalah seputar pelarangan perkawinan desa pesisir dengan desa pertanian, ceritanya percintaan antara desa pesisir dan desa pertanian dan ditambahi bumbu action. Jadi mirip film-film Krugers yang berbau Etnologi. Walaupun pendekatannya berbeda. Balink menginginkan semuanya serba sempurna. Ia mau pemainnya betul-betul berpotongan ideal dan tempat lokasinya digunakan harus sesuai dengan kebutuhan cerita. Untuk itu dia harus hunting hampir 2 tahun sampai persediaan ua pribadi keluarga Wong ludes. Karena penelitian dan Hunting seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya.

Wong harus ikut hunting bersamanya kepelosok pasundan untuk menemukan tempat yang cocok, tetapi selalu saja ada yang kurang. Begitu juga dengan pemain, ia menghabiskan banyak calon pemain pribumi yang bertubuh tinggi, tegap dan ganteng. Wong sudah hampir putus asa, membuang waktu dan biaya yang gila. Tetapi Balink tetap bertahan.



Pemain yang diinginkan Balink ditemukan secara tidak sengaja saat ia, Joshua dan Otniel sedang menemani Balink minum kopi di depot. Balink teriak senang sampai Otniel dan Joshua terkejut. Peria itu ia temukan. Tetapi peria itu melintas dewngan sepeda motor, dan mereka mengejarnya dengan mobil. Melihat pemuda itu dikejar oleh orang pakai mobil dan didalamnya ada Belanda totok, maka pemuda itu melarikan diri karena takut akan Homo Seksual (saat itu sedang ramainya homoseksual). Setelah ditemukan, Balink masih kurang puas juga, Mochtar nama pemain itu harus diberi gelar ningrat. Mochtar memang berdarah bangsawan, tetapi orang tuanya meninggalakan masalah darah biru itu karena urusan politis. Dan Balink ingin Mochtar harus memakai gelar ningratnya lagi. Balink sendiri menyelusuri gelar itu dan Mochtar memang berhak menyandang gelar Raden lagi. Dan Balink ingin Mochtar jadi Rd.Mochtar. Jadilah pemuda ini terkenal.

Untuk menjamin artistik film ini Balink mendatangkan Mannus Franken dari negeri Belanda. Franken menyatakan bahwa agar film ini bukan saja menjadi daya tarik orang Pribumi tetapi bagi Bangsa Eropha dan Amerika. Makanya film harus mengungkapkan kehidupan sebuah bangsa, karena sebahagian orang masih merupakan buku/ yang tertutup. Dipihak lain film ini bertujuan untuk membuat pandangan baru bagi bangsa melayu, beda dengan film-film Amerika dan Eropha yang selalu menampilkan percerian, rasa hormat pada Gangser, pesta Coctail, dan kenikmatan berlebihan dari bangsa kulit putih.

Dalam pembuatan film ini Franken jarang hadir. Menurut Joshua, Franken memnguasai kamera hanya tertarik dengan shot-shot yang artistik saja bersifat dokumentar. Franken merundingkannya dengan Balink di rumah, oleh karena itu Balink meneruskan ide itu pada Wong karena Balink tidak menguasai kamera. Shotnya sudah banyak dan tidak Statis lagi sifatnya seperti film Wong sebelumnya, karena ada tangan Franken. Karena itu dititle film Franken dimasukan dalam juru kamera bersama Joshua dan Otniel Wong.

Pencucian film dan editing dilakukan di Belanda, Franken dikirim untuk mengatur semuanya. Dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, juga ilustrasi musik dibuat disana.

Dan demi kepentingan komersial, terutama bagi masyarakat Belanda nama Albert Balink dalam Title film dinomor duakan. Oleh karena itu tidak ada yang disebut sutradara dalam title film tetapi hanya Film Dari Mannus Franken-Albert Balink. Yang dicantumkan dalam penulis cerita Balink.

Film ini dihargai bagi kaum Intelek, mendapat pujian yang paling tinggi bagi film Indonesia. Cuma modalnya terlalu tinggi. Di Belanda sendiri film ini masuk dalam film Klasik, karena berkaitan dengan nama Mannus Franken. Namun tetap saja modal yang dikeluarkan besar sehingga sangat sulit untuk balik modal. Film ini hanya tertarik bagi golongan atas saja, sedangkan Pribumi tidak tertarik karena terasa asing. Bahkan Rd MOchtar sendiri tidak menonmton film ini keseluruhan karena baginya terasa asing dimata Pribumi.

