Tampilkan postingan dengan label DOCUMENTARY FOR INDONESIAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DOCUMENTARY FOR INDONESIAN. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Juni 2011

Asia Raja / 1945

Asia Raja

Sebuah film propaganda yang dibuat oleh Jepang dengan soundtrack bahasa Indonesia untuk menekankan prestasi militer Jepang. Pesannya adalah bahwa tentara Jepang tidak bertindak agresif tetapi hanya untuk mempertahankan Jepang atau sekutu-sekutunya. Dari arsip Museum Film Belanda.

Language
English
Country
Japan
Medium
Film; Film. 16mm. sd. b&w. 9 min.
Technical information
Black-and-white / Sound
Year of release
1945
Availability
Hire
Documentation
Teaching notes supplied.
Uses
Students of propaganda, colonial history and South-east Asian history.*
Subjects
History
Keywords
documentary films; Indonesia; Japan; propaganda; World War 2
Type
Film
Format
16mm

Arrows Against the Wind / 1992

Arrows Against the Wind

Menggambarkan keyakinan budaya Dani dan Asmat, dua kelompok suku di Papua Barat (Irian Jayan), dan pergolakan sosial, politik dan lingkungan setelah invasi Indonesia terhadap negara pada tahun 1963.

Papua Barat, juga dikenal sebagai Irian Jaya, adalah "Amazon Asia." Ini adalah tanah hutan yang luas dan hutan hujan tropis di mana, 25.000 tahun, suku-suku asli banyak telah tinggal dalam keharmonisan spiritual dengan tanah. Difilmkan diam-diam di Irian Jaya, dokumenter ini adalah kisah dari kehidupan yang kaya dari dua suku, Dani dan Asmat. Ini juga kisah tentang pergolakan sosial, politik dan lingkungan.

Pada tahun 1963, Indonesia menginvasi Irian Jaya, membuka lahan untuk pengembangan dan pada saat yang sama melarang semua pengamat internasional.

Sementara masa depan Dani terancam oleh program asimilasi di Indonesia, suku Asmat telah menghadapi invasi merusak lahan mereka, karena hutan mengandung sumber daya berharga untuk dimanfaatkan.

Suku-suku asli Irian Jaya telah diberikan dibuang oleh kekhawatiran multinasional dan pemerintah Indonesia.

Di seluruh dunia, budaya asli dan lingkungan murni kehilangan pertempuran untuk bertahan hidup.

Panah MELAWAN ANGIN merupakan produksi emosional bergerak dan memperingatkan kita untuk secara akurat menilai risiko pembangunan.

Language English
Country
Australia
Medium
Video; Videocassette. VHS. col. 52 min.
Year of release
1992
Availability
Hire; 2000 hire: £5.00 (+p&p) for 2 weeks
Subjects
Anthropology; Development studies
Keywords
Asmat; cultural influences; Dani; ecology; indigenous peoples; Indonesia; Irian Jaya

Producer
Tracey Groome
Contributor
Anne Basser

Name
Land Beyond Productions
Name
SBS Tele

Jumat, 24 Juni 2011

Whale Hunters of Lamalera, The / 1988

Whale Hunters of Lamalera, The
Mengikuti kehidupan sehari-hari, pemburu paus Lamaholot dari desa Lamalera di pulau Indonesia Lembata, sebuah komunitas 1500 orang. Penduduk desa harus ikan untuk bertahan hidup - tambang disukai mereka adalah paus sperma. Penangkapan paus komersial telah dilarang internasional tetapi paus subsisten diijinkan oleh Komisi Ikan Paus Internasional peraturan di Alaska, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Greenland. Indonesia tidak menandatangani. Tujuh paus tertangkap di Lamalera pada tahun 1987. Difilmkan selama empat minggu pada bulan Juni 1987. RA

Director John Blake
Producer John Blake

Contributor Robert Barnes Series Disappearing World, Series Language English Country Great Britain Medium Video; Videocassette. VHS. col. 51 min. Year of release 1988 Availability Hire (RAI Film & Video Library) Sale (RAI, Granada); 2005 sale: £50.00 (+VAT +p&p) (RAI) Notes Broadcast on ITV 7/88. Reviewed by Roy Ellen in ANTHROPOLOGY TODAY, Vol 4 No 5. Subjects Anthropology Keywords Indonesia; whaling

Tukang Sampah: Masters of Waste / 1993

Tukang Sampah: Masters of Waste
Seperti di banyak negara berkembang, daur ulang sampah di Indonesia sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan sosial kota. Daur ulang sampah kota telah mengubah Surabaya ke kota terbersih di Indonesia. Fokus pada pemetik kolektor botol dan gelasnya, yang memasok pabrik-pabrik daur ulang lokal. Mencatat bahwa daur ulang yang sukses tergantung pada keseimbangan penawaran dan permintaan - satu terlalu mudah kecewa dengan tak henti-hentinya pembuangan limbah dari negara-negara industri.

