Tampilkan postingan dengan label D.DJAJAKUSUMA 1951-1980. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label D.DJAJAKUSUMA 1951-1980. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Februari 2011

D. DJAJAKUSUMA

D. DJAJAKUSUMA


Dalam bidang teater, untuk beberapa lama Djadoeg Djajakusuma yang pernah bersahabat dengan Devi Dja penari mahir Indonesia yang kini bermukim di India untuk belajar tentang drama rakyat.
 
Pengabdian dalam bidang pendidikan kesenian formal, dicurahkannya melalui Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta) terutama pada dua departemen yakni : Departemen Teater dan Departemen Sinematografi. Karir puncak dalam pengabdiannya ini, terhadap lembaga yang ia pelopori keberdiriannya ini, adalah kedudukannya sebagai rektor.
 
Djadoeg Djajakusuma adalah tokoh yang tak bisa dilepaskan dari kehadiran LPKJ-IKJ, juga tak bisa dipatahkan dari keberadaan Dewan Kesenian Jakarta sebagai induk kelahiran LPKJ. Kini ia bagaikan sosok sesepuh bagi para seniman, tidak saja dalam lingkungan pendidikan formal. Lebih dari itu, ia adalah sesepuh baik bagi seluruh masyarakat kesenian. Dialah salah satu sosok yang memelopori bangkitnya wayang orang di Jakarta, Bharata, setelah runtuhnya W.O Pantjamurti. Wayang orang Bharata itu hingga kini tetap hidup dan manggung di bilangan Senen.
 
Pada sekitar tahun enam puluhan bersama-sama dengan Soemantri Sastrosoewondho, Yulianti Parani, dan SM. Ardan, mereka tertarik untuk menekuni kehidupan kesenian Betawi. Hasilnya yang sangat kesohor, ketika mereka berhasil merevitalisir teater rakyat Betawi, Lenong, dan sempat meledak diberbagai panggung pertunjukan terutama dibilangan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
 
Selain tampil sebagai sutradara teater, ia juga dikenal sebagai penulis naskah sandiwara yang baik sekaligus dikenal sebagai tokoh yang menghayati tentang kehidupan teater tradisi. Oleh karenanya dalam berbagai kesempatan seminar dan diskusi tentang kehidupan seni tradisi, Djajakusuma merupakan tokoh sentral dan penting, yang tak bisa diabaikan kehadirannya.
 
Kecintaanya terhadap dunia pewayangan, dibuktikannya juga melalui naskah-–naskah sandiwaranya antara lain “Karma Lembu Peteng”, disamping banyak artikel -artikel pewayangannya yang kemudian dimuat oleh berbagai mass media terutama majalah Zaman antara 1979-1984. Tidak hanya itu, Djadoeg Djajakusuma adalah pelopor terlaksananya Pekan Wayang Indonesia I dan II pada 1966 dan 1974.
 
Dalam dunia perfileman ia juga dikenal sebagai aktivis yang tangguh. Dirinya tidak hanya tampil sebagai penulis skenario yang baik, namun juga tampil sebagai sutradara yang disegani. Selain tersebut diatas Djajakusuma juga menterjemahkan drama “YU TANG CHUN””dan “WEK WEK””yang sekaligus pernah di sutradarainya dan di pentaskan di teater Arena Taman Ismail Marzuki 1980. Kemudian pada 1984, memimpin rombongan wayang orang Bharata untuk mengikuti Gaukler festival di Jerman Bara
Djajakusuma Dan Filmnya
 
Sutradara ini sangat senang dengan seni kerakyatan. Banyak pendapatnya yang membicaratan tentang wayang, baik tokoh wayang, maupun tehnik penyajiannya. Dalam kuliah saya dulu, wayang adalah tehnik penyutradaraan juga yang hampir mirip. Karena wayang dasarnya di lakukan oleh seorang dalang, yang dalam film juga dilakukan oleh sutradara. Bagaimana cara dalang itu bertutur menyampaikan ceritanya, begitu juga cara sutradara menyampaikan ceritanya dalam film. Bahkan dalang sempat disebut sebagai sutradara juga itu. Dan Djajakusuma tidak habis-habisnya berbicara wayang adalah dasar film juga.
 
Djajakusuma terkenal dengan kesenangannya dalam kesenian kerakyatan dan juga filmnya bayak berlokasi di desa dan kisah-kisah kehidupan rakyat seputar tempat itu. Melalui perusahaan fil PERFINI dihasilkan film, Pak Prawiro, Tjambuk Api, serta Lahirnya Gatot Kaca. Karena itu ia sangat memberi perhatian pada khususnya kisah-kisah kerakyatan. Selain itu ia jugalah yang mendatangkan Lenong ke depan sejumlah seniman dan tokoh budaya pada suatu malam di halaman gedung Dinas Kebudayaan DKI 1968. Dan sejak itu Lenong menjadi perhatian sapai kisah-kisahnya merambat ke layar putih. Selain itu wayang dengan kisahnya Lahirnya Gatot Kaca dan Bimo Krodo dalam filmnya.
 
 
 
01 Mei 1971
Serat centini, lalu harimau campa

BELUM diselidiki adanja hubungan antara kebiasaan mengintip pertundjukan sandiwara bangsawan dimasa ketjil dengan karir sutradara film dimasa dewasa. Tapi kasus itu terdjadi pada D. Djajakusuma. Dilahirkan dalam keluarga Wedana di Wonosobo, anggota Akademi Djakarta jang kini memasuki tahun ke 53 dari hidupnja jang membudjang, pada masa ketjilnja ia menikmati pendidikan jang tjukup. Pak Wedana gemar mengumpulkan buku, dan Djaduk demikian nama ketjilnja jang mengerti tulisan Djawa achirnja berkesempatan membatja berbagai sumber kesusastraan klasik Djawa. "Tjentini djuga saja batja waktu itu, meskipun isinja tidak saja mengerti", katanja. Salah satu diantara buku jang penuh bergambar perempuan telandjang dan bisa dimengerti djika anak ketjil tadi, suka menjobek gambar-gambar asjik itu untuk dibagi-bagikan kepada teman-temannja. Masa remadjanja dilewatinja dikota Semarang, dan pada AMS bagian B. Djajakusuma tidak djarang mengisi kegiatan kesenian sekolahnja dengan sandiwara-sandiwara jang membawakan tjerita-tjerita matjam lakon "Sitti Nurbaja". Dari beberapa temannja bersandiwara itu antara lain Nugroho SH, Letdjen Mokoginta hanja Djajakusuma lah jang achirnja terikat dengan dunia seni itu untuk seterusnja. Kemudian ia mentjari pekerdjaan dan achirnja terdampar dikantor Pusat Kebudajaan sebagai penterdjemah. Ditahun 1943 itulah ia untuk pertama kalinja bertemu dengan Usmar Ismail, suatu awal dari kehidupan dengan dunia sandiwara dan film. Pada mulanja ia hanja diadjak oleh Usmar. Melalui kedudukan sebagai pemain, pengatur set serta segala matjam kedudukan, beberapa tahun kemudian sepulang dari Amerika (mempeladjari film dan teater di Universitas Washington & Universitas Southern California) ia mendjadi sutradara sandiwara sambil mendjadi dosen ATNI, setelah sebelumnja telah pula menjutradarai beberapa film. Ketika Djepang menjerah dan perang kemerdekaan berketjamuk, bersama seniman-seniman lain, Djajakusuma ikut berdjuang dalam Rombongan Seniman Merdeka. Suasana Djakarta jang semakin panas, membawa mereka ke Jogjakarta. Disanalah, diantara kesibukan bergerilja, Djajakusuma sempat selama setahun mendjadi sekretaris Panti Pengetahuan Film. Walaupun umurnja hanja setahun, namun organisasi itu berhasil menanamkan pengetahuan dasar teori perfilman kepada tokoh-tokoh muda matjam Usmar Ismail, Surjosumanto, Djajakusuma dan lain-lain. Orang-orang muda itu betul-betul telah memanfaatkan pengetahuan jang mereka peroleh dari senior-senior matjam Dr Huyung, Andjar Asmara, Sutarto dsb, meskipun pendidikan jang mereka terima semuanja dalam keadaan serba darurat. Pengakuan kedaulatan merupakan periode baru buat Djajakusuma. Usmar ke Djakarta, dan ia tinggal sibuk dengan gedung bioskop Seni Sono di Jogja. "Sajalah jang merehabilitasi bioskop disamping Gedung Agung itu, dan disitu pulalah saja beladjar soal perbioskopan". Tapi Usmar tiba-tiba datang dengan crew Enam Djam di Djokdja. Tidak banjak bitjara, Djajakusuma achirnja ikut main sambil djadi asisten sutradara serta merangkap berbagai pekerdjaan, antara lain memanggul kamera. Itulah debutnja dalam film. Itu pulalah jang menariknja ke Djakarta. Perfini kemudian memberinja kesempatan kerdja untuk achirnja mendjadikan Djajakusuma sebagai sutradara dengan film pertama Embun. Orang jang dojan nonton film Indonesia achir tahun limapuluhan tentu masih ingat Harimau Tjampa. Itulah salah satu filmnja, disamping film-film Tjambuk Api, Mak Tjomblang, Pak Prawiro serta banjak lagi jang Djajakusuma sendiri lupa.
 