Anggaran film ini 20 kali dari anggaran film yang wajar saat itu. Biaya itu wajar bagi kerja keras Balink yang ingin sempurna. Belum lagi honor Mochtar perbulan yang cukup besar, 3 kali lebih gaji Asisten Wedana/perbulan. Balink melakukan sesuatu yang besar dan juga dengan taruhan yang besar. Walaupun akhirnya keuangan Wong ludes selama 2 tahun berproduksi.
 
Setelah film Pareh JPF bangkrut. Lalu Balink ke Batavia untuk mencari modal lagi. Beberapa kemudian Balink telah berhasil mendapatkan modal dan meyakinkan Escompto Bank dan perusahaan pelayaran Rotterdamsche Lloyd, dengan gagasan membuat film-film dokumentar tentang Hindia terutama untuk diputar di Holland. Dan lalu mendirikan perusahan baru ANIF (Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat). Hal ini disebabkan perhatian Belanda terhadap film dokumentar dan upaya untuk menggali banyak objek di Hindia. Sejak dulu belum ada yang betul-betul berhasil. Padahal perusahaan film asing UFA (Jerman) dan Pathe (perancis) atau Universal (Amerika) telah sejak dulu menarik keuntungan dari objek dokumentar yang kaya dan unik di negara tropis jajahan Belanda ini.

Yang menguntungkan Balink dalam meyakinkan pemilik modal ini adalah karena tahun 1934 ia pernah menyajikan film dokumentar yang cukup menarik perhatian pemerintah Belanda, De Merapi Dreigt (Gunung Merapi Mengancam) produksi Java Pasifik Film. SEbelum film Pareh, Balink dan Wong membuat film dokumemntar ini. Film yang disebut sebagai film bicara pertama yang dibuat di Hindia Belanda ini (maksudnya tentu untuk jenis film dokumentar). Banyak yang memuji film dokumentar itu baik, penyuntinganya yang baik, tanpa banyak pretensi, dan skenario yang di rencanakan secara matang. Ia dibantu oleh Mannus Franken juga.


22 Desember 1936, film berita pertama buatan ANIF sudah bisa di putar di Den Haag Belanda. Film ini isinya keramaian dilapangan Waterloo (lapangan banteng sekarang) dibawah pimpinan Indo Eropean Verbond, peserta pertandingan, pawai ke Istana Gubernur Jendral, Pasar Gambir (semacam Pekan Raya), penghormatan Gubernur Jendral baru dan sebagainnya. Film ini dinilai sebagai pengerat persatuan Belanda dan Hindia.

Balink dengan cepat dapat modal mendirikan perusahan ANIF karena mendapat dukungan kerjasama dengan perusahan film Belanda, Profilti dan perusahaan Amerika, RKO Radio Picture. Siaran ANIF pada akhir 1936 menyebutkan kerja sama tersebut serta nama para penggerak usaha besar ini. Balink duduk sebagai produser, pimpinan kamera Mannus Franken, laboratorium dipimpin W.G Sips, sedang kakak beradik Wong berada pada staff kamera. Bahkan ia mengikut sertakan Nelson yang sedang sakit. Wong bersaudara ini diajaknya karena ia ingin agar Wong mendapat uang banyak untuk mengganti rugi uang Wong yang sudah habis sewaktu membuat film Pareh.
 

Sesuai dengan semangatnya, studio didirikan bangunan baru yang hebat diwilayah Jatinegara (sekarang menjadi PFN). Perlengkapan suara yang selama ini menjadikan film Hindia lemah, dibeli dari Paris dan Amerika. Rencananya ia akan membuat film dokumentar De Spiegel Van Indie (cermin Hindia), dan rencana peredarannya di Negeri Belanda, dan pemodal ada Amerika RKO Radio Pictures untuk peredaran Internationalnya. Dan selain itu juga ada rencana membuat film cerita diantara lainnya Goa Djin, Tanah Wangi, Boemi Berapi, Terang Boelan, Gogoda dan Tjandoe. Tetapi Balink malah tertarik bikin film cerita dari pada orderan film dokumentarnya yang sebelumnya. Maka proyek film dokumentar itu ia berikan pada Mannus Franken. Sedangkan ia January-Febuary 1937 sudah mulai membuat film Terang Boelan yang dia pilih dari rencana film yang lainnya. Dan Mannus Franken tidak ikut dalam pembuatan Terang Boelan ini. Franken disingkirkan karena film cerita yang akan dibuat ini tidak sesuai dengan titik utama perhatiannya, yakini pada segi Etnologi dan Dokumentar.

