Tampilkan postingan dengan label BING SLAMET (OM BING) 1952-1974. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BING SLAMET (OM BING) 1952-1974. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Juli 2020

DISIMPANG JALAN / 1955

 

Dari Jakarta, Darmaji dipindahkan ke Parit Timah di Pangkal Pinang. Di situ bekerja Sumanto yang bermoral jelek. Ketika ditegur Darmaji, Sumanto marah dan mengajak temannya Rakhman, seorang penyelundup. Dalam suatu perkelahian pistol meletus sebelum direbut Darmaji. Senjata itu menewaskan Rakhman, lalu Sumanto menuduh Darmaji sebagai pembunuh. Darmaji dihukum sepuluh tahun. Baru kemudian terbongkar kecurangan Sumanto, dan Darmaji dibebaskan.

HARI LIBUR / 1957


Pada libur besar, mahasiswa Johan (Bing Slamet) jadi supir pada seorang pengusaha perkebunan (Rd Ismail) yang punya dua putri, Ros (Henny Temple) dan Nora (Misnie Arwaty). Jika Ros langsung menyenangi Johan, Nora malah bersikap angkuh kepada supir yang sebetulnya mahasiswa itu. Sikap Nora berubah setelah tahu bahwa Johan adalah mahasiswa. Cerita serius yang dibumbui komedi.

SUTRADARA A.W. UZHARA
Awal Uzhara dikirim oleh Pemerintah Indonesia untuk belajar di Institut Sinematografi Negeri Rusia (VGIK) di Moskwa, Rusia pada tahun 1958 bersama dengan sutradara Indonesia Sjuman Djaya. Sjuman kembali ke tanah air pada tahun 1965, sedangkan ia tidak bisa kembali dan akhirnya menjadi Asisten Pengajar di VGIK dan mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Kajian Asia & Afrika, Universitas Negeri Moskwa. Uzhara juga seangkatan dengan aktor Soekarno M Noer. Ia menyutradarai Hari Libur (1958). Sebelum berangkat ke Uni Sovyet, paman aktor Rico Tampatty ini memproduksi beberapa film yang dipertunjukkan di festival film internasional pada tahun 1960-an. Pada tahun 2012, Awal Uzhara pulang ke tanah air dan mengajar tentang kebudayaan, kesenian dan sastra Rusia di Universitas Padjadjaran, Bandung.

Kamis, 24 Februari 2011

BING SLAMET 1952-1974






Nama :
Achmad Syech Albar

Lahir :
Cilegon, Jawa Barat,
27 September 1927

Wafat :
Jakarta, 17 September 1974

Pendidikan :
HIS Pasundan,
STM Penerbangan

Profesi :
Musisi, Pelawak dan Aktor

Lagu :
Murai Kasih,
Hanya Semalam,
Ayu Kesuma,
Risau,
Belaian Sayang

Filmografi :
Menanti Kasih,
Di Simpang Djalan (1955),
Pilihlah Aku (1956),
Hari Libur (1958),
Bing Slamet Tukang Betjak (1959),
Amor dan Humor (1961),
Bing Slamet Merantau (1962),
Bunga Putih (1966),
Bing Slamet Setan Jalan (1972),
Bing Slamet Sibuk (1973),
Bing Slamet Dukun Palsu (1973),
Bing Slamet Koboi Cengeng (1974)

Penghargaan :
Bintang Radio (1956)

Bing Slamet adalah seniman serba-bisa, Bing dikenal sebagai penyanyi, musisi, pelawak dan aktor film yang menyandang nama besar. Sejak muda popularitas Bing sebagai penyanyi hampir sama akrabnya dengan keahlian melawak. Pada era 1950-an hingga 1970-an Bing telah menikmati kemasyhuran seorang bintang. Ia menjadi sosok yang melegenda dalam dunia hiburan di Indonesia. Lahir 27 September 1927 di Cilegon, Jawa Barat. Anak Rintrik Ahmad, seorang mantri pasar, ini tidak hanya pandai menyanyi tetapi juga tangkas memainkan gitar. Pada masa kanak-kanak ia pernah dijuluki Abdullah Kecil, Abdullah adalah nama seorang penyanyi tenar di zaman itu, Pada usia 12 tahun, ia mulai bernyanyi didepan umum dan berkelana dalam barisan Penghibur Divisi VI Brawijaya dan sempat menclok di RRI Malang. Di bawah bimbingan Sam Saimun Iskandar dan pemain keroncong terkenal M. Sagi bakat menyanyinya berkembang.

