Tampilkan postingan dengan label FFI 1981 Surabaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FFI 1981 Surabaya. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 Maret 2011

FFI 1981, SURABAYA

06 Juni 1981
FFI 1981 SURABAYA
Dalam acara ffi'surabaya

PENTAS penuh asap, lampu-lampu berkedip, dan muncullah Kris Biantoro bersama Koes Hendratmo di pentas. Kedua orang itu konon terlempar ke "masa lalu" -- Surabaya tahun 1942 -- setelah memasuki "mesin waktu". Memang, kabaret Parfi berjudul Nostalgia 10 November itu, dimainkan di Surabaya 28 - 29 Mei dalam rangkaian acara Festival Film Indonesia, meniru film serial televisi The Time Tunnel. Tontonan kolosal yang dimainkan 120 pemain film itu menghabiskan biaya Rp 50 juta, Kris menyusun skenarionya berdasar berbagai catatan tentang peristiwa bersejarah itu. 

Sutradaranya Sofia W.D. dibantu koreografer Farida Feisol dan Sentot. S. Sepertiga pertunjukan, Rosihan Anwar bangkit dari kursi dan keluar. "Tempo permainannya sangat lamban. Membosankan," katanya. Sisipan banyolan oleh gabungan pelawak Warkop Prambors dan Kwartet S., dan nyanyian Marini serta Hetty Koes Endang -- lagu-lagu pop masa sekarang -- menyebabkan kabaret itu makin tak jelas apa maunya. Salah seorang pemain bahkan menyebutkan, "kabaret ini justru jadi korban semangat partisipasi para artis yang semuanya ingin ambil bagian." Yang agak mengherankan, dalam cerita itu sama sekali tak muncul tokoh Bung Tomo, "Ada kesulitan menampilkan tokoh itu," kilah Sofia W.D. Tokoh-tokoh lain dalam peristiwa itu disebut dengan jelas.

06 Juni 1981


Penilaian juri dipertanyakan
SUTRADARA Sjuman Djaja masygul. Ia mengurung diri di kamarnya di Hotel Bumi Hyatt, Surabaya. Film Bukan Sandiwara yang disutradarainya ternyata gagal meraih satu Citra pun dalam Festival Film Indonesia di Surabaya (27-30 Mei). Padahal sejumlah pengamat menjagokan film itu dengan Jenny Rachman (pemeran utama), Lukman Hakim Nain (juru kamera), dan Sjuman Djaja sendiri, untuk memperoleh Citra. Dewan juri -- diketuai Sjamsoe Soegito -- tentu saja punya pilihan lain (lihat box). Film Bukan Sandiwara gagal memperoleh penilaian tinggi, demikian seorang juri, karena dianggap kurang mencerminkan sikap nasionalisme. 


Maklum katanya, film itu terlalu mengagungkan pembuatan bayi tabung yang berasal dari sperma orang Jepang. Jika hal itu menjadi alasan pokok penilaian, tentu saja menggelikan. Tergesa-gesa Sekalipun demikian, juri melihat suatu hal positif dari penggarapan film dewasa ini. Para sineas dinilainya telah cenderung "meletakkan kekuatan film pada segi cerita, isi, serta keindahan pengungkapannya." Tapi juri mengeluh karena film Indonesia masih jarang mengemukakan cerita kalangan masyarakat bawah. Penyelesaian cerita dikritiknya sering kali dikerjakan dengan mudah. Juga logika cerita, menurut juri, masih diabaikan. Berbeda dengan juri FFI (1980) di Semarang, juri FFI di Surabaya menjabarkan penilaiannya di atas kertas 2,5 halaman folio saja. Sedang juri FFI di Semarang mencatatkan penilaian di atas kertas 60 halaman dengan segala penjelasan yang njlimet. "Penjurian tahun ini memang agak tergesa-gesa," kata seorang juri FFI kali ini. Dari sejumlah karyawan dan artis film, tentu saja, ada yang tak puas dengan keputusan juri. Bintang film Roy Marten dan Farouk Afero, misalnya sangat kecewa. Keduanya mengatakan bahwa pilihan juri terhadap pemeran utama pria dan pemeran pembantu pria tidak tepat. Tapi sudahlah "kalau saya protes nanti dikira mengada-ada karena kalah," kata Roy Marten, 29 tahun. 