TERANG BOELAN FULL MOON EILAN DER DROOMEN, HET / 1937

TERANG BOELAN


Terang Boelan adalah film yang semata-mata berorientasi pada selera publik pribumi, tidak berpotensi untuk seni atau mengemban idealisme. Untuk itu ia mengajak Joshua dan Othniel Wong. Setingan cerita tentang asmara yang terbataskan oleh wilayah, singapura, malaka dan pulau Sawoba. Gaya penampilan film ini amat dekat dengan gaya film yang dibintangi Dorothy Lamour yang masa itu sedang popular, kehidupan orang primitif yang ada di Hawaii. Perempuan di pulau Sawoba juga sama berpakainannya dengan primitif di Hawai, yaitu mengenakan sarung hingga sampai dada, dan juga keindahan alamnya sama seperti di Hawaii dalam film Dorothy Lamour itu. Dan juga perahu kayu yang panjang juga bentuk rumahnya yang sama seperti di Hawaii. Ceritanya Romantisme, perkelahian, nyanyian dan lawak. Tujuannya adalh untk mengibur dengan baik penonton yang kehidupan sehari-harinya yang penat. Karena ini diambil dari panggung maka pemainnya juga pemain panggung termasuk Roekiah yang artis panggung dan penyanyi keroncong yang cukup terkenal saat itu. Ismail Marzuki juga ikut membantu untuk musik para pemainnya yang bernyanyi termasuk juga Rd Mochtar yang tidak bisa menyanyi. Dan hasilnya film Terang Boelan mendapat sambutan yang luar biasa dari seluruh pelosok.


Kasim (Rd Mochtar) dan Rohaya (Roekiah) berjanji untuk saling cinta dan setia, tapi bapak Rohaya, seorang pendeta (Muhin), menjodohkan anaknya dengan Musa (ET Effendi), seorang penyelundup. Sebelum pernikahan berlangsung, Rohaya lari bersama Kasim dari pulau tempat kediamannya, Sawoba, ke Malaka (Malaysia). Di sana mereka bertemu dengan Dullah (Kartolo). Kebahagiaan mereka tidak lama, karena terlihat oleh Musa, yang sebagai penyelundup candu menyamar jadi orang Arab bernama Syekh Ba' Abul. Datanglah bapak Rohaya yang membawa anaknya pulang. Kasim menyusul ke Sawoba, dan belakangan muncul pula Dullah, membantu. Kasim berhasil melumpuhkan Musa dalam suatu perkelahian seru.

Peredarannya juga ke Singapura dan mendapatkan keuntungan besar selama dua bulan. Sukses komersial yang dicapai film ini ternyata tidak menggembirakan hati pendiri ANIF, karena bertolak belakang ide awalnya yang membuat film dokumentar. Juga mutunya jelek tidak artistik dan jauh beda dengan film Pareh. Terang Boelan mengutamakan hiburan dari pada artistik, karena mutu rendah dan selera rendah untuk memenuhi tuntutan yang ingin bermimpi, bukan berfikir. Maka pemimpin ANIF memutuskan untk berhenti membuat film cerita. Lalu Balink dan Wong keluar dari ANIF, dan Balink meneruskan impiannya itu ke Amerika untuk membuat film yang hebat. Walaupun di Amerika ia gagal hanya menjadi wartawan saja, tetapi semangatnya tetap ada hingga ia mengingal di Amerika 1976 usia 69 tahun.

Dalam selebaran propagandanya, disebutkan Sawoba adalah pulau yang tak kalah indahnya dengan pulau Hawaii. Padahal, pulau itu cuma khayalan yang diambil dari SA(eroen), WO(ng), BA(link). Film laris pertama dan dijual kepada RKO Singapura dan dalam dua bulan peredaraannya menghasilkan S$ 200.000. Lahirlah pasangan romantis pertama, Rd Mochtar - Roekiah. Roekiah adalah istri Kartolo, yang kemudian lahir Rachmat Kartolo, biduan, pemeran dan sutradara. Film laris pada 1938.
 ANIF

