Tampilkan postingan dengan label CHAERUL UMAM 1975-2009. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CHAERUL UMAM 1975-2009. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Januari 2011

CHAERUL UMAM 1975-2009

CHAERUL UMAM


(lahir di Tegal, Jawa Tengah, 4 April 1943; umur 66 tahun) adalah seorang sutradara Indonesia. Chaerul telah mendapatkan penghargaan maupun nominasi untuk karya-karyanya di berbagai acara penghargaan lokal maupun internasional.

Sekali waktu, Sutradara D. Djajakusuma memintanya mengisi suara (dubbing) sebuah film. Biasa main band di SMA, Chaerul Umam tidak kikuk menghadapi mikrofon. ''Eh, tak tahunya dibayar,'' katanya. Jumlah bayaran sama dengan bila ia sekali main drama -- yang latihannya berbulan-bulan. ''Pikiran saya waktu itu, enak benar jadi orang film, duitnya banyak.''

Promosinya sebagai sutradara juga tanpa sengaja. Pada 1975, Asrul Sani menangani film Tiga Sekawan, produksi Kwartet Jaya pimpinan Eddy Sud. Dua minggu sebelum shooting, Asrul mendadak mengundurkan diri. Tiga sutradara -- Misbach Jusa Biran, Wahju Sihombing, dan Nya Abas Acub -- diminta menggantikannya. Semua menolak. Acub malah mengusulkan Chaerul, yang memang pernah melamar, sebagai pengganti Asrul. ''Dan jadilah saya sutradara,'' tutur anak Tegal, yang biasa dipanggil Mamang ini.
 
 
 
Anak opseter ini dididik dalam ketaatan beragama oleh ibunya, seorang muballighat. Walaupun bercita-cita menjadi polisi, si kecil Mamang gemar berteater di desa kelahirannya. Lewat grup Ababalu yang dibentuknya, ia merekrut para tetangganya -- tukang krupuk, tukang obat, pembatik -- untuk main sandiwara.Pindah ke Yogyakarta, jebolan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini membentuk grup Pentas Cuwiri, bersama Syu'bah Asa (kelak wartawan Tempo) dan Abdurrachman Saleh (terakhir pengacara). Ia juga bergabung dengan Teater HMI, kemudian tiga tahun mengikuti Bengkel Teater pimpinan Rendra.

Chaerul Umam mulai dicatat sebagai sutradara yang baik lewat film Al Kautsar, 1977, produksi PT Sippang Jaya Film, dan Titian Serambut Dibelah Tujuh, 1983, produksi PT Kofina. Kedua film bernapaskan Islam itu tampil utuh. ''Mungkin karena lingkungan kecil saya bersuasana keagamaan,'' katanya. Al Kautsar meraih penghargaan dari Festival Film Asia di Bangkok untuk Film Budaya Sosial Terbaik dan Rekaman Suara Terbaik. Namun, lewat Gadis Marathon, 1981, Mamang juga membuktikan dirinya mampu menggarap tema nonagama.

Pengagum sutradara Jepang Akira Kurosawa ini mengaku belajar film dari Sjumandjaja, Motinggo Boesje, Teguh Karya, dan buku- buku. Dalam menerima ''order'', ia mensyaratkan skenario yang baik, misi yang jelas, dan tidak mau didikte. Ia pernah menolak membikin film komedi seks.

Anak ketiga dari empat bersaudara, Mamang kini ayah sepasang putra-putri. Dulu ia suka lari pagi, tetapi belakangan lebih sering malas. Ia juga dikenal sebagai pembaca cerita pendek yang baik, dan beberapa kali tampil di TIM, Jakarta.


SEORANG DUBBER
BEBERAPA  tahun lalu, nama Imam Setyantono, Chaerul Umam, sehari-hari dipanggil  Mamang, identik dengan dubber (pengisi suara) top suaranya yang bernada  bariton itu, antara lain bisa didengar lewat dialog pemeran kepala  stasiun dalam film Koboi Sutra Ungu. Kini ia menyandang predikat lain:  sutradara terkemuka. Baru saja melewati usia 40 tahun, April silam,  Mamang sudah magang untuk profesi sutradara sejak 10 tahun berselang.  Potensinya menyata dalam film Al-Kautsar (1977) dan Gadis Marathon  (1982). Kuat dugaan dalam FFI tahun ini, filmnya Titian Serambut Dibelah  Tujuh (TSDT) akan terpilih sebagai film terbaik. Di rumahnya yang  "sering kebanjiran kalau hujan", sutradara kelahiran Tegal ini, pada  suatu malam pekan silam, berbincang santai dengan James Lapian dari  TEMPO