TOKOH teater kawakan D. Djajakusuma mengemukakan, banyak keuntungan yang 536rat kila petik dari ikut berpentas. Antara lain kita dapat belajar bekerja sama dalam tim, tolong-menolong, belajar sportif dan bijaksana, bertanggung jawab, mampu menerima kritik (sampai yang sepedas. -pedasnya), percaya pada diri $fdiri, mampu berkonsentrasidan mengontrol emosi (meskipun di sanjung-sanjung dengan sorak-sorai, atau diledek sinis oleh para penonton). Di samping itu berpentas iBa dapat mempertajam ingatan, memperbaiki suara dan percakapan, membuat trbuh tidak kaku, dan melatih diri kita tidak gugup di depan umum. Petuah-petuah itu disampaikan Djajakusuma dihadapan ratusan mahasisrva dan dosen{osen lKlP Jakarta, dalam ceramah teatemyar yang cukup memikat hari SaHu, di kampus lKlP Rawamangun. Acara ini merupakan serangkaian prograrn Senat Mahasisrna FPBS lKlP Jakarta dalam upaya memperluas lYawasan pengetahuan mahasisrrra, dengan mengundang penceramah-penceramah dari kalangan seniman. Kepercayaan Dalam ceramahnya lebih jauh, Djajakusuma menguraikan tentang awal kelahiran teater dan sejarair perkembangannya di dunia. Dikatakan, teater sebagai tempat tontonan memungkinkan orang dapat menonton segala macam kejadian (tontonan) seperti tarian, nyanyian, tari-nyanyi, pantomim, drama, akrobatik, sulap, lawak, peiang, operasi, -Oannan di koloseum (teater besar) jaman Romawi dipertunjukkan perang tanding yang kasar dan penuh pertumpahan darah.."' Secang-ranpn-is teater yang paling utama, kata dosen LpKJ itu, adalah drama, yang cerita-ceritanya menyuguhkan kepada kita tentang kehidupan manusia oengan segafa keinginannya, perjuangannya, keberhasilannya, kegagalannya, kegembiraannya, kesedihannya, pikirannya, kebaikannya, kebusukkannya, itt. "Usia teater maupun drama ini setua manusia, keberadaannya bersama dengan perkembangan dunia manusia," kata Djajakusuma, sembari mengelus rambut peraknya yang dipegang rapi.' Menurul senimnn kawakan itu, pada awal pertumbuhannya drama dekat dengan alam, . erat kaitannya dengan sungai NIL itu, bertujuan untuk memberikan dahwah/pendidikan agama kepada masyamkat awam" tambahnya, Di Jepang,teater arak-arakan dklasartan pada dongeng Dewi Amaterasu., dewi cahaya,'dewi Matahari. serombongan orang manari-nari sambit membikin gaduh dengan teriakan dan-tatabuhan, serta penerangan api (obor) di kegelapan milam, agar Dewi Amaterasu mau keluar dari persembunyiannya di dalam gua, dan dunia kembali lerang karena cahayanya. YunaniRomawi India Perkembangan drama di Yunani, tutur Djajakusuma, juga erat sekali hubungannya dengan kepercayaan dan agama. Dalam bentuk dramanya yang paling seriut, yaitu llage!! tokoh-tokohnya terdiri dari keturunan dewa. umpamanya "Eudipus sang Raja" karya sophocles yang naskahnya ditulis tahun 500 sM, pada tahun-tahun terakhir ini berulangkali dipentaskan. Mengapa ?
 
Menurut Djajakusuma, berita tertulis tentang adanya tealer (tontonan membawakan cerra) di ni6eri kita, kita jumpai pada sebuah prasati tahun 840.yang menyebutkan o$atr aringgit (wayang aiau'teledek). Prasasti tahun 907 lebih jelas menyebutkan' . si Galigi mawayang...... D candi -Borobudur, pada relief-reliefnya kita biasa melihat berbagai macam r.rton.n, berbagai uentur tarian, tetapi tak ada gambaran orang mewayang atau renari memakaikedok. h candi Panataran, kata Djajakusuma, ada relief Ramayanadalam bentuk wayang *fit irng mirip sekaliOengin wayang kulit Bali. Dalam buku Negara Kertagama kita oaca'Halam Wuruf sukahendalang, suka melawak, suka menari dengan topeng' nnembawakan seorang tokoh. ?upanya Hayam Wuruk itu bukan saja ahli politik dan neEarawan, juga seorang seniman yang terampil," ungkap Djajakusuma' t{ayang Wong Ucul Dalam ceramah sepaniang 3 jam itu, Djajakusuma menyinggung pengaruh barat tOor. modem) d'ah; ieater Indonesia. Dikatakan, jaman baru dunia teater ificanangtan olen lbsen dan Strindberg dengan cerita-cerita mengenai keadaan nyata (realistis) dari manusia biasa.. Drama barat (modem) ini sampai di Indonesia, dibawa oleh bangsa Belanda. Penularannya pada Uangsa Indonesia lewat 2 jalur. Pertama,lewat kaum terpelajar' ;p"rti nustam Efendi lang menciptakan Bebasari, Muh. Yamin melahirkan Ken Arok dan Ken Dedes, n-rmin'Pane dengan Manusia Baru (Belenggu). Kedua, lerflat lalur protesional,.misalnya sandiwara kelilingnya Mahieu, Fred Young, Anjar Asmara, dll. ""Pengaruh barat itu memberi tradisi bemaskah atau memakai teks dalam drami/sandiwara Indonesia, yang sebelumnya tidak dikenal," kata Djajakustma' Di samping itu pengaruh barat dengan'ciri ingin realistis itu, kata Djajakusma' menyusup juga ke dalam teater tradisional seperti wayang wong'
 
