Tampilkan postingan dengan label FFI 1987 Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FFI 1987 Jakarta. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1987 JAKARTA

22 Agustus 1987
FFI 1987, JAKARTA
Membajak Blitar selatan

SEJUMLAH gembong PKI pelarian dari Jakarta menelusup ke Blitar Selatan, Jawa Timur, lewat pantai. Mereka tiba di sebuah kecamatan berbukit kapur, terpencil, dan gersang. Mereka bermaksud menghimpun kekuatan, dan berhasil mempengaruhi penduduk desa dengan terlebih dahulu meneror sejumlah ulama dan tokoh masyarakat. Kekejaman sisa-sisa PKI itu luar biasa, misalnya menembaki orang-orang yang lagi sembahyang. Kejadian pada tahun 1968 itu, sehari sebelum FFI 1987 ditutup, Jumat dua pekan lalu, dipertunjukkan di sebuah hotel di Jakarta. Itu memang hanya sebuah kaset video, yang diputar sebagai bagian dari pelayanan hotel. Kebetulan di antara tamu-tamu hotel adalah peserta Musyawarah Besar PPBSI (Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), yang datang dan berbagai daerah. Mereka kaget, film itu tentu hasil rekaman kaset video dari film asli. Akan tetapi, film itu sendiri baru beberapa yang beredar. Artinya, ini pasti bajakan. Lalu PPFN (Pusat Produksi Film Negara), yang memproduksi film itu, dilapori. Memang, menurut pengamatan beberapa wartawan TEMPO film video itu sudah ada di beberapa toko penyewaan kaset video, menjelang FFI dibuka. Direktur PPFN, G. Dwipayana, pun sudah tahu. 

"Pembajakan itu mestinya dilakukan di Jakarta," katanya. Kasus ini menjadi bukti bahwa bukan hanya film laris yang dibajak. Bukan hanya film yang masuk nominasi FFI, lalu diduplikat ke dalam kaset video secara tak sah, kemudian dijual-belikan. Soalnya, film Penumpasan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan, yang punya judul lain Operasi Trisula itu, menurut sejumlah video rental, tidak laku. Juga, dalam peredarannya di gedung bioskop di Jakarta, film yang disutradarai B.Z Kadaryono ini tak menggembirakan. Tapi memang, film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya ini punya misi. Yakni memberi penerangan kepada masyarakat bahwa PKI itu berbahaya. Ini kata Direktur PPFN, Dwipayana, sendiri. Itu sebabnya, "Masalah keuntungan tak terlalu dipikirkan," katanya kepada wartawan TEMPO Gatot Triyanto. Jadi, memang berbeda misinya dengan film PPFN sejenis, misalnya Serangan Fajar, yang disutradarai Arifin C. Noer. Dalam film ini, PPFN punya misi, selain menanamkan jiwa patriotik, juga mengharap keuntungan -- dan itu memang dicapai. "Jadi, dibandingkan Serangan Fajar, film Operasi Trisula ini kecil sekali. Apalagi kalau dibandingkan film Pemberontakan G-30-S/PKI," kata Dwipayana pula. "Sutradara Operasi Trisula juga relatif masih yunior." Operasi Trisula yang sebenarnya itu sendiri cukup bersejarah dari sudut militer. 