Beberapa petikan: Mengapa Anda tertarik memfilmkan kembali  TSDT? Tahun 1973 saya membaca skenario TSDT di Sinematek dan menemukan  dua hal yang menarik. Pertama, plot cerita yang dipakainya bergaya  western yaitu plot linear. Kedua tema cerita menyodorkan kritik sosial  dalam masyarakat Islam. Benarkah Anda mengubah skenario? Perubahan  pertama justru dilakukan Asrul Sani, penulisnya sendiri. Perubahan ini  dimaksudkan untuk menyesuaikan kembali dengan perkembangan masyarakat.  Kemudian, baru saya mengadakan perubahan untuk skenario yang telah  direvisi itu. Tapi sedikit, sekitar 10-20%. Itu pun terbatas pada  masalah interpretasi terhadap skenario tersebut. Adakah semata-mata  pesan "kebatilan pasti kalah" yang ingin Anda sampaikan lewat TSDT?  Tidak. Justru saya ingin mengetengahkan masalah "kepemimpinan", tepatnya  lagi, pudarnya keberanian untuk memimpin. Ini saya ungkapkan melalui  tokoh Ibrahim. Kabut yang Anda hadirkan dalam TSDT, adakah dimaksudkan  untuk lebih memberi tekanan pada setting desa yang terpencil? Kabut  tidak punya hubungan dengan desa yang saya tempatkan terpencil di  sela-sela pebukitan. Kabut hanya metafora yang melambangkan adanya  selubung. Yakni selubung terhadap masalah yang ditampilkan. Saya sendiri  tidak tahu apa yang menyelubungi, tapi saya sadar itu ada. Saya tidak  menyalahkan Anda yang melihat itu sebagai kabut. Bagaimana dengan desa,  simbol juga? Kesederhanaan desa yang belum dijamah teknologi -- Anda  bisa langsung tahu ini karena tidak adanya tiang listrik di sana  sebenarnya melambangkan republik kita ini. Untuk ini saya tidak memberi  warna lokal, karena desa seperti itu bisa ditemui di mana-mana. Namun  saya sadar untuk menghilangkan warna lokal juga sulit sedangkan  pengimbuhannya tidak selalu diharuskan.

Mengapa Anda cenderung  pada Islam sebagai latar? Karena itu yang paling saya ketahui. Kegagalan  saya dalam Sepasang Merpati karena saya tidak mengenal lingkungan yang  jdi landasan cerita. Demikian juga dengan Gadis Marathon yang tertolong  skenario (ditulis oleh Sjumaridjaya -- red.) yang kuat. Kalau saja saya  mengenal dunia olah raga, atletik khususnya, film itu pasti lebih baik.  Adakah hal lain yang ingin Anda ungkapkan sehubungan dengan  penyutradaraan TSDT? Ya. Saya bebas dari campur-tangan pihak produser  (Dewan Film). Berarti saya bertanggung jawab penuh atas buruk baiknya  film tersebut. Dan saya tidak bisa berlindung di balik alasan "tekanan  produser yang mengharuskan begini dan begitu." * * * Bupati  Sosroningrat, yang dalam film R.A. Kartini diperankan Wisnoe Wardhana,  memang penuh dengan konflik. Sebagai seorang bupati, ia sudah selayaknya  patuh pada adat yang turun-temurun. Misalnya saja, ia harus memasang  tembok pemisah antara R.A. Kartini, anaknya, dan Mas Ayu Ngasirah, ibu  kandung Kartini. Maka ketika Kartini di suatu hari kemudian meminta  kepada bapaknya agar ibu kandungnya diundang makan bersama, bisa  dibayangkan apa yang berkeaamuk dalam sanubarinya: antara mempertahankan  adat dan memenuhi tuntutan kemanusiaan anaknya. Sosok yang penuh  konflik itu ternyata dihadirkan oleh aktor Wisnoe Wardhana dengan bagus.  Apa resepnya

"Wah tak ada resep-resepan, saya main, ya main  begitu saja," kata penari yang kini sedang menyiapkan disertasi di IKIP  Yogyakarta. Tapi memang ada yang dilakukan Wisnoe. Dengan tekun ia  mempelajari skenario Kartini selama setengah bulan. Ia pun selama itu  berusaha menghafal dialog-dialog yang harus dilakukannya. Akhirnya  muncul keyakinan dalam dirinya bahwa "kehidupan Bupati Sosroningrat yang  harus saya perankan tak jauh berbeda dengan keluarga saya sendiri."  Wisnoe, memang dilahirkan di dalam dinding keraton Yogya, 1929.  Neneknya, Ratna Djuwita, dipersunting Sri Sultan Hamengkubuwono VII.  Peran Sosroningrat, kemudian dibawakannya dengan sangat wajar. Boleh  dikata suasana kejawaan Kartini terbentuk antara lain berkat permainan  Wisnoe. Lelaki dengan tinggi 172 cm dan berat 72 kg itu bukan orang baru  dalam dunia film. Film pertamanya Roda Revolusi (1965) kemudian ia  sempat bermain dalam beberapa film. November 1828, dan Al-Kautsar,  antara lain. Diakuinya perannya dalam Kartini memang menantang. Tak  mengherankan bila ia berusaha keras untuk membawakannya dengan baik.  Adapun Sjumandjaya, sutradara Kartini, menjatuhkan pilihan pada Wisnoe  karena "saya suka posturnya." Maksud Sjuman, "untuk membawakan seorang  bupati Jawa yang progresif saya kira yang paling tepat ya Wisnoe."  Sjuman telah rnengenal Wisnoe ketika main dalam sandiwara, ketika ia  menari, dan ketika ia main dalam film. Toh, bagi Wisnoe sendiri film  Kartini tidak sepenuhnya memuaskan. "Saya menyesal mengapa bukan suara  saya sendiri dalam film itu, tapi suara Maruli Sitompul," katanya kepada  TEMPO. Padahal kegagalan saya waktu dubbing, hanya karena saya belum  diberi kesempatan maksimal