Sekalipun kalah, Roy Marten menyarankan agar sistem penjurian diubah. Untuk menilai setiap film dengan cermat dan teliti, diusulkannya agar diadakan penilaian pra nominasi dengan waktu yang tidak terlalu sempit. Ia jelas menyesalkan cara kerja juri FFI kali ini yang menilai 54 film cerita dan 10 film dokumenter hanya dalam tempo 24 hari. Dalam waktu sempit itu dianggapnya juri tidak mungkin cermat mengamati. Koran Kompas dalam tajuk rencananya ( 13 April) juga pernah mempersoalkan waktu penilaian yang sempit itu. Setiap hari juri, tulisnya, harus menilai duasampai tiga film dan mempertanggungjawabkan tiga belas unsur dalam film itu. Cara penjurian semacam itu "suatu pekerjaan yang mengandung tuntutan kelewat tinggi." Maka Kompas mengusulkan sistem penjurian pra seleksi dengan melibatkan karyawan dan artis film di dalamnya. 

Sejumlah kalangan memang pernah tidak percaya terhadap integritas dan otoritas beberapa orang yang duduk dalam dewan juri. Ada yang menyebut bahwa juri anu dan itu jarang sekali menonton film Indonesia. Mereka baru menonton film Indonesia kata kalangan itu, justru di saat peniiaian diselenggarakan. Mudah-mudahan tuduhan tersebut tidak benar. Anggota juri FFI di Surabaya terdiri dari: Dr. Mulyono Gandadibrata, Mochtar Lubis, Dr. Alwi Dachlan, H. Misbach Jusa Biran, Frans Haryadi, Sjamsoe Soegito dan Duduh Durachman. Mereka telah dipilih Yayasan Festival Film Indonesia, tentu saja berdasarkan kualifikasi kecakapan yang dimiliki masing-masing. Siapakah di antara mereka - jika ada -- yang jarang menonton film Indonesia? Tapi hanya soal kecakapan dan keputusan juri yang mengurangi selera makan. Festival di Surabaya itu berlangsung semarak dan menyenangkan. Menteri Penerangan Ali Moertopo bersama sejumlah karyawan dan artis film (sekitar 300 orang), terbang ke sana dengan Boeing Jumbo 747 Garuda. Hari pertama tiba (27 Mei) di Surabaya itu, para artis film segera diarak keliling kota. Dengan penuh antusias masyarakat setempat mengelu-elukan bintang pujaan mereka sepanjang jalan. Hari berikutnya, mereka diarak ke Sidoardjo, Gresik dan Bangkalan (Madura). Di berbagai tempat itu mereka secara sukarela memberikan hiburan gratis. 

Mengantar para artis film itu, Menteri Ali Moertopo senantiasa berpidato dengan penuh semangat. Ia kelihatan tidak letih sekalipun baru saja sembuh dari serangan jantung. Sambutan masyarakat "sangat luar biasa," katanya. Setiap malam panggung utama di Stadion Gelora 10 November juga diisi acara seronok yang dipadati pengunjung. Jika stadion di Surabaya itu penuh, masyarakat masih bisa menyaksikan panggung hiburan terbuka di sepanjang Jl. Pemuda dan depan Kantor Gubernuran. Pemilihan "Cak dan Ning" Surabaya pun diselenggarakan. Semua acara itu diselenggarakan gratis. Panitia FFI (dengan biaya Rp 200 juta) sejak awal memang sudah bertekad menjadikan pesta itu "dari rakyat untuk rakyat." Tapi Slamet Rahardjo, sutradara dan bintang film, merasa kikuk juga dengan sambutan meriah itu. "Apakah sudah pantas film kita dielu-elukan seperti demikian?" ujarnya. "Mudah-mudahan sambutan meriah itu jadi cermin masyarakat film, agar kelak (dalam meng hasilkan film) mereka tidak mengecewakan." Adakah kemajuan dalam festival kali ini? "Jelas ada," sahut Ismail Soebardjo, sutradara yang dapat Citra. Ia menyebut bahwa masuknya empat film dalam nominasi film cerita terbaik merupakan salah satu tanda kemajuan. Soemardjono, bekas Sekjen Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia juga mengeluarkan pendapat serupa. Munculnya sejumlah sutradara muda, katanya, merupakan kemajuan. "Yang masih perlu ditekankan adalah usaha menciptakan film dengan ciri Indonesia." Suatu kemajuan lagi, tentu saja, ialah film terbaik tahun ini -- Perempuan Dalam Pasungan -- hanya dibuat dengan biaya Rp 97 juta. Ini termasuk hemat.