Di situ terlibat Kolonel Witarmin, yang di kemudian hari menjadi Pangdam Brawijaya, Jawa Timur. (Kini sudah almarhum karena serangan jantung). Di awal-awal film malah sempat disisipi film dokumentasi, ketika Kolonel Witarmin memberikan instruksi-instruksi operasi. Toh, meski diangkat dari kisah sebenarnya, meski kekejaman PKI juga dicoba digambarkan, dari awal hingga akhir ketegangan tak hadir di gedung bioskop. Dilukiskan bagaimana sisa-sisa PKI ini memeras, merampok, membunuh, dan sebagainya. Lalu, teror itu tercium oleh aparat keamanan. Operasi pembersihan pun dilakukan dengan nama sandi, itu tadi, Trisula. Ada sedikit kesempatan untuk menyuguhkan adegan action menarik, sebenarnya. Yakni ketika tentara menyeberang Kali Brantas dengan rakit yang ditembaki PKI. Sayang, ini pun tak tampil secara baik. Dengan singkat dan gampang, PKI dilumpuhkan. Sebuah film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya, dan lalu setia pada kejadian itu, biasanya memang menjadi tidak menarik. B.Z. Kadaryono, sutradara, tampaknya memahami hal ini pula. Ia pun telah berusaha "mengembangkan" cerita. Hasilnya, sejumlah adegan fiktif -- maksudnya, hal itu pada tahun 1968 tak benar-benar terjadi. Umpamanya, sebuah adegan dialog antara seorang bapak yang antikomunis dan anaknya yang ikut Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, organ di bawah PKI. Mestinya ini bisa menyentuh hal-hal yang sifatnya manusiawi. Bagaimana "Politik sebagai Panglima" bisa memporak-porandakan sebuah keluarga, umpamanya. Tapi itulah, hal tersebut tidak hadir. Yang penting di sini tampaknya cuma dar-der-dor kekejaman PKI, lalu dar-der-dor penumpasan PKI. Dari sudut seni akting pun, permainan Rachmat Kartolo, Hassan Sanusi, Yati Surachman, Lina Budiarti, dan sejumlah artis dari Surabaya itu sama sekali tak berkembang. Ini sebuah contoh film yang lebih mementingkan misi, tanpa penggarapan memadai. Menjadi terasa scdikit penting karena kisahnya benar-benar terjadi. Itu saja. Maka, agak aneh bahwa film seperti ini pun dibajak. Untung tidak laris.

15 Agustus 1987
TERJADINYA sedikit kesalahan teknis 
-- keputusan juri salah masuk amplop yang mengganggu kelancaran upacara, untunglah tak sampai merusakkan suasana gembira malam penutupan Festival Film Indonesia 1987, Sabtu malam pekan lalu. Dan sesudah Nagabonar dinyatakan memenangkan 6 Piala Citra, bisa ditebak bahwa komedi itu pastilah dipilih sebagai film terbaik. Sebelumnya banyak yang menduga, Citra untuk film terbaik akan jatuh pada Biarkan Bulan Itu. Sebab, film ini mencatat 12 nominasi, sementara Nagabonar, dan Kodrat, masing-masing hanya sembilan. Tapi rupanya Bulan karya Arifin C. Noer tak beruntung alias gagal. Tak satu pun Citra diperolehnya. Sementara itu film yang tak lolos nominasi, seperti Secawan Anggur Kebimbangan karya Wim Umboh, memperoleh Citra untuk editing. Apa yang terjadi? Ada sejumlah hal yang menimbulkan pertanyaan. Umpamanya, Citra untuk penyutradaraan -- unsur terkuat yang menentukan sebuah film sebagai terbaik -- tidak dimenangkan oleh M.T. Risyaf, sutradara Nagabonar. Citra untuk penata fotografi juga tidak diperoleh film yang menang ini. 

Padahal, fotografi termasuk unsur penting dalam menentukan sebuah film menjadi baik atau sebaliknya. Kalau dikaji lebih jauh, kekuatan Nagabonar hanya terkumpul pada tiga aspek: cerita dan skenario, akting, musik dan tata suara. Bandingkan umpamanya dengan film terbaik dalam FFI tahun lalu, Ibunda yang juga memenangkan sejumlah aspek penting dalam sebuah film. Dari sembilan Citra yang diraih oleh film Teguh Karya itu di antaranya adalah unsur-unsur penting: penyutradaraan, pemeran utama, fotografi, editing, cerita. Tentu saja, mutu sebuah film tidak ditentukan oleh tiap-tiap unsurnya, tapi keterpaduan dan keserasian kesemuanya: bobot artistik, teknis, kematangan penggarapan. Di samping itu, masih ada faktor x, yang membuat sebuah karya dipandang punya nilai lebih daripada karya lainnya. Mungkin di situlah keistimewaan Nagabonar -- menurut dewan Juri, tentu. Adapun susunan lengkap pemenang: Film: Nagabonar sutradara: Slamet Rahardjo (Kodrat) pemeran utama wanita: Widyawati (Arini) pemeran pria: Deddy Mizwar (Nagabonar) pemeran pembantu wanita: Rodiah Matulessy (Nagabonar) pemeran pembantu pria: Darussalam (Kodrat) skenario: Asrul Sani (Nagabonar) cerita asli: Asrul Sani (Nagabonar) editing: Emile Callebout (Secawan Anggur Kebimbangan) penata fotografi: M. Soleh (Kodrat), penata artistik: A. Affandy S.M. (Cintaku di Rumah Susun) penata suara: Hadi Artomo (Nagabonar) penata musik: Franki Raden (Nagabonar).