'Tentunya karena nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya begitu ting; mutunya,. kata Djajakusuma. Dijelaskan, orang Romawi yang mengoper kebudayaan yunani meneruska. lontonan yang agung itu menjaditontonan penuh darah. Teatrum menjadi koloseun Drama yang menyedihkan rneniadi mengerikan. pembunuhan "di belakang layar. o teaier, menjadi perturnpahan darah secara kasar di koloseum. Menurut penceramah, di lndia teater arak-arakan keagamaan dikenal dengan centa Rarnlila (diambil dari Ramayana). Dua kota dijadikan teater, melambangkan Alengka dan Ayodya. Arak-arakan disertai tari dan nyanyi, mengiringi Rama neserta lasykamya membebaskan dan memboyong kembali Dewi Sinta. .Kalau filnn-filnn indie seksrang sarat dengan nyanyi dan tari, wajar, karena kebudayaannya se.lak dahulu kata :'nemang begitu,' ungkap Djajakusr:r"na" Wayam Wuruk Toitoh teater anggota DKJ iiu lebih jauh bercerita, di Indonesia teaterltontonan arak- arakan yang erat hubungannya dengan kepercayaan, bahkan nrenjadi tindak agama (persembahyangan) masih didapati di antara suku-suku bangsa kita, sepertl di Bali, Kalirnanian dan di pedalaman lrian Jaya. Di pulau Dewata dikenaldengan tari-tarian sakrai (suci) dan taritarian sekular (sebagai tontonan)" Tergolong ke daia'l tarian sakral, ialah tari pura {seperti pendet dan gabor); tari rituat (misalnya baris); tari sanghyang (umpamanya Dedari, Jaran, dll); dan tari barong (seperti keket, landung, calon Arang dan cak). sedangkan yang ternasuk tarian sekuler, misalnya garnbuh, cupak, arya, drama gong, dll. "ealon Arang yang dipentaskan di rlM baru-baru ini, sebenamya tak boieh dipungut bayaran (dikomersilkan), karena sifatnva "eki-a1," kata Djajakusurna, mengingatkan. Mengungkapkan sejarah teater Inoonesia, penceramah menjelaskan, sebelum berkenalan dengan kebudayaan Hindu, teater kita sudah berbentuk begitu, yaitu c€rnpuran kata-kata, gerak, tari, nyanyi dan musik (total) plus lawak. "Jadi jelas bukan pengaruh dari India," landasnya. roKoh teater itu, wayang wong sebenamya teater yang dipentaskan terbatas I Fdop*pendopo krarton, dengan berpegang pada cerita dan slruktur wayang Flr sgetu ketika orang-orang Cina dengan sandiwara kelilingnya melihat ffing;; *t"i"ng won-g Oisa dikomersilkan, dengan mengawinkannya dalam - - UiXa tertidtlah dalail pentas tokoh-tokoh wayang $/ong seperti Catotokaca' h, dll. dibuat realistis. [ltrt menggambarkan Gatotkaca terbang, tokoh perannya dikerek ke atas' ee*aca juga OigamOarkan berkalikalijatuh dan mati' ?enggambaran tokoh-tokoh wayang wong_ demikian, tidak memperjelas malah -nfrngungkan para penonton," kata Djajakusuma' Soalnya dalam dunia reyangan, Gatotkaca yang pandai terbang itu hanya sekali mati, yailu kedika &"i^ [anan Xama Oaiarn- perang. Sgsaat sebelum tewas, Gatotkaca sempat "-*rU*kfan dirinya p"O" f"titt perarU Kama, sehingga ambruk dan Kama nyaris kis, kalau tidak melompat- ...Hi kalau Bima main di hotel, Gatotkaca terbang dengan dikereh jatuh, lalu fra$,,a ke rumah sakit, itu namanya wayang wong ucul (lepas)""'', tandas Claiakusufu a, disambut gggeeeernr.'. -. para peserta' (Hti). Berita Buana.l 7.4. 1984.
 
 
 
30 Januari 1993
Kebangkitan djajakusuma

DJADOEG Djajakusuma hidup kembali di Taman Ismail Marzuki. Memang, orang tidak akan berjumpa lagi dengan sosok seorang tua berambut putih panjang yang terjalin rapi itu. Ia sudah meninggal, ketika memimpin upacara Sumpah Pemuda di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), lima tahun lalu. Namun, jika orang datang ke Pekan Retrospeksi Film D. Djajakusuma, yang berlangsung sejak 24 sampai 28 Januari di Teater Tertutup TIM, itu memang berarti ikut merayakan sebuah upacara kebangkitan kembali. Selama ini Pak Djaja, begitulah ia biasa disebut, secara terbatas hanya dikenal lewat dua film yang tampaknya akan menjadi klasik: Harimau Tjampa (1953) dan Tjambuk Api (1959). Keduanya merupakan film hitam-putih, dengan warna etnografis, yang secara mengejutkan disambut hangat dalam Festival Tiga Benua 1984 di Nantes, Perancis. Dalam pekan film ini, penemuan yang mengejutkan akan bertambah karena terdapat tiga film lagi yang belum pernah diketahui orang, yakni Embun (1951), Pak Prawiro (1960), dan Rimba Bergema (1963). Ketika film-film tokoh yang selalu mempertahankan kehidupan seni tradisi itu didata kembali, ternyata banyak yang kopinya sudah rusak berat atau hilang.
 
Ketika dicek kembali ke Sinematek Indonesia, perpustakaan film yang kekurangan dana itu, ternyata masih terdapat kopi negatif beberapa film yang bisa dicetak lagi. Marselli, anggota Dewan Kesenian Jakarta yang mempersiapkan pekan film ini, memilih ketiga film tersebut. Film Djajakusuma yang lain, seperti Terimalah Laguku, sebuah eksperimen musikal, hilang lenyap tak tentu rimbanya. Penemuan ini disebut mengejutkan karena kualitasnya sebagai film. Jadi, bukan karena nostalgia, bukan pula karena eksotisme. Sehingga, dalam sebuah retrospeksi, bisa disebut suatu kebangkitan kembali, karena selama ini Djajakusuma tidak pernah dipuji sebagai seniman. Tepatnya, sebagai sineas. Memang ia dihormati sebagai aktivis kebudayaan yang tidak pernah berhenti membina dan menjaga kehidupan seni. Bukan hanya seni tradisi seperti wayang orang Bharata dan lenong, tapi juga seni modern, antara lain dengan kehadirannya yang tak pernah putus di IKJ. Barangkali ini terjadi karena dalam belasan tahun terakhir Djajakusuma sudah tidak membuat film. Tepatnya, tentu, tidak ditawari membuat film komersial, karena dari tangan seorang Djajakusuma tak akan lahir film yang dibuat dengan selera pasar. Apalagi filmnya yang paling mutakhir, seperti Api di Bukit Menoreh (1971) dan Malin Kundang (1972), selain tidak meledak secara komersial, juga tidak mendapat sambutan para kritikus. Selain itu, kritikus tahun 1950 sampai 1980-an menganggap sepi karya-karya Djajakusuma pada dasawarsa tersebut boleh jadi karena terpesona oleh jargon-jargon kesenian yang berkiblat di luar bumi Indonesia. Namun, toh satu-satunya ujian bagi kesenian adalah waktu. Penemuan kembali film-film Djajakusuma tersebut bagaikan penemuan mutiara yang hilang. Rimba Bergema, dengan pemain seperti Ray Iskandar, Rita Zahara, Aedy Moward, dan Parto Tegal, meskipun kurang berhasil sebagai film, sangat bermanfaat sebagai dokumen sosial pada masa konfrontasi dengan Malaysia. Bagaimana orang-orang berjuang meningkatkan taraf hidup, dengan menyeberang dari Jawa ke Sumatera, tanpa menyebut sepatah pun kata transmigrasi. Dalam film ini, Djajakusuma berhasil merekam kehidupan di perkebunan karet di wilayah Deli. Film pertama Djajakusuma, Embun, adalah sebuah usaha menangkap kegelisahan jiwa.
 