06 Juni 1981
Dengan citra, rasanya plong
BINTANG film Maroeli Sitompoel 44 tahun, kelihatan riang dan segar. Juri FFI di Surabaya telah memilihnya sebagai pemeran utama pria terbaik (memperoleh Citra) berkat permainannya dalam film Laki-Laki Dari Nusa Kambangan. "Setelah mendengar keputusan itu, hati saya rasanya mak plong!" katanya dalam logat Jawa bernada berat. Maroeli sudah lama mendambakan Citra. Ia pernah kehilangan kesempatan memperolehnya dalam film Tuan Tanah Kedawung (sebagai pemeran utama) di 1972 dan November 1828 (sebagai pemeran utama) di 1979. Kegagalan itu, katanya, terasa pahit. "Sebab saya merasa sesungguhnya punya kemungkinan menang." Hingga kini, Maroeli sudah bermain di 40 film lebih. Ia terjun ke film pertama kali (1963) dalam Tangan-tangan Kotor (sutradara Sunjoto Adibroto). Tapi film itu, karena dianggap kiri, dilarang beredar. Pendidikan aktingnya antara lain diperolehnya dari Akademi Seni Drama dan Film Yogyakarta. 


Imbalan yang diterima aktor kawakan ini -- paling tinggi Rp 2,5 juta dalam Dokter Siti Pertiwi Kembali Ke Desa - jelas di bawah Jenny Rachman yang konon menerima Rp 35 juta. Gara-gara mempersoalkan honor itulah, ia pernah (1973-1975) dikucilkan dari dunia film. "Anak-anak saya ketika itu hampir mati kelaparan," katanya. Maroeli, sekalipun berdarah Batak, ternyata lebih mahir berbahasa Jawa. Ia memang lahir di Cilacap, dan besar di tanah Jawa. Dari pernikahannya dengan M.F. Susilowati, ia kini memperoleh tiga anak. Sampai saat ini, ia masih merasa cukup memperoleh nafkah sebagai pemain film. "Belum terpikir oleh saya, misalnya, jadi sutradara, sekalipun bidang itu saya sukai," katanya. Kenapa? "Jika jadi sutradara, saya takut cepat mati karena terlalu banyak berpikir." Suasana riang juga meliputi bintang film Mieke Wijaya. 

Ia, seperti juga Maroeli yang tak berangkat ke Surabaya, menyongsong kemenangan itu (lewat siaran langsung TVRI) bersama keluarga di rumah. Mieke meraih Citra berkat permainannya (sebagai pemeran utama) dalam Kembang Semusim (sutradara M. Taha) setelah (1978-1980) absen main film. "Dalam usia seperti sekarang ini (41 tahun), kemenangan itu punya arti kuat buat saya pribadi," katanya. Ia pernah dapat Citra sebagai pemeran pembantu di Ranjang Pengantin (1974). Mieke terjun pertama kali ke film (1955) dalam Gagal sebagai pemeran pembantu. Sampai kini ia sudah bermain di 60 film lebih. Pendidikan akting (1956-1957) diperolehnya di Akademi Teater Nasional. Dari pernikahannya dengan Dicky Zulkarnaen juga bintang film, ia memperoleh empat anak. Sekalipun profesinya pemain film, Mieke mengaku lebih sering berada di lapangan bola mendampingi Dicky yang mencintai bola. Bila tak ada shooting film, pagi hari ia sering jogging di lapangan silang Monas. 