Keelokan suaranya sering disejajarkan dengan suara pembimbingnya sendiri, Sam Saimun. Selain menyanyi, Bing yang bersuara bariton juga seorang pencipta lagu yang cermat memilih tema dan halus menumpahkan perasaannya. Ia pandai merayu alam maupun manusia, tangkas bercanda dan mengajak orang bergembira. Beberapa lagu ciptaannya anatra lain “Murai Kasih”, “Hanya Semalam”, “Ayu Kesuma”, “Risau” dan “Belaian Sayang”. Kesukaannya pada irama meriah mendorongnya membentuk orkes Mambetarumpajo, singkatan Mambo, Beguin, Tanggo, Rumba. Passo-dobel dan Joged. Tak lama setelah itu ia bersama Idris Sardi, Enteng Tanamal dan Benny Mustafa membentuk grup Eka Sapta Band. Meski Bing bersekolah di HIS Pasundan dan STM Penerbangan ia tidak mau menjadi insinyur atau dokter seperti keinginan ayahnya. Ia telah memilih dunia panggung, menyanyi dan melawak sebagai jalan hidupnya. Kecintaan Bing pada dunia hiburan menempatkannya sebagai sosok yang disegani di dunianya. Sejak kecil bakat melawak Bing telah muncul bersamaan dengan bakat menyanyinya. Pada masa awal 1950-an ia pernah membentuk grup lawak “Los Gilos” dengan Tjepot dan Udel yang secara tetap melawak di RRI. Pada tahun 1953, ia menjuarai lomba lawak nasional. Setahun kemudian ia menjuarai Bintang Radio jenis hiburan.

Sejak ssat itu popularitasnya kian menanjak di panggung hiburan. Bing Slamet juga pernah membentuk kelompok lawak Trio SAE bersama Eddy Sud dan Atmonadi pada tahun 1967. Kelompok ini bubar cepat. Setahun kemudian ia membentuk kelompok lawak Kwartet Jaya bersama Ateng, Iskak dan Eddy Sud yang mendominasi dunia pementasan era 1970-an. Dengan mengangkat peristiwa aktual sebagai tema lawakan, pertunjukkan Kwartet Jaya selalu dipadati penonton. Dengan gaya jenaka dan kekanak-kanakkan yang alamiah Bing Slamet Selalu tampil memukau. Selain tampil melawak dipanggung, Bing juga merambah dunia film. Ia memulai kariernya sebagai bintang figuran dalam film “Menanti Kasih”, selanjutnya film “Di Simpang Djalan” tahun 1955, film “Pilihlah Aku” tahun 1956, film “Hari Libur””tahun 1958, film “Bing Slamet Tukang Betjak””tahun 1959, film “Amor dan Humor””tahun 1961, film “Bing Slamet Merantau””tahun 1962 dan film “Bunga Putih””tahun 1966. Bing Slamet juga mendirikan Safari Sinar Sakti Film dan memproduksi film komedi secara berseri dengan grup lawak Kwartet Jaya, seperti “Bing Slamet Setan Jalan””tahun 1972, “Bing Slamet Sibuk””tahun 1973, “Bing Slamet Dukun Palsu””tahun 1973 dan “Bing Slamet Koboi Cengeng””tahun 1974.

Sebagai seorang aktor, Bing bekerja tanpa kenal lelah dan professional melakoni jalan hidupnya didunia film. Tanggung jawabnya mendorongnya bekerja tanpa kompromi, termasuk ketika sakit keras. Dalam film “Bing Slamet Koboi Cengeng”, meski menderita sakit lever ia masih berusaha berakting memikat pecintanya. Pada tahun 1956, setelah merebut gelar Bintang Radio, Bing menikah dengan Ratna Komala Furi. Pasangan ini dikaruniai delapan anak, enam putra dan dua putri. Meski ia seorang bintang ia tidak terpukau dengan gemerlapnya dunia hiburan. Bing tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya sebagai seniman. Sebagai seniman serba-bisa Bing telah membuktikan pengabdian pada dunia hiburan. Sepanjang kariernya Bing pernah beberapa kali menjadi duta bangsa. Pergaulannya yang luas di berbagai kalangan menjadikannya sosok yang selalu dikenang. Ia pandai membawa diri dan dikenal sebagai pribadi pemurah, baik dimata teman dan keluarganya. Setelah bekerja keras dan menikmati pujian sebagai bintang panggung selama bertahun-tahun, Bing Slamet menyerah pada ganasnya penyakit lever yang dideritanya. Pada 17 Desember 1974, pukul 14.50 WIB, Bing menghembuskan nafas terakhir di rumah sahabatnya Eddy Sud di Jakarta. Dengan iringan isak tangis beribu-ribu orang mengantarkan Bing ke tempat peristirahatan terakhirnya di TPU Karet Bivak Jakarta.



19 Agustus 1972

MULANJA hanja main-main, kata Titiek Puspa dengan gaja perawan genit jang main deklamasi. Kali ini ia menempatkan dirinja bukan sebagai isteri Mus Mualim djuga bukan sebagai penjanji si Hitam, tetapi sebagai ketua PAPIKO--Persatuan/Artis Penjanji Ibu Kota. Dengan dandanan jang meradjalela iapun mendjelaskan sedjarah perkumpulannja dimulai ketika para artis menjelenggarakan pertemuan untuk mentjari dana korban bandjir. "Kemudian timbul gagasan untuk membentuk persatuan jang bertudjuan memupuk perasaan saling tjinta-mentjintai antara para artis dan antara artis dengan masjarakat", kata Titiek. "Sekaligus ini membuktikan kebohongan jang menjatakan para artis sukar dihimpun!", teriak Kris Biantoro dengan suara menggelegar menambahkan keterangan ketuanja. Kedjadian ini berlangsung malam minggu pertama bulan Proklamasi ini, di Istora Senajan. Berbeda dengan pertundjukan band AKA dari Surabaja jang lalu, kali ini pengundjung memuaskan, meskipun tidak dapat dipergunakan istilah berdjubel.