ROEKIAH
RD MOCHTAR
EFFENDI E.T.
TJITJIH
MUHIN
KARTOLO

News
Film Terang Boelan 1937.
Terang  Boelan adalah film yang semata-mata berorientasi pada selera publik  pribumi, tidak berpotensi untuk seni atau mengemban idealisme. Untuk itu  ia mengajak Joshua dan Othniel Wong. Setingan cerita tentang asmara  yang terbataskan oleh wilayah,  singapura, malaka dan pulau Sawoba. Gaya penampilan film ini amat dekat  dengan gaya film yang dibintangi Dorothy Lamour yang masa itu sedang  popular, kehidupan orang primitif yang ada di Hawaii. Perempuan di pulau  Sawoba juga sama berpakainannya dengan primitif di Hawai, yaitu  mengenakan sarung hingga sampai dada, dan juga keindahan alamnya sama  seperti di Hawaii dalam film Dorothy Lamour itu. Dan juga perahu kayu  yang panjang juga bentuk rumahnya yang sama seperti di Hawaii. Ceritanya  Romantisme, perkelahian, nyanyian dan lawak. Tujuannya adalh untk  mengibur dengan baik penonton yang kehidupan sehari-harinya yang penat.  Karena ini diambil dari panggung maka pemainnya juga pemain panggung  termasuk Roekiah yang artis panggung dan penyanyi keroncong yang cukup  terkenal saat itu. Ismail Marzuki juga ikut membantu untuk musik para pemainnya yang bernyanyi termasuk juga Rd Mochtar yang tidak bisa menyanyi.

Dan hasilnya film Terang Boelan mendapat sambutan yang luar biasa dari seluruh pelosok. Kasim (Rd Mochtar) dan Rohaya (Roekiah) berjanji untuk saling cinta dan  setia, tapi bapak Rohaya, seorang pendeta (Muhin), menjodohkan anaknya  dengan Musa (ET Effendi), seorang penyelundup. Sebelum pernikahan  berlangsung, Rohaya lari bersama Kasim dari pulau tempat kediamannya,  Sawoba, ke Malaka (Malaysia). Di sana mereka bertemu dengan Dullah  (Kartolo). Kebahagiaan mereka tidak lama, karena terlihat oleh Musa,  yang sebagai penyelundup candu menyamar jadi orang Arab bernama Syekh  Ba' Abul. Datanglah bapak Rohaya yang membawa anaknya pulang. Kasim  menyusul ke Sawoba, dan belakangan muncul pula Dullah, membantu. Kasim  berhasil melumpuhkan Musa dalam suatu perkelahian seru.

Sukses  komersial yang dicapai film ini ternyata tidak menggembirakan hati  pendiri ANIF, karena bertolak belakang ide awalnya yang membuat film  dokumentar. Juga mutunya jelek tidak artistik dan jauh beda dengan film  Pareh. Terang Boelan mengutamakan hiburan dari pada artistik, karena  mutu rendah dan selera rendah untuk memenuhi tuntutan yang ingin  bermimpi, bukan berfikir. Maka pemimpin ANIF memutuskan untk berhenti  membuat film cerita. Lalu Balink dan Wong keluar dari ANIF, dan Balink  meneruskan impiannya itu ke Amerika untuk membuat film yang hebat.  Walaupun di Amerika ia gagal hanya menjadi wartawan saja, tetapi  semangatnya tetap ada hingga ia mengingal di Amerika 1976 usia 69 tahun.

Dalam selebaran propagandanya, disebutkan Sawoba adalah pulau yang tak  kalah indahnya dengan pulau Hawaii. Padahal, pulau itu cuma khayalan  yang diambil dari SA(eroen), WO(ng), BA(link). Film laris pertama dan  dijual kepada RKO Singapura dan dalam dua bulan peredaraannya  menghasilkan S$ 200.000. Lahirlah pasangan romantis pertama, Rd Mochtar -  Roekiah. Roekiah adalah istri Kartolo, yang kemudian lahir Rachmat  Kartolo, biduan, pemeran dan sutradara. Film laris pada Foto  koleksi Sinematek Indonesia  memperlihatkan adegan Film Terang Boelan  produksi 1937, yang dalam  Belanda bernama Het Eilan der Droomen. Film  ini disutradarai Albert  Balink dan skenario Saeroen, wartawan 1930-an.  Terang Boelan merupakan  film Indonesia pertama meledak di pasaran,  hingga dibeli perusahaan film  RKO Singapura, dan dapat sambutan luas  ketika diedarkan di Semenanjung  Malaya. Film drama ini dibintangi oleh  Roekiah (berada di tengah dalam  foto), ketika sedang memancing bersama  para artis pembantu.