Tapi Sjuman punya pendapat sendiri:  "Wisnoe seorang dalang juga, yang disiplin dlalognya tidak tepat untuk  keperluan dubbing. Gara-gara suaranya diisi orang lain, sekalipun  mainnya bagus, maka Wisnoe tak berhak untuk mendapat Citra. Sayang,  memang. * * * Bagi Dewi Irawan, anak pertama almarhum aktor Bambang  Irawan, perannya sebagai Halimah dalam Titian Serambut Dibelah Tujuh  memang baru. "Saya ingin mengubah gambaran bahwa saya cuma cocok untuk  peran gadis binal," katanya kepada TEMPO ketika ditemui di Pusat  Perfilman Usmar Ismail. Aktris yang kini berusia 20 tahun ini mengaku  membaca skenario TSDT dengan tekun. Penafsirannya terhadap tokoh Halimah  berubah setelah pengambilan gambar dimulai. Mula-mula Dewi menafsirkan  si Halimah memang gila. "Tapi kemudian saya sadar bahwa Halimah  sebenarnya belum gila," kata Dewi. "Semua perilakunya untuk menunjukkan  bahwa ia sebenarnya tidak bersalah." Atas dasar penafsiran itulah ia  bermain dengan gemilang, menandingi El Manik yang menjadi lawan mainnya.  Pengagum Jane Fonda ini pertama kali terjun dalam film pada usia 9  tahun, membawakan peran kecil dalam Hanya Satu Jalan (1972). Selang dua  tahun kemudian baru ia mendapat porsi agak besar dalam film Belas Kasih  yang disutradarai ayahnya. Adakah Dewi memimpikan Citra? "Bukan  Citra-nya yang penting, tapi kontrak filmnya," kata mahasiswi Fakultas  Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta itu terus terang. "Untuk  ngebiayain sekolah gue.

SEPASANG MERPATI 1979 CHAERUL UMAM
Director
AL KAUTSAR 1977 CHAERUL UMAM
Director
NADA DAN DAKWAH 1991 CHAERUL UMAM
Director
BOSS CARMAD 1990 CHAERUL UMAM
Director
RAMADHAN DAN RAMONA 1992 CHAERUL UMAM
Director
JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA 1990 CHAERUL UMAM
Director
BINTANG KEJORA 1986 CHAERUL UMAM
Director
FATAHILLAH 1996 CHAERUL UMAM
Director
JOE TURUN KE DESA 1989 CHAERUL UMAM
Director
TERAN BULAN DI TENGAH HARI 1988 CHAERUL UMAM
Director
KEJARLAH DAKU KAU KUTANGKAP 1985 CHAERUL UMAM
Director
OOM PASIKOM 1990 CHAERUL UMAM
Director
CINTA PUTIH 1977 CHAERUL UMAM
Director
NARROW BRIDGE, THE 19-- CHAERUL UMAM
Director
KELUARGA MARKUM 1986 CHAERUL UMAM
Director
TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH 1982 CHAERUL UMAM
Director
BETAPA DAMAI HATI KAMI 1981 CHAERUL UMAM
Director
GADIS MARATHON 1981 CHAERUL UMAM
Director
TIGA SEKAWAN 1975 CHAERUL UMAM
Director
MALIOBORO 1989 CHAERUL UMAM
Director
HATI YANG PERAWAN 1984 CHAERUL UMAM
Director
SAMA JUGA BO HONG 1986 CHAERUL UMAM
Director
SAMA JUGA BOHONG 1986 CHAERUL UMAM
Director

BETAPA DAMAI HATI KAMI / 1981

 

Tujuannya: jalan agama itu yang membawa kebahagiaan dan kedamaian. Sayangnya, tujuan itu disajikan dengan gampangan dan sangat hitam-putih. Kedua orang tua Tiara (Gina Adriana) dan kakak-kakaknya, pada awal film ditunjukkan sebagai orang berada yang saleh. Tiba-tiba keluarga itu jadi berantakan. Tiba-tiba saleh kembali. Ketiba-tibaan ini juga menjadi mencolok, karena sutradara banyak sekali menggunakan suara Tiara untuk bercerita secara "off screen". Tiara lalu bersekolah ke Yogya. Saat kenaikan kelas --lagi-lagi tiba-tiba-- semua keluarganya mati terbakar.

Lalu muncul Yonardi (Pong Hardjatmo), calon dokter dan anak pakde tempat Tiara menginap. Yonardi ini tak punya karakter yang stabil. Ia mencintai Tiara, tapi karena ingin kaya, menghamili Yayuk (Nenny Triana). Dan tiba-tiba cerai, tanpa sebab-sebab jelas, kecuali sedikit penjelasan tentang egois dan keras kepala. Tiba-tiba lagi Tiara dapat beasiswa ke Amerika dan lulus, pulang dan mengajar di tempatnya kuliah setelah lulus SMA. Saat Yonardi meninggal karena sakit, Tiara diminta mengasuh anaknya. Ternyata Yayuk yang sudah kawin lagi dan cerai lagi, sudah bertobat dan ingin memelihara anaknya sendiri. Lalu datang tiba-tiba yang terakhir: Tiara dipindahkan ke Jakarta. Waktu ia menghadap atasannya, ternyata dialah pemuda yang di awal film sebenarnya ditaksirnya, tapi dihalangi oleh kakaknya yang berpandangan bahwa anak didikan Amerika itu brengsek. Maka bahagialah Tiara akhirnya.

