Tampilkan postingan dengan label FFI 1989 Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FFI 1989 Jakarta. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Februari 2011

FFI 1989 Bersamaan Dengan PON XII

11 November 1989
Bersamaan dengan PON XII
Pesta citra dengan pemerataan

BALAI Sidang Senayan, Jakarta, kembali dipakai untuk puncak pesta insan film nasional di akhir pekan ini. Namun, festival tahunan yang membagikan Piala Citra ini ingar-bingarnya terasa lebih sepi. Bukan saja kebetulan banyak peristiwa lain lebih menonjol (kampanye film dalam rangkaian FFI bertepatan dengan PON XII, misalnya) tetapi juga lantaran film yang bertarung di festival tak ada yang menonjol. Dewan Juri yang diketuai Rosihan Anwar Sabtu pekan lalu sudah mengumumkan lima film nominasi dari 19 film yang diloloskan komite seleksi. Lima film nominasi itu adalah Pacar Ketinggalan Kereta, Noesa Penida, Tragedi Bintaro, Semua Sayang Kamu, dan Si Badung. Pacar yang oleh sutradaranya, Teguh Karya, disebut sebagai "film hiburan yang ringan" dijagokan dengan 13 unggulan. Selain unggulan film terbaik, film musikal ini unggul dalam penyutradaraan, penulisan skenario, fotografi, tata artistik, penyuntingan film, tata suara, musik, pemeran utama pria, pemeran utama wanita, dan tiga unggulan pemeran pembantu wanita. Noesa Penida karya pertama sutradara Galeb Husin mendapat 11 unggulan, termasuk untuk penyutradaraan, skenario, musik, fotografi, pemeran utama pria. Bahkan untuk pemeran pembantu pria, Noesa menempatkan tiga unggulan: Muni Cader, Sutopo Hs., dan Pitrajaya Burnama. Tragedi Bintaro, film kelima Buce Malawau, menyabet 10 unggulan. Karya Ida Farida, Semua Sayang Kamu, yang diangkat dari kisah nyata tertukarnya bayi Dewi-Cipluk menempatkan tujuh unggulan. Jumlah itu juga diperoleh film anak-anak Si Badung karya sutradara yang ngetop lewat serial Saur Sepuh, Imam Tantowi. 

Menarik bahwa dari semua film unggulan itu, sutradara dan penulis skenarionya masuk unggulan juga. Untuk fotografi, hanya Si Badung yang tidak menempatkan unggulan di sana. Itu berarti bahwa film terbaik tahun ini diduga akan jatuh pada siapa yang memperoleh penyutradaraan terbaik. Siapa? Siapa lagi kalau bukan Teguh Karya, yang tahun ini rasanya hanya ditempel ketat oleh "murid"-nya Buce Malawau. Seperti diduga banyak orang, dalam daftar unggulan pemeran utama pria terbaik, nama Didi Petet tak tercantum. Didi tahun ini tak mendapat peran berarti. Yang muncul adalah rekan sealmamaternya di IKJ, Eeng Saptahadi. Aktor yang populer karena peran Jarot di drama seri TVRI Losmen ini memang bermain bagus dalam Semua Sayang Kamu. Tapi dia harus bersaing dengan langganan nominasi Ray Sahetapy yang kali ini pas betul memerankan pemuda nelayan Bali dalam (Noesa Penida). Di kelompok ini ada Rachmat Hidayat (Pacar), Rano Karno (Arini II), dan Mang Udel alias Drs. Purnomo (Si Badung). Rachmat tenggelam karena di film itu sebenarnya semua pemain sama saja kekuatannya. Rano bukan pada puncak aktingnya, malah lebih bagus permainan Rano ketika Arini I. Mang Udel? Ia seperti hanya mengulang perannya dalam film Si Mamad tempo hari. Untuk pemeran utama wanita persaingan ada pada muka lama: Almarhumah Tuti Indra Malaon (Pacar) dan Widyawati (dalam Suami). Tiga muka baru dalam hal nominasi, yakni Ira Wibowo (Malioboro), Neno Warisman (Semua Sayang Kamu), dan Paramita Rusady lewat Si Kabayan Saba Kota, hanya Neno yang menempel ketat. 