Setelah berlari santai, ia biasanya menunggu (selama 3 jam) Barry, 5 tahun, anak bungsunya, yang bersekolah di Taman Kanak-kanak Aisyah. "Menonton film pun, saya jarang melakukannya," katanya. "Heran memang, saya kok justru lebih sering bergaul di luar lingkungan masyarakat film." Hasil lengkap FFI pekan lalu di Surabaya: Perempuan Dalam Pasungan (film cerita terbaik), Ismail Soebardjo (sutradara terbaik), Mieke Wijaya (pemeran utama wanita terbaik), Maroeli' Sitompoel (pemeran utama pria terbaik), Parakitri Tahi Simbolon (skenario terbaik), Ita Mustafa (pemeran pembantu wanita terbaik), Zaenal Abidin (pemeran pembantu pria terbaik), Tantra Suryadi (sinefotografi terbaik), George Kamarulah (editing terbaik), Eros Jarot (tata musik terbaik), Benny Benhardi (tata artistik terbaik). Perempuan Dalam Pasungan meraih Citra terbanyak (film cerita terbaik, penyutradaraan, sinefotografi, dan tata artistik). Kemudian menyusul Usia 18 (sutradara Teguh Karya) memperoleh Citra (tata musik, editing dan pemeran pembantu pria).

 06 Juni 1981
Melawak di ffi surabaya

DALAM salah satu lawakan di FFI Surabaya, grup S. Bagio menirukan gaya pidato beberapa pejabat. Bagio beraksi sebagai Dirjen RTF Sumadi -- dan wajah kedua orang ini memang ada juga miripnya. Sol Soleh berlagak macam Jenderal M. Yusuf, lengkap dengan tongkat komandonya (dari stik dram). Diran jadi Menmud Abdul Gafur. Dan Darto Helm, mengenakan kacamata hitam, menirukan Menpen Ali Moertopo. Lucu. Orang-orang yang ditirukannya pun -- kecuali Jenderal Yusuf yang tak hadir di sana -- tersenyum-senyum. Tapi kelucuan itu rupanya berbuntut ke luar panggung. Bagio, yang selama di sana banyak dimintai tandatangan oleh penggemarnya, suatu saat ngumpet karena capek. Nah, para penggemarnya rupanya masih banyak yang tak mengenali betul wajah pelawak itu. Dirjen RTF Sumadi lantas jadi "korban". Ia diserbu para pelajar. Meski ia sudah menjelaskan berkali-kali bahwa ia bukan Bagio, tetap saja para pemburu itu menyolek-nyoleknya. Bahkan mereka, dengan yakin, menyerukan "ucapan salam" sebagaimana sering diucapkan Bagio dalam film-film iklan: "Halo Non . ., bakso Non . . . ! " Dalam pada itu, ketika Bagio suatu ketika berada di dekat Ali Moertopo, ia bilang: "Katanya ada anjuran harus berseragam, kenapa Pak Ali nggak seragam?" Dengan kalem, yang ditanya menjawab "Nggak ada yang mau menjahitnya. Takut."


30 Mei 1981
Jika ingin lolos sensur
SEJUMLAH artis film sudah sebulan menyiapkan kabaret Nostalgia 10 November. Dalam Festival Film Indonesia di Surabaya (25 - 30 Mei), kabaret itu dipagelarkan sebagai puncak acara. Dengan biaya Rp 200 juta, panitianya berusaha menyelenggarakan panggung hiburan gratis, malah sampai ke Kota Bangkalan (Madura), Gresik dan Sidoarjo. Semua acara itu "untuk rakyat," kata Acub Zainal, Ketua I FFI. Kecuali Arifin C. Noer, semua sutradara kawakan (termasuk Teguh Karya, Wim Umboh, Nva Abas Akup, Sjuman Djaja, Asrul Sani dan Ami Prijono) kali ini menyertakan film karya masing-masing. Selama 24 hari, tujuh juri (diketuai Sjamsoe Soegito), telah menilai 54 film cerita dan 10 film dokumenter. Atau rata-rata tiga film mereka nilai sehari - suatu kerja berat dan tentu saja, dengan tergesa-gesa. Tanpa berusaha mempengaruhi juri TEMPO berikut ini menurunkan pilihan dan penilaiannya, bersama tulisan Yudhistira A.N.M. Massardi (Bukan Sandiwara, Usia 18 dan Perempuan Dalam Pasungan) dan Eddy Herwanto (Gadis, dan Dr. siti Pertiwi Kembali Ke Desa). Sayang TEMPO belum sempat kali ini mengulas Di Bawah Lindungan Ka'bah, film Asrul Sani, dan Seputih Hatinya Semerah Bibirnya, film Slamet Rahardjo. Keduanya mungkin layak dibicarakan . 