P.T. TIGA SINA MUTIARA FILM

SAMA JUGA BO HONG / 1986

SAMA JUGA BO HONG

 
Dono, Kasino, Indro adalah mahasiswa yang kost di rumah yang punya anak gadis cantik, Ike (Nia Zulkarnaen). Dono dan dua kawannya berhasil membuat robot dan mengkomersialkannya. Mereka juga berkenalan dengan Soraya (Chintami Atmanegara), penyanyi top. Bersama penyanyi ini mereka mengadakan pertunjukan amal untuk memperbaiki rumah yatim piatu yang hampir ambruk. Ketika pertunjukan hampir berlangsung, Soraya belum juga muncul. Ia ditahan oleh manajernya yang tak setuju dengan rencana pertunjukan itu. Dengan caranya yang lucu, Dono berhasil membawa Soraya ke tempat pertunjukan. Manajer Soraya dkk mengejar, bahkan sampai ke atas pentas, hingga jadi sebuah pertunjukan sendiri.

P.T. GARUDA FILM

WARKOP D.K.I.
RINA HASSIM
TOMPOH SALVATORE
CHINTAMI ATMANEGARA
NIA ZULKARNAEN



CINTA PUTIH / 1977

CINTA PUTIH


Aminah (Yatie Octavia) hamil oleh pacarnya, Eddy (Awang Darmawan), yang disuruh ayahnya belajar ke luar negeri. Aminah sendiri merelakan kepergian itu. Tak dinyana orangtua Eddy tak menyetujui hubungan itu dan menyatakan bahwa Eddy sudah dijodohkan dengan pilihan mereka. Ibu Aminah meninggal, dan Aminah sendiri akhirnya harus pergi dari rumah kontrakannya karena di tempat itu akan dibangun perumahan mewah oleh ayah Eddy. 

Aminah menitipkan anaknya pada sebuah panti penitipan dan sekolah perawat. Ia lulus sebagai perawat teladan. Kebetulan di rumah sakit tempat tugasnya ia berjumpa dengan ibu Eddy yang harus operasi ginjal. Tanpa mau disebut namanya, ia memberikan ginjalnya. Ia kemudian mencari anaknya yang ternyata diangkat anak oleh keluarga paman Eddy yang tak punya anak. Ia melamar jadi pengasuhnya. Sementara itu Eddy yang pulang dari luar negeri lalu mencari Aminah. Oleh sahabatnya ia lalu ditunjukkan rumah pamannya sendiri. Maka bertemulah Aminah dan Eddy yang sama-sama dalam keadaan seperti terserang penyakit jantung.

TIGA SEKAWAN / 1975

TIGA SEKAWAN


Dalam rombongan sandiwara keliling yang laris, terjadi perselisihan antara tiga sekawan (Eddy Sud, Ateng, Iskak) dan primadona mereka, Ernie Djohan. Kekeruhan ini dimanfaatkan Kris Biantoro, pacar Ernie, hingga bisa menguasai rombongan itu. Tiga Sekawan mendirikan rombongan lain, yang bernasib mujur hingga sampai ke dunning film. Karya pertama Chaerul Umam ini sudah menunjukkan bakatnya, hingga filmnya boleh dibilang sebagai komedi yang berhasil.
 P.T. KWARTET JAYA FILM

EDDY SUD
ATENG
ISKAK
KRIS BIANTORO
ERNIE DJOHAN
ADI BING SLAMET
VIVI SUMANTI

HATI YANG PERAWAN / 1984

HATI YANG PERAWAN
 

Nanin  (Sitoresmi Prabuningrat) dari kecil dididik orangtuanya untuk menjadi  wanita saleha dan menunjukkan pengabdian yang tinggi jika kelak  bersuami. Ternyata sulit bagi Nanin untuk menerapkannya,kendati  perkawinannya dengan Hendrawan (El Manik) telah dikaruniai dua orang  anak. Hendrawan sebagai suami tak pernah mau mengerti perasaan  istrinya,Hendrawan tidak lagi memenuhi nafkah dan batin Nanain, bahkan  mulai main serong dengan perempuan lain, Eva (Minati Atmanegara) di  Jakarta. 
 
Di Bandung, Eva berani menjumpai Nanin menyampaikan rencana  perkawinannya dengan Hendrawan. Saat penderitaan batin Nanin  puncaknya,ia berkenalan dengan Salman (Deddy Mizwar) seorang mahasiswa ITB.Pandangan hidup yang sama antara Nanin dan Salman membuat mereka  semakin akrab.Saat Hendrawan cemburu karena mengetahui hubungan ini,  Nanin meminta cerai meskipun dicegah Ibu Hendrawan. Meskipun Hendrawan  menyalahkan Nanin tak mampu mengurus suami, Nanin sudah tak lagi  perduli. Setelah Salman memperoleh gelar insinyur, persahatan itu  semakin akrab dan perceraian tak terhindarkan.