Director Boris Terpinc
Producer Boris Terpinc; Franziska Strohbusch
Medusa-Film
Language English
Country Germany
Medium Video; Videocassette. Standard formats. col. 45 min.
Year of release 1993
Availability Sale; 1999 sale: £30.00 (+VAT inc. p&p) (UK education)
Subjects Development studies; Environmental science


Training of Heihos and Pemudas /1944

Training of Heihos and Pemudas

Diproduksi oleh Jepang untuk menunjukkan di Indonesia. Heihos dan pemuda-pemuda itu organisasi para-militer yang diselenggarakan secara lokal. Film ini menunjukkan sesi pelatihan, kelas, pidato dari para pemimpin Indonesia dan jenderal Jepang dan tembakan simbolis dari bunga melati. Dari arsip Museum Film Belanda.

LanguageEnglish
CountryJapan
Medium Film; Film. 16mm. st. b&w. 8 min.
Technical information Black-and-white / Sound
Year of release 1944
Availability Hire
Documentation Teaching notes supplied.
Uses Courses in colonialism and south-east Asian history*.
Subjects History
Keywords Indonesia; Japan; para-military organisations

Kamis, 23 Juni 2011

JALAN RAVA POS / JALAN TAYA POS / 1995


JALAN RAVA POS
GROOTE POSTWEG, DER
JALAN RAYA POS
GREAT POST ROAD, THE

Sutradara:BERNIE IJDIS
RIVIERA HOTEL 1998 BERNIE IJDIS Documentary Director
DREAMSCAPE: GAMBLING IN AMERICA, A 1994 BERNIE IJDIS Documentary Director
JALAN RAVA POS 1995 BERNIE IJDIS Documentary Director
BRIEVEN 1988 BERNIE IJDIS Documentary Director.



CINEMATOGRAPHER
: STEF TIJDINK

DAGBOEK VAN CHARLOTTE, HET 1988 PUCK GOOSSEN Documentary Director Of Photography
SCHOORSTEENVEGER, DE 1987 RON TERMAAT
Director Of Photography
FORBIDDEN QUEST 1992 PETER DELPEUT
Director Of Photography
VERSTEKELING, DE 1998 BEN van LIESHOUT
Director Of Photography
RIVIERA HOTEL 1998 BERNIE IJDIS Documentary Director Of Photography
ST. PETERSBURG, PLACES AND PAINTINGS 2004 BEN van LIESHOUT Documentary Director Of Photography
TOT ZIENS 1995 HEDDY HONIGMANN
Director Of Photography
ALIAS KURBAN SAID 2004 JOS de PUTTER Documentary Director Of Photography
JALAN RAVA POS 1995 BERNIE IJDIS Documentary Director Of Photography
METAAL EN MELANCHOLIE 1994 HEDDY HONIGMANN Documentary Director Of Photography
HET IS EEN SCHONE DAG GEWEEST 1993 JOS de PUTTER Documentary Director Of Photography.

Jalan Raya Pos
adalah jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km yang terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels. Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Britania. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jenderal Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

KOTA yang dilalui Jalan Raya POS • Anyer • Cilegon • Banten • Serang • Balaraja • Tangerang • Daan Mogot • Grogol • Sunda Kelapa / Batavia / Jakarta • Glodok • Mangga Dua • Ancol • Gunung Sahari • Kemayoran • Pasar Baru • Tanah Abang • Weltevreden / Monas / Gambir • Pasar Senen • Kramat • Salemba • Matraman • Manggarai • Meester Cornelis / Jatinegara • Tebet • Kramat Jati • Pancoran • Pasar Minggu • Kebayoran • Depok • Lebak Bulus • Ciputat • Cibubur • Parung • Cileungsi • Jonggol • Cibinong • Pakuan Pajajaran / Buitenzorg / Bogor • Batu Tulis • Ciawi • Cisarua • Mega Mendung • Puncak • Cipanas • Sukabumi • Cianjur • Padalarang • Cimahi • Parahyangan / Parijs van Djava / Bandung • Cileunyi • Sumedang • Kadipaten • Palimanan • Cirebon • Kanci • Losari • Pejagan • Brebes • Tegal • Pemalang • Comal • Pekalongan • Batang • Weleri • Kendal • Semarang • Demak • Kudus • Pati • Juwana • Rembang • Lasem • Tuban • Sidayu • Gresik • Surabaya • Wonokromo • Waru • Sidoarjo • Porong • Gempol • Bangil • Pasuruan • Probolinggo • Kraksaan • Paiton • Besuki • Pasir Putih • Panarukan • Situbondo

