Tampilkan postingan dengan label FRED YOUNG (1940-1975). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FRED YOUNG (1940-1975). Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Maret 2020

BINTANG SURABAJA 1951 / 1950

BINTANG SURABAJA 1951


Menggambarkan kehidupan rombongan sandiwara pimpinan Musa dengan acara selingan Hamid Arief dan pengatur cerita Rd Sukarno. Waktu nyaris bangkrut, rombongan ini ditolong gadis bangsawan (Komalasari), tanpa setahu ayahnya (Astaman). Belakangan gadis itu malah ikut bergabung bersama pembantunya (Sri Mulat). Munculnya gadis itu menimbulkan persaingan antara Rd Sukarno dan Hamid Arief. Komalasari memilih Hamid Arief.
BINTANG SURABAJA

RENDA KARNO
A. HAMID ARIEF
KOMALASARI
ASTAMAN
SRI MULAT
DJOEWARIAH
KUNTJANG
ALI YUGO
TJIK IBRAHIM
WOLLY SUTINAH
LILIK SUDJIO
FIFI YOUNG


PUTRI SOLO / 1974

 
 

Senin, 20 Juni 2011

FRED YOUNG UTOMO 1940-1975


Fred Young (lahir di Semarang, 31 Oktober 1900) adalah seorang sutradara, produser dan penulis skenario Indonesia yang namanya cukup dikenal oleh masyarakat di antara tahun 1950 hingga 1970an. Film-filmnya banyak dibintangi oleh para aktris terkenal pada zaman itu seperti Bambang Irawan, Chatir Harro, Netty Herawati, Fifi Young, dan Astaman.

Fred Young wafat di Malang, 2 Juni 1977.
Fred Young alias Nyoo Tiong Gie pengusaha Bioskop di Jawa Timur. Penggagas mendirikan perusahan film Majestic Pictures yang semula di Malang tetapi batal dan dibuat di Batavia. Modalnya datang dari Pabrik Gula Candi dan Porong, serta pabrik es di Surabaya. Bersama temannya The Teng Chung yang sama-sama mencintai pembuatan film sejak mereka kuliah di San Fransisco awal 1920 bersama kakak tertua Wong, Nelson wong. Mereka sering kabur ke Los Angels untuk mengintip orang membuat film di Hollywood.

Ia berkecenderungan ingin membuat film yang besar dan kolosal. Film Air Mata Iboe 1941 adalah film yang menyuguhkan drama yang menguras air mata yang tragis serta parade hiburan musik yang tidak kepalang tanggung. Bintangnya serba gemerlap yang terdiri dari nona-nona dan tuan-tuan berpendidikan tinggi. Diharapkan penonton yang berpendidikan tinggi tidak antipati terhadap film ini. Fifi Young pemain sangat memukau penonton, ia memerankan ibu muda sampai tua. Film ini tentang seorang ibu yang disia-siakan. Dalam film ini tidak kurang dari 11 lagu keroncong ciptaan R.Koesbini dan yang menyanyikan adalah 5 penyanyi besar.: Soerip, Soelami, Titing, Nong dan S.Poniman. Karena shoting mulai tahun 1941, film ini sempat tertunda karena jepang masuk, dan dilanjutkan oleh Tan Tjoei Hock saat Jepang masuk.

Saat Perang duni ke 2, namanya melonjak sebagai pimpinan panggung sandiwara Bintang Surabaya pada zaman Jepang. Grup sandiwara ini paling besar dan paling cemerlang dengan dekor yang serba mewah. Ia memang seorang tentertainer yang hebat. Sandiwara tonel adalah kelanjutan sebelum perang hanya saja menambahi bumbu untuk kepentingan perang Asia timur raya. Pendekatan mereka tidak berubah dengan melodramatik campuran Cina dan Amerika murahan, yang diterjemahkan dalam film Terang Boelan, yakni ada aksi percintaan, lagu/musik, pemandangan indah dan happy ending.