Tokohnya, Sulaiman -- dimainkan A.N. Alcaff -- adalah seorang pejuang dalam revolusi fisik, yang menjadi serba salah tanpa senjata. Film ini bagaikan sebuah sisi lain dari Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail. Hanya saja, tokoh Usmar mengalami nasib yang tragis dalam kegelapan jiwa di kota, sedangkan tokoh Djajakusuma mengalami pencerahan di desa. Lokasi Gunungkidul dimanfaatkan kamerawan Max Tera dengan baik, menghadirkan komposisi geografis serba spektakuler. Adapun tata musik yang digarap Tjok Sinsoe, jika direkam ulang secara digital (digitally remastered), akan segera diterkam para penggemar musik. Kebangkitan kembali Djajakusuma sebetulnya dikukuhkan oleh Pak Prawiro. Beliau telah mengolah sebuah film penerangan mengenai Bank Tabungan Pos, menjadi sebuah komedi yang gemilang. Lebih dari sekadar komedi, dalam film ini Djajakusuma juga menancapkan dramaturginya sendiri. Dengan iringan musik gamelan, Djajakusuma berkisah tentang kehidupan sehari-hari seorang pensiunan, secara komis. Hebatnya, Djajakusuma berhasil mengumbar imajinasi yang liar, yang belum pernah ada dalam sinema Indonesia selama ini. Sedangkan Rendra Karno, sebagai Pak Prawiro, layak mendapat penghargaan meski terlambat. Tentu tidak bisa diharapkan bahwa film-film itu secara teknis sudah canggih. Meskipun begitu, setelah lebih dari 30 sampai 40 tahun, film-film ini tetap memperlihatkan gurat-gurat keindahan sinematis yang mempesona. Film-film ini juga menunjukkan bahwa ''Bapak Perfilman Indonesia'' bukan cuma Usmar Ismail, melainkan juga Djadoeg Djajakusuma. Seno Gumira Ajidarma
 
Ia pernah meneria Anugrah Seni dan pertunjukan untuk pembinaan teater. Disamping itu juga beberapa piagam penghargaan dari Hakim sebagai sutradara Langen Bhakti ABRI (1973 & 1974; Yayasan Husni THamrin untuk revitalisasi lenong; Dewan Harian angkatan 45 daerah DKI untuk penyelenggaraan Musyawarah Nasional perfilman Angkatan 45 dan dari Gubernur DKI 1980)
 
Lebih dari 40 thn berkecimpung dalam dunia film, kini usia dia 63 tahun dan meninggal dunia. Dari kecil dia sudah suka main-main bioskopan dengan benang dan sebagainya. SEdangkan untuk teater dorongan dari ibunya yang hampir setiap malam menghantarkannya tidur dengan berbagai cerita dongeng. Setelah itu apa yang didongengkan ibunya, diperaktekannya keesokan hari dengan bermain sandiwara kecil dengan temannya.
 
Selain itu ia juga hobi nonton bioskop, apalagi kalau gratis. atau sandiwara, dan kegemarannya ini masih melekat hingga ia tua, terbukti setiap pertunjukan yang ada di TIM, ia tonton semua.
 
Masa kecilnya ada di Wonosobo, daerah pedesaan. Setiap ada pertunjukan kampung, ia selalu menontonya waktu kecil. Wayang. karena sedikit bandel sehingga suka kabur dari rumah untuk menonton, padahal umurnya 8 tahun. Bapaknya sebagai Wedana menginginkan ia menjadi priyai (pegawai negeri). Lalu orang tuanya bingung, kok orang seni bisa gampang ke luar negeri, ia belajar setahun di Universitas of Washington 1956-1957, Seatle dan Universitas California di LA.
 
Menyelesaikan AMSB di Semarang, lalu ikut mendirikan perkumpulan sandiwara, dan semangat bersandiwara pada jaman Jepang (1943-1945) dan membentuk badan perjuangan seniman merdeka.
 
Setelah itu ia terjun ke jurnalistik sebagai wartawan mingguan dan harian Patriot di Jogja, serta membantu majalah kebudayaan NUsantara selama 5 tahun 1046-1950.
 
1950-1951, ia mengajar sekaligus pelatih pada Kino Drama Atelir Yayasan Hiburan Mataram bersama Dr. Huyung. Walaupun itu belum memperoleh pendidikan formal di bidang drama dan film. Tahun berikutnya ia mulai terjun dalam bidang film, menyutradarai film pada Perfini (perusahaan Film Nasional Indonesia) 1955 mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) lalu 10 tahun kemudian mendirikan KFT (Karyawan film dan TV).
 
Ia juga sempat mempelajari teater kelasik Jepang dan China, juga Teater rakyat India.

 
LAHIRNJA GATOTKATJA1960D. DJAJAKUSUMA
Director
HARIMAU TJAMPA 1953 D. DJAJAKUSUMA
Director
BIMO KRODA 1967 D. DJAJAKUSUMA
Director
RIMA BERGEMA 1964 D. DJAJAKUSUMA
Director
TJAMBUK API 1958 D. DJAJAKUSUMA
Director
API DIBUKIT MENORAH 1971 D. DJAJAKUSUMA
Director
ARNI 1955 D. DJAJAKUSUMA
Director
MAK TJOMBLANG 1960 D. DJAJAKUSUMA
Director
TERIMAIAH LAGUKU 1952 D. DJAJAKUSUMA
Director
PAK PRAWIRO 1958 D. DJAJAKUSUMA
Director
PEREMPUAN DALAM PASUNGAN 1980 ISMAIL SOEBARDJO
Actor
PUTRI DARI MEDAN 1954 D. DJAJAKUSUMA
Director
MALIN KUNDANG 1971 D. DJAJAKUSUMA
Director
MERTUA SINTING 1954 D. DJAJAKUSUMA
Director
EMBUN 1951 D. DJAJAKUSUMA
Director
MASA TOPAN DAN BADAI 1963 D. DJAJAKUSUMA
Director

ARNI / 1955

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Disepakati bahwa Arni dikirim ke Padang untuk berobat, sementara suaminya, Sofyan, tetap di Jakarta. Sofyan tergoda oleh gadis Norma, dan berlanjut ke pernikahan. Biar tahu, tapi Arni tetap setia. Ia tak juga tergiur oleh rayuan dokter yang merawatnya, dr. Rustam. Karena Norma memang wanita "nakal", dia terpikat lagi pada lelaki lain. Berbareng dengan rasa sesal dan keinsyafan Sofyan, penyakit Arni sudah lenyap pula. Sofyan dan Arni berbahagia kembali.
 PERFINI

TITI SAVITRI
RENDRA KARNO
NURUL'AIN
M.S. DERITA
EMMA GANGGA
Z. GANGGA
ASMARANI

RIMBA BERGEMA / 1964

RIMBA BERGEMA
 PERFINI

RITA ZAHARA
 
Ir. Muskar meninggalkan Jakarta untuk bekerja di perkebunan karet di Sumatera. Usahanya untuk memenuhi tugas bangsa dengan mengembangkan mutu produksi karet menghadapi banyak tantangan. Meskipun ia mendapat dukungan dari para karyawan dan ketua serikat buruh, ia menghadapi intrik rekan kerja dan ketidakpercayaan atasan.

Film ini dibuat untuk kampanye program pemerintah meningkatkan produksi karet Indonesia.