Sponsor pertundjukan perusahaan Coca Cola, harian Berita Buana dan Pemerintah DCI sendiri, boleh merasa tidak rugi dalam hal ini. Apalagi perentjanaan atjara dan ide-ide penampilan terlihat ditangan kepala jang tidak kosong. Malam jang sekaligus menggabungkan: njanjian, pameran pakaian, dagelan dan djingkrak-djingkrak ini berlangsung setengah malam dengan padat dan lantjar tidak seret seperti pelaksanaan edjaan baru. Bahkan hampir dapat dikatakan, lantaran terlalu padatnja, penonton jang agaknja sudah biasa ditipu dengan pertundjukan-pertundjukan jang lamban dan ala kadarnja--terasa kualahan. Banjak diantara mereka meninggalkan kursi, sebelum pertundjukan usai, sambil menundjukkan wadjah mabok. Teori ekonomi bahwa kebutuhan semakin ketjil tatkala mendapat pemuasan jang terus menerus, terdjadi disini. Artinja mentang-mentang ada seratus bintang "mbok" Titiek Puspa tahan nafsu sedikit, djangan ngumbar semuanja, untuk mendjaga tempo pertundjukan hingga pas - tidak lebih tapi djuga tak kurang. Memang sulit djuga. Tjawat. Deretan penjanji-penjanji darl jang sudah bernama sampai jang hampir bernama, sempat muntjul dengan teratur. Mengenakan pakaian gagasan dari butik ini dan itu.

Mereka muntjul dipanggung jang berbentuk huruf "T" sambil menjanji dengan sistim "play" back". Jah, ada sadja mulut jang tidak tepat terbuka dan tertutupnja, mengikuti rekaman suara mereka jang dilakukan di studio Metropolitan. Tetapi, gaja djingkrak maupun sedikit ber-"drama-drama"-an, menarik djuga. Bagaikan berlomba, semuanja menundjukkan aksi jang tidak berbau terasi. Mus Ds, Effendi, Tuty Subardjo plus Onny Surjono, Ellya Khadam, Nji Tjondrolukito, Nunin Sudiar, Anita Tourisia, Dudy Iskandar, Frans Dalomez, A. Rafiq, Kus Hendratmo, Tuty Taher, Tati Saleh Wiwiek Abidin, Benjamin, Junus, Trio Bimbo, The Kings, Lilis Surjani, dan sebagainja muntjul dengan urut-urutan jang rame. Bahkan duplikat Lulu di Indonesia, Ernie Djohan jang sudah lama absen, masih mampu djuga aksi dengan mengenakan kebaja. Sedangkan Sitompoel Sisters bangkit dari kuburnja, menjanji sambil mempertontonkan pakaian, entah apa namanja. Titiek Puspa sendiri muntjul dengan partner Indriasari menjanjikan lagu John Lennon "Oh Yoko" Titiek meniru John sedang Indriasari Yoko-nja. Pertundjukan play back berlangsung 4 babak. Diantara babak tersebut ada life show dari band The Female, band Papiko dan Wandy and the Lady Faces, jang paling belakang ini, meskipun sudah susah-susah datang dari Bandung terpaksa sedikit menderita babak belur, karena penonton tidak sudi mendengarkan terlalu banjak djreng-djrengnja jang keras.

The Female sebaliknja jang kala itu sempat menampilkan sebuah lagu Beatles dikeplok rame. Maka dibiarkanlah band wanita ini mengiringi kehadiran Bambang Brothers, sepasang wadam jang tak suka disebut bantji. Pasangan ini memberikan dagelan jang lumajan anehnja. Salah satu Bambang, berhasil menirukan suara Emilia Contessa lengkap dengan lagak lagu mandja plus djatuh bangunnja dikala menjanji. Djuga ditirunja dengan tepat tingkah laku Titiek Puspa jang latah dan bawel. Dan sesudah itu iapun meniru gaja seorang penari strip, mentjopot pakaian satusatu. Ternjata stockingnja berlembar-lembar, sedang dibalik kutangnja terselip bola tenis untuk membuat dada gepengnja menondjol. Pada achirnja setelah tinggal tjawat, ia mengangkat wig mendjadi lelaki sedjati, lalu lari kebelakang dibuntuti teriakan geli para penonton. Klise. Malam telah larut sekali tatkala Bing Slamet cs muntjul. Bing kembali menundjukkan klise-nja jang sudah banjak mendjadi keluhan. Ia muntjul dengan pakaian seorang tante. Teman-temannja Ateng, Iskak dan Eddy Sud djuga tak menundjukkan hasil-hasil baru. Mereka melawak djuga terus dengan tjara-tjara lama: menjanji, memainkan kesalahan bahasa dan memanfaatkan keunikan tubuh. Untunglah atjara ini tak lama. Sebab sepuluh menit lagi tak akan ada jang bisa diketawakan, karena mereka muntjul tanpa persiapan. Mungkin sekali Bing Slamet sudah terlalu banjak main, disamping tak suka lagi menggali kepalanja. Maka Papiko jang pernah "diramekan" dengan pro dan kontra telah berhasil menjelenggarakan pertundjukan pertamanja. Masih mendjadi tanda-tanja adakah mereka akan berhasil dengan pertundjukan-pertundjukan berikutnja. Maklumlah dalam kehidupan jang direndam oleh pepatah: hangat-hangat tahi ajam ini, biasanja sesudah jang pertama kali, kemerosotan adalah normal. Dan disamping itu Papiko agaknja akau lebih berguna kalau lebih serius kepada memikirkan kelangsungan hidup anggotanja, perlindungan kepada tindakan sewenang-wenang, pagar-pagar organisasi jang baik dan--ah, mereka pasti lebih tahu.


