Tampilkan postingan dengan label GEORGE KAMARULLAH 1974-1991. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label GEORGE KAMARULLAH 1974-1991. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Februari 2011

George Kamarullah 1974-1991


Best Cinematography FFI'85 1985
George Kamarullah - Doea Tanda Mata
Best Cinematography FFI'86 1986 George Kamarullah - Ibunda Best Cinematography
FFI'86 1988 George Kamarullah - Tjoet Nja' Dhien Nominasi Best Cinematography FFI'86
    •    George Kamarullah - Selamat Tinggal Jeanette

Lahir di Ambon. Termasuk kelompok "Teater Populer" pimpinan Teguh Karya. Mulanya ikut main, antara lain dalam Cinta Pertama (1973). Kemudian jadi orang di "belakang layar", sebagai juru kamera dan penyunting. Dengan prestasi setengah lusin piala Citra! Tiga kali berjaya untuk penyuntingan Usia 18 (FFI 1981), Di Balik Kelambu (FFI 1983) dan Ponirah Terpidana pada FFI 1984. Kemudian 3 kali pula menang buat sinematografi, Doea Tanda Mata (FFI 1985), Ibunda (FFI 1986) dan Tjoet Nja' Dhien pada FFI 1988. Masih diunggulkan dua kali lagi, juga sebagai juru kamera, Selamat Tinggal Jeanette (FFI 1988) dan Taksi pada FFI 1990. Film Teguh Karya Doea Tanda Mata terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia Pasifik 1986 di Seoul (Korea Selatan). George Kamarullah juga menerima piala untuk Sinematografi terbaik pada festival internasional itu. Empat kali berturut George jadi juri sinetron cerita, dari FSI 1994 hingga FSI 1997.

George Kamarullah bekerja sebagai sinematografer sejak awal 1970-an. Selain debutnya sebagai seorang sinematografer, George Kamarullah merupakan salah satu aktor film Indonesia yang layak disebut bentukan dari sineas ternama Teguh Karya. Namanya semakin dikenal oleh Indonesia bahkan dunia ketika filmnya Tjoet Nja’ Dhien yang mengambil gambar panorama hutan di di Aceh yang eksotis di Pulau Sumatera ini mendapat sambutan yang sangat baik yang kemudian mendapatkan Piala Citra 1988 untuk sinematografi terbaik, setelah sebelumnya mendapatkan piala citra dalam kategori yang sama untuk film Ibunda pada tahun 1986 dan Doea Tanda Mata pada tahun 1985. Dalam program kali ini akan ada kesempatan untuk tanya jawab dengan George Kamarullah tentang kerja sinematografinya.

George Kamarullah tak bakal lupa dengan amuk Slamet Rahardjo suatu siang pada 1973. “Cara main inhaler (alat isap untuk melegakan hidung yang mampet) saya saja masih lebih bagus ketimbang kamu,” kata George menirukan amarah Memet--begitu panggilan Slamet Rahardjo.

Waktu itu, Slamet murka lantaran permainan George yang buruk dalam sebuah latihan sandiwara yang disutradarainya. Pria kelahiran Ternate, 57 tahun silam, ini langsung mutung dan bersumpah: tidak akan lagi berkecimpung di belantara seni peran. Dia pun mundur sebagai aktor.

Dari situlah garis nasibnya berbelok, tapi tidak jauh-jauh amat. George menjadi sinematografer. Enam film hasil bidikan kameranya, antara lain Selamat Tinggal Jeanette (1987) dan Taksi (1991). Sebetulnya, dia tidak punya latar belakang pendidikan juru kamera. George muda pernah kuliah di jurusan konstruksi dan administrasi, tapi tak selesai. Dia pernah jadi asisten art and still photography Cinta Pertama (1973). Ini film pertamanya.

“Baru pada 1976 saya mulai menekuni pengambilan dan penyuntingan gambar,” ujar George kepada Tempo. Selama lima tahun, dia menjadi asisten sinematografer dan editor Tantra Suryadi. Ia bertugas memanggul kamera atau mengumpulkan gulungan film yang tidak terpakai lagi.

