Tampilkan postingan dengan label ALI SHAHAB 1971-1997. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ALI SHAHAB 1971-1997. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 November 2011

ALI SHAHAB 1971-1997



SEBAGAI sutradara yang memulai karirnya sebagai pelukis, juru rias dan penata seni, sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika film-film Ali Shahab selalu menyenangkan di mata. Ini sedikit keistimewaan, sebab kini sulit menemukan sutradara Indonesia yang memiliki tangan seterampil Ali Shahab. Gambar yang tersorot bukan cuma indah karena lokasi yang terpilih, paduan warna yang serasi, komposisi gambar yang terjaga. Pilihan sudut pemotretan yang kreatif serta dinamis dalam film Ali senantiasa mengasyikkan dan mengikat mata penonton.

ALI SHAHAB adalah seorang wartawan dan sutradara senior Indonesia. Karyanya yang terkenal adalah sinetron Rumah Masa Depan yang ditayangkan di TVRI pada era 1980-an. Selain itu, ia juga menulis beberapa novel remaja bernuansa Islami.

PRIA berkulit putih dan brewok ini sepintas terlihat agak seram, apalagi ditambah sorotan matanya yang tajam, makin lengkaplah kesan itu. Namun jika diajak berbicara, dapat dipastikan, lawan bicaranya akan betah berlama-lama berdialog dengannya. Wawasan dan pengetahuannya sangat luas, baik menyangkut hiburan maupun tentang keagamaan.

Dialah Ali Shahab, sutradara terkenal yang lahir di Jakarta, 22 September 1941. Dia pernah mendirikan Teater September, sebuah nama yang diambil dari bulan kelahirannya. Dari teater itu, sejumlah nama besar muncul, seperti almarhum Hamid Arief dan almarhumah Wolly Sutinah alias Mak Uwok, ibu kandung artis Aminah Cendrakasih alias Mak Nyak.

Pria yang mengaku telat kawin lantaran terlalu enjoi dengan dunia film ini menamatkan pendidikan di ASRI (1958-1963). Meski sejak pertengahan 80-an lebih dikenal dalam dunia sinetron, seperti kebanyakan orang sinetron, Ali Shahab juga tadinya dari film.

 
ALI SHAHAB : WARTAWAN YANG TERJUN MENJADI SUTRADARA
Sebelum ke layar putih, dia wartawan/karikaturis dan tidur bangun dalam dunia teater sejak 1964, baik sebagai pemain, penata rias, dan terkadang merangkap sutradara. Namun masyarakat lebih mengenal dia sebagai penulis novel pop. Salah satu karya hebatnya Tante Girang (tahun 60-an) yang mampu menembus layar lebar itu. Bidang penyutradaraan diawalinya dari Beranak Dalam Kubur (1971). Setiap pembuatan film, cerita dan skenarionya dia tulis sendiri.

Setelah aktif di layar kaca dengan serial Rumah Masa Depan (1984-1985), kegiatan menggarap film untuk bioskop menurun. Terakhir menyutradarai Kisah Anak Anak Adam (1988) dan menulis skenario Si Gondrong (episode Lawan Bek Marjuk) pada 1990. Setelah lepas dari PT. Sepro Karya Pratama (1981-1987) milik artis Rahayu Effendi, Ali mendirikan rumah produksi sendiri, PT Sentra Focus Audio Visual yang dibangun tahun 1988. Kiprah awal rumah produksinya adalah melanjutkan serial Rumah Masa Depan (15 episode, 1990) yang mampu mengangkat nama aktor beken, Dede Yusuf dan Desy Ratnasari. Tahun 1991 terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Rumah Produksi Indonesia (ARPI).

Menjadi anggota Dewan Film Nasional (periode 1989-1994) dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) periode 1995-1998. Pada Festival Sinetron Indonesia (mulai 1994) ia menjabat sebagai Ketua I/Bidang Penjurian Panitia Tetap (Pantap) FSI masa bakti 1994-1998. Produktivitas dan kreativitasnya tidak terhambat dengan berbagai jabatan. Itu dibuktikan pada FSI 1996, ia terpilih sebagai sutradara (jenis) komedi terbaik dalam Angkot Haji Imron. Sebelum itu karyanya Nyai Dasima menghasilkan piala bagi aktris utama Cut Keke dan aktor pembantu Charlie Sahetapy pada FSI 1995. Tahun 1997 ia menyambung serial Angkot Haji Imron. Sebuah studio di tengah alam Sutradara Ali Shahab membangun studio alam di desa Palasari, Ccimacan, Ja-Bbar. Bernaung di bawah PT Sentra Fokus. 15 serial sinetron rumah masa depan akan dibuat di tempat itu dengan kamera high band.


NEWS ALI SHAHAB
Sebuah studio di tengah alam
Sutradara Ali Shahab membangun studio alam di desa Palasari, Ccimacan, Ja-Bbar. Bernaung di bawah PT Sentra Fokus. 15 serial sinetron rumah masa depan akan dibuat di tempat itu dengan kamera high band.

PENONTON yang kecanduan film cowboy Amerika lama-lama akan tahu juga, bahwa salon, bank, kantor syerif, dan kandang kuda yang mereka lihat itusemuanya cuma sekadar sulapan di studio. Tapi kalau crew TVRI harus menghadirkan suasana pasar, misalnya, apakah untuk itu mereka punya studio juga? Ternyata, penonton tidak usah kecewa, karena pasar yang mereka lihat di sinetron TVRI adalah pasar sebenarnya. Namun, dengan cara begitu, shooting di tempat umum jelas banyak risikonya. Pemotretan bisa tak lancar dan banyak suara mengganggu. Deru mobil atau jerit penjual ikan, misalnya. Ali Shabab, 48 tahun, mengambil jalan pintas. Ia membangun studio alam, di atas tanah 2 ha di Desa Palasari, Cimacan, Jawa Barat. Namanya "Studio Alam Fokus" yang bernaung di bawah bendera swasta, PT Sentra Fokus. Modalnya? "Di atas Rp 500 juta," kata Ali tanpa menyebut jumlah persisnya. Di sana, sutradara 20 film itu bisa lebih leluasa menata lokasi film. Mau di pinggir danau, oke, di kamar makan boleh. Semuanya bebas dari gangguan umum. "Saya tidak mau capek mencari-cari lokasi dan mengemis macam-macam," kata Ali, yang sejak 1979 sudah merintis pembuatan video dokumenter. Ide untuk memiliki studio alam pribadi ini muncul sekitar delapan tahun lalu," kata Ali Shahab. Tepatnya, ketika ia -- masih bersama Rahayu Effendi memimpin PT September Promotions (Sepro) -- mulai menggarap sinetron TVRI Rumah Masa Depan (RMD). Ketika itu ia mengusulkan ke pihak TVRI agar menggarap RMD di luar studio TVRI, yakni dibekas tempat pembuangan sampah, di Desa Sukmajaya, Cimanggis. Usul ini terlaksana, akhirnya. Di sanalah dilakukan pemotretan sebagian besar dari 29 episode RMD paket pertama.