BUKAN SANDIWARA Terbadap temanya, inseminasi degan sperma donor, saya merasa sangat syuuur. Ini suatu problema baru dan aktual. Di Barat, banyak orang bikin film tentang produk teknologi. Tapi mereka lebih tertarik pada aspek suspense, misteri dan horror-nya. Bukan manusianya. Nah, saya bisa bilang, inilab film pertama yang bicara tentang konflik manusia dengan teknologi secara kejiwaan. Secara manusiawi. -- Sjuman Djaja DIA mungkin benar. Tapi secara sekilas -- sesudah ia menggarap fi Kabut Sutra Ungu (diangkat dari novel Ike Soepomo) yang laris dan kini Bukan Sandiwara (dari novelet Titie Said) -- terkesan bahwa sutradara Sjuman Djaja tengah berubah. Orientasinya tak lagi pada masyarakat kelas bawah seperti dicerminkan filmnya terdahulu, misalnya, Si Doel Anak Betawi (1972) dan Si Mamad (1973). Atau Yang Muda Yang Bercinta (1977), yang sarat dengan protes sosial. Sebab KSU maupun BS (karyanya yang ke-10 dan 11) bercerita tentang keluarga elite. Ia dicurigai telah bersekongkol dengan pasar -- sengaja membuat film hiburan supaya laku. Dan ia marah. "Saya tidak kompromi dengan siapa pun. Nggak ada itu kompromi dengan pasar ataupun selera publik," katanya tegas. Sjuman Djaja, 48 tahun, lulusan Moskow beranak 3 yang sampai sekarang masih menduda, menegaskan bahwa ia tak pernah berubah. Kalau toh ada, katanya, barangkali pada cara ia menyampaikan pikirannya lewat film. 