EMBUN / 1951

EMBUN


Tentang Sulaiman ( A.N. Alcaff) seorang bekas pejuang yang mengalami kesulitan dalam masyarakat kota, yang dianggapnya penuh korupsi. Akhirnya ia kembali ke desa, dan ia bisa bertahan di desa karena siraman embun., yang menyejukan hatinya dari Ira ( Savitri), gadis yang mencintainya.


Dibuat oleh produksi PERFINI untuk menanggulangi persoalan penyesuaian diri para pejuang lepas revolusi ke dalam masyarakat.

Film ini dibuatnya pertama kali ketika usia 32 tahun. Pada tahun 50'an film Indonesia sedang berada pada masa keemasan.

Film ini sebenarnya mengangkat persoalan yang ada saat itu, kembalinya para revolusioner ke tengah masyarakat, Potret anti hero yang sama dilakukan oleh Usmar dalam Darah & Doa. Yang menarik adalah Djaja juga ikut dalam dalam dunia militer sehingga tergerak hatinya untuk membuat film ini dengan ettingan revolusi 45. Film ini juga masuk dalam film terbaik yang pernbah dia buat selain Harimau Tjampa, Tjambuk Api, dari karya dia 12 film.


Sayang film ini tidak tersisa lagi alias menghilang entah ke mana.
 PERFINI

MALIN KUNDANG / 1971

MALIN KUNDANG
ANAK DURHAKA


Inilah kisah si Malin Kundang, kisah lama kisah 'rang tua-tua tetapi isinya berlaku hingga sekarang untuk jadi teladan tua dan muda (lirik tema lagu film Malin Kundang), kisahnya juga memang Si Malin KUNDANG. Skenarionya ditulis oleh Asrul Sani dan Nyonya Jamaludin Malik yang membiayai, sutradara D.Djajakusuma membuat film Malin Kundang anak Durhaka.

Diatas layar lebar penuh dengan gemerlap warna, film itu pun siap untuk dinikmati penonton. Asrul Sani menambahkan sedikit dalam ceritanya, Malin yang menjadi batu bukan karena kutukan dari ibunya, tetapi dari kutukannya sendiri. Menurut Asrul tidak mungkin seorang muslim mengutuk anaknya menjadi batu, meskipun sebesar apa pun dosanya. Bahkan ibunya sendiri tidak rela mendengar sumpah anaknya itu sampai selesai. Dan mulut Putu Wijaya (sebagai Malin) ditutup oleh Fifi Young (Istri Malin) ketika sumpah belum sempurna terucap.


Rano karno memerankan Malin saat kecil, hal ini karena ia berbakat selain itu juga ia anaknya Soekarno M.Noer, skenario bagian itu ditulis dengan teliti. Ketelitian itu hanya terpusat pada keluarga si Malin yang miskin saja. Ketika dewasa Malin sangat dendam dengan kemiskinan. Tetapi kemiskinan mereka dipulau itu kurang tergambar. Karena tidak ada bandingan dengan orang yang kaya di pulau itu. Padahal Malin kecil tidak ditampilkan seberapa menderitanya dia. sehingga ketika Putu Muncul dalam sosok Malin kundang semakin jomplang, baik fisik dan karakternya.

Dan adegan saat Malin ketemu ibunya kurang tertata baik. Karena saat pertemuan itu yang akan menjadi kunci cerita ini sangat kurang. Bahkan penyebab Malin tidak mengakui ibunya itu kurang jelas. Akankah ia malu karena ada Putri Cina istrinya, atau malu di depan para anak buahnya? Penataan kamera yang dilakukan oleh Kasdullah terlalu banyak yang kabur, tetapi sebagai hiburan ringan buat keluarga, film ini boleh lah. Banyak yang terkesan sama Rano Karno saat memerankan Malin kecil yang hidup di pulau itu bersama ibunya. Sehingga ketika Malin dewasa adegan kurang sebagus masa Malin kecil.


NEWS
30 Desember 1972

PT Remaja Elynda yang baru-pertama kali menelorkan hasil, sudah berhadapan dengan kenyataan itu, ketika Malin Kundang ditolak mentah-mentah oleh bioskop yang bernaung di bawah nama Djakarta Theater Group. Alasannya lumayan bagai jipratan cabe rawit dibiji mata: tidak komersil! Memang di maklumi itu film punya tema pendidikan. Konon keputusan komersil tidaknya satu film ditentukan oleh seorang yang berkedudukan di bawah General Manager Sudewo. Namun selera itu di ace oleh sejumlah bioskop lainnya. Bulatnya penolakan dari 10 bioskop yang tergabung dalam grup itu, bukan tidak memancing cetusan dari fihak-fihak yang berkepentingan. Dari Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), Turino Djunaedy selaku ketua, menyatakan kepada Tempo "Seharusnya mereka lebih dulu membicarakannya dengan kita sebelum menolak". Sementara itu Ketua Karyawan Film & TV (KFT) Sumardjono melihat persoalan ini dari sudut moral: dalam hubungan bahwa Malin Kundang dibuat oleh inisiatif Ny. Elly Yunara, isteri almarhum Djamaluddin Malik. Kata Sumardjono "Apa tidak bisa dilihat usaha seorang isteri yang ingin meneruskan cita-vita suaminya, yang semasa hidupnya justru malah belum lagi kesampaian mewujudkan pembuatan film Malin Kundang ini. Seraya bercerita tentang Malin -yang bagai diwasiatkan almarhum-Djamaluddin Malik ini, Sumardjono-mengingatkan betapa pengorbanan materil, yang telah dialami oleh sang nyonya sehingga harus minta kredit bank dan tidak main mata dengan kaum cukong, sejenis kaum yang konon pernah dikonstatir oleh almarhum Ketua Umum Parfi Sudo Sumanto sebagai mengandung unsur sengaja mau memerosotkan mutu film pribumi. Tepat tidaknya pengamatan Surjo Sumanto, itu, masih perlu diselidiki lagi. Tapi yang jelas Sudewo adalah tulen pribumi, bahkan berkepentingan pula selaku pimpinan Parfi mensukseskan apa yang sering diimpikan "agar produksi nasional jadi tuan rumah." Kepada Sinar Harapan Sudewo menjelaskan, bagi Djakarta Theater Group disamping menilai mutu faktor bisnis pun punya peranan. Tanpa bisnis bioskop akan gulung tikar. Ia mengambil contoh Kabut Bulan Madu: hanya bertahan 2 hari saja di Cathay, satu dari anggota grup ini. 

Hari pertama, kata Sudewo, karcis hanya terjual 428 lembar, suatu jumlah di bawah target minimum. Sudewo yang letnan kolonel itu yakin benar bahwa penolakan yang ditandatanganinya itu tidak bertentangan dengan MPRS, malahan bersesuaian dengan keputusan gubernur Ali Sadikin yang menegaskan dalam pemutaran film harus ada perimbangan mutu dan kelas bioskop. "Saya prihatin melihat produser-produser kita yang kurang memperhatikan mutu" katanya kemudian seraya menghela nafas. Cepat ditambah kannya "Tapi tidak berarti semua film nasional tidak bermutu. Ada beberapa yang bahkan melampaui film impor." Penganten Remaja, Bing Slamet Setan Jalanan dan Si Pitung, adalah judul-judul yang diporcontohkan Sudewo. Dengan begitu ukuran mutu baginya tentu banjirnya penonton di loket bioskop, satu hal yang lebih memperjelas pandangan bahwa film adalah barang dagangan. Film Hall. Memang apaboleh buat. Dan penolakan terhadap Malin ini, buat orang yang punya niat besar mewujudkan diri sebagai "tuan rumah" tadi, tentunya tuan rumah yang baik, bagai mengundang niat lain: bagaimana kalau didirikan sebuah Indonesian Film Hall, yang khas bagi memutar hanya produksi pribumi? Nampaknya langkah serupa yang telah sukses dinegaranya P. Ramlee hendak diciptakan di sini. 