28 Desember 1974

SEOLAH-OLAH ia telah mempersiapkan kepergiannya. Ketika ia meninggal Selasa siang pekan lalu, sudah setengah tahun ia tak tampak di depan khalayak. Film kwartet Jaya terpaksa tak lagi memakai namanya. Bilg Slamet Koboi Cengeng disusul oleh Ateng Minta Kawin. Untuk membantu pertunjukan wayang orang yang diselenggarakan Ny. Lies Mashuri 3 minggu yang lewat, Kwartet Jaya -- memegang peran punakawan -- dilengkapi dengan Kris Biantoro. Untuk film Ateng Raja Penyamun, Bing juga belum bisa beranjak. Ia hanya bisa memberi semangat dari kamar tidur. Ia mencium pipi Iskak sebelum sahabatnya ini berangkat Shooting. Matanya besar", Iskak kemudian bercerita "dan suaranya terputus-putus". Seakan-akan ia mempersiapkan Iskak, Ateng, Eddy Sud dan juga kita semua untuk hidup tanpa dia.

Mulanya adalah acara bulan April itu. Pertunjukan di Tegal tersebut seharusnya tak diteruskan. Bing sakit perut. Eddy Sud, yang semula menyangka itu masuk-angin biasa, jadi cemas setelah rasa sakit itu mengganggu terus sampai legal. Ia mengusulkan supaya pertunjukan dibatalkan. Tapi Bing menolak. "Nanti penonton menyangka kita mengibuli mereka dan panitia", katanya, kurang-lebih Maka, sementara Kwartet Jaya main di pentas, Bing berdiri di belakang elekton. Sekujur tubuhya telah payah. Di wajahnya sebenarnya tersirat pergulatannya melawan rasa sakit. Tapi ia ingin tetap tegak di panggung. Ia mencoba bertelekan pada elekton. Namun beberapa detik kemudian, ia roboh. Di antara deretan penonton terdengar ketawa -- seakan-akan Bing jatuh buatkegembiraan pembeli karcis. Waktu Kwartet Jaya kemudian bergegas menutup acara, orang baru sadar bahwa situasinya memang serius. Hanya mereka atau siapa saja -- tak tahu bahwa itulah isyarat pertama dari sang Maut. Bahwa itulah penampilan Bing Slamet yang penghabisan. Sebab, sejak itu, Bing tak kelihatan lagi. Ia dirawat di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Ulu hatinya konon membengkak, dan dalam saat krisis ia pernah tak sadarkan diri selama 5 hari. Perawatan dr Pang kemudian meredakan sakit itu. Tapi untuk istirahat total, ia harus diungsikan ke sebuah rumah di Jl. Dempo -- rumah adiknya -- dan dirahasiakan dari publik. Agaknya orang yang dekat dengannya waktu itu pun sudah was-was. "Saya memang telah merasa Bing akan meninggalkan kami semua dalam waktu dekat ", kemudian tutur Eddy Sud rumahnya jadi peristirahatan. Bing di hari-hari terakhir. Perasaan serupa barangkali menghinggapi banyak kenalan. Seperti meramalkan sesuatu menyedihkan pada suatu malam bulan Nopember, TVRI menyajikan acara "Lagu dan Pencipta" -- dengan Bing Slamet dalam fokus. Tapi berbeda dengan kelaziman acara ini malam itu sang komponis tidak hadir di studio. Di layar hanya tampak profilnya digambal pada kanvas yang besar. Gambar itu melatarbelakangi kanvas para penyanyi yang membawakan lagu-lagu ciptaannya. Dan ketika Nien Lesmana menyanyikan Hanya Semalam - ia bagaikan mengenangkan tahun yang lalu, sewaktu nyonya Jack Lesmana ini masih sering menyanyi di RRI Jakarta, bersama Ratna dan (tentu saja) Bing. Banyak penonton terkesiap: TVRI seolah-olah tengah memperingati seorang musikus almarhum. Untunglah di ujung acara diperlihatkan wawancara penyiar Anita Rahmanl dengan sang seniman. Dalam filmnya agak goyang dan kabur itu, mereka tampak duduk di sebuah rumah yang tak dikenal. Suara Bing pelan, gemetar meskipun nadanya masih utuh. Wajahnya pucat, kurus, meskipun tampak cakap dan bersih.