Pada 1996, Pieter van Huystee Film & TV Belanda memproduksi film De Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Film ini diputar di beberapa gedung bioskop di Belanda, Italia dan Perancis. Pramoedya Ananta Toer mengisi narasi untuk film ini.
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels adalah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit pada Oktober 2005. Buku ini mengisi kekosongan literatur tentang Jalan Raya Pos dalam khazanah buku-buku berlatar belakang sejarah dewasa ini. Walau Jalan Raya Pos dikenal dan selalu diajarkan di bangku-bangku sekolah namun tak ada buku yang secara khusus mengungkap sejarah pembuatan dan sisi-sisi kelam di balik pembuatan Jalan Raya Pos. Walau bukan buku sejarah resmi, buku yang ditulis Pram di masa tuanya ini (1995) dapat dijadikan buku yang mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yang mengerikan di balik pembangunan Jalan Raya Pos. "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels" diselesaikan oleh Pramoedya pada tahun 1995. Tak ada penjelasan dari penerbit Lentera Dipantara mengapa buku ini baru diterbitkan 10 tahun kemudian, padahal beberapa tahun setelah karya ini diselesaikan era reformasi memungkinkan diterbitkannya karya-karya Pram secara bebas. Betapapun juga, buku ini merupakan kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan mengerikan di balik pembangunan jalan sepanjang 1000 km yang dibangun dengan cucuran darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya.

Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram menguraikan awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida. Ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada zaman Jepang di Kalimantan, genosida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru.

Setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels, di halaman-halaman selanjutnya Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada di sepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar oleh masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bangil dan lain-lain.

Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini. Masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan terungkap di buku ini.

Sampai di kota Sumedang pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Di sini para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh mencapai 5000 orang.

Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyak para pekerja paksa yang kelelahan dan kelaparan itu menjadi korban malaria (hal 94).

Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Selain mengungkap sisi-sisi kelam di balik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang bertugas sebagai tentara di daerah Cirebon. Dalam kegelapan malam secara tak disengaja ia pernah buang hajat di sebuah tungku dapur yang disangkanya kakus, padahal tungku itu masih berisi sisa singkong rebus untuk rangsum para laskar rakyat.(hal 79)

Buku ini diutup dengan bab "Dan Siapa Daendels" yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer. Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit pada pertengahan abad ke-19 hingga akhir abad ke-20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos.

Sayang buku ini tidak memuat peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyajikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam (hal 129). Peta yang tak menggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini.
Jalan Raya Pos 1
Jalan Raya Pos 2

Jalan Raya Pos 3

Jalan Raya Pos 4

Jalan Raya Pos 5

Jalan Raya Pos 6

Jalan Raya Pos 7

Jalan Raya Pos 8

Jalan Raya Pos 9

Jalan Raya Pos 10

Jalan Raya Pos 1
1
Jalan Raya Pos 1
2
Jalan Raya Pos 1
3
Jalan Raya Pos 1
4
Jalan Raya Pos 1
5
Jalan Raya Pos 1
6
Jalan Raya Pos 1
7
Jalan Raya Pos 1
8
Jalan Raya Pos 1
9
Jalan Raya Pos 20

Jalan Raya Pos 21

Jalan Raya Pos 22

Jalan Raya Pos 23

Jalan Raya Pos 24

Jalan Raya Pos 25

Jalan Raya Pos 26

Jalan Raya Pos 27

Jalan Raya Pos 28
Jalan Raya Pos 29

Jalan Raya Pos 30

Jalan Raya Pos 31
Jalan Raya Pos 32
Jalan Raya Pos 33

Jalan Raya Pos 34

Jalan Raya Pos 35
Jalan Raya Pos 36
Jalan Raya Pos 37
Jalan Raya Pos 38
Jalan Raya Pos 39
Jalan Raya Pos 40