Namun ada baiknya dikaji pula, kegandrungan publik film di negeri ini yang suka-suka, datang ke bioskop bukan karena ingin menonton film anu, tapi karena gedung nya mentereng Jan itu adalah sebuah lambang prestise. Sama saja keadaannya dengan corak sikap produser yang ingin filmnya diputar lebih dulu di gedung mewah: Adakah sekedar semangat gengsi-gengsian? Nampaknya jawaban adalah: ya! Sebab jika satu produksi pribumi diputar pertama kali di Jakarta, dan itu di Djakarta Theater misalnya, konon dapat berpengaruh baik bagi pemasaran didaerah-daerah. Tak pelak lagi, ini taktik dagang, dan buat si Malin, reklame serupa ini yang luput. Namun untuk mengutip Asy'an Djakfar, seorang dari staf pimpinan PT Remaja Ellynda itu, pemasaran Malin di luar Jawa termasuk Malaysia "Berjalan lancar dan masuk harga tinggi, "Apa lagi? Kenapa mesti ngotot buat diputar di Djakarta Theater cs? Soalnya yang nampak Jan jadi kekuatiran orang tentu bukan karena nasib si Malin kini, tapi andaikata penolakan itu adalah suatu test permulaan dari usaha membarikade bagi kemungkinan masuknya film Indonesia di bioskop kelas satu di negeri ini, niscaya urusannya bukan tidak serius.

HARIMAU TJAMPA/ 1953

HARIMAU TJAMPA


Dengan dendam terhadap pembunuh ayahnya, Lukman (Bambang Hermanto) berguru silat di kampung Pau. Mula-mula ia minta pada Datuk Langit (Rd Ismail), tapi dimintai bayaran tiga kerbau. Akhirnya ia belajar pada seorang guru yang dilihatnya berhasil mengalahkan musuhnya dalam sebuah perkelahian. Guru ini memberi syarat agar silatnya tidak dipergunakan sembarangan. Lukman berjanji. Berulang kali janji itu dilanggar, tapi selalu dimaafkan, hingga dia tamat memperoleh ilmu silat. Janji ini dilanggar lagi saat ia tengah berjudi. Bandar judi yang menghalangi percintaannya secara tak sengaja tertusuk pisaunya sendiri. Lukman masuk penjara. Di dalam penjara itu diperoleh kepastian bahwa pembunuhan itu atas perintah kepala negeri, yaitu Datuk Langit. Lukman meloloskan diri dari penjara untuk bikin perhitungan. Datuk Langit diringkus dan diserahkan ke polisi sebagai pembunuh, sedangkan Lukman juga menyerahkan diri buat menjalani sisa hukuman. Latar belakang Minang dalam musik, petatah-petitih, adat dll tampil dalam film ini.

Malin Maradjo adalah juara silat dalam PON II 1951.
Film Harimai Tjampa juga dikabarkan sempat menimbulkan kehebohan di masyarakat umum, karena dalam film ini salah satu pemerannya Nurnaningsih tampil berani setengah bugil, dan hal tersebut belum pernah terjadi dilakukan dalam film pendahulunya.

Berikut adalah sedikit sinopsis film Harimau Tjampa, dimana sinopsis film ini, diperoleh blog Karo Cyber dari salah satu situs ensiklopedia, wikipedia

Dengan dendam terhadap pembunuh ayahnya, Lukman (Bambang Hermanto) berguru silat di kampung Pau. Mula-mula ia meminta pada Datuk Langit (Rd Ismail), tetapi dimintai bayaran tiga kerbau.

Akhirnya ia belajar pada seorang guru yang dilihatnya berhasil mengalahkan musuhnya dalam sebuah perkelahian. Guru ini memberi syarat agar silatnya tidak dipergunakan dengan sembarangan, dan Lukman pun berjanji.

Berulang kali janji itu dilanggar, tetapi selalu dimaafkan oleh gurunya itu, hingga ia tamat memperoleh ilmu silat. Janji ini dilanggar lagi saat ia tengah berjudi. Bandar judi yang menghalangi percintaannya secara tidak sengaja tertusuk pisaunya sendiri. Lukman pun masuk ke dalam penjara.

Di dalam penjara itu diperoleh kepastian bahwa pembunuhan itu atas perintah kepala negeri, yaitu Datuk Langit. Lukman meloloskan diri dari penjara untuk membuat perhitungan. 

Datuk Langit diringkus dan diserahlan ke polisi sebagai pembunuh, sedangkan Lukman juga menyerahkan diri buat menjalani sisa hukumannya.


FULL MOVIE


News
01 Mei 1971
Serat centini, lalu harimau campa
BELUM diselidiki adanja hubungan antara kebiasaan mengintip pertundjukan sandiwara bangsawan dimasa ketjil dengan karir sutradara film dimasa dewasa. Tapi kasus itu terdjadi pada D. Djajakusuma. Dilahirkan dalam keluarga Wedana di Wonosobo, anggota Akademi Djakarta jang kini memasuki tahun ke 53 dari hidupnja jang membudjang, pada masa ketjilnja ia menikmati pendidikan jang tjukup. Pak Wedana gemar mengumpulkan buku, dan Djaduk demikian nama ketjilnja jang mengerti tulisan Djawa achirnja berkesempatan membatja berbagai sumber kesusastraan klasik Djawa. "Tjentini djuga saja batja waktu itu, meskipun isinja tidak saja mengerti", katanja. Salah satu diantara buku jang penuh bergambar perempuan telandjang dan bisa dimengerti djika anak ketjil tadi, suka menjobek gambar-gambar asjik itu untuk dibagi-bagikan kepada teman-temannja. Masa remadjanja dilewatinja dikota Semarang, dan pada AMS bagian B. Djajakusuma tidak djarang mengisi kegiatan kesenian sekolahnja dengan sandiwara-sandiwara jang membawakan tjerita-tjerita matjam lakon "Sitti Nurbaja". Dari beberapa temannja bersandiwara itu antara lain Nugroho SH, Letdjen Mokoginta hanja Djajakusuma lah jang achirnja terikat dengan dunia seni itu untuk seterusnja. Kemudian ia mentjari pekerdjaan dan achirnja terdampar dikantor Pusat Kebudajaan sebagai penterdjemah. Ditahun 1943 itulah ia untuk pertama kalinja bertemu dengan Usmar Ismail, suatu awal dari kehidupan dengan dunia sandiwara dan film. Pada mulanja ia hanja diadjak oleh Usmar. Melalui kedudukan sebagai pemain, pengatur set serta segala matjam kedudukan, beberapa tahun kemudian sepulang dari Amerika (mempeladjari film dan teater di Universitas Washington & Universitas Southern California) ia mendjadi sutradara sandiwara sambil mendjadi dosen ATNI, setelah sebelumnja telah pula menjutradarai beberapa film. Ketika Djepang menjerah dan perang kemerdekaan berketjamuk, bersama seniman-seniman lain, Djajakusuma ikut berdjuang dalam Rombongan Seniman Merdeka. Suasana Djakarta jang semakin panas, membawa mereka ke Jogjakarta.