Sesudah sukses KSU secara komersial, dialah sutradara termahal saat ini. Dengan biaya sekitar Rp 250 juta, digarap dalam waktu 4 bulan, Bukan Sandiwara ternyata bukan film diskusi tentang teknologi yang kering. Sebab -- menurut pengarangnya, Titie Said --ceritanya yang "75% berdasarkan kisah nyata" itu pada dasarnya sebuah melodrama biasa. Hendro (Roy Marten), diplomat yang bertugas di Jepang, ternyata lelaki mandul. Perkawinannya bertahun-tahun dengan Pia (Yenny Rachman) tak menghasilkan anak. Kerinduan akan anak itulah yang akhirnya mendorong pasangan itu bersepakat mencoba upaya teknologi baru. Mereka datang ke Prof. Tsushiro (Wahyu Sihombing), meminta sperma lelaki yang tersedia di sana. Berhasil. Pia mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan . . . Jepang. Meski udah diberitahu sebelumnya oleh Tsushiro, Hendro tak sanggup menghadapi kenyataan itu. Ia terpukul dan malu harus jadi ayah seorang anak yang ternyata berasal dari sperma orang Jepang. Sejak kelahiran anak itu -- bernama Rani -- Hendro kehilangan keseimbangan. Bahkan ia jadi impoten dan hendak membunuh Rani. Dan ia menuding istrinya sebagai biang keladi seluruh keguncangan itu. Konflik itu terus berlarut sampai ketika mereka kembali ke Indonesia. Hendro, juga Pia, tak tahan lagi hidup bersandiwara terus. Yaitu di depan orang lain bermanis-manis, sementara pasangan tak rukun lagi. Frustrasi Hendro makin menjadi-jadi setelah secara kebetulan suami istri itu melihat inseminasi benih unggul pada kerbau-kerbau di sebuah peternakan. Untunglah kedua mertua Pia (Maruli Sitompul dan Nani Wijaya) tak peduli pada asal-usul Rani. Kehadiran anak itu sebagai cucu diterima mereka dengan lapang, penuh kegembiraan. Ketika Hendro terang-terangan tak mau mengakui anak itu, kedua orang tua itu hanya tersenyum sambil berjalan-jalan bersama menantu dan cucunya. Film yang panjangnya hampir 3 jam itu pun berakhir -- menyarankan suatu happy ending. Tak pelak lagi, dengan film ini Sjuman telah memamerkan ketrampilan penyutradaraan yang hampir sempurna. Visualisasi yang kuat dengan kecermatan ada detil -- yang semula hanya tampak pada film Teguh Karya -- menegaskannya. Sjuman menunjukkan kemahirannya mengolah konflik. Sehingga, meskipun panjang, filmnya tetap memikat. Ritmenya terjaga. Editingnya yang tangkas banyak membantu terpeliharanya segi dramatik. 
Eksperimen dalam pengambilan gambar yang dicobanya dalam Kabut Sutra Ungu membuahkan hasilnya di sini. Dengan kata lain, gambarnya -- di samping artistik berkat pencahayaan yang cermat sangat efisien, berhasil memberi tekanan pada cara pengucapan sutradara. Hanya musik dan rias para pemainnya yang barangkali sedikit menggangu. Dan, sebagaimana diakui Sjuman sendiri, ada beberapa adegan yang mengingatkan orang pada film lain. Misalnya, ketika tokoh Pia berbaring di tempat tidur dengan kepala tengadah di bibir ranjang. Gambar itu dipadu (dalam disolve) dengan adegan kilas-balik diiringi suara gemuruh kereta api. Itu sangat mirip dengan adegan dalam Apocalypse Now. Bagaimanapun, Bukan Sandiwara-lah yang rasanya paling layak memperoleh predikat yang terbaik. Begitu pula permainan Yenny Rachman. Dan -- ini penting juga -- Sjuman tak kehilangan kekhasannya. Ia tetap peka dan kritis menghadapi lingkungannya. Helikopter jatuh, mobil baru mogok, telepon rusak. Cemoohannya terhadap teknologi itu muncul dalam filmnya secara kocak. GADIS Saya selalu memihak kaum bawah (underdog). Di film Inem Pelayan Sexi, dan Rojali dan Juleha sikap itu bisa dilihat. Mengapa? Saya melihat mereka sering diperlakukan sewenang-wenang dan teraniaya. Tapi saya tidak mengingkari di antara mereka pun ada pencuri dan perampok. Dan dalam film Gadis, hal itu saya ceritakan dengan mengambil bentuk tontonan ketoprak. Saya sadar bahwa upaya baru (ketoprak) tersebut beranjak dari selera publik. -- Nya Abas Akup. GAGASAN sutradara kawakan itu ternyata belum tertuang dengan kental -- sekalipun para pemeran Gadis sudah didandani busana zaman Hindia Belanda. Mereka memang bermain dalam pengadeganan gaya ketroprak, tapi tanpa jiwa matang. Dalam film itu Jaka (Ray Sahetapi) dikisahkan diam-diam jatuh cinta pada Rini (Cici Suryokusumo), anak Raden Mas Renggo (Dedy Sutomo). Pada perkembanan berikut, Jaka -- anak ningrat itu -- ternyata lebih menyukai kepolosan Gadis (Dewi Yull). Ketika itu Gadis berstatus sebagai babu di rumah denmas Renggo. 

Terpaksa ia jadi babu karena ibunya, ibu Titik (Titiek Puspa), menghilangkan seperangkat pakaian milik keluarga Renggo yang dicucinya. Ibu Titiek, bekas istri seorang ningrat, hidup bersama ketiga anaknya sebagai buruh pencuci. Dan Rini, yang tak diindahkan itu, diam-diam bermain cinta dengan Andi, teman Jaka, sampai hamil. Sementara cinta kedua pasangan remaja itu berkembang, masyarakat di sekitar mereka resah. Pemerintah Belanda, lewat Renggo, berniat mengambil alih tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan. Kaum bawah yang tertindas tadi, sambil menyimpan dendam, ramai-ramai mengungsi ke rumah ibu Titik. Dan suatu malam, dengan parang dan tombak, massa rakyat itu berusaha menghabisi Renggo. Dalam perjalanan ke rumah Renggo itulah, seorang rakyat tanpa sengaja membunuh Andi. Ketika itu, Jaka tengah berupaya mengantar Rini dan Andi melarikan diri ke kota. Dan pada adegan berikutnya Nya Abas tak lupa menyisipkan kritiknya. Diperlihatkannya bahwa kaum bawah pun memiliki jiwa culas, tak segan merampok dan menghabisi nyawa orang. Tapi berkat nasihat ibu Titik, rakyat tidak jadi merampok dan membunuh Renggo Mereka secara beramai-ramai malah berusaha membunuh seorang pejabat Belanda, atasan Renggo. Gadis ditutup dengan suatu kejutan, ditambahi teks (atas desakan Badan Sensor Film), yang menyebabkan film itu brakhir di luar harapan sutradara (lihat box). 