Lamalera 1926



Film yang dibuat di tahun 1926 ini menggambarkan proses penangkapan ikan paus di Lamalera, bukan hanya pada saat penangkapannya, tapi juga pembuatan perahunya, perjalanannya, dan sistem pembagiannya. Lamalera adalah satu dari dua desa di Indonesia yang menangkap ikan paus, dan mungkin satu-satunya yang menangkap sperm whale. (Penduduk desa tetangga, Lamakera di Solor, juga terkadang menangkap ikan paus, meskipun spesiesnya berbeda dengan Lamalera.) Laut sekitar Lamalera mempunyai kedalaman jeru—dibandingkan misal, laut Jawa di utara pulau—yang cocok untuk habitat sperm whale. Mamalia ini memakan cumi-cumi di kedalaman jeru, tapi mereka sering naik ke permukaan untuk mengambil napas, dan ini umumnya adalah momen yang dimanfaatkan untuk menangkapnya.

Lamalera terletak di kaki gunung Labalekang di pesisir selatan pulau Lembata di Nusa Tenggara Timur, Indonesia, dan memiliki bahasa dan budaya yang sama dengan Lamaholot yang menghuni Lembata, Solor, Adonara dan Flores Timur. Penduduk Lamalera kebanyakan tidak memiliki tanah agrikultur sendiri, meskipun beberapa penduduk mungkin memiliki tanah di luar desa. Pola pada umumnya adalah penduduk mencari sumber-sumber laut untuk konsumsi lokal dan barter dengan desa-desa tetangga (dataran tinggi). Meskipun penduduk kini juga memiliki tanah sendiri, pada umumnya pola ini masih bertahan.

Penduduk membuat perahu
Satu dokumen anonim Portugis tahun 1624 mencatat penduduk pulau Lewoleba, Lembata, memburu ikan paus dengan tombak harpoon dan menyiratkan bahwa penduduk mengumpulkan dan menjual ambergrisnya di Larantuka. Catatan kuno ini (disebutkan dalam sejarah Ordo Dominican) mengkonfirmasi eksistensi sejarah lokal perburuan ikan paus yang sudah ada kira-kira dua abad sebelum munculnya kapal-kapal perburuan ikan paus milik Amerika dan Inggris di kawasan perairan tersebut. Nama Lamalera disebutkan pertama kali saat dua pastor Dominican melarikan diri ke sana dari Lamakera, Solor, di tahun 1621.