1949 Fred langsung terjun menjadi produser dan sutradara, ia gandengn The Teng Chun produser dan pemilik JIF (Java Industrial Film) yang muncul dengan nama baru Bintang Surabaya, yang memanfaatkan kepopularitasan panggung sandiwaranya pada jaman Jepang. Film Sapu Tangan, ia terpaksa mengecat sapu tangan dengan dua warna, karena warna sapu tangan itu bercerita, inilah film berwarna pertama. Walaupun cara memproses warnanya dilakukan frame by frame dan hasilnya cukup menggelikan karena warnanya bergerak-gerak. Tetapi film ini di puji oleh kalangan Cina sebagi film yang beda. Karena selain ada 7 lagu hit yang populer, dan inilah film Indonesia pertama yang ada Sonder perkelahiannya. Pada Panggung Bintang Surabaya, nyanyian adalah salah satu kekuatan group ini. Beda dengan opera stamboel yang dialog dinyanyikan bersautsautan.

SAPUTANGAN1949FRED YOUNG
Director
SAPUTANGAN SUTRA 1953 FRED YOUNG
Director
DITEPI BENGAWAN SOLO 1951 FRED YOUNG
Director
SETULUS HATIKU 1955 FRED YOUNG
Director
SEHIDUP SEMATI 1949 FRED YOUNG
Director
BINTANG SURABAJA 1951 1950 FRED YOUNG
Director
ANTARA TERTAWA DAN AIRMATA 1951 FRED YOUNG
Director
SORGA TERAKHIR 1952 FRED YOUNG
Director
CHANDRA DEWI 1952 FRED YOUNG
Director
SEBATANG KARA 1954 FRED YOUNG
Director
SANGKAR EMAS 1952 FRED YOUNG
Director
RADJA KARET DARI SINGAPURA 1956 FRED YOUNG
Director
AIR MATA IBU 1957 FRED YOUNG
Director
RATAPAN IBU 1950 FRED YOUNG
Director
DIBALIK AWAN 1963 FRED YOUNG
Director
HARUMANIS 1950 FRED YOUNG
Director
BUNGA ROOS 1975 FRED YOUNG
Director
RUMAH GILA 1955 FRED YOUNG
Director
DAMARWULAN 1950 FRED YOUNG
Director
PUTRI SOLO KEMBALI 1956 FRED YOUNG
Director
PUTRI SOLO 1974 FRED YOUNG
Director
PUTRI SOLO 1953 FRED YOUNG
Director
DJEMBATAN MERAH 1940 FRED YOUNG
Director
HALILINTAR 1954 FRED YOUNG
Director

DJEMBATAN MERAH / 1950


Kisah seorang pemuda yang melakukan aksi bawah tanah semasa pendudukan Jepang. Kemudian dia melanjutkan perjuangannya pada masa revolusi, termasuk pertempuran 10 November di Surabaya. Penggambaran perang Surabaya itu hanya disajikan sepihak, dari sudut Indonesia. Konon pihak berwajib saat itu keberatan akan penampilan serdadu lawan.

BINGTANG SURABAJA

RENDRA KARNO
NETTY HERAWATI
ASTAMAN
RIBUT RAWIT
M. JUSUF
MUSA
DARUSSALAM
RAMLI-KUNTJUNG
IRAH
LILIK SUDJIO
MUSTADJAB



Kamis, 03 Februari 2011

BUNGA ROOS DARI CIKEMBANG / 1975

BUNGA ROOS
DARI CIKEMBANG



 
Di Sutradarai Bersama Fred Young Utomo dan Rempo Urip

Lihat "Boenga Roos dari Tjikembang". Kisahnya sama dengan film yang dibuat tahun 1931 itu, hanya dengan sedikit sekali perubahan, termasuk beberapa nama tokohnya yang berganti menjadi nama Indonesia, seperti Oh Ay Cheng menjadi Wiranta, Gwat Nio menjadi Salmah.