15 Agustus 1987
FESTIVAL artinya hura-hura. 
Dan bagaimana berhura-hura dengan baik, tampaknya, makin disadari oleh dunia perfilman Indonesia. Tahun lalu umpamanya, pawai-pawai oleh mereka yang menamakan diri "insan film" yang biasanya selalu diadakan dengan biaya mahal -- sudah ditiadakan. Juga soal tempat mulai tahun lalu Festival Film Indonesia (FFI) diputuskan hanya dilangsungkan di Jakarta. Tak lagi digilir ke daerah. Tak berarti acara gemerlap dalam penutupan, ketika pengumuman para pemenang Citra dilaksanakan, juga dihapus. Sabtu malam pekan lalu di Balai Sidang, Jakarta, misalnya, para bintang dengan kostum yang byar-byar menghadiri malam penutupan FFI 1987. Toh, dalam acara panggung gembira ini pun terasa ada peningkatan selera. Ada selingan lagu dari Kelompok Suara Impola pimpinan Gordon Tobing. Yakni, jenis musik yang, pinjam istilah pengamat musik pop Remy Silado, tidak merengek-rengekkan cinta. Lebih dari itu, suguhan Lintasan Sejarah Perfilman Indonesia oleh Teguh Karya (sutradara), Idris Sardi (musik), dan Misbach Yusa Biran (naskah) memberikan warna tersendiri untuk pesta penutupan FFI kali ini. Tontonan ini, sesuai dengan namanya, mengajak penonton mengenang perjalanan film Indonesia dari zaman Belanda sampai FFI tahun lalu, ketika Tuti Indra Malaon dan Deddy Mizwar memenangkan Citra. Dengan pengalaman Teguh berteater selama ini, sajian ini memang cukup memikat, dan informatif. Bagaimana dulu kita cuma jadi kuli tukang mengangkat-angkat kamera, bagaimana film Indonesia pernah menyontek gaya India, menarik ditonton. Juga, di sana-sini banyak lucunya, umpamanya ketika menceritakan bahwa Indonesia dulu juga ikut-ikutan bikin film Tarzan. Lebih kurang, teater Teguh agak komplet. 

Ada adegan film Zorro Indonesia, ada Untuk Sang Merah-Putih, Enam Jam di Yogya, sampai Pemberontakan G-30-S/ PKI. Tentu, masih ada kasak-kusuk siapa pemenang Citra. Dan, setelah pengumuman usal, masih pula terdengar diperbincangkan mengapa Nagabonar seperti "dipaksakan" dijadikan film terbaik (lihat Citra itu untuk Nagabonar). Banyak pengamat film yang menatakan kesannya bahwa film peserta FFI kali ini dari segi mutu merosot. Soal mutu ini secara tak langsung malah dilontarkan sendiri oleh Slamet Rahardjo, yang meraih Citra untuk sutradara dalam film Kodrat. "Kita terlalu banyak disuguhi film-film yang tidak pas. Sebaiknya kita tidak lagi melahirkan film-film yang asal jadi. Saya sendiri selalu berkarya dengan sebaik mungkin dan mempunyai rasa tanggung jawab demi kemajuan film Indonesia," katanya. Kalau ditilik lebih jauh, FFI 87 juga merosot dalam berbagai hal, termasuk acara-acara penunjangnya. Kampanye film unggulan yang berlangsung di Pusat Perfilman Usmar Ismail (22 sampai 31 Juli), memang dihadiri lebih banyak pengunjung. Tetapi hasilnya tak lebih dari temu-muka para artis dan penggemarnya. Peningkatan apresiasi? Mungkin masih jauh -- sementara kenyataannya film Indonesia memang belum jadi tuan rumah di bioskop sendiri.
 