Sementara itu, diam-diam Ali Shahab berupaya terus. Ia mulai mencicil tanah. "Bisa 2.000 meter. Lain waktu 3.000 meter. Pokoknya tergantung kondisi keuangan. Kami semua kan sektor ekonomi lemah," katanya tersenyum lebar. Belakangan usahanya ini terpacu oleh tawaran BKKBN, yang bersama TVRI ingin melanjutkan serial RMD. Tawaran itu diterima Ali Shahab, seluruhnya 15 episode, dengan biaya Rp 25 juta sampai 40 juta untuk satu episode. Studio alam milik Fokus kini baru "bermain" dengan satu rumah yang menjadi kediaman keluarga Sukri -- tokoh sentral RMD. Rumah itu berupa rumah jadi dari beton. Jika kamera memotret suasana belakang rumah, tampaklah jajaran Gunung Gede dan Gunung Salak. Jika mengambil sudut muka, terlihat hamparan air danau dan sebuah air terjun buatan. "Saya lebih bebas mengambil sudut pemotretan," kata Ali.Katanya, pembangunan studio alam ini memang sangat terencana. Pasalnya, sebelum dibangun, ia sudah menentukan sudut-sudut mata kamera. Sedangkan kalau menyewa rumah orang lain, seperti yang selama ini lazim dilakukan, ia serasa dihadapkan pada banyak hambatan. "Mau meletakkan kamera di tempat yang bagus, ketabrak dinding rumah itu. Belum lagi keributan di sekeliling rumah." Dengan setting baru itu, sudah lima episode RMD diselesaikan hanya dalam tempo 21 hari shooting. "Artinya, satu episode hanya memakan waktu empat seperlima hari," ujar Ali. Setelah itu, film akan diolah di studio itu juga. Dalam mekanisme kerja yang ditunjang oleh studio dan peralatan baru itu, kini Ali Shahab sudah bisa memperkirakan "hasil akhirnya". Ini dimungkinkan karena adanya ruang kontrol dengan consult box. Di situ diletakkan perangkat video, tempat sang sutradara mengontrol shooting di bawah, sambil memberikan aba-aba jika ada yang kurang. Singkatnya, dengan video itu, Ali sudah bisa menilai apakah pengambilan gambar di bawah sesuai dengan yang diinginkannya atau tidak. Kecanggihan itu juga yang diperhitungkan oleh TVRI dan BKKBN ketika menawarkan 15 serial baru RMD kepada Ali Shahab.
 
Dalam kontrak antara lain disebutkan, serial harus dishoot dengan kamera high band. "Supaya bisa dijual ke luar," kata Husein Aziz, Kepala Stasiun TVRI Jakarta. Potensi artistik ini dipujikan oleh Husein, sementara TVRI tetap akan membuat sinetronnya di studio Cimanggis. Studio yang diresmikan pada 1987 itu, menurut Husein, akan disempurnakan secara bertahap. Hambatannya, ya, karena dana terbatas. Di pihak lain, Ali Shahab, yang pernah disanjung oleh para kritikus karena keberhasilan sinetronnya yang berjudul Juragan Sulaeman itu, kini memusatkan kegiatannya pada pembangunan fisik studio alam di Cimacan itu. Di situ akan dibangun lima rumah lagi -- masing-masing mewakili arsitektur daerah. Tapi buat apa? "Kalau memerlukan lokasi di luar kota, di Gunungkidul, misalnya, eksteriornya kita ambil di sana, tapi shoot interiornya bisa di studio ini," Ali menjelaskan. Seiring dengan itu, Fokus juga siap dengan peralatan yang lebih canggih. Kamera, misalnya, menggunakan perangkat multiple system. Menurut Ali Shahab, dengan kamera  high band seperti itu, akan dihasilkan shot yang warnanya jauh lebih bagus dan berdaya tahan lebih tinggi. Rupanya, ia jera dengan penggunaan low band. "Karena tidak memenuhi persyaratan penyiaran di negara-negara lain," katanya. Kini dengan high band, Sentra Fokus siap menjual RMD ke Singapura, Malaysia, dan Brunei. Ali Shahab mengakui bahwa perjalanan idealisme seorang seniman, pada akhirnya akan bermuara ke bisnis. "Idealisme melahirkan kreativitas. Tapi kreativitas ditambah manajemen menjadi bisnis," ujarnya. Ali memulai kariernya sebagai wartawan, novelis, dan sutradara teater, meskipun ketika lulus dari ASRI ia bercita-cita menjadi pelukis. Namun, lukisan memang tak selalu harus di atas kanvas. Di atas pita video pun, orang bisa melihat gambar yang bagus.

KARIR DALAM FILMNYA

Mula-mula Ali Shahab terlibat dalam film Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966) arahan sutradara Misbach Yusa Biran sebagai penata artistik. Setelah itu ia seolah menghilang, dan baru kembali ke dunia film di awal 1970-an saat berkenalan dengan Suzana dan Dicky Suprapto pemilik Tidar Jaya Film.

“Mereka inilah yang kemudian memberikan kepercayaan pada Shahab untuk jadi sutradara film-film mereka,” tulis Kompas edisi 24 Februari 1976.

Film Beranak dalam Kubur (1972) yang dibintangi Suzana banyak disebut sebagai karya pertamanya sebagai sutradara. Namun, sebagian sumber lain menyebutkan film yang diangkat dari komik “Tangisan di Malam Kabut” karya Ganes TH itu disutradarai Awaludin. Kemungkinan lain adalah film ini disutradarai mereka berdua, atau Ali Shahab bertugas sebagai asisten sutradara.

Salah satu sumber yang secara tidak langsung menyebutkan bahwa Beranak dalam Kubur bukan karya pertamanya adalah Kompas edisi Jumat, 14 September 1973, yang membahas film Bumi Makin Panas.

“Terlalu berlebihan untuk menuntut terlampau banyak dari seorang Ali Shahab yang pertama kali bekerja sebagai sutradara film. Namun, jika yang diharapkan adalah tontonan yang tidak bermokal-mokal, tidak diruwetkan oleh pretensi yang macam-macam dan lumayan menghibur, inilah dia Bumi Makin Panas (Tidar Jaya Film) hasil kerja pertamanya tersebut,” tulis Kompas.

Sebagai karya pertamanya—jika mengacu pada KompasBumi Makin Panas (1973) dianggap tidak terlalu berhasil sebagai sebuah film yang baik dan menimbulkan kebingungan penonton.

Dalam catatan Kompas, meski kisahnya cukup jelas, film ini disajikan lewat pendekatan periodisasi dan dieksekusi Ali Shahab secara kering dan skematis. Ini bisa ditafsirkan sebagai gambaran seorang sutradara yang tengah berproses pada fase awal kariernya.

Tahun 1960-an, saat ia masih menjadi wartawan, Ali Shahab menulis novel Tante Girang yang membuatnya menjadi populer.

“Dengan novel yang dicetak tiga kali itu saya berhasil liburan di Singapura selama dua bulan. Dan di sana (Singapura) timbullah novel berikutnya. Kejadian ini memang nampaknya fantastis. Hanya karena satu novel itu saya disebut orang sebagai penulis, sebagai novelis. Maka karena sebutan itu pula saya meneruskan karir jadi penulis,” katanya seperti dikutip Kompas edisi 24 Februari 1976.