Membuat dayung
Film dibuka dengan penduduk Lamalera bersama-sama membuat perahu. Di sini, hanya laki-laki yang berperan, membuat perahu dan dayung. Ditunjukkan juga bagaimana mereka menjalin tali untuk mengulur ikan paus nanti. Menurut Pak Hadi, meskipun penangkapan ikan paus dilarang di seluruh dunia, di Lamalera diperbolehkan, karena hasilnya tidak diperjual belikan, tapi hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan (subsistensi) dan karena itu dinilai tidak membahayan populasi ikan paus. Selain itu, mereka umumnya juga hanya menangkap paus dewasa, dan melepaskan mamalia yang masih terlalu kecil, atau sedang mengandung. Mereka aktif menangkap ikan, tapi tidak mengontrol persediaannya dengan berternak ikan, misalnya.
Pak Hadi menekankan pentingnya kita memahami proses penangkapan ikan tersebut, bukan hanya melihat penangkapannya. Proses ritual dimulai dengan permohonan restu pada nenek moyang. Di Lamalera, kapal-kapal ini dianggap hidup, dan berhubungan dengan nenek moyang mereka, yang mempengaruhi berhasil tidaknya mereka menangkap ikan. Segala perilaku penangkapan yang menyalahi “aturan” dipercaya akan mempengaruhi keberhasilan mereka. Sebagai contoh, sengketa mengenai pembagian hasil, ataupun konflik di antara keluarga, dipercaya akan terus menggagalkan penangkapan ikan sampai mereka mengadakan upacara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Memohon restu pada leluhur
Di atas lempengan-lempengan batu dengan atap sederhana, terlihat setumpuk tengkorak di mana penduduk memohon restu. (Kata Pak Hadi, di Lamalera, mayat tidak dikubur, hanya diletakkan. Sebelum kedatangan misionari, kanibalisme juga dipraktikkan.) Perjalanan ini berbahaya dan mengancam nyawa, maka para pemburu benar-benar menyiapkan dirinya. Leher ayam digurat dan darahnya digunakan untuk memberkati kapal.
Mereka juga memenggal seekor kambing, kepalanya dimasak. Tidak diperlihatkan penyantapannya. (Kami juga melihat celeng-celeng kecil berkeliaran.) Menurut Pak Hadi, kini pemberkatan kapal sudah tidak lagi menggunakan darah ayam, tapi biasanya diberkati oleh seorang pastor Katolik. (Saat ini sebagian besar penduduk Lamalera adalah Katolik, dan dukun-dukun “lokal” pun umumnya menganut agama Katolik.)
Mereka berlayar setelah melakukan kunjungan ke kampung lainnya. Menarik juga di sini bagaimana layar dibuat dari anyaman daun, dan ini masih digunakan hingga sekarang. Sekali berburu, biasanya ada 5-6 perahu beriringan mencari ikan, dan perahu layar besar disebut pêlédang. Terkadang tidak hanya ikan paus (potvisch!), tapi mereka juga menangkap ikan-ikan lain seperti pari, duyung, hiu, penyu dan berbagai hewan laut lainnya.
Saat tombak dilemparkan ke laut, mereka harus hati-hati mengulur dan menarik agar tidak terseret dan terluka. Penangkapan ikan ini sarat dengan resiko tinggi dan kecelakaan umum terjadi. Luka parah pada kru kapal juga dipercaya dapat mempengaruhi keberhasilan-keberhasilan berikutnya.
Sekembalinya ke darat, mereka membagi-bagi daging ikan. Daging dipotong-potong dan dibagi-bagikan. Di sini baru perempuan bermunculan dan membantu membagi-bagi daging ikan. Pembagian juga dilakukan dengan sistem barter (ditukar dengan kue dan bahan-bahan lainnya). Umumnya, penduduk memenuhi kebutuhan pangan dengan sumber-sumber laut dan sayur-mayur yang didapat dari barter dengan penduduk sekitar. Hewan darat jarang sekali diburu di Lamalera. Hiu, ikan, tuna dan lumba-lumba umumnya dikonsumsi segar, sementara ikan-ikan kecil dikeringkan.
Produk-produk dari ikan pari (manta ray), sperm whale, ikan paus pembunuh (killer whale) dan spesies laut besar lainnya dikeringkan untuk stok konsumsi jangka panjang atau untuk barter. Barter langsung produk makanan dan bukannya pembayaran dengan uang dilakukan di Lamalera untuk memberikan semacam jaminan/perlindungan saat gagal panen (ikan maupun pertanian). Hubungan perkenalan yang dibangun dengan “langganan” barter dapat melindungi penduduk di saat naik-turunnya persediaan sumber makanan, meskipun tentunya ada batasan-batasan juga. Dalam beberapa tahun terakhir, Lamalera juga menjual spermaceti ke pasar dunia dan sirip ikan hiu (untuk uang cash). Ada pasar lokal & pariwisata kecil untuk gigi paus, ambergris (cairan yang dihasilkan dari usus ikan paus, digunakan untuk bahan parfum, meskipun sangat jarang didapatkan) dijual ke pasar nasional.
Ikan pari besar menghasilkan kira-kira satu ton daging yang dapat dimakan. Berbeda dengan penduduk tetangga Lamakera (yang membuang sirip dan insang pari dan bangkainya berserakan di sekitar pantainya), penduduk Lamalera menggunakan semua bagian ikan pari. Sementara untuk ikan paus sperm whale, daging, lemak dan usus (viscera) dimakan segar atau dikeringkan. Minyak dari lemak ikan paus yang dikeringkan juga digunakan untuk bahan bakar lampu, meskipun ini sudah jarang dilakukan. Organ-organ dalam dibersihkan, dibumbui garam dan dimasukkan dalam bambu, diragi untuk dimakan. Tulang direbus dengan daun pepaya untuk menghilangkan rasa pahit, sementara tulang-tulang besar terkadang dibakar untuk memanaskan batu-batu besar untuk konstruksi rumah.
Untuk bacaan lebih lanjut, kami rekomendasikan artikel-artikel dan buku-buku karangan R.H. Barnes.