Diskusi yang lebih serius memang ada. Di Jakarta tak tanggung-tanggung diskusi itu diselenggarakan di gedung LIPI (16-17 Juli) dengan pembicara Dr. Alfian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan LIPI, dan Dr. Ninuk Kleden Probonegoro, staf peneliti LIPI. Diskusi ini membicarakan, sebagaimana judul makalah Alfian, Manusia Indonesia dalam Film Indonesia. Diskusi lain terjadi di dua kota luar Jakarta, Padang dan Ujungpandang, dikaitkan dengan kampanye film unggulan. Di Padang tampil Drs. Mursal Esten, dosen IKIP Padang yang juga Kepala Taman Budaya Padang. Di Ujungpandang berbicara Dr. Salim Said, penulis buku Profil Dunia Film Indonesia, tentang Revolsi Indonesia dalam Film-Film Indonesia. Diskusi ini tak mencuat ke permukaan lantaran tak banyak tokoh film yang hadir. Lagi pula, yang dibicarakan bukanlah sesuatu yang langsung berkaitan dengan mutu film atau pemasaran film atau pembajakan film ke video, masalah yang mendesak untuk dipecahkan -- meskipun topik itu penting. Bazar film yang juga diselenggarakan di Pusat Perfilman Usmar Ismail (31 Juli - 7 Agustus) jauh beda dengan acara yang pernah diadakan di daerah-daerah sebagai pelengkap FFI. Soetomo Ganda Subrata, Dekan Fakultas Sinemaografi Institut Kesenian Jakarta, mengeluhkan soal tempat. "Tempat bazar tidak strategis, dan jauh dari kendaraan umum, apalagi malam hari," katanya. 

Dalam bazar ini, Fakultas Sinematografi memamerkan film-film pendek dan beberapa program video. Soetomo kemudlan membandingkan dengan FFI Yogya. "Tempatnya di kampus UGM Bulaksumur, pengunjung mencapai targct. Kebanyakan mahasiswa, dan mereka banyak bertanya, kami pun memberikan informasi," kata Soetomo. Di Jakarta tak diperoleh semua itu. Padahal, di pameran FFI Jakarta kali ini, sinematografi IKJ menyediakan 15 film pendek yang cukup berbobot. "Bagaimana pameran ini bisa berhasil kalau yang datang ibu-ibu gendong bayi dan anak-anak ingusan yang tak mengerti film apa-apa?" keluh Nana, seorang mahasiswa IKJ. Nana tentu tak bermaksud bahwa ibu-ibu itu tak layak nonton. Tapi bahwa para insan film sedikit saja perhatiannya terhadap pameran penting ini, kira-kira ini menunjukkan seberapa jauh niat mereka mengatrol mutu film sendiri. Bagaimana FFI tahun depan? Mestinya lebih baik, termasuk persaingan di tingkat film dengan turunnya Teguh Karya dan munculnya film Arifin tentang Supersemar yang kini sedang dikerjakan. Pestanya meningkat, mestinya mutu filmnya bisa pula naik. Barang dagangan, 'kan bisa juga bermutu. Putu Setia, Laporan Biro Jakarta

25 Juli 1987

Ketika musim revisi tiba
DUA orang petugas Kanwil Departemen Penerangan Jawa Barat mendatangi Bioskop Vanda di Bandung, menjelang pukul sepuluh malam, Kamis pekan lalu. Mereka tidak menuju loket, tetapi masuk ke kantor bioskop, lalu menyodorkan selembar "surat sakti". Isi surat, yang ditandatangani Kepala Kanwil Deppen Ja-Bar, Drs. Asep Saefudin, meminta agar film yang diputar saat itu bisa dihentikan secepatnya. Peristiwa yang sama terjadi di Yogyakarta, Tegal, dan berbagai kota lain di Indonesia. Perintah itu datang dari Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF), Thomas Soegito, lewat telepon. Maka, untuk sementara, peredaran film nasional yang agaknya bisa menjadi film terlaris tahun ini terganggu. Film itu tak lain Ketika Musim Semi Tiba (KMST). Larangan terhadap film yang sedang dalam masa putar di bioskop agaknya baru sekali ini terjadi. Dan larangan terhadap KMST itu dikeluarkan sesudah BSF menyelenggarakan sidang pleno Senin pekan lalu. "BSF mempertimbangkan banyaknya imbauan dari masyarakat," kata Thomas Soegito. "Film itu akan disensor ulang." Dibintangi Meriam Bellina dan Rico Tampatty, KMST mendapat sambutan di mana-mana. Ketika diambil dari Bioskop Vanda Bandung, KMST sudah memasuki hari putar ke-56, dan sudah ditonton lebih dari 40 ribu orang. 