Bagi sebagian kalangan, terutama yang bergelut di bidang sastra, sejumlah novel yang ditulisnya dianggap sebagai karya pop dan bertujuan murni komersial. Ini tidak ia sanggah. Ali Shahab bahkan menegaskan bahwa baginya komersial itu adalah sesuatu yang adil dalam dunia hiburan.

Lagi pula, imbuhnya, ia tak terlalu hirau dengan nilai kesenian atau nilai sastra dalam novel-novelnya yang banyak diadaptasi menjadi film. Ia hanya berusaha menulis baik dan karyanya ingin dibaca banyak orang.

“Di samping menulis yang baik, saya ingin tulisan saya dibaca sebanyak mungkin orang. Buat apa film saya dihadiahi piala banyak, sementara cuma ditonton segelintir orang. Saya tidak mau jadi sineas yang kesepian,” ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa meski karya-karyanya ditujukan agar dibaca sebanyak mungkin orang, tapi tidak serta-merta membuatnya lalai dengan mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut.

“Saya sekarang jadi ‘sesuatu’ kan karena banyak orang yang membaca novel atau melihat film saya. Saya kan tidak mau kehilangan mereka. Komunikasi itu harus dibina terus. Tapi di pihak lain, saya harus berikan dagangan saya yang baik dan tidak meracuni mereka,” ucapnya.

Ia tidak berusaha menyajikan persoalan-persoalan rumit dalam karyanya. Ia ingin menghibur masyarakat tanpa abai terhadap kualitas karyanya. Agar filmnya laku di pasaran, Ali Shahab kerap menonton banyak film saat ia bepergian ke luar negeri. Selain itu, ia juga rajin berkomunikasi dengan para importir dan produser film untuk membicarakan kecenderungan film yang tengah digandrungi masyarakat.

Ali Shahab mengumpamakan kondisi masyarakat saat itu, yang menjadi sasaran karya-karyanya, dengan ambisi kemajuan teknologi yang tidak berjejak pada persoalan keseharian.

“Kalau rakyat masih ngurusin banjir janganlah kita bikin roket untuk ke bulan. Kita tidak jadi pahlawan dengan sikap demikian itu. Tanggulangilah banjir itu, maka rakyat tentu akan berterimakasih,” ungkapnya dalam Kompas edisi 24 Februari 1976.

 Ketika hiburan di televisi mulai digemari masyarakat, Ali Shahab pun merintis kariernya di dunia baru itu. Pada 1980-an, ia melahirkan serial Rumah Masa Depan yang selalu ditunggu pemirsa TVRI. Ia juga membidani lahirnya sinetron Nyai Dasima dan Angkot Haji Imron.

“Ali Shahab tidak tanggung-tanggung terjun ke dunia sinetron. Dialah orang pertama yang memiliki studio lengkap di atas tanah seluas 15 hektar di Pacet, Cianjur. Maka, gelar sebagai pelopor [sinetron] sebenarnya lebih pantas buat dia ketimbang tokoh yang lain,” tulis Ilham Bintang dalam Mengamati Daun-daun Kecil kehidupan (2007).

Namun, bertahun-tahun kemudian, saat stasiun televisi telah begitu banyak, namanya perlahan mulai dilupakan. Ini karena ia tidak mau berkompromi dengan sejumlah stasiun televisi yang menurutnya terlalu mengejar rating dengan menggadaikan mutu program-program yang mereka tayangkan.

Dalam sebuah acara selamatan produksi sinetron yang menekankan unsur pendidikan, ia berkata kepada Ilham Bintang, “Aku bertapa di sini. Aku tak sanggup mengikuti jalan pikiran para programmer televisi. Mereka menjungkir balikkan nilai-nilai.”

Ungkapannya itu seolah-olah menegaskan bahwa meski dari dulu ia menggarap karya-karya yang dianggap terlampau komersial, ia selalu sadar bahwa masyarakat yang menggandrungi karya-karyanya tidak boleh dianggap hanya sebagai pasar. Baginya, harus ada semacam tanggung jawab sosial di balik karya tiap penulis atau sutradara.

Dalam lagu pembuka Pepesan Kosong yang santai, cair, dan menghibur, terdapat sepenggal lirik yang berbunyi:

“Pepesan kosong lagu Betawi/lagu Betawi ada bukan Semarang/paling kasian anak Betawi/paling kasian anak Betawi/negerinye ilang diambil orang/Senayan digusur/Kebayoran digusur/Kuningan digusur/engkong digusur/encang digusur/buyut digusur/encing digusur”

Lirik tersebut barangkali menunjukkan sikapnya terhadap kesenian yang bertahun-tahun ia geluti. Kesenian yang “menanggulangi banjir” dan “tidak meracuni”.


MANUSIA ENAM JUTA DOLLAR 1981 ALI SHAHAB
Director
MISTRI SUMUR TUA 1987 ALI SHAHAB
Director
PULAU CINTA 1978 ALI SHAHAB
Director
RANJANG SIANG RANJANG MALAM 1976 ALI SHAHAB
Director
NAPSU GILA 1973 ALI SHAHAB
Director
BERANAK DALAM KUBUR 1971 AWALUDIN
Director
KISAH ANAK-ANAK ADAM 1988 ALI SHAHAB
Director
RAHASIA PERAWAN 1975 ALI SHAHAB
Director
GADIS BIONIK 1982 ALI SHAHAB
Director
BUMI MAKIN PANAS 1973 ALI SHAHAB
Director
DETIK-DETIK CINTA MENYENTUH 1981 ALI SHAHAB
Director
CEMBURU NIH YEE... 1986 ALI SHAHAB
Director
GAUN HITAM 1977 ALI SHAHAB
Director
NAPAS PEREMPUAN 1978 ALI SHAHAB
Director

Senin, 31 Januari 2011

RAHASIA PERAWAN / 1975

RAHASIA PERAWANAgus (Robby Sugara), pindah dari rumahnya yang bak istana, karena ayahnya, Raden Mas Sudewo (Aedy Moward), berniat mengawini Rahayu (Rahayu Effendi), setelah kematian istrinya. Agus menyewa paviliun kecil dan membiayai hidupnya sebagai sopir taksi, sambil tetap menyelesaikan kuliahnya. Di kampus ia berkenalan dengan mahasiswi baru, Juli (Tanty Josepha). Hubungan Agus-Juli yang makin akrab membuat Ratna (Yatie Octavia) yang diam-diam mencintai Agus, jadi merana. Tapi karena cintanya, Ratna berkorban menyerahkan keperawanannya pada dosen yang menyukainya tapi membenci Agus, hingga yang terakhir ini bisa lulus.