P.T. PRASIDI TETA FILM

DEDDY MIZWAR
SITORESMI PRABUNINGRAT
EL MANIK
MINATI ATMANEGARA
NURUL ARIFIN
NETTY HERAWATI
SUKARNO M. NOOR
LIRING BETHARY
HIBA NURAGA SUNJOTO
T.B. MAULANA HUSNI

MALIOBORO / 1989

MALIOBORO


Hubungan Slamet (Sigit Hardadi), wartawan, dan Wulandari (Nungky Kusumastuti), pelukis dan penari, tak direstui ibu Wulan. Slamet yang lugu, energik dan asal desa itu kemudian berkenalan dengan Donna (Ira Wibowo), gadis Menado, yang lebih bebas di sebuah warung lesehan di Malioboro. Donna tertarik pada Slamet, yang kemudian jadi semacam terombang-ambing.

Wulan kebetulan melihat Donna dan Slamet berduaan. Kemudian baik Wulan maupun Donna saling menyelidik. Donna merasa dipermainkan, karena melihat pakaian Slamet ada di rumah Wulan. Nasib buruk menimpa Slamet: tertabrak motor hingga barus dirawat di rumah sakit. Semua jadi sadar. Slamet kembali pada Wulan dengan dorongan Donna. Ada maksud juga memberi latar sosial perubahan nilai di Yogya: hubungan Wulan-Slamet yang begitu akrab di kamar Wulan; ada rumah kos yang longgar peraturan dan moralnya, jalan Malioboro sendiri yang hiruk-pikuk.

 P.T. REMBULAN SEMESTA FILM


IRA WIBOWO
NUNGKY KUSUMASTUTI
SIGIT HARDADI
MOORTRI PURNOMO
RASYID
ADE ASHARI

GADIS MARATHON /1981

GADIS MARATHON


Sebuah kisah perjuangan gadis kampung dalam mencapai prestasi tinggi dalam atletik. Bonita (Yenny Rachman) menang dalam lomba atletik tingkat kecamatan. Ia diambil oleh pelatih Anton Sudirgo (Roy Marthen) yang sedang bertugas mempersiapkan tim atletik Jawa Barat untuk PON. Intrik kepengurusan KONI Jawa Barat yang lebih mementingkan pribadi daripada olahraga bercampur dengan intrik antar atlet dan ambisi Camat Natalegawa (Rachmat Hidayat), tempat Nita tinggal. Sementara Freddy (Pong Hardjatmo) cemburu terhadap pelatih Anton, karena Fredy merasa sudah dijodohkan dengan Nita sejak kecil. Campuran berbagai masalah yang timbul diselingi dengan peristiwa PON sesungguhnya membuat kisah yang menarik.Yang agak menonjol dari film dengan tema olahraga ini adalah kata-kata besar tentang sportifitas dan filsafat olahraga.
 P.T. TIGA SINAR MUTIARA FILM

JENNY RACHMAN
ROY MARTEN
RACHMAT HIDAYAT
FAROUK AFERO
HANNA WIJAYA
YETTY SYARIFAH
PONG HARDJATMO
PRIA BOMBOM
TATTY SALEH
LUCY SOEBARDJO
ROBERT SYARIEF
ATI MARWATY
 
 


KELUARGA MARKUM / 1986

Keluarga Markum, setelah sukses dengan Kejarlah Daku Kau Kutangkap yang bercerita tentang Dedy Mizway dan Lydia Kandau, kini film fokus pada pamannya, Markum yang menikah dan berumah tangga. Film ini disutradari oleh sutradara yang sama, yaitu Chaerul Umam, tetapi tidak melibatkan Deddy Mizwar lagi yang muncul pada film sebelumnya. film ini menceritakan tentang kehidupan Markum (Ikranegara), paman Ramadhan (Deddy Mizwar) di film pertamanya dengan Marni (Ully Artha), sahabat Ramona (Lydia Kandou) setelah mereka menikah.

Salah satu komedi paling berhasil yang pernah dibuat di Indonesia. Dengan akting cemerlang dan dialog cerdas, film ini karya Chairul Umam ini mengukuhkan status bintang untuk Lidya Kandou dan Deddy Mizwar.

 P.T. ARIYO SAKA NUSA FILM

LYDIA KANDOU
IKRANAGARA
ULLY ARTHA
DWI YAN
AMI PRIJONO
USBANDA
TEDDY MALA
RASYID
PAUL POLII
NANANG DURACHMAN
SOENDORO
 
 


OOM PASIKOM / 1990

 

Film Ini diangkat dari karikatur populer di koran Kompas, yang sering menampilkan polemik apa saja, bahkan untuk menyindir situasi yang ada. Penulis skenarionya Marselli, Oom Pasikom (dengan judul dalam kurung Parodi Ibukota) jelas sekali membawa kritik keras terhadap gaya hidup Jakarta dengan cara bercanda. Film yang diinsipirasi dari kartun di harian Kompas ini membawa sketsa kehidupan Jakarta dari kacamata seorang vagabond. Komentar sosial yang memperlakukan realitas sekelilingnya seperti snapshot, mirip dengan sebuah karikatur satu panel di halaman koran. 
 