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, film ini pun diserbu penonton begitu juga di Jawa Timur, Bali, Sumatera. KMST sudah menghilang dari bioskop Jakarta, tapi kaset videonya menyebar sampai ke rental paling kecil. Kabar terakhir, video KMST sudah beredar pula di Denpasar, dan bukan mustahil di kota-kota lain juga. Dalam situasi beginilah, BSF mau merevisi. Amboi! Lalu bagaimana dengan videonya yang mewabah itu? Adakah BSF, ketika melepas film ini Maret lalu -- juga lewat sidang pleno -- tidak memperhitungkan reaksi masyarakat? Tampaknya begitu. BSF hanya melaksanakan tugasnya yang biasa, tapi khusus dalam kasus KMST, kejelian sensornya diragukan banyak orang. Memang, di Yogyakarta yang terkenal rewel itu -- film ini tidak dipersoalkan Bapfida setempat. Hanya ada catatan, film boleh diputar cuma di Kota Madya Yogyakarta. Berarti di Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul, KMST tak laik putar. Apalah artinya itu kalau jarak tempuh ke Yogya bisa dicapai dengan mengayuh sepeda tanpa lelah? Lalu, di Jawa Tengah, yang sudah terbiasa agak longgar, tokoh-tokoh seperti Haji Karmani dan Haji Wahab Djaelani mengakui bahwa KMST "agak mengejutkan" tetapi toh dapat menerima, karena film tetap sebuah film dan urusan porno tergantung dari mana melihatnya. Baru di Jawa Barat KMST kesandung, itu pun setelah masa putarnya mendekati 60 hari. Salah seorang pimpinan MUI Ja-Bar, Endang Rahmat, berkata, menonton KMST adalah haram hukumnya. Dikutip harian Pikiran Rakyat, Endang berucap, "Majelis Ulama Jawa Barat tak perlu lagi mengeluarkan fatwa. 

Film ini amat pornografis." Sejak itu, protes dari masyarakat bermunculan. Di Indonesia, perdebatan tentang pornografi memang seperti tak 'kan habis-habisnya. Film KMST yang sudah lolos sensor itu di mata BSF tetap tidak porno. "Pokoknya, BSF menilai film itu sudah pas," kata Thomas Soegito, akhir pekan lalu. Pertimbangan BSF: film diangkat dari novel yang sudah beredar luas, cerita film terjadi di Roma, dan untuk 17 tahun ke atas. Sampai sekarang BSF sudah berkali-kali melepas film-film panas, tapi baru dalam kasus KMST, lembaga ini dikecam keras. "Karena masyarakat punya pandangan lain, BSF harus peka terhadap imbauan masyarakat," ujar Thomas. Sikap BSF yang cenderung reaktif inilah agaknya, yang membuat Bobby Sandy (sutradara) dan Ferry Angriawan (produser KMST) berang. "Saya jadi tak tahu lagi apa kriteria BSF," kata Ferry. Ia pun menuding media massa. "Sebelum media massa meresensi film itu, tak ada komentar dari masyarakat yang negatif. Oknum-oknum tertentu kemudian memanfaatkannya," umpat pimpinan PT Virgo Putra Film ini. Bobby Sandy ikut menimpali. "Ketika saya membuat film itu, tidak terniat sama sekali menonjolkan hal-hal yang porno. Kalau mau membuat film begitu, kenapa jauh-jauh mencari tempat romantis sepert Roma?" ujarnya, seperti yang sudah diucapkannya berkali-kali sebelum ini. Ia sepakat dengan Ferry, film ini ditarik karena dikerjain. 