Agus-Juli sesaat lupa diri dalam suatu perjumpaan. Mereka melakukan hubungan seks, yang membuat Juli hamil. Juli tak mau mengemis, karena Agus ingin menyelesaikan kuliahnya dulu tanpa tahu bahwa Juli hamil. Bersama kakak dan suaminya, Juli pergi ke luar kota. Niat untuk menggugurkan kandungan urung. Kakaknya, yang rumahnya diinapi Juli selama kuliah itu, akan mengambil anak dalam kandungan itu, karena tak punya anak. Agus kembali berbaikan dengan ayahnya, setelah berhasil memergoki perselingkuhan ibu tirinya. Agus yang kemudian tahu pengorbanan Ratna dan betapa majikannya yang mendorongnya menyelesaikan kuliah adalah ayah Ratna, akhirnya menikahi Ratna. Apalagi ayahnya berpesan agar membalas budi. Sang ayah kemudian meninggal. Saat perkawinan, Juli datang bersama anaknya, hanya untuk memperkenalkan anaknya pada ayahnya yang sebenarnya. 

 P.T. SUGAR INDAH FILM


RUTH PELUPESSY
TANTY JOSEPHA
ROBBY SUGARA
RAHAYU EFFENDI
RACHMAT HIDAYAT
YATIE OCTAVIA

NAPAS PEREMPUAN / 1978

NAPAS PEREMPUAN

 
Bharata (S. Bono), pengusaha besar, bersama istrinya yang baru berusia 22 tahun, Natalia (Rory Anna), menjemput keponakannya, Pieter (Roy Marten), yang baru pulang belajar dari Amerika. Natalia yang baru dikenalnya, langsung mengingatkan pacarnya di Amerika yang mengalami nasib tragis, dibunuh. Meski sempat mengunjungi bekas pacarnya, Karmila (Eva Arnaz), yang sudah punya anak satu, tapi suaminya, Benny (Tinton Suprapto), meninggal di arena balap, Pieter terlibat perserongan dengan Natalia yang selalu kesepian karena kesibukan Bharata. Keadaan menjadi sulit ketika Natalia hamil. 
 
Pieter-Natalia sepakat tidak memberi tahu pamannya, karena pertimbangan kerinduannya akan anak dan juga penyakit jantungnya. Keadaan ini diketahui Anton (Parto Tegal), bekas pacar Natalia waktu jadi pramuria. Anton juga pernah memaksa Natalia jual diri untuk kepentingan judinya. Anton mengancam membuka rahasia Natalia-Pieter pada Bharata. Pieter tak menyerah. Anton lalu menculik anak Karmila. Pieter terpaksa memenuhi tuntutan Anton: menyerahkan uang Rp 15 juta sebagai tebusan, di sebuah pekuburan. Di tempat ini sempat terjadi duel, hingga Anton tewas. Pieter-Natalia tetap merahasiakan perserongan yang membuat hamil itu. Pieter lalu kembali pada Karmila karena rasa sayang dan kasihan. Ia menjadi bapak dari anak yang bukan anak kandungnya. Seluruh informasi dan jalan kisah dibangun lewat dialog.

P.T. BOLA DUNIA FILM

DETIK-DETIK CINTA MENYENTUH / 1981

DETIK-DETIK CINTA MENYENTUH

 
Senja (Tanty Josepha) yang masih di SMA, dipacari Halilintar (Robby Sugara). Saat-saat ceria mereka berpuncak di perkawinan. 

Ketika kemudian Senja melahirkan anak lelaki, ternyata menderita cacat kaki. Yang jadi masalah adalah kakek sang bayi. Ia menolak cucu yang cacat. Senja harus menanggung itu semua: meninggalkan suami, mertua, membesarkan bayinya sendiri. Anak cacat itu tumbuh jadi pemuda Topan (Rano Karno). Ia akan memperistri Mina (Christine Panjaitan), tapi ditolak orang tuanya, dan dianjurkan kawin tanpa restu mereka. Topan memang akhirnya berhasil mencapai idamannya: berhasil menyelesaikan pendidikannya, jadi pengarang terkenal, mengakurkan ayahnya yang sudah jatuh miskin dengan ibunya, diakui mertua. Tapi nasib tragis menimpa: tumor otak merenggut jiwanya.

P.T. INEM FILM

TANTY JOSEPHA
ROBBY SUGARA
RANO KARNO
LENNY MARLINA
RIMA MELATI
CHRISTINE PANJAITAN
W.D. MOCHTAR
RAHAYU EFFENDI
ZAINAL ABIDIN
RUTH PELUPESSY
PARTO TEGAL
MOH MOCHTAR

GADIS BIONIK / 1982

GADIS BIONIK


Komplotan Kontet (Don Nasco) dipenjara akibat perbuatan mereka suka memeras, tetapi mereka dapat meloloskan diri, dan kembali melakukan aksinya di dunia hitam. Tujuan pertama kelompok itu adalah membunuh Rita (Eva Arnaz), penyebab mereka dipenjarakan. Suatu hari mereka berhasil menabrak Rita dengan mobil jipnya, sehingga Rita luka parah, ada bagian-bagian tubuhnya yang hancur. Untung Rita dapat diselamatkan dan dioperasi secara khusus oleh seorang profesor. Jadilah Rita gadis bionik pertama di Indonesia. Rita kemudian membantu polisi menumpas kejahatan, termasuk komplotan Kontet.
 P.T. BOLA DUNIA FILM

EVA ARNAZ
ESTHER SUMAMPOW
DON NASCO
YANI SILVIANA
JAJA MIHARDJA
M. TOHA
JACK JOHN
DORMAN BORISMAN
A. HAMID ARIEF
BOEDI SR
EDDY GOMBLOH

CEMBURU NIH YEE... / 1986

CEMBURU NIH YEE...

Judul awalnya "Awas di Balik Seragam Sekolah" diminta diubah oleh Deppen.
 

Setiap pagi Arimbi (Rani Soraya) meninggalkan rumah dengan seragam sekolahnya. Dia tak sekolah, tapi berkencan dengan oom-oom. Suatu hari ia jumpa dengan Mahisa (Septian Dwicahyo), ketua OSIS di SMA tempat Arimbi sekolah juga, hanya saja jam sekolahnya berlainan. Arimbi melacur untuk membiayai ibu dan adik-adiknya di desa, sementara ayah tirinya menganggur, tapi berfoya-foya dengan wanita pemilik warung.

Waktu ibunya meninggal karena levernya pecah habis dianiaya ayah tirinya, Arimbi meledak. Dia pinjam pistol dan menembak ayahnya di tempat gendakannya. Polisi mencari ke sekolah. Kepala sekolah yang baru tak tahu Arimbi, tapi pegawai di sana mengatakan bahwa Arimbi sudah dikeluarkan dari sekolah karena hamil. Ia dihamili bekas atlet sekolah tersebut yang terus mencari mangsa di bekas sekolahnya. Polisi diantar Mahisa ke rumah kos Arimbi. Arimbi mengakui apa yang dilakukannya.
 P.T. INEM FILM

RANI SORAYA
NIA ZULKARNAEN
SEPTIAN DWICAHYO
AMINAH CENDRAKASIH
WOLLY SUTINAH
NURMAINI BESLY
SINTORO
ZAINAL ABIDIN
JACK MALAND
ABDI WIYONO
ALWI AS
JOES TERPASE

MISTRI SUMUR TUA / 1987

MISTRI SUMUR TUA

Adaptasi dari novel "Mayat-mayat Merangsang.", karya Ali Shahab,
Mayat istri Gunawan (Muni Cader) tiba-tiba hilang, dan sebelum sempat diselidiki sudah ada kembali dalam keadaan acak-acakan. Pada mayat ada bekas keringat dan sperma. Maka dicarilah penderita nekrofilia itu. Di desa tempat kejadian itu, hidup terpencil Netty (Tanty Josepha), bekas primadona panggung dan istri seorang Belanda pemilik perkebunan. Ia ditemani Pieter (Bagus Santoso), anaknya, dan Omen (Syamsuri Kaempuan), pembantunya.