Kali ini, Neno, yang juga penyanyi ini, mengulang sukses aktingnya seperti yang dia perbuat dalam sinetron Sayekti dan Hanafi. Jika tahun ini sulit menebak siapa peraih Citra, bukannya karena persaingan ketat lantaran bagusnya, tetapi karena film mutunya merosot dan kebanyakan artis bermain pas bandrol. Ini diakui oleh salah seorang anggota juri. Ia tidak membandingkan dengan Tjoet Nya' Dhien tetapi dengan film nominasi yang lalu pun film nominasi tahun ini kalah. "Memang film seperti Tjoet Nja' Dhien itu lahirnya belum tentu 10 tahun sekali, kok," kata juri yang enggan disebut namanya itu. Kalau Tjoet dijadikan standar penilaian, jelas tak bakalan ada film yang mendapat Citra, masuk unggulan pun sulit. Film yang sempat unjuk gigi di festival Cannes, Prancis, yang dibuat dengan biaya Rp 1,5 milyar, itu diakui oleh Rosihan Anwar terlalu menonjol. "Semua orang terpesona pada Tjoet," kata Rosihan, yang kebetulan ikut membintangi film ini. Namun, "keterpesonaan" itu, menurut Rosihan, harus ditanggalkan dalam menilai film-film peserta FFI 1989. "Dalam menilai film tentu tidak bisa membandingkan dengan film-film tahun lalu," kata Rosihan lagi. Jadi, tetap dipilih yang terbaik di antara yang ikut festival tahun ini. Bagi Salim Said, sekretaris juri film cerita FFI 1989, film peserta tahun ini tampil secara berimbang dengan memiliki kekuatan-kekuatan tersendiri. Karena itulah, "Dalam FFI kali ini juri mempunyai banyak pilihan," katanya. Karena tak ada film yang terlalu menonjol, bisa jadi Piala Citra bisa lebih merata. Pemerataan itu sebenarnya sudah terlihat dalam daftar unggulan. Dari 19 film pilihan, hanya delapan film yang tidak meraih satu tempat pun dalam deretan nominasi. "Pemerataan itu bukan berarti bagi-bagi nominasi," kata Salim. "Tetapi memang film-film itu mempunyai kekuatan sendiri-sendiri." Apalagi dari segi tema, katanya, banyak variasinya dibanding tahun lalu. Dari film anak-anak, yang memunculkan budaya etnis daerah, seperti Si Kabayan dan Jeram Cinta, hingga film yang bertema kesadaran hukum. Budiono Darsono dan Putu Setia


18 November 1989

Pacar ketinggalan citra
MUTU film Indonesia merosot! Yang mengucapkan ini bukan sembarang orang. Menteri Penerangan Harmokolah yang mengatakan itu pada sambutan singkatnya di tengah puncak acara Fetival Film Indonesia, Sabtu pekan lalu, di Balai Sidang, Jakarta. Sebelumnya, Harmoko memuji kemajuan perfilman nasional dengan menyebut produksi yang bertambah dari tahun ke tahun, dan ditonton oleh lebih banyak orang dari hari ke hari. "Adalah tidak adil jika Pemerintah tidak menyebutkan kekurangannya," kata Harmoko kemudian. Ia lantas menyebutkan persoalan yang paling mendasar: mutu merosot. Dalam situasi seperti ini, celakanya, FFI harus tetap berlangsung. Dewan Juri FFI tetap memilih film terbaik. Maka, karya Teguh Karya, Pacar Ketinggalan Kereta, dinobatkan sebagai film terbaik yang sekaligus memboyong delapan Piala Citra. Padahal, film ini bukanlah karya terbaik Teguh. Dibandingkan Ibunda atau Doea Tanda Mata, misalnya, mutu Pacar "ketinggalan kereta". Ini film ringan, soal gosip yang dipanjang-panjangkan, soal cemburu yang bertele-tele, dan gerak nyanyi seperti dalam sandiwara Teater Koma. Lewat film ini, selain Teguh sendiri, ikut kebagian Citra adalah Tuti Indra Malaon (aktris terbaik), Niniek L. Karim (pembantu wanita terbaik), dan Rachmat Hidayat (aktor terbaik). Masalahnya, kenapa Niniek tergolong pemeran pembantu dan Tuti pemeran utama, padahal porsinya sama. Pemisahan keduanya seperti memberi kesan bahwa Pacar ingin meraup semua Citra. Apalagi dengan tampilnya Rachmat Hidayat, yang begitu mengagetkan. Aktingnya tak ada yang istimewa dalam film ini. Kekalahan Eeng Saptahadi, yang bermain bagus dalam Semua Sayang Kamu, seperti menyiratkan ada sesuatu kenapa ia harus kalah dan kenapa Rachmat harus menang. 