Pada 1980, George dipercaya menjadi editor dalam film Usia 18. Baru pertama kali menyunting, dia langsung menyabet Piala Citra. Adapun film yang dia gawangi pengambilan gambarnya adalah Seputih Hatinya, Semerah Hatinya (1982), yang dibintangi Christine Hakim. Tapi pada 1986, Karyawan Film dan Televisi melarang pengagum Nestor Almendros, sinematografer asal Kuba, itu menekuni dua profesi sekaligus. George pun memilih juru kamera. Dia punya alasan: bayarannya lebih gede. Alasan lain, “Sinematografer itu menciptakan sesuatu.”

Nama George makin melambung sewaktu menjadi penata kamera pada film Tjoet Njak Dhien (1988). Dia menggondol Piala Citra untuk ketiga kalinya setelah Doea Tanda Mata (1985) dan Ibunda (1986). “Saya juga dapat Golden Crown Award di Seoul lewat Doea Tanda Mata,” ujarnya.

Sebagai seorang juru kamera, George punya prinsip keras: tidak mau terlibat dalam produksi bila skenarionya jelek dan bintang filmnya tidak disiplin. Artis film juga mesti tunduk dan tetap duduk di lokasi syuting sewaktu George sedang mengatur pencahayaan.

George juga dikenal sebagai juru kamera yang edan di zamannya. Dia orang pertama yang memakai teknik pencahayaan bounching dan kertas kalkir misalnya. “Waktu produser tahu, saya langsung dimarahi,” kata penata kamera yang banyak berkiblat pada film-film Prancis itu sambil terkekeh.

Walther van den Ende, sinematografer asal Belgia, pernah memuji karya-karya George. “Dengan peralatan yang sederhana, dia bisa membikin gambar-gambar yang bagus,” ujarnya. Toh, George, yang sekarang bekerja di Metro TV, mengaku belum merasa puas dengan film-film hasil bidikannya. (SS KURNIAWAN)

George Kamarullah bekerja sebagai sinematografer sejak awal 1970-an. Selain debutnya sebagai seorang sinematografer, George Kamarullah merupakan salah satu aktor film Indonesia yang layak disebut bentukan dari sineas ternama Teguh Karya. Namanya semakin dikenal oleh Indonesia bahkan dunia ketika filmnya Tjoet Nja' Dhien yang mengambil gambar panorama hutan di di Aceh yang eksotis di Pulau Sumatera ini mendapat sambutan yang sangat baik yang kemudian mendapatkan Piala Citra 1988 untuk sinematografi terbaik, setelah sebelumnya mendapatkan piala citra dalam kategoriyang sama untuk film Ibunda pada tahun 1986 dan Doea Tanda Mata pada tahun 1985.

SEPUTIH HATINYA SEMERAH BIBIRNYA1980SLAMET RAHARDJO
Director Of Photography
DOEA TANDA MATA 1984 TEGUH KARYA
Director Of Photography
TAKSI JUGA 1991 ISMAIL SOEBARDJO
Director Of Photography
SELAMAT TINGGAL JEANETTE 1987 BOBBY SANDY
Director Of Photography
IBUNDA 1986 TEGUH KARYA
Director Of Photography
KAWIN LARI 1974 TEGUH KARYA
Actor
MELINTAS BADAI 1985 SOPHAN SOPHIAAN
Director Of Photography
RANJANG PENGANTIN 1975 TEGUH KARYA
Actor
BADAI PASTI BERLALU 1977 TEGUH KARYA
Actor
TJOET NJA DHIEN 1986 EROS DJAROT
Director Of Photography
YANG PERKASA 1986 TORRO MARGENS
Director Of Photography
CINTA DI BALIK NODA 1984 BOBBY SANDY
Director Of Photography
AMALIA S.H. 1981 BOBBY SANDY
Director Of Photography