Akan sembuhkah ia? Pekan yang lalu, jawabannya adalah tidak. Harapan bagi penderita sakit lever separah Bing memang kecil, tapi kematian itu tetap mengejutkan. Ketika sopir menyusul Eddy Sud di PFN (tempat Ateng Raja Penyamun dibuat) dan mengatakan bahwa Bing dalam keadaan gawat. Sambatnya ini langsung pulang tanpa mencopot cambang palsu dan menghapus bedak riasnya dalam Film Ateng dan Iskak menyusul. Dan di kamar depan yang memantulakan warna coklat dan kuning kesayangan Bing itu Kwartet Jaya kembali berkumpul buat terakhir kalinya. Kali ini tak untuk menbuat orang tertawa. Jl. Arimbi Jemaah dibawa ke Jl Arimbi di daerah Tanah Tinggi Senen. Di situlah rumah Bing Slamet di mana tinggal ister dan 8 anaknya. Tapi sementara sang isteri Ratna Komala Poeri, menangis dan menciumi wajah yang terbaring dalam usia 47 tahun itu, kesedihan hari itu dengan segcra jadi milik umum. Chitra Dewi menangis dalam pelukan Iskak. Vivi Sumanti kehilangan suara dan jongkok termangu di bawah poster Bing Slamet Dukun Palsu. Bekas Kapolri Hugeng menghapus airmata sambil berkata kepada sisa-sisa Kwartet "Teruskan cita-cita kakakmu" Bekas Menteri Budi Hardjo datang Wakil Gubenur Wiriadinata disambut dengan pelukan oleh Eddy Sud. Bersama tokoh PWI Pusat Rosihan Anwar. Menteri Penerangan Mashuri dan nyonya juga ikut berdesak-desakan di antara para pelawat, dan kepada yang hadir berkata " Saya pribadi dan pemerintah merasa kehilangan seorang seniman yang serba bisa" Jam 12 malam, Rima Melati dan dan suaminya hadir dengan pakaian hitam-hitam. Bagio, Benyamin, Sofia WD, WD Mochtar, Hamid Arief, Wolly Sutinah dan hampir semua buntang layar dan panggung mengalir tak putus- putus. Kesedihan tampaknya tak bisa diringkus dengan mudah, mengenang orang yang kini terbaring beralaskan kain loreng merah-hijau-kuning itu. Begitu rupa desakan orang buat memandang wajah Bing terakhir kali, hingga pada jam 11 pagi, "ijin melihat" itu tak diberikan lagi. Jam 11.15, jenazah dibawa ke mesjid Al Ittihadjah di dekat rumah, untuk disembahyangkan.

Di antara yang menyembahyangkan: Wapangab Jend. Surono, "Saya datang sebagai kawan Bing", kata perwira tingi berpakaian seragam itu dengan singkat. Tidak semua yang hadir, yang sedih, yang ingin serta dalam penghormatan terakhir itu adalah kawan Bing. Tapi unggunan karangan bunga yang tak termuat oleh satu bis khusus itu, juga barisan pengiring jenazah sepanjang 4 Km, juga hiruk-pikuk dan ribuan manusia yang berdesakan itu, semuanya menunjukkan bahwa Bing adalah kawan mereka. Orang dari Banten yang bernama Slamet itu (kemudian ditambahi "Bing" oleh Fifi Young), ternyata begitu dekat ke diri manusia-manusia itu. Barangkali karena namanya sejak hampir seperempat abad yang lalu telah menetap di benak khalayak melalui pelabagai media massa. Ketika umurnya masih belasan, ia sudah nyanyi di radio Zaman Jepang, "Hosokyooku". Sejak awal tahun 1950-an nama itu semakin menanjak dengan kegiatan Bing di RRI Jakarta. Tapi tangga terpenting karir Bing bukanlah ketika ia dalam umur 28 tahun memenangkan Bintang Radio jenis Hiburan (ia pernah gagal untuk jenis seriosa). Sejarah barunya bermula ketika ia bergabung dengan Cepot dan Udel dalam satu trio lawak. Los Gilos Cepot adalah Hardjodipuro -- kini pensiunann Dep. Penerangan -- dan Udel adlah Purnomo, sarjana Biologi yang kini hampir pensiun dari Dep. Pertanian, bintang terkenal dalam Si Mamat. Kedua orang itu sejak 1945 mengisi acara "Sepintas Lalu" -- mirip gaya obrolan Mpok Ani dan Bang Madi. Di tahun 1953, duet itu bertemu dengan Bing yang baru datang dari Jawa Timur. Bing dicomot dan itu duet jadi trio "Sebab Bing suka nyanyi sambil menggerak-gerakkan alisnya secara menggelikan", kata Purnomo.