Piala Citra yang disisakan Pacar dibagi-bagi film unggulan lainnya. Pemusik Idris Sardi mendapatkan Citra kedelapan lewat film Noesa Penida. Ida Farida kebagian untuk penulisan skenario dalam Semua Sayang Kamu. Imam Tantowi mendapatkan untuk cerita asli melalui Si Badung. Sedangkan Pietradjaja Burnama meraih Citra lewat aktingnya yang bagus sebagai pelaut Bugis dalam Noesa Penida melalui kategori pemeran pembantu pria. Adapun penata fotografi -- unsur penting dalam sebuah film -- diraih W.A. Cokrowardoyo dalam Noesa Penida. Tragedi dalam FFI tahun ini menimpa film Tragedi Bintaro yang disutradarai Buce Malawau. Tak sebuah Citra pun mampir. Film ini hanya menerima penghargaan khusus Piala Kartini untuk pemeran pria anak-anak terbaik atas nama Ferry Octora. Padahal, Tragedi bukan film yang jelek dan sudah menggondol 10 nominasi. Itu kalau kita berbicara soal pemerataan Citra, bukan Citra sebagai ukuran mutu. Sebab, kalau mutu dipertaruhkan lebih tepat andai kata juri FFI 1989 meniru juri FFI 1985 di Yogya yang tidak memilih film terbaik. Memang, seperti yang juga diakui salah seorang insan film A. Rahim Latief. "Film yang merebut Citra tahun ini tak ada yang layak diikutkan dalam kompetisi pemilihan Oscar," kata Rahim. 

Setelah melihat hasil FFI 1989, Rahim justru khawatir Panitia Oscar akan mencabut kemudahan bagi film Indonesia mengikuti kompetisi yang bergengsi itu. Kemudahan itu adalah film Indonesia jika ikut ke arena Oscar tak lagi kena wajib putar untuk umum selama dua minggu di Los Angeles. Rahim -- pengusaha film yang kini menjadi konsultan beberapa produser -- adalah orang yang menemui Robert Wise, ketua Academy of Motion Pictures, Arts, and Sciences (penyelenggara Oscar) di Hollywood, 1987. Di situ Rahim meyakinkan panitia Oscar bahwa film Indonesia juga mempunyai bobot seni yang tak kalah dengan film Barat. Akhirnya, Robert Wise pun menyetujui penghapusan aturan wajib putar itu untuk film Indonesia. Berkat diplomasi Rahim, Naga Bonar, sebagai film terbaik FFI 1987, sempat unjuk gigi di percaturan internasional itu. Menyusul kemudian film terbaik FFI 1988, Tjoet Nja' Dhien. "Lha, kalau diberi kemudahan tetapi tak diimbangi dengan film bermutu, kan memalukan," kata Rahim. "Mutu film memang masih memprihatinkan," kata sekretaris dewan juri FFI 1989, Dr. Salim Said. Bahkan Salim dengan terus terang mengakui, ia kurang puas dengan apa yang dihasilkan FFI kali ini. "Saya lebih sreg ketika memilih Tjoet Nja' Dhien sebagai film terbaik tahun lalu," katanya. Menurut Salim, kemerosotan itu lebih banyak terletak pada skenario, penguasaan dramaturgi, dan kelancaran logika. Apakah merosotnya mutu film itu karena buruknya apresiasi masyarakat? Bagi Salim, masyarakat Indonesia justru merupakan potensi besar menonton film bermutu. Contohnya, Tjoet Nja' Dhien berhasil meraih Piala Antemas dalam FFI 1989 sebagai film unggulan FFI 1988 yang meraih penonton terbanyak. Film Barat yang bermutu, apalagi yang meraih Oscar, kenyataannya juga dibanjiri penonton di sini. Dengan bukti seperti itu, menurut Salim, apresiasi masyarakat sebenarnya sudah bagus. "Cuma mereka sudah kehilangan kepercayaan kepada film Indonesia," kata Salim. "Ya, karena banyaknya film yang dibuat asal jadi." Amburadul. Budiono Darsono & Putu Seti