P.T. AGASAM FILM

DEBBY CYNTHIA DEWI
YATIE OCTAVIA
AWANG DARMAWAN
TUTY PERMANASARI
WENDARTO SA
KUSNO SUDJARWADI
CHITRA DEWI


PUTRI SOLO / 1953



Walau telah main sejak 1951, nama Titien Sumarni melejit dengan film ini. Solo mendapat kehormatan sebagai kota pertama peredarannya, yaitu pada malam tahun baru 1954. Termasuk film laris.

Karena pergi mencari nafkah di luar Jawa, Sulastri (Titien Sumarni) dititipkan di rumah pamannya. Ia diperlakukan sebagai babu oleh bibi Subimo (Mien Sondakh) dan saudara sepupunya Haryati (Paulina Robot). Untuk sekadar menghilangkan penderitaan, Sulastri sering terhibur oleh sopir (S. Poniman), koki (Sri Mulat) dan pelayan (Kuntjung). Pemuda Hirlan (Chatir Harro) bertunangan dengan Haryati, tapi dalam pesta pertunangan itu mata dan hatinya berbelok ke... Sulastri.
P.T. AGASAM FILM

MIESKE BIANCA HANDOKO
HARRIS SUDARSONO
RATMI B-29
RENDRA KARNO
S. PONIMAN
CHITRA DEWI
DEBBY CYNTHIA DEWI
ENNY KUSRINI
ASTAMAN
KUNTJUNG
MUS MULYADI
CHELIA DEWI



DIBALIK AWAN / 1963

 

Tampak ada maksud untuk menonjolkan bahwa ada peran Cina dalam perang kemerdekaan. Ismono, pejuang, terluka dan dirawat Ah Tjang dan anaknya Gwat Lie. Meski sering didatangi patroli Belanda, Ismono bisa selamat. Setelah perang usai, Ismono pulang ke rumah orangtuanya. Ia dijodohkan dengan Hartati, tapi ia tetap memilih Gwat Lie, yang sempat hilang saat dicarinya, tapi tanpa dinyana jumpa lagi dalam sebuah pertunjukan. Gwat Lie menarikan tari Jawa. Hartati mengalah.

BAMBANG IRAWAN
NANI WIDJAJA
SOFIA WD
RATNAWATI


AIR MATA IBU / 1957



Seorang ayah (Rd Ismail) dan istrinya (Fifi Young) punya tiga anak laki dan satu perempuan. Karena ikut dalam penjualan barang gelap, keluarga itu mendadak kaya. Anak pertama Akhmad (Sukarno M. Noor) kawin dengan wanita cerewet (Paulina Robot), anak kedua Idris (Boes Boestami) dapat wanita galak (Norma Sanger). Si bungsu Atikah kawin dengan pemuda miskin (Zainal Abidin). Anak ketiga Sumadi (Kamsul), yang terkenal jujur, suatu waktu mengikuti ayahnya. Perbuatan ayahnya tercium polisi, tapi Sumadi yang menyerahkan diri sesudah menyuruh ayahnya lari. Sementara Sumadi di penjara, ayahnya menderita batin dan meninggal. Ibu terlunta-lunta dan akhirnya tinggal di rumah jompo. Sekeluar dari penjara, Sumadi bikin perhitungan. Ibu dan anak-anak kumpul kembali sesudah minta maaf pada ibu.

Ulang buat dari film berjudul sama tahun 1941 " AIR MATAIBOE"

RADJA KARET DARI SINGAPURA / 1956


Big Slamet-Tjepot-Mang Udel

Seorang pedagang yang dikenal dengan gelar "raja karet" akan datang dari Singapura. Pada waktu yang bersamaan direncanakan datang pula pelawak Udel dan Tjepot. 
 