Tapi cobalah KMST dikaji sekali lagi. Kostum Meriem dalam adegan tari, sesungguhnya, tak polos betul. Bahkan mirip dengan film Cinta di balik Noda, yang menyebabkan ia memperoleh Citra, FFI 1984 di Yogyakarta. Kesintalan tubuh Mer ketika menari dan diangkat-angkatnya tubuh itu oleh penari lelaki pun pernah muncul dalam film Mer yang lain. Atau mengingatkan pada drama musikal Waktunya Sudah Dekat yang dipentaskan di Balai Sidang, Senayan, November 1985. Tarian dalam KMST pun dari segi artistik tak jatuh betul. Cuma, adegan berciuman dan lagi-lagi berciuman itu apa porsinya tidak terlalu berlebihan? Apa maunya, Bobby? Di sini pula gunting BSF mendadak tumpul, membiarkan adegan ciuman panjang yang sampai kulum-mengulum lidah. Kalau ini digunting dan disisakan cipokan beberapa detik, lalu membiarkan adegan pelukan untuk tak memotong dialog, jalan cerita toh masih tetap bisa diikuti. Kontinuitas tetap terjaga. Selain gunting BSF tak bekerja di bagian ini, KMST bernasib sial karena diputar menjelang FFI 1987. Film ini dijadikan salah satu bahan untuk lomba kritik FFI. Bandingkanlah dengan film-film lain yang terang-terangan mengeksploitasi seks, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bulat Bundar, Nyi Blorong, yang luput dari pengamatan media massa. Dan aman. Akankah KMST ini mengendap lama di BSF? Thomas Soegito menjanjikan dalam waktu dekat, setelah direvisi penyensorannya, KMST akan dilepas kembali. "Semua film nasional yang direvisi, termasuk Bung Kecil, Petualang-Petualang, Saidja dan Adinda akan dilepas menjelang pergantian anggota BSF ini," katanya. Berita menarik untuk ditunggu, karena keanggotaan BSF itu diganti akhir bulan ini juga. Putu Setia, Laporan Happy S. & Moebanoe Moera

01 Agustus 1987
Pemeran kirana dalam nagabonar
BAGAIMANA rasanya menjadi orang gila? Tanyalah kepada Dewi Yull, si "Jeng Sri" dalam Losmen. "Menjadi orang gila itu enak. Dan sungguh nikmat. Pikiran saya menjadi kosong, tanpa beban," kata Dewi pekan lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, sehabis mengampanyekan filmnya. Penyesalan Seumur Hidup. Dalam film yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 1987 itulah, "Saya menjadi gila, setelah anak saya meninggal." Anak yang dimaksud, ya, dalam film itu. Konon, ia menghayati perannya tak tanggung-tanggung. Banyak yang memuji-muji Dewi pantas mendapat Piala Citra. "Bila ada yang mengatakan saya akan memperoleh Citra, saya selalu menjawab, Amin," katanya. "Film itu bukan olah raga. Misalkan saya ikut lomba lompat jauh, selesai melompat jarak langsung diukur, hasilnya langsung bisa dilihat. Lha, dalam ibn, setiap orang penilaiannya berbeda," tutur ibu satu anak yang pernah bekerja di kantor Menpora itu. Saingan Dewi Yull kali ini, unara lain, seorang artis muda yang juga tak suka "issue". Dialah Nurul Arifin, 21 tahun pemeran Kirana dalam film yang diduuga bakal muncul sebagai film terbaik, Nagabonar. "Saya tak pernah mimpi mendapatkan Piala Citra," kata Nurul. Sebabnya, "Saya sungguh risi kalau disebut bintang film. Saya ini belum bintang, masih hanya pemain". Kalau pemain yang bintang bagaimana?


01 Agustus 1987
Berperan orang gila
BAGAIMANA rasanya menjadi orang gila? Tanyalah kepada Dewi Yull, si "Jeng Sri" dalam Losmen. "Menjadi orang gila itu enak. Dan sungguh nikmat. Pikiran saya menjadi kosong, tanpa beban," kata Dewi pekan lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, sehabis mengampanyekan filmnya. Penyesalan Seumur Hidup. Dalam film yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 1987 itulah, "Saya menjadi gila, setelah anak saya meninggal." Anak yang dimaksud, ya, dalam film itu. Konon, ia menghayati perannya tak tanggung-tanggung. Banyak yang memuji-muji Dewi pantas mendapat Piala Citra. "Bila ada yang mengatakan saya akan memperoleh Citra, saya selalu menjawab, Amin," katanya. "Film itu bukan olah raga. Misalkan saya ikut lomba lompat jauh, selesai melompat jarak langsung diukur, hasilnya langsung bisa dilihat. Lha, dalam ibn, setiap orang penilaiannya berbeda," tutur ibu satu anak yang pernah bekerja di kantor Menpora itu. Saingan Dewi Yull kali ini, unara lain, seorang artis muda yang juga tak suka "issue". Dialah Nurul Arifin, 21 tahun pemeran Kirana dalam film yang diduuga bakal muncul sebagai film terbaik, Nagabonar. "Saya tak pernah mimpi mendapatkan Piala Citra," kata Nurul. Sebabnya, "Saya sungguh risi kalau disebut bintang film. Saya ini belum bintang, masih hanya pemain". Kalau pemain yang bintang bagaimana?