Film ini dipenuhi sketsa dan sindiran terhadap gaya hidup Jakarta yang dipandang sebagai hipokrit dan tak tahu diri. Film ini tahun 1990, sedang Badut-Badut Kota tahun 1993 disutradarai Ucik Supra. Dalam kepopuleran Oom Pasikom dengan Badut-Badut Kota, tentu Om Pasikom sangat terkenal karena mengambil tokoh kartu di Kompas, semua orang sudah tahu akan tokoh karikatur koran ini dengan gaya yang khas dan juga isu yang diangkat. Sebelum menontonnya, orang juga sudah tahu apa yang akan diulas dalam film ini, tentu masalah sosial kota Jakarta yang unik. Hal ini sama dengan Badut-Badut Kota yang menampilkan sosial masyarakat Jakarta juga. 
 
Didi petet, dinilai baik dalam memainkan Om Pasikom. Kesamaan yang lain adalah sama-sama juga menampilkan orang film (pekerja film) kedalam ke dua film ini. Di Om Pasikom menampilkan Mang Udel yang tengah sibuk Shoting, Om Pasikom muncul ngebut sehingga mengganggu aktivitas shooting, sang sutradara Mang Udel marah-marah dan mulai shoting kembali sampai dia tidak tahu posisi kamera yang ditutupi oleh badanya sendiri. Dalam Badut-badut kota di tampilkan tetangga Dedy Yusuf, seorang sutradara pemenang Citra dan menghargai profesinya, tetapi ia sekarang miskin dan tidak ada job. Kalau mang udel digambarkan suhu perfilman yang tengah sibuk, di Badut-Badut kota digambarkan perfilman nasional yang sudah mati. Banyak yang bilang Om lebih menarik dan lucu, sedangkan Badut-badut masih lucu, tetapi agak menjurus ke hal-hal sexual, atau bahasa yang dipakai untuk menyindir situasi yang ada dengan bahasa sexual. Ini yang membuat sebahagian orang sedikit benci, dengan kalimat...keramas...dalam film Badut-Badut kota.

P.T. SEPAKAT BAHAGIA FILM

LENNY MARLINA
DIDI PETIT
FERRY ISKANDAR
NINIEK L KARIM
DEASY RARNASARI
RACHMAT HIDAYAT
AMI PRIJONO
PURNOMO
IDA KUSUMAH

 

Sesuai dengan judulnya, Parodi Ibukota, film ini bagai sebuah sketsa masyarakat. Oom Pasikom, sopir taksi yang sangat sayang akan mobil pribadi tuannya, juga pelit karena penghasilannya yang pas-pasan. Sebaliknya, istrinya (Lenny Marlina) terlibat pergaulan atas dan konsumtif, karena usahanya menjadi makelar barang-barang perhiasan. Lewat kacamata Oom Pasikom ini, kisah-kisah "kecil" ibukota disampaikan: arisan nyonya-nyonya, istri yang kesepian, operasi kebersihan kota yang "tak adil" buat pengusaha kecil, mahasiswi yang sedang menulis skripsi dll

Film  Ini diangkat dari karikatur populer di koran Kompas, yang sering  menampilkan polemik apa saja, bahkan untuk menyindir situasi yang ada.

Penulis skenarionya Marselli, Oom Pasikom (dengan judul dalam kurung  Parodi Ibukota) jelas sekali  membawa kritik keras terhadap gaya hidup  Jakarta dengan cara bercanda. Film yang diinsipirasi dari kartun di  harian Kompas ini membawa sketsa  kehidupan Jakarta dari kacamata  seorang vagabond.  Komentar sosial yang  memperlakukan realitas  sekelilingnya seperti snapshot, mirip dengan  sebuah karikatur satu  panel di halaman koran. Film ini dipenuhi sketsa  dan sindiran terhadap  gaya hidup Jakarta yang dipandang sebagai hipokrit  dan tak tahu diri.  Film ini tahun 1990, sedang Badut-Badut Kota tahun 1993 disutradarai  Ucik Supra. Dalam kepopuleran Oom Pasikom dengan Badut-Badut Kota, tentu  Om Pasikom sangat terkenal karena mengambil tokoh kartu di Kompas,  semua orang sudah tahu akan tokoh karikatur koran ini dengan gaya yang  khas dan juga isu yang diangkat. Sebelum menontonnya, orang juga sudah  tahu apa yang akan diulas dalam film ini, tentu masalah sosial kota  Jakarta yang unik. Hal ini sama dengan Badut-Badut Kota yang menampilkan  sosial masyarakat Jakarta juga. Didi petet, dinilai baik dalam  memainkan Om Pasikom. Kesamaan yang lain adalah sama-sama juga  menampilkan orang film (pekerja film) kedalam ke dua film ini. Di Om  Pasikom menampilkan Mang Udel yang tengah sibuk Shoting, Om Pasikom  muncul ngebut sehingga mengganggu aktivitas shooting, sang sutradara  Mang Udel marah-marah dan mulai shoting kembali sampai dia tidak tahu  posisi kamera yang ditutupi oleh badanya sendiri. Dalam Badut-badut kota  di tampilkan tetangga Dedy Yusuf, seorang sutradara pemenang Citra dan  menghargai profesinya, tetapi ia sekarang miskin dan tidak ada job.  Kalau mang udel digambarkan suhu perfilman yang tengah sibuk, di  Badut-Badut kota digambarkan perfilman nasional yang sudah mati

Banyak  yang bilang Om lebih menarik dan lucu, sedangkan Badut-badut masih  lucu, tetapi agak menjurus ke hal-hal sexual, atau bahasa yang dipakai  untuk menyindir situasi yang ada dengan bahasa sexual. Ini yang membuat  sebahagian orang sedikit benci, dengan kalimat...keramas...dalam film  Badut-Badut kota.