Sebuah koran salah memasang keterangan gambar: terbalik! Koneksi si raja karet di Jakarta langsung membawa Udel dan Tjepot, sementara si raja karet sendiri dibawa ke Gedung Kesenian oleh panitia pertunjukan. Situasi kian rumit setelah ada seorang bandit yang berusaha menculik si raja karet (palsu) untuk memperoleh uang tebusan. Untunglah ayah si raja karet datang, dan diketahuilah kekeliruan. Udel dan Tjepot (yang disangka si raja karet) dikejar bandit, lari ke panggung, dan disitulah bandit dibekuk polisi...

PUTRI SOLO KEMBALI / 1956

 

Coba memanfaatkan Titien Sumarni sebagai "Putri Solo" (1953).

SETULUS HATIKU / 1955



Ingin meningkatkan taraf hidup, Wargo meninggalkan desa, dan pergi ke Jakarta. Ia berhasil setelah kedua anaknya jadi gadis. Salah seorang, Maryani, ditaksir Darmaji, tapi gadis itu sudah punya pilihan lain, Hartono, teman semasa bocah. Maryani tak pernah menyatakannya secara terbuka, sehingga Rusmini, adik Maryani sering mengajak Hartono pergi. Maryani merelakan Hartono menikahi Rusmini. Setelah Rusmini meninggal dunia karena penyakit, barulah Maryani dapat berumah tangga dengan Hartono.

Sri Mulat (1905 - 1968) adalah isteri Teguh, pimpinan grup sandiwara humor "Srimulat".

RUMAH GILA / 1955


Wiranta (Udjang) adalah seorang lintah darat. Isterinya (Fifi Young) tuli serta anak-anaknya manja, baik Ningrum (Norma Sanger), Ningsih (Nanny Ruchimat) maupun Kosasih (Ping Astono). Yang berbeda adalah Sanusi (Bambang Hermanto) yang sederhana dan jujur. Di rumahnya menumpang keponakan, Ratnawati (Mardiana), anak adik Wiranta. Oleh saudara-sadaranya Ratnawati diperbudak, malah namanya pun diganti, babu Minah. Muncul seorang pemuda ganteng (Zainal Abidin), yang semula tertarik ke Ningsih dan Ningrum, tapi akhirnya terpikat oleh "babu Minah". Setelah di"petik" si pemuda, bebaslah Ratnawati dari "rumah gila" itu.
 
 Aktor Udjang, oleh Wim Umboh

MENGAPA Udjang bernama udjang? Tak tahu aku (hanya yang menarik perhatianku ialah udjang dalam istilah Menado berarti hujan dan dalam bahasa Minangkabau si Bujang, atau A Kew panggilan Tionghoa sehari-hari). Karena Udjang sendiripun tak ada bahagiannya dalam memberikan nama itu. Itu adalah kewajiban Ibu dan ayahnya. Tetapi bagi pembaca yang kritis, tentu tak akan puas kalau tidak diterangkan mengapa Udjang bernama Udjang, apa dan siapa Udjang itu?