OEROEG (OEROEG GOING HOME, COMING HOME, RETOUR A LA MAISON, LE) / 1993


Beberapa teman seprofesi film menyatakan bahwa G. Kamarulla ikutan dalam film ini, dia sebagai kameraman entah itu unit berapa. Maklum kalau biaya besar mereka banyak memakai kamera dan unit. Tetapi setelah saya lacak di data International dan lokal, nama G.Kamarulah tidak tercantum dalam title film ini atau data film ini. Tetapi saya suka dengan film ini sebagai film Indonesia sama seperti Max Havellar, dan saya ingin memasukannya, maka saya masukan saja di G.Kamarullah. 1993, semua kakak kelas saya katanya waktu itu terlibat dalam film ini dan saya sempat nonton filmnya dibioskop TIM, bagus. Selayaknya menonton film-film tentang sebuah koloniasme, seperti Prancis di Africa atau Indocina, Italia di Timur Tengah, Inggris di Malaysia, Dan sebagainya....warna gambarnya juga sama, adegannya juga sama...bahkan begitulah bentuk film kolonialime yang digambarkan oleh negara si penjajahan terhadap negara jajahannya. Pasti mereka tidak mau di salahkan atau di permasalahkan. Dan pasti juga sudut pandangnya beda. Saya jadi ingat tentang dialoq, siapa pahlawan dan siapa lawan. Karena semuanya punya kepentingan, penjajah punya kepentingan kolonialisme uang, sedangkan yang dijajah punya kepentingan untuk merdeka. Sama-sama merasa benar. Pahlawan bagi kita, musuh bagi si penjajah. Seharusnya negara yang dijajah jangan lecewa dengan apa yang mereka buat itu, tetapi membuat film tandingannya.

Saat menonton, benak saya waktu itu adalah beberapa permasalahan dan visualisasi hampir sama yang saya ketemukan di dalam buku Pramudia. Yang paling senang adalah adegan menonton film. Teman saya ikut main film itu jadi penjual satenya,...ah ternyata cuma satu shoot sedikit panjang walaupun pakai dialoq. adegan menonton bioskop sangatlah dalam arti penjajahan kolonialisme saat itu. Begitulah bentuknya, walaupun sampai saat ini saya belum mendapatkan bentuk nyatanya, apakah Belanda totok mau menonton film di tempat seperti itu? Karebna Belanda Totok paling malas dan merasa hina menonton film. Mungkin yang dimaksud dari buku sejarah film adalah menonton film buatan dan tentang Indonesia. Karena film import seperti Tarzan dalan film Oeroeg ini adalah barang mahal dan gengsi juga, mungkin saja Belanda totok menonton film itu tetapi tidak di tempat seperti itu. Adegan menonton bioskop cukup baik dilakukan, dimana pribumi menonton di balik layar yang terbalik, duduk di tanah dan jongkok (ini khas sekali Indonesianya) sedang Belanda totok duduk di bangku. Memang Belanda totok tidak bisa jongkok, saat mereka datang ke Indonesia, mereka lihat semua orang Indonesia berjongkok....tidak duduk. Dari situ muncul kalimat memaki Belanda untuk orang Indonesia, yaitu Moennyettt Kowe. Selebihnya adegan basa saja, perang selajimnya di negara mana pun dan dalam film apa pun. Pertukaran tawanan 1 banding 20 juga sama, saya pernah melihat di film lain tentang Kolonialisme. Tetapi film ini tidak sehebat Max Havelaar, dalam permasalahan birokrasi ijin shootingnya juga sensor dan juga dampaknya. Max Havelaar di kerjakan orang yang bermutu dalam bidan g perfilman, bahkan DOP-nya sendiri adalah JAN DE BONT yang sangat populer sekarang di Hollywood, juga menyutradarai film. Film pertama di sutradarainya adalah Twister tentang angin tornando. Sama-sama mengambil dari bahan buku, Max Havelaar dan Oeroeg, tetapi Max Havelaar jauh lebih di kenal dunia bukunya yang menggegerkan kolonialisme saat itu.