Pieter ini kemudian pacaran dengan Marta (Hanna Wijaya), adik ipar Gunawan. Pieter ini yang memperkosa mayat istri Gunawan. Ia didalangi oleh Netty. Awalnya Pieter diam-diam mencintai adik tirinya, Meriem (Meiske), yang dihamili ayah tirinya, Albert (Piet Pagau). Albert ini memacari Netty dan memaksa Netty meracuni suaminya alias ayah kandung Pieter. Netty yang sangat sayang pada Pieter lalu memaksa Omen membunuh Meriem. Pieter lalu disuruh menyetubuhi mayat sang gadis.

Hal ini yang kemudian berlanjut. Hampir saja Marta juga jadi korban persis seperti yang dialami Meriem untuk hadiah ulang tahun Pieter. Polisi sempat mencegah kejadian ini, setelah sepanjang film berteka-teki dan mencurigai pembunuhan dua gadis sebelumnya yang dibuang ke sebuah sumur tua.
 P.T. INEM FILM

TANTY JOSEPHA
BAGUS SANTOSO
SYAMSURI KAEMPUAN
ALFIAN
EDDY RIWANTO
MUNI CADER
PIET PAGAU
YAN BASTIAN
DJAUHARI EFFENDI
EDDY SUPENA
ALWI AS
HANNA WIJAYA

RANJANG SIANG RANJANG MALAM / 1976

RANJANG SIANG RANJANG MALAM


Karno (Robby Sugara) dan Dina (Tanty Josepha) besar di kampung nelayan dan berhubungan terlalu jauh hingga Dina hamil. Karena malu, mereka pergi ke kota. Karno bekerja sebagai sopir truk, dan Dina menjadi penjahit. Nasib buruk menimpa mereka. Karno menabrak orang hingga harus masuk penjara, sementara bayi mereka harus dirawat khusus di rumah sakit, karena lahir prematur. Dina masuk perangkap Ibu Syam (Ruth Pelupessy), yang ternyata seorang germo. Karno curiga akan perubahan Dina, hingga tak mau dijenguk lagi. Dina frustrasi, jadi peminum, sampai berjumpa dengan Trisno (Rachmat Hidayat), sang penyelamat. Karno lari dari penjara dan menumpas sarang germo Ibu Syam, dan memohon Trisno untuk menjaga Dina.
P.T. SUGAR INDAH FILM

TANTY JOSEPHA
ROBBY SUGARA
RUTH PELUPESSY
RACHMAT HIDAYAT
PARTO TEGAL
YAMSIN YUNIARTI FARIDA
YATIE OCTAVIA
TAN TJENG BOK
WOLLY SUTINAH
DARUSSALAM
AEDY MOWARD

NEWS
05 Februari 1977
 Pokoknya: ranjang

RANJANG  SIANG RANJANG MALAM Cerita, Skenario & Sutradara: Ali Sahab  Produser: PT Sugar Indah Film RANJANG -- siang atau malam adalah  kombinasi menarik buat nama Ali Shahab. Dari film pertamanya, Bumi Makin  Panas, ranjang senantiasa memainkan peranan penting buat Ali. Dalam  film Ranjang Siang, Panjang Malam, yang kini sedang beredar, ranjang  lagi-lagi memainkan peranan istimewa. Kelanjutan cerita amat tergantung  pada ranjang. Tanti Josepha, isteri sopir truk, Robby Sugara, dibikin  sedemikian rupa sehingga memang cuma bisa terdampar ke ranjang  pelacuran. Sudah tentu Tanti tidak senang jadi pelacur, meski wajah dan  tubuhnya memang terlalu berlebihan untuk jadi istri sopir truk. Tapi  inilah Ali Shahab, penulis cerita, skenario dan sutradara yang  berkemauan keras. Begitu keras kemauannya melihat Tanti jadi pelacur,  hingga semua orang yang ketemu perempuan malang itu dipaksa saja jadi  jahat sejadi-jadinya. Pemilik truk yang dikemudikan Roby Sugara itu  bahkan mendesak untuk meniduri Tanti sebelum memberi uang membayar rumah  sakit bersalin -- ketika isteri sopir belum lagi melampaui masa 40 hari  setelah bersalin. Rumah pelacuran yang dipimpin oleh Ruth Pellupessy  juga disulap oleh Ali menjadi semacam rumah penjara bagi wanita yang  pernah berkolaborasi dengan musuh dalam zaman Perang Dunia kedua di  Eropa.

Kalau  dalam kehidupan sehari-hari sang mucikari yang banyak tergantung pada  kebaikan hati sang WTS, maka dalam film ini -- demi memperlihatkan  kemalangan Tanti - kenyataan disesuaikan saja dengan harapan-harapan  Ali. Tapi sutradara yang satu ini masih melihat ada manusia baik, meski  jumlahnya sedikit. Rahmat Hidayat dimunculkan Ali sebagai pengarang yang  amat baik, jago berkelahi meski juga suka minum lebih dari sebotol  wiski sebelum mengemudikan mobil dengan selamat hingga ke tujuan. Maka  meski Rahmat hidup membujang, kecewa terhadap pacarnya, tidur serumah  dengan Tanti semalam suntuk, tapi toh isteri sopir selamat dari  kejahilan sang pengarang. Seperti biasa, Ali masih tetap terampil. Sudut  pemotretan tetap mengasyikkan. Tapi potret tentang manusia yang baru  diimpikan, pastilah tetap sebuah potret belum selesai. Dan impian  tentang manusia yang cuma hitam atau cuma putih, rasanya tidak akan  pernah bisa dipotret dengan kamera sebaik apapun, dengan sutradara  setrampil macam apapun.


KISAH ANAK-ANAK ADAM / 1988

KISAH ANAK-ANAK ADAM


Adam dan Hawa yang diusir dari surga, dikaruniai anak-anak kembar: Qabil (Alfian) dan Iqlima (Dewanty Bauty), Habil (Hengky Tornando) dan Labudza (Dewinta Bauty). Dengan petunjuk Allah, Adam menjodohkan anak-anaknya secara silang. Qabil menolak karena ia menginginkan Iqlima yang lebih cantik. Maka Qabil dan Habil diminta untuk memberikan korban. Siapa yang kurbannya diterima, ia berhak menentukan pilihannya. Kurban Habil diterima karena ia mempersembahkan yang terbaik. Qabil tetap ingkar janji, dan atas bujukan setan ia membunuh Habil, lalu melarikan Iqlima dan beranak-cucu, sampai turunannya itu tenggelam oleh banjir pada zaman Nabi Nuh AS.
 P.T. TOBALI INDAH FILM

DEWANTI BAUTY
DEWINTA BAUTY
HENGKY TORNANDO
ALFIAN
ALWI AS
SYAMSURI KAEMPUAN



2 Juli 1988
SUTRADARA  Ali Shahab memilih kisah  anak-anak Nabi Adam untuk difilmkan. Naskah  karya bersama Drs. H.  Masbuchin dan Kelana Alam ini awalnya berjudul  Adam dan Hawa. Pada 1985  cerita ini pernah ditayangkan bentuk operet di  TVRI untuk merayakan  Maulid Nabi.