Dalam  film inilah Roekiah menyanyikan lagu Terang Bulan yang kini  jadi lagu  kebangsaan Malaysia Negaraku. Setelah mengklaim berbagai  budaya  Indonesia sebagai miliknya, muncul polemik asal muasal lagu  kebangsaan  negeri jiran itu. Mantan ketua Sinematek Indonesia, Misbach  Yusa Biran,  berpendapat lagu Terang Bulan adalah jenis musik stabul 2  (irama  keroncong). Lagu ini berasal dari imigran keturunan Portugis yang   tinggal di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara.

Kemudian,  berkembang melalui pertunjukan opera stambul tahun 1900 di  Surabaya.  Nama stambul dari kata Istambul di Turki kemudian berubah  menjadi  tonil. Pada masa Jepang karena tonil berasal dari Belanda  diganti  menjadi sandiwara.

Misbach  membantah, klaim Malaysia terhadap lagu yang kini menjadi  lagu  kebangsaannya. Karena, di Malaysia tidak dikenal lagu irama  keroncong,  tapi Melayu. Keroncong hanya dikenal di Pulau Jawa. Meski  demikian,  lagu Terang Boelan kemudian sangat dikenal di Malaya (belum  bernama  Malaysia) karena filmnya diputar di Semenanjung Malaya. Lagu itu  di  Malaya kemudian menjadi lagu rakyat.

Ketika  merdeka dari Inggris tahun 1957, lagu tersebut mereka jadikan  lagu  kebangsaan. Lagu ini menjadi sangat populer sejak dibawakan oleh  orkes  ‘Live of Java’ dan dinyanyikan oleh Ismail Marzuki. Sejak  dijadikan  lagu kebangsaan Malaya, lagu Terang Bulan terlarang  dinyanyikan di  Indonesia guna menghormati negara tetangga kita.  Sampai-sampai film  Terang Bulan produksi 1957 yang disutradarai Wim  Umboh dilarang  beredar.

Kenapa  di era sebelum Perang Dunia II Terang Boelan dipilih sebagai  judul  film? Karena lagunya sangat digemari masyarakat menyebabkan  mendapatkan  sukses besar di pasaran. Di antara lirik lagu tersebut  adalah: 

Terang Bulan Terang 
Di kali Jangan Percaya Mulut Lelaki
Berani Sumpah Tapi Takut Mati
 
Roekiah,  artis idola tahun 1930-an adalah ibu dari penyanyi Rachmat  Kartolo,  penyanyi dan pemain film tahun 1980-an. Roekiah yang kawin  dengan aktor  Kartolo, meninggal dunia tahun 1945 dalam usia 28 tahun.  Kala itu,  Rachmat Kartolo masih balita.

Bagi  Misbach, tidak menjadi persoalan Terang Bulan dijadikan lagu   kebangsaan Malaysia. Tapi, jangan mengklaim sebagai pemiliknya. Kita sendiri mengakui bahwa keroncong berasal dari Portugis dan dangdut dari India.


SELEBRITIS MISS ROEKIAH 
 

Darah seni Roekiah mengalir dari orang tuanya. Sejak kecil, bahkan ketika baru dilahirkan, Roekiah telah bersentuhan dengan dunia panggung. Dia lahir di Cirebon pada 1916, ketika rombongan komedi bangsawan orang tuanya yang sedang berkeliling singgah di kota tersebut.Ibunya adalah seorang primadona panggung asal Cianjur. Sedangkan ayahnya merupakan seniman asal Belitung, yang pada 1913 mengembara bersama rombongan komedi bangsawan.

Sejak kecil Roekiah ikut dalam pengembaraan rombongan komedi bangsawan bersama kedua orang tuanya. Kehidupan sebagai “anak wayang” membuat ia tidak mendapat pendidikan sekolah. Sebenarnya orang tuanya tidak menghendaki Roekiah menjadi seorang sri panggung seperti mereka, tetapi Roekiah bersikeras untuk tetap “hidup” di atas panggung. Kegemarannya waktu kecil adalah bernyanyi. Dan memang bakat nyanyi inilah yang akhirnya membuat namanya dikenal orang. Cita-citanya sedari kecil yaitu dapat bernyanyi di depan umum, tetapi ayahnya selalu melarang ia untuk melakukan hal itu.