23 Desember 1989
Ini bukan festival arisan
MALAM yang penuh tawa dan wangi di Bali Room Hotel Indonesia Jakarta, Senin lalu. Puluhan wanita cantik, di antaranya mengenakan pakaian nasional Korea dan Muangthai, berseliweran. Para prianya berdandan rancak pula. Tari Merak (Jawa Barat) dan tari Saman (Aceh) menyemarakkan malam. Lalu Pidato Menteri Penerangan Harmoko. Ini perhelatan besar para insan film di kawasan Asia Pasifik. Ada 248 anggota delegasi, datang dari Malaysia, Muangthai, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan. Lalu peninjau dari Singapura, Filipina, Australia, India, Selandia Baru, dan Kuwait. Ditambah 62 orang dari tuan rumah. Untuk menampilkan wibawa, panitia mengupayakan FFAP (Festival Film Asia Pasifik) ke-34 ini bukan kegiatan semacam arisan antara sesama aktris, aktor, sutradara, dan produser. Sehingga biaya Rp 150 juta yang disediakan oleh Pemda DKI untuk penyelengaraannya tidak percuma. 
Di sini memang ada kegiatan jalan-jalan, misalnya ke Pulau Ayer, Taman Mini, dan makan siang di Istana Bogor. Semula bahkan ada yang mengusulkan pelesir ke tempat-tempat lainnya, sampai ke Candi Prambanan segala. "Usulan-usulan itu saya tolak. Saya sadar, perlu elemen promosi pariwisata, tapi yang logis saja, dong," kata Bucuk Soeharto, salah seorang panitia. Selain tak diniatkan sebagai arisan atau bagi-bagi piala semata, FFAP tak diinginkan berisi piknik melulu. Menurut Ketua PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia) Turino Junaidy, 62 tahun, dalam konstitusi Federation of Motion Pictures Producers in Asia disebutkan tujuan kegiatan federasi adalah pertukaran kebudayaan dan peningkatan kerja sama anggota untuk memajukan industri film Asia Pasifik. Tapi jika itu melulu akan menjadi terlalu serius, tak ada keriaan yang bersahabat. Maka, dalam setiap FFAP ada acara pokok (yang serius itu) dan acara penunjang (termasuk piknik dan pesta). "Hanya, dalam implementasinya selama ini, terkadang ada negara yang menekankan acara penunjangnya daripada yang pokok," kata Turino. "Jepang, Korea, dan Hong Kong pernah mengadakan semacam simposium. Kita kali ini saya rasa ingin menekankan acara pokoknya, meskipun mungkin bobotnya belum semaksimal yang seharusnya." Seiring dengan tujuan itu, panitia membuka Bursa Film di Ruang Pendawa 2 dan Pendawa 3 Hotel Indonesia, dari pukul 09.00 sampai 21.00 setiap hari selama festival (18-21 Desember). Ini ajang untuk memancing transaksi. Film tuan rumah yang dipajang dan diputar melalu keset video antara lain Naga Bonar, Ayahku, Musnahkan Ilmu Santet, Kisah Cinta Nyi Blorong, Terang Bulan di Tengah Hari, Merindukan Kasih Sayang, dan Abizars Pahlawan Kecil. Film asing adalah How to Pick Girls Up (Hong Kong), Black Rain (Jepang), dan Oh Fatimah (Malaysia). Hasilnya memang ada. 