Setelah  dibikin skenarionya, Ali Shahab yang sudah haji itu memberi  judul  sementara dengan Kisah Anak-Anak Adam. Dan PT Tobali Indah Film  pada 14  Juni lalu mengantungi izinnya untuk produksinya yang ke-17 itu  setelah  diteken oleh Ir. Dewabrata, Direktur Pembinaan Film dan Rekaman  Video.

Dengan  biaya Rp 500 juta, 25 Juni lalu mulailah shooting-nya di  kawasan hutan  lindung Pangandaran, Jawa Barat. Pemain utama ada enam  orang, dan  figurannya sekitar dua ratus. Film ini, menurut Ali Shahab,  akan  diedarkan ke Timur Tengah

Syahdan, izin  itu sempat tertunda. Masyarakat mempertanyakan hukum  memerankan nabi  atau rasul dan orang suci di dalam film. Lantas pada 9  Mei lalu, Komisi  Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang terdiri atas 14  orang dan dipimpin  Prof. KH. Ibrahim Hosen, bersidang. Setelah debat  selama 20 hari, maka  keluarlah fatwa: Para nabi dan rasul, dan keluarga  (hanya istri, sedang  anak-anaknya tak termasuk) haram divisualisasikan  dalam film

Jadi,  larangan visualisasi itu untuk semua nabi, bukan hanya untuk  Nabi  Muhammad – karena Quran tak membeda-bedakan mereka. Dan istri nabi  ikut  diharamkan, karena ia juga menyatu dengan suami. “Kecuali istri  Nabi  Nuh dan Luth yang inkar, ” kata Ibrahim Hosen

Mengapa  visualisasi anak-anak nabi boleh? Menurut fatwa: mereka  adalah pribadi  yang terpisah dari orangtuanya. Itulah sebabnya Nabi Adam  dan  istrinya, Hawa, lenyap dari skenario. Ali Shahab kemudian  menonjolkan  keempat anak Adam, yaitu Habil, Qabil, Iqlima dan Labudza.  Mereka  diperankan oleh Henky Tarnando, Alfian, Dewanti, Dewinta. Dan  peran  Jibril adalah Alwi A.S., dan Syamsuri Kaempuan memerankan iblis

Kisah  anak-anak Adam itu bisa dibaca di Kitab Suci. Ternyata, agama   membendung percintaan, rasialisme, perang saudara, dan nafsu manusia.   Sehingga, ketika terjerumus, pecinta berat Qabil berlumur dosa. Ia   membunuh saudaranya, Habil, untuk merebut Iqlima yang cantik itu. Ya,   sekitar itulah alur ceritanya

Adanya fatwa  itu, kata Ali pada Ida Farida dari TEMPO, semula  mempersulit kerjanya.  “Saya harus menerima dan harus menuruti fatwa MUI  itu,” katanya. Walau  tak mengubah skenario, kecuali yang teknis saja,  tokohnya ditampilkan  tanpa visualisasi. Misalnya, nanti, hanya akan ada  suara Adam saja

Lain  dengan Malaikat Jibril yang bersayap 600 dan sangat besar itu.   Penampilan Jibril, kata Ali Shahab, diproses di studio. Ia digambarkan   berwibawa, agak tua, berjanggut perak, dan berihram. Sedangkan iblis   dengan muka seram dan muka hitam. Tapi Nabi Adam berikut Hawa   ditampilkan hanya dengan bayangan

MUI  masih melihat lain. Menurut Ibrahim Hosen, ada hadits dari Nabi   Muhammad yang menyebutkan: orang yang sengaja berbuat bohong pada   (tentang) nabi akan disiksa di neraka. Yang dimaksud dengan ‘berbohong’   itu bukan hanya tentang perkataan, tapi juga tentang peri laku dan   penyifatan diri nabi. “Di film, ketiga-tiganya itu tercakup. Dan jika   tidak persis benar, maka dosanya berkali lipat,” tambah Ibrahim Hosen

Adam  hidup entah berapa abad sebelum kita. Tak ada deskripsi utuh  tentang  kakek manusia ini. Dan mustahil menghadirkan diri Adam secara  utuh di  film. “Jika pemainnya tidak ganteng, akan timbul kesan jelek  terhadap  wajah Nabi Adam. Sebaliknya, kalau pemerannya ganteng, akan  berkesan  begitulah Adam. Film hanya kira-kira. Dan jika pemerannya  penjudi, maka  banyak dampak buruknya,” ujar Ibrahim Hosen

Tapi  hadits yang disebut tadi dipersoalkan oleh Dedy Rahman. “Saya  heran,  membuat fatwa begitu penting haditsnya cuma satu. Itu pun tidak  ada  hubungannya dengan fatwa yang dibuat,” katanya kepada Hasan Syukur  dari  TEMPO. Menurut Ketua Bagian Kader Persatuan Islam (Persis) Bandung   itu, yang dikutip MUI adalah peringatan yang berkaitan dengan adanya   hadits-hadits palsu ketika zaman Nabi Muhammad saw

Okelah.  Namun, bila nabi divisualkan dengan bayang-bayang? “Itu belum  ada kata  sepakat di antara anggota Komisi,” kata Ibrahim Hosen.  Sedangkan ihwal  dialog Adam dengan anak-anaknya, dan tak persis sama  dengan yang  sebenarnya, itu juga bohong. Namun, Rektor Institut  Ilmu-Ilmu Quran  (IIQ) Jakarta itu memberi alternatif. Misalnya, ada  orang ketiga  (pengisi suara) meniru dialog Adam dan anak-anaknya persis  seperti  tercantum di Quran. Atau, menuliskan teks terjemahan Quran di  layar

Di  skenario Kisah Anak-Anak Adam, agaknya Malaikat Jibril akan  digunakan  sebagai orang ketiga, yang menyampaikan wahyu Allah kepada  Nabi Adam.  Tapi ini juga kembali dipermasalahkan oleh MUI. “Jibril itu  orang suci,  jadi haram divisualkan juga lewat film,” kata Ibrahim Hosen.  Fatwa MUI  memang tentang para nabi dan orang suci, termasuk malaikat

Dalam  hal Jibril, ternyata, ada yang memandang sama dengan MUI.  “Kalau wajah  nabi saja dilarang divisualisasikan, apalagi Malaikat  Jibril yang tak  pernah siapapun (selain nabi) melihatnya,” kata Drs.  Abdurrahman dari  Komisi Hukum dan Fatwa Majelis Ulama Bandung. “Malaikat  itu makhluk  gaib, dan hanya Allah yang mengetahuinya

Pada  1976 MUI belum mempersoalkan apa boleh Jibril ditampilkan dalam  film,  kecuali mempersoalkan The Message karya Moustopha Akkad. Di film  itu  wajah Nabi Muhammad tak ditampakkan, kecuali pedang Sayidina Ali.   Rasulullah pernah melarang para sahabat memvisualkan wajahnya dalam   bentuk relief, seperti tercantum di Tafsir Tasyri’, Menentukan Hukum.