Sesuai  dengan judulnya, Parodi Ibukota, film ini bagai sebuah sketsa   masyarakat. Oom Pasikom, sopir taksi yang sangat sayang akan mobil   pribadi tuannya, juga pelit karena penghasilannya yang pas-pasan.   Sebaliknya, istrinya (Lenny Marlina) terlibat pergaulan atas dan   konsumtif, karena usahanya menjadi makelar barang-barang perhiasan.   Lewat kacamata Oom Pasikom ini, kisah-kisah "kecil" ibukota disampaikan:   arisan nyonya-nyonya, istri yang kesepian, operasi kebersihan kota  yang  "tak adil" buat pengusaha kecil, mahasiswi yang sedang menulis  skripsi  dll



Menyimak karya-karya GM Sudarta serasa menyimak orang Jawa (atau Timur?) menuturkan  kritik. Karya-karya kartun editorialnya (atau yang secara salah kaprah  lebih diakrabi sebagai karikatur), dengan Oom Pasikom sebagai maskotnya,  seperti memberi representasi yang melekat atas modus orang Jawa dalam  menyampaikan kritik.

Pada  sebagian besar karyanya, terasa kuat gejala eufemisme atau kramanisasi  yang bertolak dari ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai titik pijak ketika  berolah kritik: Ngono ya ngono, ning aja ngono. Begitu ya begitu, tapi  jangan begitu. Ungkapan ini, yang telah mengental sebagai ideologi,  memberi semacam garis demarkasi bagi hadirnya sebuah kritik. Dua kata  ngono pada bagian awal mengindikasikan kemungkinan dan peluang akan  hadirnya sebuah kritik dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Di sini  tersirat kemampuan manusia dan atau kultur Jawa untuk mengakomodasi  datangnya kritik. Sedangkan kata ngono yang ketiga seolah menjadi kunci  pokok yang menyiratkan pentingnya etika dan moralitas dalam tiap kritik  yang muncul, tentu dengan subyektivitas khas Jawa. Artinya ada relasi  yang komplementatif atas hadirnya kritik yang berpeluk erat dengan  pentingnya aspek format, bentuk, dan kemasan kritik. Sehingga dalam  mencermati kenyataan di atas, terlihat menyeruaknya pemaknaan wacana  kritik (khas Jawa) yang bisa ditafsirkan sebagai paradoksal dan mendua.  Pentingnya kritik (seolah hanya) ada pada kemasannya.

Ideologi  kritik semacam ini kian menguat dan strategis untuk dihadirkan ketika  Oom Pasikom muncul di tengah kuku kekuasaan otoritarianisme Orde Jawa  (istilah GM Sudarta untuk Orde Baru) pimpinan Soeharto. Pemerintahan  militeristik yang cenderung antikritik waktu itu bagai mengalih-ubah  ideologi ngono ya ngono ning aja ngono secara eksploitatif menjadi  “ngritik ya ngritik ning aja ngritik” atau “protes ya protes ning aja  protes”. Situasi represif inilah yang kemudian memberi celah kemungkinan  bagi karikaturis penyuka kostum warna gelap tersebut untuk bersiasat  membangun kreativitas dengan kritik lewat karikatur di forum publicum,  yakni harian Kompas.

Siasat ini, meminjam paparan Magnis Suseno dalam Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa (1993),  mengedepankan dua kaidah penting dalam relasi sosial manusia Jawa,  yakni “prinsip kerukunan” dan “prinsip hormat”. Kaidah pertama  menentukan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap  sedemikian rupa agar terhindar dari konflik. Sedang kaidah kedua  menuntut agar cara berkomunikasi dan membawa diri selalu disertai sikap  hormat yang ditunjukkan terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan  kedudukannya. Keduanya merupakan kerangka normatif yang menentukan semua  interaksi dalam masyarakat Jawa. Tujuannya jelas, memelihara harmoni  atau keselarasan. Di selinap dua prinsip tersebut, “prinsip humor”  menjadi ruh penting pada tiap karya karikatur Oom Pasikom.

Artefak  dari siasat kritik ala orang Jawa eh, GM Sudarta itu terpampang dalam  pameran tunggalnya yang dikelilingkan di beberapa kota dalam setengah  tahun ini. Masing-masing di Bentara Budaya Jakarta, 4-12 Juli 2007, lalu  di Bentara Budaya Yogyakarta (4-10 Agustus). Berikutnya di Kantor  Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang (21-29 Agustus), Balai Pemuda  Surabaya (8-14 September), Danes Art Veranda, Denpasar (19-28  September), Galeri Semarang (4-14 November), dan terakhir di Galeri  Soemardja Bandung (18-27 Januari 2008). Ada sekitar 250-an karikatur  yang telah disiapkan, dan tentu ini disesuaikan dengan kapasitas  masing-masing ruang (venue) tersebut. Rencana pameran keliling itu  diawali dengan peluncuran buku 40 Tahun Oom Pasikom: Peristiwa dalam  Kartun Tahun 1967-2007 di Bentara Budaya Jakarta. Ini merupakan buku  antologi karikatur ketiga GM Sudarta, dan terlengkap, setelah antologi  Indonesia 1967-1980 (1980) dan Reformasi (1999).