Pada hari pertama bursa, Terang Bulan sudah dibeli hak edarnya oleh Stanley Hung dari Golden Horse Film Festival, Taiwan, dengan harga lebih dari US$ 3 ribu. Tapi, ya, apa boleh buat kalau film Indonesia yang lebih berkaliber seperti Tjoet Nya' Dhien tidak sempat dihadirkan di bursa. Bahkan peraih Citra terbanyak tahun lalu ini gagal ikut FFAP. Padahal, memenuhi syarat, yang antara lain menyebutkan bahwa film peserta FFAP 1989 harus menjadi unggulan pada FFI (Festival Film Indonesia) 1988. Dan persoalan Tjoet itulah yang kemudian sempat mencemarkan citra FFAP. Terutama karena berita-berita di sekitar kemelut antara PT Ekapraya Film (pemilik Tjoet) dan panitia pelaksana FFAP bersilangan seperti gambaran sebuah pertikaian. Bahkan ada selentingan yang menyebutkan panitia sengaja menjegal Tjoet. Pertimbangannya: supaya ada film lain memperoleh penghargaan di FFAP ini. Sebab, kalau Tjoet ikut, film kita yang lain bakal tenggelam, kalah wibawa. Isu penjegalan itu timbul karena perbedaan penafsiran batas akhir penyerahan film. Dalam suratnya (18 November 1989), PPFI minta Tjoet diikutkan dalam FFAP, dan paling lambat kopi film diserahkan 2 Desember. Ekapraya kebingungan, mengingat kopi bersubtitel Inggris semua sedang di luar negeri, antara lain di panitia Tokyo International Film Festival dan pengedar di London serta Kanada. Setelah pihak Ekapraya berkonsultasi dengan Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video Ir. Dewabrata, diputuskan Tjoet dapat ikut FFAP walau ada masalah teknis (yang kebetulan tak dianggap halangan). Tapi, ketika 1 Desember Ekapraya hendak menyerahkannya, ditolak panitia. Rupanya, karena selama menunggu merasa tak ada kepastian dari PT Ekapraya, PPFI langsung memberikan pilihan penggantinya kepada panitia FFAP. Yakni, Akibat Kanker Payudara, Selamat Tinggal Jeannette, dan Seputih Kasih Semerah Luka, untuk melengkapi Ayahku dan Istana Kecantikan yang sudah dipastikan sejak awal. Pihak Ekapraya kecewa, merasa usahanya untuk ikut FFAP tak dihargai. Sementara itu, pihak panitia juga bertahan pada keputusannya. "Semua itu karena misunderstanding saja," kata Turino. "Sekarang sudah selesai." Ia menunjukkan bukti, Eros Djarot, sebagai sutradara Tjoet, ikut Board of Director Meeting, yang diadakan pada hari pertama festival. Pada Senin lalu itu tim juri (H. Boedihardjo, Tatiek Maliyati W.S., Suka Hardjana, H.T. Johardin, dan Soetomo Gandasoebrata) sudah memilih film-film yang diunggulkan dari 28 film peserta. Pemenangnya disiarkan TVRI Selasa malam pekan ini. Di antara film yang mendapatkan piala, terdapat film Black Rain dan Buddies (Jepang), lalu All About Ah Long (Hong Kong). Film-film ini, seperti dalam berita-berita dari negeri asalnya, memperoleh pujian dari kalangan kritikus. Film Indonesia? Bisa dimaafkan kalau dari kelima judul tersebut di atas tak ada yang berhasil masuk unggulan. Mohamad Cholid, Leila S. Chudori, dan Budiono Darsono