Disanalah, diantara kesibukan bergerilja, Djajakusuma sempat selama setahun mendjadi sekretaris Panti Pengetahuan Film. Walaupun umurnja hanja setahun, namun organisasi itu berhasil menanamkan pengetahuan dasar teori perfilman kepada tokoh-tokoh muda matjam Usmar Ismail, Surjosumanto, Djajakusuma dan lain-lain. Orang-orang muda itu betul-betul telah memanfaatkan pengetahuan jang mereka peroleh dari senior-senior matjam Dr Huyung, Andjar Asmara, Sutarto dsb, meskipun pendidikan jang mereka terima semuanja dalam keadaan serba darurat. Pengakuan kedaulatan merupakan periode baru buat Djajakusuma. Usmar ke Djakarta, dan ia tinggal sibuk dengan gedung bioskop Seni Sono di Jogja. "Sajalah jang merehabilitasi bioskop disamping Gedung Agung itu, dan disitu pulalah saja beladjar soal perbioskopan". Tapi Usmar tiba-tiba datang dengan crew Enam Djam di Djokdja. Tidak banjak bitjara, Djajakusuma achirnja ikut main sambil djadi asisten sutradara serta merangkap berbagai pekerdjaan, antara lain memanggul kamera. Itulah debutnja dalam film. Itu pulalah jang menariknja ke Djakarta. Perfini kemudian memberinja kesempatan kerdja untuk achirnja mendjadikan Djajakusuma sebagai sutradara dengan film pertama Embun. Orang jang dojan nonton film Indonesia achir tahun limapuluhan tentu masih ingat Harimau Tjampa. Itulah salah satu filmnja, disamping film-film Tjambuk Api, Mak Tjomblang, Pak Prawiro serta banjak lagi jang Djajakusuma sendiri lupa.

API DIBUKIT MENORAH (Gugurnya Tohpati) / 1971

API DIBUKIT MENORAH


Film ini berdasarkan novel SH Mintardja.
 
Ceritanya ditulis Djaja sendiri, ceritanya Dikisahkan Royan perang saudara antara Djipang dan Padjang beberapa abad silam. Djipang kalah perang dan sisa-sisa pasukannya kerkeliaran menghantui rakyat, terutama pimpinan Tohpati (WD.Mochtar), untuk mengatasi keganasan pasuka liar itu, Padjang mengirim panglima muda Untoro (Kies Slamet) sebagai tenaga bantuan bagi Widoro (Kusno Sudjarwadi) pamanya yang menjadi kepala prajurit Padjang di Kademangan sangkal Putung.
 
Dalam perjalanan Sangkal Putung itulah Untoro di hadang dan adiknya (Agung Sedaju) dihadang oleh gerombolan Djipang. Untoro terluka tapi Agung meloloskan diri dan selamat sampai di Kademangan Sangkal Putung di mana ia disambut sebagai juru selamat.
 

Selain bersiap-siap menghadapi serangan Tohpati, disangkal putung juga timbul persoalan lain. Sebaba Sedaju yang dikagumi rakyat juga sempat memancing iri hati Sindati ( Sosialisman), karena Gadis Skar Mirah ( Nunik Gunadi). Konflik ke dua anak muda ini semakin besar. Sehingga ketika terjadi perang besar anatara Tohpati dan Djipang, Sindati secara licik menikam Untoro dari belakang. Sang panglima tidak mati tapi Sindari menghilang dan Tohpati gugur .
 
 

Kisah ini cukup menarik dan di tengah membanjirnya film-film silat Indonesia yang lebih menonjolkan cucuran darah dan tehnik membunuh, Karya Djaja ini menonjol dengan skenario yang tidak bertele-tele serta cukup bersih dari selogan dan kata-kata berhikmat, jalan cerita dituangkan dalam siloloit. Kebiasaan Djaja menyisipkan adegan dolanan anak-anak Jawa, nyanyian bersama sambil menumbuk padi, serta adegan adu pukul rotan, semua ini demikian sehingga penonton tidak merasa menyaksikan sebuah film dakwah.
 



Film ini menggunakan tenaga crew yang banyak, meski skenarionya lumayan, penyutradaraannya tidak jelek. Toh film ini tidak bisa dikatakan berhasil. Pembantu kreatifnya tidak sanggup menandingi kreatifitasnya. Juru kameranya Thamizi ternyata terlalu amatir, sehingga sukar membedakan siang dan malam. Sudut-sudut pemotretannya juga tidak memberi andil yang baik kalau tidak malah sering memberikan kesan sandiwara, pada beberapa adegan. Kecuali adegan pertempuran masal yang menarik, adegan-adegan lain kurang asyik dipandang mata.
 
Barang kali penyuaraan dubbing yang kurang digarap dengan baik sehingga permainan para aktor tidak terlalu menonjol, meskipun tidak jelek. Tetapi yang paling berhasil adalah penanganan Djaja terhadap aktor WD.Mochtar sehingga "Yang itu-itu aja" dari aktor ini dapat dihindarkan.
 
NOVEL
Membaca Api di Bukit Menoreh (ABM), pada awalnya sungguh sangat membosankan. Tetapi, tidak apabila sudah "menemukan" keindahan dan rahasia di balik kebertele-telean yang dikesankan oleh penulisnya. Betapa tidak, bagi mereka yang terbiasa dengan gaya KPH, Chin Yung, Khu Lung atau apalagi Tjan I. D, pasti sangat gerah dan tidak sabar menunggu seorang tokoh utama bernama Agung Sedayu (hampir sama kasusnya dengan penerusnya Glagah Putih) untuk mencapai kematangan baik sebagai pribadi maupun dalam "Olah Kanuragan".

Alur cerita memang berjalan "lambat" dan terkesan "bertele'tele". Setiap episode diceritakan sangat detail dan bukan dengan penceritaan "aku" atau terpusat pada satu tokoh, tetapi pada banyak tokoh. Karena itu, setting cerita sering bergeser bukan hanya pada tokoh utamanya, tetapi juga sering dari segi Kiai Gringsing (Sang Guru), juga Untara (Kakak), Swandaru (Adik seperguruan), selain secara teritori juga berpindah-pindah dari Sangkal Putung, Mataram, Menoreh dan juga Pajang.

Ada beberapa hal (atau malah banyak) yang menarik dari cerita klasik Jawa ini. Baik kelekatannya dengan sejarah, kemudian juga Olah Kanuragan dan jenis-jenis Ilmu yang ampuh, baik yang sudah mulai punah namun sangat ampuh hingga ke penemuan-penemuan baru oleh Agung Sedayu. Juga penokohan yang menurut saya sangat lekat dengan budaya Jawa, selain tentu setting cerita yang sangat kental bernuansa Jawa, membuat saya yang bukan orang Jawa, tetapi Minahasa, menjadi sangat lekat dan mencintai budaya Jawa ini. Setelah menamatkan semua cerita KPH dan banyak sekali karya Chin Yung dll, ternyata saya menemukan keindahan yang berbeda dengan kualitas yang tidak kalah di buku-buku karangan penulis lokal ini. Meskipun baru empat judul buku dari S. H. Mintardja yang saya tamatkan.

Saya ingin mengeksplorasinya dalam beberapa artikel, sekalian menyarankan para peminat untuk membeli buku ini. Bahkan jika mungkin, meminta generasi penerus untuk melanjutkan cerita yang bagi saya pada akhirnya menjadi indah, menarik dan sarat informasi sejarah ini. Pada bagian pertama ini, saya ingin melihatnya dari alur sejarah meski tidak dalam pendekatan kronologis, tetapi mungkin konstruksi makna dari urutan kejadian.