Aku kenal Udjang sejak dua bulan yang lalu, ketika kami dengan seorang teman mengunjungi Studio Film Golden Arrow. Kedatangan kami pada hari yang tepat, karena kebetulan di Studio Golden Arrow sedang sibuk opname film cerita BERMAIN API (sekarang sudah siap). Sehingga dapatlah kami menyaksikan dari dekat bagaimana sebenarnya sepak terjang seorang bintang film   (yang kumaksudkan penghidupannya) di belakang kamera. Dengan perantaraan Ngko Tann Sing Hwat, itu sutradara baru Golden Arrow yang jangkung, tetapi ramah tamah terhadap tamu. Aku dipekernalkan pada Bung Udjang. Kusangka dia bukan pemain film. Karena melihat raut mukanya mungkin juga, tetapi kalau ditilk dari caranya berpakaian, dan rantai arlojinya yang terurai dari kantong celana barangkali dia manager sari salah satu perusahaan setidak-tidaknya pedagang besar.  Juga pada pendapatku tidak mungkin seorang Bintang Film akan datang sepagi ini di Studio (waktu itu baru jam 8 pagi)/ kukeluarkan sebungkus rokok Escort sambil menawarkannya (acara pertamaku) tetapi dengan tersenyum dan sopan ia menolak. Karena katanya Escort tak sesuai dengan mulutnya, tetapi kalau (sambil berkata dikeluarkannya se pak rokok Menakdjinggo) “Ini….. boleh deh,” katanya sambil mempersilahkan padaku. Kuambil juga sebatang sungguhpun kretek tak aku suka, tetapi pertalian persaudaraan mungkin menjadi erat karenanya. “Kretek adalah rokok elgendom (pusaka) ku,” sambungnya dengan tertawa. Aku tersenyum mendengar  perbandingannya itu. Mulanya aku berniat hendak memajukan beberapa pertanyaan padanya, tetapi akhirnya niatan itu kuurungkan, mengingat ia sedang sibuk opname. Hanya tidak lupa aku  meminta alamatnya supaya dapat aku menjumpainya di rumahnya saja.

DUA hari kemudian aku mengunjungi rumahnya yang terlatak di kampung Tangki berdekatan dengan Prinsen Park. Aku diterimanya dengan ramahtamah dilayani terus menerus dengan senyuman. Setelah kurang lebih tiga jam bercakap-cakap dengan Bung Udjang, dapatlah aku menarik kesimpulan bahwa Bung udjang adalah seorang pengabdi seni film yang tabah, berani menghadapi segala kemungkinan baik dari teman-teman pemain film sendiri maupun dari sang tauke (majikan). Dan tahan uji, terbukti setelah tiga puluh tahun lamanya, bermain, beraksi, dipanggungkan dan di layar perak, dan sekarang setelah hampir menjadi kakek, masih saja ia dipandang sebagai seorang pemain film yang kuat, sekalipun banyak tenaga muda yang bakal menggantikan kedudukannya. Malah ia bangga melihat generasi muda yang dianggapnya adik atau keponakan berkecimpung dalam dunia film.

Udjang dilahirkan di Bandung pada tanggal 23 Desember 1904, anak dari Moch. Tahir, lading clerk KPM. Bersekolah di Sekolah Rakyat sampai kelas II lalu pindah ke sekolah Indische Bond (petang) tapi tidak tamat, karena pikirannya masih terganggu, terpengaruh kepada sandiwara, yang pada waktu itu dinamai Opera. Tidak jarang ia tertidur di meja sekolah karena mengantuk, disebabkan menonton sandiwara hingga jauh malam dengan tidak bosan-bosannya. Sekali sesudah habis menonton ia pulang ke rumah tidak dibukakan pintu karena hari sudah larut malam, terpaksa ia kembali ke gedung sandiwara dan tidur di depan gedung, di salah satu bangku dengan berbantalkan tangan berselimutkan embun. Tetapi semua itu tak dihiraukannya karena pikirannya sedang melayang, angan-angannya menjulang langit menuruti cita-citanya yang setinggi bintang. Dalam tidur Ia  bermimpi telah menjadi seorang pemain sandiwara yang ulung. Mendapat julukan “Jagoan” dari khalayak ramai. “Ah, jangan percaya saudara…. Itu hanya mimpi, bayangan hampa belaka, karena hingga kini saya tetap si Udjang kecil dan bukan jagoan….” Katanya dengan senyum penuh arti.