Tapi kelebihan Bing bukan cuma itu: ia bisa mengubah suaranya -- konon sampai 4 macam dan ia lantip dalam perkara meniru-nirukan. Dan tentu saja faktor lain yang tak bisa ditinggalkan untuk seorang pelawak: Bing bisa akting. Di tahun 1951 ia sudah menunjukkan secara lebih jelas kemampuan ini, walaupun masih belum beres benar, ketika ia ikut film Sepanjang Malioboro di sela-sela Abdul Hadi dan Titien Sumarni. Maka tahun-tahun itu adalah tahun-tahun Trio Los Gilos, zaman tiga orang sinting-sintingan di studio V RRI Jakartal, yang jadi inti dari acara Kabaret akhir bulan yang begitu populer dari seluruh Indonesia. Bing Slamet dengan segera jadi bintang trio. Ia mungkin bukan anggota yang paling cerdas dalam memutar mesin humor di kepalanya, tapi ia yang paling banyak bisa. Ia bisa muncul sebagai perempuan atau anak kecil, ia bisa nyanyi dengan banyak logat dan lagu. Tak mengherankan, bila ia merasa disitulah dunianya. Ketika Los Gilos macet, maka Bing Slamet-lah yang jalan terus denagn aktifitas melawak -- dan bukan kedua orang seniornya. Memang tak bisa lain: Hardjodipuro terikat dengan dinas sehari-hari di RRI, sedang Purnomo pegawai Departemen Pertanian. Kedua mereka melawak sebagai sambilan. Ketika kegiatan Trio Los Gilos melebar ke luar studio V, meladeni pesanan dari beberapa kota di Jawa, hal itu tentu sangat merepotkan. "saya da Cepot tak mungkin meninggalkan kantor di hari kerja", kata Purnomo mengenang masa itu. Mereka baru bisa mengadakan pertunjukkan di luar Jakarta jika lagi cuti atau hari Minggu dengan syara di hari Senin harus balik di kantor.

Betapapun, para pelawak hari Minggu itu toh bisa bersama-sama sampai 20 tahun. Di sebuah pertunjukan di Senayan, 1963, Bing dan Purnomo mengambil kesempatan di balik panggung. Mereka merayakan pertemuan 10 tahun sebelumnya, diam-diam. Masing-masing minum sebotol limun. Melawak, setidaknya waktu itu memang pekerjaan yang "sunyi". Orang ramai cuma tahu apa yang tampak di pentas, tapi tak akan acuh untuk apa yang ada di balik itu. Dengan harapan memperbaiki hidup agaknya, sembari mencoba suatu kesempatan, Trio Los Gilos bermain untuk film Raja Karet Dari Singapura, tahun 1956. Tapi film itu tak laku. Agaknya juga tak bermutu, justru karena terlampau banyak pelawak: Kuncung, Poniman, D. Harris dan Srimulat. "Bukan Raja Karet dari Singapura", kata Bing setelah kegagalan itu, "tapi Raja Singapura dari karet. Membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun buat Bing untuk mengubah kegagalan menjadi sukses dalam film setidaknya dari segi komersiil. Film semacam Bing Slamet Setan Jalanan diawal tahun 1970-an mengukuhkan popularitasnya, meskipun tidak mengukuhkan kapasitasnya sebagai aktor komedi yang lebih dari sekedar badut-badutan. Maka walaupun dikritik, film-film itu jadi media yang memperkuat kehadirannya dalam kesadaran sehari-hari khalayak ramai -- dari anak 3 tahun sampai dengan bapak 70 tahun. Seperti halnya dalam iklan "Tiga Berlian" TV dengan Eddy Sud dan teriakan "Enaaaak", pemunculan Bing mungkin tak terlalu meyakinkan tapi efektif. Tentu tak bisa dipastikan bahwa seandainya Bing hidup terus dan aktif terus, ia akan tetap berada di tempat teratas dalam hati penonton. Dunia show business mengandung sifat-sifat yang akan menyisihkan apa saja yang mulai membosankan.

Bing dan Kwartet Jaya -- selama ini bisa tetap menonjol, sukurlah. Tapi, salah satu sebabnya barangkali karena di Indonesia masih terlalu sedikit pelawak -- khususnya yang mempergunakan bahasa nasional -- dan persaingan belum gencar. Apabila suatu saat nanti tokoh-tokoh baru muncul, barangkali keadaan akan jadi lain. Kekurangan bahan lelucon yang segar pengulangan pola yang itu-itu juga, dengan cepat akan bisa mematikan seseorang atau suatu grup yang sudah puas diri. Itulah sebabnya sebelum ia meninggal, sudah mulai, banyak pengagumnya yang cemas: bagaimana mengingatkan Bing dan kawan-kawannya bahwa perbendaharaan humor mereka sudah menunjukkan tanda-tanda kering. Bukan karena Bing, Ateng dan Iskak masing-masing kurang berbakat. Tapi mereka agak terlampau sering muncul, baik karena cari uang ataupun karena sekedar menyumbang acara perhelatan seorang rekan. Sementara itu, ilham atau ide baru tak selalu lahir dengan lancar. Kwartet Jaya dan Bing Slamet bagaimana pun juga pada suatu saat akan bersua dengan hukum kebosanan dan kecapekan. Pele Mungkin itulah segi yang positif dari meninggalnya. Tuhan memanggil Bing sebelum ia turun dari pentas. Bagaikan si Raja Bola Pele, Bing "mengundurkan diri" sebelum ia dicoret dari daftar penonton.