NAPSU GILA / 1973

 


(Suzana) melamar jadi perawat jompo di Wisma Cikolot yang tempatnya  terpencil. Penghuni rumah jompo ini diantaranya Nurnaningsih mantan  bintang film yang filmnya tidak pernah sukses, mantan kapten kapal (Tan  Tjeng Bok) yang mempunyai hobi mengintip wanita. Sejak kedatangan Piah,  sering terjadi pembunuhan misterius terhadap penghuni rumah. Mula mula  Nurnaningsih mati tergantung. Piah menganggapnya gantung diri, tapi  Kapten kapal melihat Piah sebagai pembunuhnya. Kapten juga terbunuh,  tapi oleh Baron salah satu penghuni rumah jompo. Sementara itu Bisu  (Bissu) yang mencurigai Piah, akhirnya terbunuh juga. Polisi yang  menyelidiki akhirnya membuka tabir misteri, Piah lah yang melakukan  semua itu. Ia melarikan diri ke tempat itu karena telah membunuh ayah  angkatnya yang akan memperkosanya.

P.T. TIDAR JAYA FILM

DICKY SUPRAPTO
SUZANNA
BISSU
HUSIN LUBIS
NURNANINGSIH
TAN TJENG BOK
HABIBAH
NAOMIE M
ARIE SUPRAPTO
SYAMSUDIN SYAFEI
MENZANO
SOFIA AMANG

 
 
News 12 Oktober 1974
 Nafsu jompo(Nafsu Gila)

Film "nafsu gila" sutradara ali shahab, memiliki gambar-gambar yang  menarik tetapi elemen ceritanya belum digarap dengan baik. film ini lebih menampilkan kisah ribut di rumah gila    daripada tentang  orang-orang jompo.

Mudah-mudahan  tidak berlebihan, tapi saya ingin menyebut Nafsu Gila ini film  pertama yang memanfaatkan kemungkinan variasi sudut pemotretan sampai batas-batas terakhir. Suatu kemajuan, suatu prestasi. Memang. Tapi sebagian besar penonton juga tahu bahwa gambar-gambar indah saja tidak cukup memaksa kita untuk mengakui keberhasilan sebuah film. Gambar itu sendiri, meskipun elemen utama, tetap bukan elemen  tunggal dalam film. Terutama jika tontonan tersebut dibebani pula  dengan sebuah kisah. Dalam hal film Nafsu Gila, elemen cerita itulah yang justeru tercecer tak tergarap. Ali Shahab sebagai penulis cerita sebenarnya berniat berkisah tentang orang-orang jompo, tapi akhirnya yang muncul tidak lebih dari kisah ribut di rumah gila. Tingkah yang aneh-aneh para penghuni "Wisma Tjikoto" yang digambarkan oleh Ali Shahab memang bisa timbul dari kejompoan. Tapi  melihat fisik penghuni wisma itu, (perhatikan kekuatan berkelahi  Husin Lubis, Tan Tjeng Bok serta tubuh gempal Nurnaningsih) tidak  bisa lain: kumpulan orang-orang gila. Menjijikkan  Tidak cukup  dengan menggilakan tokoh-tokoh tua dalam wisma     tersebut, Ali Shahab  kemudian juga mengedankan tokoh Pia (Suzanna) yang datang ke wisma  itu sebagai pengasuh tunggal. Pia punya riwayat yang sudah amat  klise. Anak pungut dari keluarga  yang mandul, suatu malam sang ayah  angkat berhasrat menikmatinya. Ibu angkat yang menyaksikan kejadian  tegang itu. Sekali banting oleh Hadisyam Taha (bermain sebagai  ayah), mampus. Tapi Tahax juga mampus oleh tusukan tangkai payung  Pia. Karena membunuh, Pia melarikan diri ke Tjikoto yang terpencil itu. Entah bagaimana, di Tjikoto itu, Pia tiba-tiba menjadi pembunuh berdarah dingin. Dan adegan-adegan pembunuhannya itulah yang menjadi tontonan utama dalam film ini.

Sudah tentu dengan limpahan darah serta pose-pose yang meskipun kreatif, tapi ekor-ekornya bisa menjijikkan juga. Lantaran tokoh Pia itu toh sudah  ikut edan, memang tidak guna lagi menyiasati akhir cerita yang  berkesudahan dengan matinya Suzana di ujung peluru seorang pemburu  (atau barangkali juga polisi yang menyaru). Untungnya kegilaan yang  berlimpah ruah itu tidak pula sampai menghancurkan kemampupuan para  bintang tua yang dilumpuhkan Ali Shahab dalam film produksi PT Tidar Film ini. Bintang-bintang tua yang biasanya hanya mendapat  kesempatan muncul sebagai figuran, melahirkan karya Ali yang terbaru  ini, mereka nenunjukkan akting yang mengagumkam Terutama Tan Tjeng      Bok. 

Bintang sebelum perang ini bermain bahkan lebih baik dari pemunculannya di televisi dalam berbagai kesempatan melawak. Nurnaningsih yang memainkan dirinya sendiri, Bissu yang bermain sebagai ahli purbakala, Habibah sebagai nenek lumpuh, semua muncul dengan kepedihan yang kadang-kadang mengharukan, Husin Lubis, sebenarnya juga bisa bermain baik, tapi porsi permainannya yang  terlalu banyak berhubungan degan darah -- darah manusia maupun tikus  yang disantapnya tiap sarapan pagi menyebabkan berkurangnya simpati  pada dirinya. Ini terpulang juga pada Ali sebagai pengarang cerita. Bombasme yang mencuak di berbagai bagian adalal akibat langsung keinginan bersensasi sang sutradara. Memang suasana sensasionil yang timbul akibat pertemuan tokoh-tokoh di "Wisma Tjikoto" itulah yang menari Ali Shahab, bukan suatu kehidupan sosial yang melatar-belakanginya. Apalagi suatu kehidupan kejiwaan yang menjadi  inti soal-soal yang ia gambarkan. Ketimpangan macam ini rasanya  masih akan teru ada sepanjang Ali Shahab sendiri yang menulis kisah  untuk film-film yang dibikinnya. Kariernya sebagai penulis cerita  murahan yang laris itulah yang menjadi perintang baginya untuk bisa  menulis kisah-kisah yang hidup, manusiawi dan membumi. Sayang. Salim Said