Settingnya diawali dengan pecahnya Kerajaan Demak dan pertarungan antara Djipang dengan Padjang. Sisa-sisa lasykar Arya Penangsang dengan tokoh Tohpati, murid Kian Mantahun, Maha Patih Djipang memimpin perlawanan secara gerilya. Sebagaimana diketahui, pada episode inilah Jaka Tingkir menggantikan Sultan Trenggana dan membawa pusat pemerintahan ke Padjang. Pada episode ini jugalah, Sutawidjaya (Kelak menjadi Panembahan Senopati, Raja Mataram Pertama didampingi Kiai Juru Martani sebagai Patih)mulai menunjukkan tajinya untuk kemudian melahirkan kerajaan Mataram.

Keseluruhan setting ABM, sebanyak lebih 200 jilid berputar-putar di sisa kerajaam Majapahit dan garis keturunannya (Guru Agung Sedayu termasuk keturunan langsung Majapahit), pertarungan sisa laskar Djipang dan Pajang, hingga ke masa pembentukan Mataram dan konsolidasi Mataram sebagai sebuah kerajaan. Pada selang waktu inilah cerita ABM dibangun, lengkap dengan intrik-intrik dalam istana yang dibuat menjadi tidak membosankan karena dikemas dalam kaitan dengan pergolakan rimba persilatan (meminjam istilah KPH dan Cersil berlatar Cina lainnya). Pergolakan politik yang berpusat di Istana, terpadu secara kait mengait dengan polarisasi tokoh-tokoh silat dari beberapa padepokan yang juga mengalami friksi.

Meski di awal cerita, tokoh-tokoh padepokan masih amat jarang, tetapi pada bagian tengah, di atas jilid 100, mulai bermunculan dan bahkan terus hingga ke bagian-bagian akhir jilid 390-an. Kentalnya nuansa sejarah terutama nampak dalam episode 1 dan 2, yang berpusat dalam diri Agung Sedayu dan Swandaru. Swandaru yang memilih "aliran keras" mengutamakan fisik berbeda jalur ilmunya dengan Agung Sedayu yang mengutamakan "kedalaman". Perbedaan ini diletakkan dalam konflik politik yang secara perlahan bertumbuh semakin subur dan semakin bersimpang hingga meledak pada jilid 200-an. Tetapi, di sela itu juga, justru konflik-konflik utama di kerajaan terjadi. Baik episode perang yang berakhir antara Djipang (sisa lasykar) dengan Pajang yang dimenangkan Untara, hingga menangnya Sutawidjaya dengan kematian Sultan Pajang yang adalah ayah angkatnya. Perang masih terus berlanjut hingga jilid 300-an, hingga berpusat ke diri Glagah Putih yang mengembara. Cerita perang ke perang inilah yang menautkan sejarah sejak Demak, Pajang hingga ke Mataram. Intinya memang adalah pertumbuhan Mataram, baik sejak Ki Pemanahan hingga Panembahan Senopati dan pengganti-penggantinya.

Api di Bukit Menoreh, betapapun memang menyiratkan kentalnya nuansa sejarah. Nampaknya, penulisnya secara sengaja memasukkan unsur tersebut. Meskipun tidak se akurat tulisan sejarah, tetapi fiksi ABM, justru menyajikan alur sejarah secara sangat menarik. Ketika dikonfirmasi dengan sejarah Jawa, saya menemukan alur sejarah yang tidak salah, meski dengan aksentuasi yang berbeda. Saya, justru menjadi lebih mengerti Jawa, melalui fiksi ABM ini. Panorama sejarah ini menjadi tidak membosankan karena paduannya dengan cerita selit yang terselip tidak dalam posri kecil, tetapi malah dominan dengan tidak menohok sejarah jauh ke alur fiksi dan buatan sendiri.

Pergulatan di sekitar Sultan Trenggana, Hadiwidjaya hingga Panembahan Senopati, lengkap dengan Patih mereka masing-masing, serta tokoh-tokoh sepuh yang mengelilingi mereka, kaitan dengan sisa Majapahit, konsolidasi Mataram dengan kadipaten sekitarnya, konflik dan perebutan tahta, serta ambisi politik, dikemas dengan sangat baik. Dan, jadilah ABM sebagai cerita silat klasik Jawa yang sangat representatif untuk mengerti Jawa, terutama bagi emreka yang berasal dari luar Jawa. Tetapi, bahkan bagi Orang Jawa sendiripun, alur yang khas Jawa ini dianggap seakan-akan sebuah kisah nyata (Suara Merdeka, Februari 2004). Hal yang membuktikan betapa cerita ini memang merupakan sari atau disarikan dari kehidupan nyata masyarakat Jawa.

Tidak salah, jika para peminat cerita silat untuk melirik dan membeli buku yang indah ini

MERTUA SINTING / 1954

MERTUA SINTING









 
 
Tanpa selidik, R.P. Singo mengusir anaknya Hartono, karena menikahi gadis Bandung yang dikira cuma pesolek dan bukan keturunan ningrat. Sementara itu R.P. Singo punya sekretaris wanita yang kerjanya amat bagus. Ingin rasanya dia mengawinkan wanita-sekretaris itu dengan anaknya. Harapannya timbul setelah mendengar Hartono menceraikan isterinya. Tapi, kemudian ternyata sekretaris itu adalah menantu R.P. Singo, yang memang bukan anak bangsawan. Sandiwara itu hanya untuk mengubah hati dan pendapat R.P. Singo yang masih memandang suku, padahal Indonesia adalah bangsa kesatuan yang terdiri dari berbagai suku.

TITIEN SUMARNI MOTION PICTURES

S. PONIMAN
NANA MAYO
PAULINA ROBOTH
SALIM HAMID

PUTRI DARI MEDAN / 1954

PUTRI DARI MEDAN







Gatot dan adik-adiknya, Brahim dan Saimun, mendirikan Gerakan Anti Kawin. Suatu waktu datang surat dari abang tertua mereka di Medan, meminta agar sudi mengasuh Tineke, anak tunggalnya. Tineke mengaku bernama Dinah, sedangkan Tineke yang disangka Gatot dan kawan-kawannya, anak kecil, belum dibawa karena sakit. Kedatangan Dinah, yang belakangan membawa pula kawan-kawan gadis, membuat goyah pertahanan mereka yang berniat akan membujang untuk selamanya itu. 

Sejak sukses lewat "Puteri Solo" (1953), Titien Sumarni laris, sehingga sanggup mendirikan perusahaan sendiri. R. Mustari adalah suami Titien Sumarni.
 TITIEN SUMARNI MOTION PICTURES

PAK PRAWIRO / 1958

PAK PRAWIRO









Raden Prawiro, pensiunan asisten Wedana, yang tinggal di desa kelahirannya, Kebumen lebih dikenal sebagai pak Prawiro (Rendra Karno). Anak tertuanya, Indrani (Chitra Dewi) telah kawin dengan Sumantri (Bambang Hermanto), pegawai Bank Tabungan Pos. Anak kedua, Indrasti (Aminah Cendrakasih), masih sekolah dan aktif di kepramukaan. Dalam suatu rapat, Pak Prawiro mengusulkan agar menabung digalakkan, karena hal itu sangat bermanfaat. Omongan Pak Prawiro terbukti ketika desa itu tertimpa musibah banjir. Penduduk tertolong karena mempunyai uang tabungan. Sebagian uang diambil dan digunakan buat membangun lagi rumah yang rusak. Pengambilan uang diawasi polisi pimpinan Suwarto (Bambang Irawan) dan pak lurah.
 PERFINI
BANK TABUNGAN POS.

RENDRA KARNO
CHITRA DEWI
BAMBANG HERMANTO
AMINAH CENDRAKASIH
BAMBANG IRAWAN
SULASTRI