Pada tahun 1921 ia datang ke Jakarta. Tempat pelesir yang mula-mula dikenalnya adalah Sirene Park, karena dengan uang yang sedikit dapatlah ia menyaksikan dengan sepuas-puasnya para anak buah JULIANA OPERA berkasi dia tas panggung. Dan setelah menonton sandiwara itu, hasratnya untuk menceburkan diri ke lapangan sandiwara semakin meluap hingga apa saja yang akan dikerjakan ia mau asal saja dapat senantiasa berdampingan dengan pemain-pemain sandiwara yang pada masa itu dianggapnya sebagai Dewa-Dewi (Bukan Dewa-Dewi Bintang Surabaja loh). Ia diterima menjadi penjual karcis di sandiwara Juliana Opera, setahun kemudian dijadikan penjaga pintu, dan akhirnya dipekerjakan di bahagian dekor. Cita-citanya untuk bermain sandiwara belum juga terkabul. Karena selama kurang lebih bekerja tiga tahun di Opera Juliana ia tidak pernah diberikan kesempatan memegang suatu peran. Namun tidak juga ia berputus asa. Akhirnya dengan susah payah ia diterima di sandiwara MISS RIBUT, sebagai pemain percobaan dalam cerita NUR TJAHAJA sebagai “Jin Setantang Bukit”. Sungguh kecil roll itu baginya, tetapi dengan demikian dapatlah ia melepaskan sebahagian dari bakatnya, yang selama ini terpendam saja dalam gunung cita-cita tak pernah menjelma nyata. Dari Sandiwara Miss Ribut ia melompat ke Dhalia Opera, dan tahun 1925 ia meloncat lagi ke Sandiwara ORPHEUS, pimpinan M.A. Manuk, manager R. Ariffien.

Pada tahun itu juga ia mengikat hidup di Malang, tetapi malang baginya, istrinya meninggal dunia pada tahun 1940 dengan meninggalkan seorang anak laki-laki yang sekarang telah berusia 15 tahun (di tahun 1947 ia kawin lagi, tapi hingga kini, belum juga dikaruniai seorang anak).

Dari Sandiwara ORPHEUS ia naik setingkat lebih tinggi lagi dengan memasuki dunia film. Film-filmnya yang permulaan ialah: KEDOK KETAWA regie Mr Hu, produksi Union Film Coy. Setelah Kedok ketawa ia bermain dalam film HARTA BERDOSA, BAJAR DENGAN DJIWA, SUARA BERBISA, Disamping Rd. Sukarno yang sekarang telah menjadi bintang film nomor 1 Indonesia dan MEGA MENDUNG regie Bun Kim Nan. ;

DI ZAMAN Bangsai ia bermain dalam film BUNGA SAMBODJA regie Jo Andjar. Sesudah Bunga Sambodja karena semua perusahaan film disita Jepang, ia terpaksa kembali lagi ke Sandiwara dengan memasuki Sandiwara Bintang Surabaja. Di Zaman revolusi ia menjadi pengikut dari Sandiwara Pantjawarna mengelilingi Indonesia yang berakhir di kota Baru (Kalimantan). Sesudah KMB ia masih berdiam di Kota Baru. Kemudian pada tahun 1951 ia kembali ke Jakarta, dan terus terjun di dunia film, dan bermain pada Perusahaan Film Golden Arrow. Filmnya yang pertama sesudah penyerahan kedaulatan ialah SURJA dan yang baru saja selesai ialah BERMAIN API semuanya produksi Golden Arrow.

Nah, demikianlah sedikit ringkasan biografi Udjang, yang telah banyak merasakan pahit-getirnya, suka-duka dalam mengabdi kepada seni film, yang telah beruban karena sorotan lampu yang beribu-ribu watt tetapi senantiasa muda pendirian, dan dapat mengikuti masa.

Memang kalau ditilik dari wajah dan umurnya tidak sepadan. Artinya  melihat kepada mukanya yang dianugerahi senyum menarik, dengan umurnya tiada seimbang. Pergaulannya lemah lembut menandakan ia seorang yang berpengalaman. Tiada suka temberang (ngomong besar).

Sampai sekarang     masih terngiang-ngiang  dalam telingaku, ucapan pengharapannya ketika aku hendak pulang. “Kalau para pahlawan mempunyai Taman bahagia sebagai tempat peristirahatan terakhir, sayapun ingin dibariskan di makam seniman-seniman yang telah terdahulu. Sayang, pemakaman tersebut sampai saat ini belum ada…..”