Kwartet Jaya sendiri sudah mulai terbiasa untuk menjadi kwartet minus satu. Trio Ateng-Iskak-Eddy Sud -- yang berniat untuk tak menambah anggota -- bahkan baru selang tiga hari setelah Bing meninggal sudah tampil di pentas Hotel Aryaduta, sonder wajah sedih. "Kesedihan tak boleh dibawa-bawa ke pekerjaan", kata Ateng konon mengikuti petuah Bing, sendiri. Dan nama Bing Slamet barangkali juga tak akan lagi mereka bawa-bawa: Bing memang penting, tapi siapa tahu Ateng bisa menggantikan popularitasnya. Bahkan, menurut seorang yang cukup dekat dengan grup pelawak ini, Ateng -- yang paling muda -- paling punya potensi untuk ide-ide yang tidak "kuno", sementara Iskak masih cukup punya kemampuan improvisasi. Tinggal bagaimana Eddy Sud menambah garam dengan menunjukkan dirinya -- benar-benar sebagai pelawak secara lebih penuh -- dan tak cuma jadi si ganteng yang sedikit meletakkan diri di atas si tampang jelek. Pendeknya, tanpa Bing pun, Kwartet itu masih punya potensi -- asal selalu memperkaya diri dengan cadangan humor, dan bisa memanfaatkan kritik. Bing Slamet sendiri barangkali kelak tak akan dikenang sebagai pelawak. Sebab ia memang tidak cuma itu. Sebagai komponis barangkali karyanya akan lebih bisa tahan-waktu dari lelucon-leluconnya: Kwalitas komposisinya agaknya tak kalah dari ciptaan-ciptaan Ismail Marzaki. Lagu-lagunya seperti  Hanya Semalam dan Belaian Sayang -- masih tetap enak didengar, apalagi bila suara Bing sendiri yang menyanyikannya: besar, penuh perasaan, jernih. Suara itu juga mungkin abadi. Namun apabila kesedihan begitu merata di kalangan bintang film dan penyanyi minggu yang lalu, barangkali soalnya karena yang meninggal adalah seorang yang lebih dari sekedar seniman: ia adalah rekan yang selama hidupnya lebih banyak memberi daripada meminta. Udel bisa bercerita panjang bagaimana Bing bukanlah orang yang "profesional" dalam urusan uang pembayaran untuk pertunjukannya. Di zaman Trio Los Gilos -- yang tentu saja tanpa manager, tanpa promotor -- siapa saya di antara mereka bertiga bisa menerima pesanan untuk main. "Nah, kalau sudah Bing yang terima, permintaan uang", kata Udel mengenang rekannya yang 4 tahun lebih muda itu, "sering kami pulang dengan tangan kosong": Soalnya, Bing tak pernah mau menyebut atau menyinggung perkara duit, bila panitia pengunjung menanyakannya. Paling banter dijawabnya: "Itu gampang, deh". Sering mendapat kesempatan macam ini, diakhir pertunjukan sang panitia betul-betul menggampangkan mereka: orainnya kabur, atau muncul dengan menyodorkan wajah pilu "sorry kita-rugi" Sebagaimana yang digambarkan Udel, pada Bing terdapat pribadi yang selalu menaruh kepercayaan kepada orang lain -- kadang-kadang dengan teramat mudah. Dalam diri Bing juga selalu ada kesulitan untuk menolak pemintaan orang. Pada zaman DI masih menteror Jawa Barat, Trio Los Gilos -- lewat Bing -- menyanggupi untuk main di Garut. Mereka kemalaman di jalan, dan meskipun diperingatkan petugas, dengan Fiat-kodok mereka terus saja. Untung selamat. Tanpa diantar ke penginapan, dulu, mereka langsung ke gedung pertunjukan buat 2 x main. Panitia penyelenggara yang menjanjikan honor Rp 10.000 ternyata menghilang begitu acara usai. Baru setelah lama kemudian ketemu -- dan cuma memintakan bisa membayar Rp 1000. Bing memandang Udel: "Sorry, mas". Udel mengkal juga tapi itulah Bing: "jiwa sosialnya tak ada duanya". Bing menyelesaikan kerja dan janjinya kepada orang lain dengan baik-, Biarpun seringkali orang lain tak memenuhi janji yang diberikan kepadanya. Hatinya mulia. Tuntutannya kepada hidup sangat bersahaja. Banyak pertunjukan yang tiba-tiba oleh Bing jumlah pemainnya ditambah untuk memberi kesempatan artis-artis yang sedang tidak laku supaya bisa ikut. Bila perlu, untuk mereka, Bing tak mengambil seluruh agiannya dari honorrarium. Ia berbagi. Pernah ia berkata, kepada Ed Zulverdi: "Tiap saya menyerahkan uang pada isteri di rumah, selalu saya pesawat ini uang belanja, dan hati-hati sebagian bukan milik kita". Orang masih ingat bagaimana komponis Gesang sedikit tertolong hidupnya, ketika Bing menyerahkan seluruh hasil pertunjukannya di TIM, dalam acara malam dana khusus untuk itu. Dan bagi dirinya sendiri? Dengan seorang isteri dan 8 anak yang belum mentas, Bing tetap mendiami rumah di Arimbi itu. Ukurannya tak terlalu lebih luas dari 7 x 10 meter. Listrik di rumahnya remang-remang. Gang sempit itu -- yang untuk perbaikannya Bing ikut menyumbang sejumlah uang -- masih sering banjir. Benyamin-S., anak didiknya yang sukses, sudah pindah dari gang becek di Haji Ung Kemayoran ke wilayah, mewah Kebayoran Baru. Tapi Bing tetap di tempatnya semula. "Rumah ini sangat saya sayangi", katanya suatu ketika, "sebab orang sekitar kampung ini semua baik-baik". Baik hati, dan bukan mentereng, agaknya itulah ukuran tertinggi dalam filsafat Wdupnya. Di situlah Bing Slamet jadi perkecualian yang amat berharga dari gaya hidup orang-orang show business di kota besar ini. Ia tak mengangkat diri ke kemewahan, yang begitu jauh dari orang-orang kampung: Ia penghibur -- bukan dengan cuma melawak, tapi dengan merasa sepersaudaraan.
22 Juni 1974 Bing slamet meninggal?