PULAU CINTA / 1978

PULAU CINTA


Seorang janda, Maria (Suzanna) bersama anak gadisnya Kiki ( Nur Afni Octavia)Tinggal di sebuah pulau kecil dalam cengkraman Karto (Parto Tegal) suaminya, Johanes bekas mayor AL, tewas ditengah badai sewaktu menangkap di laut. Karto , yang pernah membantu Johanes, tidak saja menguasai janda itu. Tetapi juga segala harta milik almarhum suami Maria. Karto yang semena-mena itu juga menteror penduduk sejitarnya, sehingga satu persatu mereka , karena tidak merasa aman, pindah ke pulau lain yang tetap bertahan selain Maria adalah penjaga mercu suar, Brian (Moh. Mochtar) dan anaknya Ari (Toni Adam). Kesewenang 

 P.T. INEM FILM

SUZANNA
ROBBY SUGARA
PARTO TEGAL
NUR AFNI OCTAVIA
MOH MOCHTAR
TONNY EDAM
BUDI MOEALAM
CAHYONO
DJOHAN SUBANDRIO
CHARLIE SAHETAPY

FULL MOVIE
 

BUMI MAKIN PANAS / 1973



Maria yang semasa kecil penuh dengan kepahitan hidup karena telah membunuh ayahnya dan masuk penjara, setelah dewasa menjadi pelacur. Lukisan dunia pelacur ini realistis sekali. Maria kemudian berkenalan dengan Ari seorang pelukis yang kemudian mengenyampingkan tunangannya, Yanti. Karena kemarahannya tanpa sengaja Yanti telah menabrak Ari hingga menemui ajalnya.

P.T. TIDAR JAYA FILM

SUZANNA
DICKY SUPRAPTO
SOFIA WD
MENZANO
AEDY MOWARD
TINA MELINDA
FARIDA FEISOL
HAMIDY T. DJAMIL





NEWS 
22 September 1973
Ali makin panas, ya ?
NAMA  Ali Shahab adalah jaminan untuk cerita-cerita panas macam yang  dipertontonkan dalam film sumi Makin Panas itu. Memulai kariernya  sebagai penulis cerita-cerita hiburan yang berputar di sekitar tempat  tidur, Ali kemudian beranjak menjadi sutradara pemotretan gambar-gambar  strip yang mengisi beberapa majalah ibu kota. Ketrampilan tangannya  membukakan pintu baginya ke dunia film: dari seorang penata rias, tata  sandang hingga codirector, untuk akhirnya menjadi sutradara penuh. Maka  inilah Bumi Makin Panas, film pertama buah tangan sutradara muda itu  secara utuh, satu cerita, skenario sampai pelaksanaannya. Bagi mereka  yang menggemari cerita-cerita hiburan Ali Shahab, kisah yang dihidangkan  dalam film pertamanya itu bukan barang yang asing. Dan penggunaan media  film lmtuk berkisah itulah cuma yang baru bagi Ali, sedang materi  ceritanya adalah soal yang sejak lama ia gauli

Sebagai sutradara  itulah sebaiknya Shahab yang satu ini dipercakapkan, dan kesimpulan  perbincangan tentulah tidak mengecewakan. Lepas bahwa film Bumi Makin  Panas itu kabarnya mendapatkan sukses komersil yang luar biasa --  sebagai umumnya produksi PT Tidar Jaya Film -- hasil kerja sutradara  muda ini memang patut dipuji. Sekeliling. Tentu saja pujian-pujian ini  masih harus disimpan sebagian, sebab tidak jarang sutradara yang  berhasil ketika membuat debut, kemudian berantakan lantaran mabuk oleh  suksesnya sendiri. Ali Shahab tentu saja bisa mengalami nasib demikian,  namun yang kelihatannya bakal dialami oleh sutradara muda ini pada  film-film mendatangnya adalah sebuah keasyikan bersex yang tidak  dilandasi oleh hubungan wajar dengan kehidupan sekeliling.

Keadaan  demikian memang tidak selalu mudah untuk dihindari, terutama bagi mereka  yang pernah asyik bergelimang dengan cerita- cerita yang digemari orang  banyak. Dalam bentuknya sebagai novel, kepincangan-kepincangannya  memang tidak jelas, tapi serentak kisah-kisah demikian di filmkan,  kelihatan sekali bahwa ia tidak secara sewajarnya berkisah tentang  manusia. Bumi Makin Panas yang cerita dan skenarionya ditulis Ali Shahab  sendiri, merupakan contoh terbaik dari hal tersebut. Kebiasaannya  berasyik-asyik dengan bagian-bagian tubuh yang menggiurkan,  dialog-dialog terbuka yang memberi kepuasan bagi yang mengucapkan maupun  sebagian dari pendengarnya, kemudian menempatkan Ali Shahab pada suatu  posisi bagian-bagian lain cerita tentang manusia-manusia yang menarik  perhatiannya itu

Perhatian yang berlebih-lebihan pada sex itulah  yang mengakibatkan tokohtokoh Ali tidak utuh sebagai manusia. Kesan ini  mudah sekali dirasakan apabila film pertamanya itu ditonton dengan  seksama. Di situ konflik-konflik kemanusiaan tidak mendapat perhatian  yang wajar. Maria (Suzanna) yang keluar dari penjara -- setelah  bertahun-tahun berada di sana karena membunuh ayahnya sendiri ketika ia  masih kecil -- tidak terlalu beda dengan seorang pragawati yang keluar  dari Hotel Indonesia selepas sebuah pameran pakaian. Pertemuan kembali  Johan (Aedy Moward) dengan Maria di tempat pelacuran -- setelah tiga  bulan Johan mencari-cari Maria yang kelihatan dicintainya -- juga  dibiarkan berlalu begitu saja oleh sang sutradara. Kalau saja Ali Shahab  punya waktu merenungkan keutuhan tokoht okohnya, tidak terlalu banyak  yang ia harus perbuat untuk memperbaiki film pertamanya itu. Barangkali  beberapa close up, atau teknik kamera apa lagi yang lain, dan hal-hal  demikian tentulah bukan soal sulit bagi Ali Shahab yang terampil itu. 

Sanggar. Tapi barangkali memang terlalu berlebihan untuk meminta  soal-soal psikologis macam demikian kepada pengarang cerita hiburan  macam Ali Shahab. Dan dalam anggapan demikian itulah orang karus  menerima kehadiran tokoh pelukis Arie (Dicky Suprapto) yang hidup pada  sebuah sanggar yang bagus -- lengkap dengan telepon -- pada suatu pantai  yang indah. Dicintai oleh seorang gadis manis, keponakan Johan yang  banyak membantunya, Arie malah jatuh cinta pada pelacur setelah  membelanya pad suatu perkelahian di sebuah klab malam. Terang tokoh  macarn demikian cuma ada dalam karangan-karangan hiburan yang banyak  memenuhi majalah-majalah hiburan yang puluhan jumlahnya di ibu kota ini.  Tapi dengan amat bergembira, setiap orang harus mengakui bahwa sebagai  sutradara, Ali Shahab mempunyai kebolehan

Boleh kita tidak  senang dengan kisahnya, tapi sebagai sebuah film, Bumi Makin Panas  dikerjakan dengan rapi permainan, sudut pemotretan maupun pengarahan  artistik -- dan manis. Ada kemungkinan bahwa denan cerita dan skenario  yang ditulis orang lain, Ali Shahab bisa menghasilkan sebuah film  Indonesia yang sejak lama dirindukan.