Adalah keliru jika mendekati Gadis sebagai bentuk tontonan realisme. Hampir seluruh percakapan dan pengadeganan di dalamnya, menurut Nya Abas Akup, merupakan bentuk pengubahan gaya (stylize). Dengan cara itu, ia berusaha menafsirkan kembali media film dalam konsep ciri kebudayaan Indonesia -- seperti tontonan ketoprak Setting dalam cerita film itu bukan merupakan soal pokok. "Soal feodalisme (seperti dikemukakan Gadis) bisa terjadi di mana saja dan kapan saja," katanya. Tapi sebagai konsekuensi pengetoprakan film itu, para tokohnya digambarkan secara hitam putih. Renggo merupakan cermin kaum feodal, wakil kepentingan (penguasa) Belanda. Sedang ibu Titik dan rakyat berada di seberangnya. Dalam gaya komedi (ciri Nya Abas) dan stylize kesewenang-wenangan kaum feodal dan penguasa ditonjolkan. "Dengan film itu, saya berusaha membicarakan sebagian besar rakyat desa," kata Nya Abas. DR. SITI PERTIWI KEMBALI KE DESA Hampir setiap hari orang bicara soal pembangunan. Tapi banyak orang lupa bahwa hal itu juga menyangkut perubahan nilai dan mental. Dalam Dokter Siti Pertiwi Kembali Ke Desa, saya ingin mengemukakan bahwa soal pembaharuan itu merupakan hasil benturan nilai tradisional dan nilai modern. Untuk memperoleh resep pembangunan, saya kira, kaum intelektual harus lebih banyak mengenal lingkungannya. -- Ami Prijono KAUM intelektual (modern) dalam film Dokter Siti Pertiwi Kembali Ke Desa diwakili Siti Pertiwi (Christine Hakim). Sementara Atuk Raja (Maruli Sitompul), dukun tradisional dan Daying Madani (Ikranegara) murid Atuk Raja, berada di pihak seberang. Benturan nilai tradisional dan modern itu terjadi di Desa Menggala, Lampung, tatkala Siti Pertiwi diterjunkan ke sana sebagai dokter Inpres. Pada mulanya kelompok Atuk Raja menolak konsep pengobatan modern. Dengan bekal pengetahuannya, Siti Pertiwi berusaha meyakinkan Atuk Raja bahwa ilmu kedokteran modern merupakan suatu alat ampuh . Ketika Desa Menggala dilanda wabah muntaber -- karena sumur dan sungai diracuni Daying Madani -- barulah Atuk Raja mau membantu dokter itu mengatasi wabah. Sementara Siti dan Atuk sudah melunakkan sikap, Daying Madani memisahkan diri secara sepihak. Di situ sutradara Ami Prijono berusaha menunjukkan bahwa konflik justru melahirkan suatu perkawinan harmonis kedua nilai itu. Ditunjukkannya Atuk Raja justru tewas di tangan Daying Madani sendiri. "Di film itu saya ingin menunjukkan bagaimana sesungguhnya peranan kaum intelektual sebagai ujung tombak pembangunan," ujarnya. Dibanding filmnya terdahulu Jakarta-Jakarta, kali ini filmnya lebih tangkas bertutur. Dengan pedas, Ami mengolok-olok sebagian kelompok masyarakat tradisional yang keburu maju -- digambarkan dalam sosok Kustiyah (Joice Erna). 