Pada suatu ketika, ia meminta izin kepada ibunya untuk tampil bernyanyi di atas panggung. Ibunya memberi izin. Roekiah pun bernyanyi di atas panggung dan mengisi bagian selingan. Di tengah-tengah ia menyanyi, ayahnya tiba-tiba datang dan marah sekali. Namun lama-kelamaan sikap ayahnya melunak dan Roekiah menjadi bagian dalam rombongan komedi bangsawan orang tuanya. Penonton sangat menggemari suaranya yang merdu, ditambah wajahnya yang cantik, ia menjadi buah bibir publik. Sebagaimana pemain-pemain sandiwara pada masa itu, Roekiah pun berpindah-pindah dari satu perkumpulan ke perkumpulan yang lain. Pada 1932, Roekiah masuk ke dalam rombongan tonil Palestina. Di dalam perkumpulan inilah ia bertemu dengan Kartolo, seorang pemain musik yang kemudian menjadi suaminya.
Setelah Palestina mengalami krisis di Magelang, akhirnya Roekiah dan Kartolo memutuskan untuk keluar dari perkumpulan tersebut dan kemudian mereka masuk rombongan Faroka Opera di bawah pimpinan Westkin. Pada 1936, Roekiah dan Kartolo yang menetap di Batavia memutuskan untuk keluar dari Faroka dan meninggalkan dunia panggung, setelah Roekiah melahirkan anak kedua. Nasib Roekiah dan Kartolo berubah ke arah yang semakin baik di tahun 1937. 
 
Saat itu, Roekiah ditawari menjadi pemain dalam film yang akan dibuat oleh Albert Balink di bawah perusahaan ANIF (Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat). Film Terang Boelan buatan Balink ini yang kemudian mengangkat namanya menjadi sangat terkenal. Film ini meledak di pasaran. Kesuksesannya bahkan sampai ke Singapura, dengan menghasilkan 200.000 Dollar dalam dua bulan. Duetnya bersama Raden Mochtar mencetuskan model sistem bintang (daya tarik bintang film) yang lalu ditiru oleh perusahaan film lain. Pasca kesuksesan mereka membintangi film Terang Boelan, banyak perusahaan film mengambil pemain sandiwara untuk bermain dalam film-film produksi masing-masing. Tren perpindahan pemain sandiwara ke film ini membuat dunia panggung sempat sepi di akhir masa kolonial.
Setelah sukses dengan film Terang Boelan, Roekiah dan Kartolo membentuk rombongan sandiwara Terang Boelan Troep dan melakukan pertunjukan keliling hingga mendapat sukses di Singapura. Kemudian mereka kembali ke Batavia. Di Batavia, Roekiah dan Kartolo adalah penyanyi orkes keroncong Lief Java yang sangat dikenal, terutama oleh para pendengar radio. Lagu-lagu mereka yang terkenal yaitu Terang Boelan, Boenga Mawar, dan Krontjong Fatima.
Pada 1939 Roekiah dan Kartolo ditarik menjadi pemain di perusahaan film Tan’s Film Company. Film pertama yang dibintanginya pada perusahaan ini adalah Fatima. Roekiah dalam film ini tetap dipasangkan dengan Raden Mochtar. Pada masa itu mereka adalah pasangan yang paling romantis di layar lebar. Film tersebut meraih sukses besar. 
 
Dalam waktu enam bulan, f 200.000 dihasilkan. Sebagai seorang primadona di Tan’s Film, Roekiah mendapat honor sebesar f 150 dan Kartolo f 50, jauh dari penghasilan mereka ketika membintangi film Terang Boelan. Selain itu, mereka juga mendapat sebuah rumah di Tanah Rendah Batavia.
Seluruh film yang diperankan oleh Roekiah laku di pasaran, walaupun pasangannya, yaitu Raden Mochtar, telah keluar dan kemudian digantikan oleh Djoemala.
Ketika namanya semakin populer, wajah Roekiah terpampang di hampir semua majalah dan koran kala itu, sebagai seorang model iklan sandal Tjap Matjan dan mesin Singer. Sepanjang karirnya di layar lebar, Roekiah membintangi film-film seperti Terang Boelan, Fatima, Gagak Item, Siti Akbari, Roekihati, Sorga Ka Toedjoe, Koeda Sembrani, Poesaka Terpendam, dan Keseberang. Film yang disebut paling akhir adalah film propaganda buatan pemerintah pendudukan Jepang yang diproduksi pada 1944. Film tersebut merupakan film terakhir yang dimainkannya. Pada 1945 ibu dari aktor kawakan Rachmat Kartolo ini meninggal dunia, tetapi filmnya masih terus diputar dan tetap digemari. Perempuan multi-talenta ini akan terus tercatat dalam lembaran sejarah. Boleh dibilang, Miss Roekiah merupakan perempuan pertama yang menyandang gelar sebagai seorang selebritis Indonesia.