SEBATANG KARA / 1954

 

Si anak gelandangan Afandi dipungut oleh Sri Mulat, tapi oleh suaminya, M. Arief, anak itu dijual pada Poniman yang bersama Ribut Rawit membentuk trio pengamen dan berkelana dari kota ke kota. Poniman ternyata buronan hingga ditangkap polisi. Afandi kembali terlunta-lunta, namun beruntung jumpa kembali dengan Ribut Rawit dan ibu angkatnya Sri Mulat di Jakarta.

HALILINTAR / 1954

 

Rina (Dhalia), istri Baharudin, tertarik pada pemuda ganteng Syamsudin, anak Baharudin dari istri terdahulu. Karena Syamsudin tertarik pada Sri (Sudarsih), Rina bekerjasama dengan Hasna, ibu Sri, untuk mendapatkan Syamsudin. Ternyata Hasna adalah bekas istri Baharudin juga, sedangkan Sri adalah anak Hasna dari suaminya kemudian, Kiming, pembantu di rumah Baharudin. Terjadi pertemuan antara bekas pasangan suami-istri yang harus berpisah, karena masing-masing telah punya suami dan istri.

Ditolak sensor pada 1955, namun kemudian lolos lewat sidang pleno pada bulan Februari 1956.

SAPUTANGAN / 1949

 

Saputangan adalah sebuah film percintaan 1949 yang berasal dari yang sekarang menjadi Indonesia. Film tersebut disutradarai oleh Fred Young dan dibintangi oleh Chatir Harro, Noorsini, dan Astaman

Saputangan disutradarai oleh Fred Young sebagai film kedua untuk perusahaannya Bintang Soerabaja, setelah Sehidup Semati. Young awalnya menulis cerita tersebut sebagai permainan panggung untuk kelompok teatrikalnya, yang juga bernama Bintang Soerabaja. Ceritanya diadaptasi dalam sebuah permainan latar buatan Tan Tjoei Hock, yang bergabung dengan perusahaan tersebut bersama dengan pakar keuangan dan produser film The Teng Chun. Produksi dimulai pada September 1949 dan, para waktu itu, diperkirakan membutuhkan dua bulan pemfilman.

Saputangan sekarang dianggap hilang. Film-film di Hindia Belanda direkam menggunakan film nitratyang sangat mudah terbakar, dan setelah kebakaran menghancurkan sebagian besar gudang Produksi Film Negara pada tahun 1952, film lama yang direkam menggunakan nitrat dihancurkan dengan sengaja. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.

BINTANG SURABAJA FILM

SORGA TERAKHIR / 1952

 

Letnan Hendro (AN Alcaff) dari Yogya dikirim ke Bali untuk bertugas. Dia jatuh cinta pada seorang gadis Bali, Sari (Dhalia). Ternyata Sari harus menikah dengan Cokorde Tamor (Ismail Saleh), sahabat Hendro sendiri. Ketika Sari berterus terang mengenai cintanya kepada Hendro, timbul rasa dendam di hati Cokorde Tamor. Beberapa waktu kemudian, di kala Hendro telah keluar dari dinas militer, dan muncul lagi di Bali, ia diajak duel oleh Cokorde Tamor. Walau selalu unggul, Hendro tak sampai hati menghabisi Cokorde Tamor dengan keris. Sikap Hendro itu bikin Cokorde Tamor jadi lemah. Persahabatan disambung lagi.