BING Slamet mati. Kontan handai-taulan tukang banyol itu bersedih hati dan beramai-ramai melawat ke rumah Bing. Sesampai di rumah-nya yang terletak tak jauh dari kota Paris (almarhum) yang mereka temukan bukan kerumunan orang yang sedang berkabung. Tapi anak Bing yang berdiri di depan pintu dengan pandangan mata tak sedap. Begitu dipersilahkan masuk rumah, hati pelawat jadi plong karena mereka melihat Bing Slamet segar bugar, biarpun dia belum sembuh betul dari sakit lambung perut. Siapa yang membuat geguyon yang rada keterlaluan ini? Ceritanya begini. Kabarnya Hamidy T. Djamil mampir dalam sebuah toko buku kecil. Dari penjualnya yang berambut gondrong, Hamidy mendengar nasib buruk Bing. Sebuah koran berbahasa Inggeris pun mendengar berita kematian Bing. Dan redaksi koran tersebut lantas angkat telepon dengan Safari Sinar Sakti di jalan Tanah Abang III. Orang di sana juga kelabakan mendengar berita ini, biarpun mereka tidak bisa meyakinkan diri apakah betul Bing meninggal atau masih hidup. Demikianlah, berita itu merembet dengan cepatnya bagaikan api menjilat bensin. Akibatnya isteri Bing menangis dan menangis lagi setiap kali ada rekan-rekan datang untuk menyatakan dukacita. Wim Umboh hampir saja kirim bunga. Karena penasaran betul tidaknya Bing meninggal, Wim dan isteri barunya datang juga menjenguk ke rumah Bing. Malahan Direktorat Film Deppen sempat terlanjur mengirim bunga. Tapi begitu sampai di bendul pintu rumah Bing, karangan bunga dikembalikan dan kartu duka cita dirobah bunyinya jadi: "Bing Slamet segar bugar"


BING SLAMET SETAN DJALANAN1972HASMANAN
               Actor
JUDA SABA DESA1967LILIK SUDJIO
Actor
BING SLAMET SIBUK 1973 HASMANAN
Actor Composer
BING SLAMET TUKANG BETJA 1959 C.C. HARDY
Actor
BING SLAMET MERANTAU 1962 RIDWAN NASUTION
Actor
BING SLAMET SETAN DJALANAN 1972 HASMANAN
Composer
BING SLAMET KOBOI CENGENG 1974 NYA ABBAS AKUP
Actor
BING SLAMET DUKUN PALSU 1973 MOTINGGO BOESJE
Actor Composer
HARI LIBUR 1957 A.W. UZHARA
Actor
AMOR DAN HUMOR 1961 USMAR ISMAIL
Actor
RADJA KARET DARI SINGAPURA 1956 FRED YOUNG
Actor
HANTJURNYA PETUALANG 1966 TURINO DJUNAIDY
Actor
PILIHLAH AKU 1956 NAWI ISMAIL
Actor
BUNGA PUTIH 1966 HASMANAN
Actor
TIGA BURONAN 1957 NYA ABBAS AKUP
Actor
SOLO DI WAKTU MALAM 1952 NAWI ISMAIL
Actor
2 X 24 DJAM 1967 DANU UMBARA
Actor
AMBISI 1973 NYA ABBAS AKUP
Actor Composer
DISIMPANG JALAN 1955 THE TENG GAN
Actor
MELATI SENDJA 1956 BACHTIAR SIAGIAN
Actor