Didukung permainan para pemeran yang bagus, film ini menawarkan suatu gagasan dan wilayah baru. Setidaknya ia bukanlah film melodrama dengan deraian air mata. PEREMPUAN DALAM PASUNGAN Dalam hidupnya, perempuan itu selalu terpasung. Film ini adalah potret tentang perempuan Indonesia sebenarnya. Sederhana, lembut dan penurut. Tapi kemudian retak dan rapuh karena diberi bingkai yang terlalu kuat. -- Ismail Soebardjo PEREMPUAN Dalam Pasungan sebagaimana dikatakan sutradara itu memang bercerita secara kilas balik tentang kesewenang-wenangan. Tapi, Ismail Soebardjo, 37 tahun, sutradara dan penulis skenarionya, tak terjebak oleh sentimentalitas yang meletup-letup. Nadanya tetap rendah dan juga tak menggurui. Fitria (Nungky Kusumastuti) -- oleh ayahnya, Prawiro (D. Djajakusuma) - disangka gila. Perempuan itu memang sedang terguncang jiwanya oleh perasaan berdosa: merasa membunuh Marni (Rini S. Bono), sahabatnya. Ia dipasung dan disekap dalam kamar di rumah ayahnya di sebuah kampung di Yogyakarta supaya tidak bikin malu keluarga. Tapi rahasia itu lantas diketahui seorang wartawan Jakarta (Dorman Borisman). Sang wartawan mencari Andi (Frans Tumbuan), suami Fitria, yang berada di Jakarta, dan meyakinkannya bahwa istrinya tidak gila. Andi -- bersama Tini, anaknya, dan wartawan itu-lalu datang menengoknya. Meskipun memang tidak gila, ternyata Fitria menolak kehadiran suaminya yang telah membiarkannya dizalimi begitu. Pun Tini, yang menghambur ke arahnya sambil menangis, tak diindahkannya. Sikap itu barangkali menunjukkan protesnya yang keras dan getir terhadap kesewenang-wenangan keluarga - atau lingkungannya. Film ini banyak kelemahannya dalam detil . Mungkin karena sutradaranya terlalu terpaku pada temanya yang dramatis. Meskipun begitu, film ini menunjukkan juga kemajuan Ismail sebagai sutradara. Sehinggga boleh pula ia diperhitungkan. USIA 18 Saya hanya mengetengahkan persoalan yang 'biasa'. Memang, saya ingin mengatakan sesuatu. Tentang para remaja. 

Tapi dengan cara sederhana saja. -- Teguh Karya EDO (Diyan Hasri), 18 tahun, ditinggal mati ayahnya. Ia terpaksa berhenti kuliah dan bekerja di bagian mesin di bengkel kereta api -- pekerjaan yang sama dengan pekerjaan mendiang ayahnya. Sebab ia harus membantu ibu dan ketiga orang adiknya. Adalah Ipah (Yessy Gusman) -- gadis sebaya, pacar Edo -- yang menyebabkan si cowok tetap memiliki semangat. Untuk suatu ketika bisa kuliah lagi. Ayah Ipah (Zaenal Abidin, duda) adalah kawan ayah Edo. Sebagai orang mampu -- direktur sebuah biro perjalanan - ia ingin membantu Edo. Tapi entah bagaimana juntrungnya, tiba-tiba Edo digambarkan sangat tersinggung oleh uluran tangan itu. Rasa sakit hati -- yang tak jelas -- itu kemudian ternyata menjadi sebagian dari konflik yang ingin dikembangkan Teguh Karya, sutradara dan penulis skenario film Usia 18 itu. Karena itu, kurang meyakinkan. Di samping, pada dasarnya ceritanya tak memiliki konflik yang berarti yang bisa membangun situasi dramatik. Mudah dibayangkan, bagaimana jadinya sebuah cerita tanpa konflik. Tak usah disangsikan, Teguh Karya adalah sutradara yang sudah terbukti memiliki banyak kelebihan. Kekurangannya agaknya hanya satu itu -- sebagaimana juga terlihat dalam filmnya terdahulu November 1828. Ia tak bisa menciptakan konflik dalam cerita bikinannya sendiri. Sehingga yang muncul hanya sekedar kerapian dan potret meyakinkan dari suatu ketrampilan kerja teknis saja. Apa yang ingin dikatakan Teguh lewat kedua remaja itu pun jadi kabur. Yang menonjol malah suasana percintaan bagai dalam mimpi pubertas. Indah, damai dan penuh kesetiaan. Sayang. Padahal, dalam film terbarunya ini, Teguh masih terlihat sanggup memberi pengarahan akting yang hidup pada para pemainnya. Sofia WD misalnya yang memainkan tokoh nenek dalam film ini cukup patut diperhitungkan untuk sebuah Citra.