Kehadiran  karikatur GM Sudarta sendiri bagi harian Kompas berposisi sebagai katup  opini redaksi di samping katup lain yakni pojok Mang Usil dan tajuk  rencana. Senjatanya jelas: gambar dengan pendekatan humor. Sejak  kemunculannya pertama kali di Kompas 4 April 1967, kemudian awal  dikreasinya maskot Oom Pasikom hampir empat tahun kemudian pada 20  Februari 1971, hingga sekarang ini, antara Kompas dan karikatur Oom  Pasikom seolah menjadi paket tunggal yang integral dan mutual. Keduanya  identik. Saling menunjang dan menguatkan untuk membangun identitas  Kompas seperti yang kita kenali kini.

Lalu,  kini, apa yang bisa dibaca pada karya-karya karikatur tersebut ketika  mereka hadir berhamburan dalam kilasan waktu dan konteks budaya yang  terus merambat?

Mengingat  ruang kehadiran karikatur berada dalam forum yang menghadirkan realitas  media yang diangkut dari realitas sosial, maka sejauh ini karya  karikatur relatif banyak membopong fakta-fakta sosial budaya yang  bertebaran di masyarakat. “Realitas karikatur” adalah pantulan dari  realitas sosial budaya sebuah masyarakat tertentu. Pada titik inilah  sebenarnya karikatur dalam surat kabar yang kehadirannya rutin, intensif  dan kritis dari waktu ke waktu akan mampu menyediakan diri sebagai alat  baca alternatif atas kecenderungan dan pergeseran sebuah masyarakat. Di  dalamnya juga ada cara pandang kritis terhadap dinamika masyarakat itu.  Oleh karenanya, karya karikatur mampu pula diposisikan sebagai  alternatif perangkat historiografi visual dan/atau antropologi visual  yang bisa dibaca dari sudut berbeda.

Lihat  misalnya karikatur GM Sudarta yang dimuat Kompas pada tanggal 14  Desember 1970. Karya itu menggambarkan kasus Sum Kuning, seorang gadis  penjual telur yang diperkosa oleh beberapa anak berandal di Yogyakarta  yang diduga melibatkan anak petinggi, ningrat, dan terhormat di kota  Gudeg. Peristiwa hukum itu kian heboh karena diduga ada upaya untuk  menjadikan kasus tersebut sebagai dark number yang membuntukan solusi.  Oleh GM Sudarta, kasus ini tidak digiring masuk dalam kotak hukum,  melainkan memperluas perspektif persoalan dengan menempatkannya sebagai  upaya pemberangusan kebebasan pers yang dilakukan oleh aparat hukum.  Kala itu penyelidikan polisi tidak tuntas dan pers tidak bisa  memberitakan hal yang sebenarnya. Digambarkan di sana ada papan  bertuliskan “Peristiwa Sum Kuning” yang memiliki bayangan berbentuk  serupa palu godam dan siap jatuh menimpa sosok manusia berbaju  “kebebasan pers”.

Ada  pula karikatur menarik yang dimuat pada tanggal 31 Januari 1987.  Karikaturis asal Klaten, Jawa Tengah ini memvisualkan sosok aktris opera  sabun Australia, Rebecca Gilling, pemeran tokoh Stephanie Harper dalam  serial paling heboh waktu itu, Return to Eden yang ditayangkan oleh  TVRI. Gilling seperti “diada-adain” acara dengan diundang oleh Kedutaan  besar Australia di Jakarta dalam rangka menghadiri peringatan Hari  Nasional Australia pada tanggal 25 Januari 1987. Sebenarnya itu  peristiwa kecil dan “biasa-biasa saja”. Namun oleh GM Sudarta ditangkap  sebagai sebuah upaya kultural dalam menghangatkan hubungan RI-Australia  yang selalu penuh drama “benci tapi rindu”. Sosok Rebecca Gilling  digambarkan tertawa lepas dan menjadi mediator bagi dua orang Australia  dan Indonesia di kanan-kirinya. Di samping mereka bertiga, ada anak  kecil yang denga usil nyeletuk: “Diplomasi Return to Eden”.

Begitulah.  Dengan kepiawaian artistik yang mumpuni, sensibilitas sosial tinggi,  wawasan terus terbarui, dan kritisisme yang tajam, sosok GM Sudarta  telah menjadi dalang yang baik bagi lahirnya lakon-lakon karikatur  bernas dan intelek di harian Kompas hingga 40 tahun. Karikatur-karikatur  itu, saya kira, telah melampaui posisi dirinya tidak sekadar sebagai  karya jurnalistik ataupun karya seni rupa, namun juga menjadi karya  sosial yang tiap kepingnya menangkap lalu merekam gelagat tanda-tanda  zaman. GM Sudarta, Oom Pasikom, telah menjadi saksi bagi dinamika dan  semangat zaman yang terus bergerak.