SANGKAR EMAS / 1952

 

Bratakusuma (Rd Ismail), bekas bupati, punya 5 anak, Ratnasih (Dhalia), Mintarsih (Nurhasanah), Surja (Kelana Djaja), Atma (M. Jusuf) dan Sundari (Ribut Rawit). Anehnya, setelah tidak dihormati lagi karena bukan lagi bupati, Bratakusuma amat membenci cinta. Padahal adalah wajar bila anak-anaknya jatuh cinta kepada orang yang dirasa cocok di hati. Saking ketatnya pengawasan sang ayah, Mintarsih kawin lari dengan Sjamsudin (AN Alcaff). Akhirnya keempat anak lainnya meninggalkan rumah yang bagaikan "sangkar emas" itu. Barulah Bratakusuma menyesal, dan amat terharu ketika anak-anak (dan menantu) datang berkumpul pada malam Idul Fitri, saat manusia saling minta dan memberi maaf.

CHANDRA DEWI / 1952

CHANDRA DEWI 


Sutradarai bersama WILDAN DJA'FAR & FRED YOUNG
Setelah kerajaan direbut, dan raja dipenjarakan, maka pemimpin perampok Changgi (AN Alcaff) mengangkat diri sebagai raja. Ia tetap kejam dalam memerintah. Perwira yang tetap setia, Lelawangsa (Rd. Soekarno), bersama kekasihnya Chandra Dewi (Dhalia), berusaha mengembalikan kerajaan Langka Puri. Lewat kecerdikan Chandra Dewi dan keberanian Lelawangsa, kerajaan Langka Puri berhasil dibebaskan dari Changgi.

DITEPI BENGAWAN SOLO / 1951

 

Tak jauh dari Bengawan Solo, Rasyid serta isterinya Kisworini dan anaknya hidup dalam kemiskinan. Suasana berubah ketika muncul Gondo, teman Rasyid, yang mengajak bekerja di luar pulau Jawa. Sementara Rasyid sukses dan bermewah-mewah, Kisworini dan anaknya masih melarat dan setia menanti. Keadaan itu mengecewakan Gondo, tapi Rasyid malah kian menggila. Akhirnya kedok kecurangannya terbuka, dan Rasyid menerima hukumannya yang setimpal.

Cenderung hendak membonceng sukses Bengawan Solo (1949), produksi Tan & Wong.

ANTARA TERTAWA DAN AIRMATA / 1951



Kisahnya disadur dari legenda terkenal Cina, "Sam Pek Eng Tay". Telah lama terjalin kisah kasih antara Lian Hoa (Georgine Lie) dan Hoo Liang (Harry Lie), yang sama-sama dari golongan miskin. Tjiauw Hoat (Frits Lie), anak pedagang kaya, menaruh hati kepada Lianhoa. Lewat pertolongan Ban Tjwan, paman Lianhoa, dipecahlah hubungan Lian Hoa dengan Hoo Liang. Sesudah berhasil, Tjiauw Hoat ternyata cuma mau "mengisap tebu dan membuang sepah". Dalam keadaan hamil, Lian Hoa coba bunuh diri, tapi sempat tertolong dan dibawa ke rumah sakit. Melihat itu insyaflah Ban Tjwan. Setelah mendengar keterangan dari Ban Tjwan, lalu Hoo Liang memaksa Tjiauw Hoat menikahi Lian Hoa. Walau dengan terpaksa, Tjiauw Hoat menyatakan kesediaannya, namun Lian Hoa menolak. Dia hanya ingin melihat dan mendengar suara Hoo Liang untuk terakhir kali, sebab kemudian Lian Hoa tutup mata untuk selama-lamanya.

Sebuah roman "hoakiao". Dimainkan seluruhnya oleh "amateur" Tionghoa, dan pertama kali diputar di emat bioskop Jakarta pada Sintjia (Imlek) 26 Januari 1952. Begitu bunyi iklannya dalam majalah "Aneka" no 33, th II, hlm 24, 20 Januari 1952.
BINTANG SURABAJA

FRITS LIE
HARRY LIE
GEORGINE LIE
DAISY LIE
LIEM POEN TJIAUW
YAP KANG TJOAN
TJOA TJING LIEM
TJIA TIANG NIO