Saya pingin masukin film ini, tetapi karena tidak ada data creadit title film ini secara utuh. Maklumlah biasanya crew lokal diletakan yang paling akhir sekali. Bahkan samapi secound unitnya saya sudah cari, tetapi nama Belanda juga, juga Co Director dan 1st assistennya juga sama, Belanda totok. Cuma kata pak Enison Sinaro, Pak George Kamarullah sebagai kamera operatornya, oleh karena itu saya masukin saja di tempat ini. Walaupun saya belum menemukan nama Pak George ini dalam database creadit film ini. Mungkin harus mencari dalam ending title dari film itu. Sedangkan Pak Enison sebagai AD Assisten Director. Dan Om Iri Supit Costum Designer. Mungkin nanti saya menemukan nama mereka dalam film ini. Karena dalam film ini mereka memakai 2nd Unit, berarti ada lebih dari 2 kamera yang dipakai. Kata teman saya sutrdara Belanda, film ini proyek patungan negara Belanda, Belgia, Luxembrug, Indonesia. Kalau dilihat dari Companynya adalah ADDED FILMS INTERNATIONAL (BUSSUM), MULTIMEDIA (BRUSSEL), LICHTBLICK (HAMBURG), P.T. PRASIDI TETA FILMS (JAKARTA). Oleh karena itu juga judul yang dipakai memakai bahasa yang banyak juga. OEROEG /GOING HOME /COMING HOME/RETOUR A LA MAISON, LE.


FULL MOVIE


Synopsisnya
Kisah tentang persahabatan antara anak Belanda pemilik perkebunan Kebon Jati, Johan (Rik Launspanch), dengan anak pribumi pegawai perkebunan, Oeroeg (Martin Schwab), yang tumbuh bersama di antara dua dunia yang saling bermusuhan. Johan lahir dan dibesarkan di Kebon Jati, ia tumbuh di dua lingkungan yang bertolak belakang. Dalam rumah dan sekolah yang dipenuhi dengan kemewahan dan aturan-aturan bangsanya, Belanda, dan di lingkungan perkebunan yang dipenuhi dengan kesengsaraan para jongos dan pribumi asli. Johan kecil masih terlalu muda untuk mengerti masalah penjajahan, rasialisme, kesengsaraan, dan kekuasaan. Ia hanya tahu bahwa tempat yang ia tinggali saat itu begitu asik untuk dipakai bermain. Apalagi sejak kecil, Johan telah bersahabat dengan Oeroeg. Mereka seringkali menghabiskan waktu seharian untuk mandi di sungai, bernyanyi, memandikan kerbau, atau sekadar bermain dengan serangga dan kodok. Persahabatan dua anak manusia itu semakin lekat, meski ayah Johan seringkali tak setuju dengan alasan bahwa Oeroeg tak sederajat dengan mereka. Perbedaan Johan yang Belanda kulit putih dan Oeroeg yang pribumi sudah muncul sejak kecil. Johan dan Oeroeg selalu berusaha untuk menghilangkan jarak itu, hingga akhirnya mereka beranjak remaja. Berkat kebaikan Lida, guru Johan waktu kecil, Oeroeg bisa mengenyam pendidikan sampai ke studi kedokterannya. ***********
ADDED FILMS INTERNATIONAL (BUSSUM)
MULTIMEDIA (BRUSSEL)
LICHTBLICK (HAMBURG)
P.T. PRASIDI TETA FILMS (JAKARTA)




Sutrdaranya Hans Hylkema, ia banyak membuat film fiksi dan juga dokumentar, selayaknya pembuat film Belanda lainnya. Ia juga membuat dokumentar di berbagai negara termasuk juga di Suriname, dan film-film tentang musik Jazz dan Blues.

Speelfilm
OEROEG (1993)
JULIA'S GEHEIM (1987)
DE MANNETJESMAKER (1983)

Documentaire
DE GOUDLIJN PARAMARIBO- DAM (2002)
Reisverhalen
Producent: Pieter van Huystee Film
JOHNNY & JONES (2001)
JAZZPORTRETTEN (1997)
JANNAH, NEW LADY IN JAZZ (1996)
DE LAATSTE SESSIE (1991)

Dramaserie
DE PAPEGAAI (1988)
DE JONGENS VEERMAN (1982)
IN HET BELANG VAN UW KIND (1979)

Biografische tv-revue
SAMUEL FALKLAND SHOW (1991)

Korte film
VRIJMARKT (1997)
VREEMDE EEND IN DE BIJT (1986)
SPEELMETERS (1976)
EEN BEVRIJDINGSFEESTJE (regiedebuut 1970)

Prijzen en eervolle vermeldingen voor SAMUEL FALKLAND SHOW, OEROEG, JULIA'S GEHEIM, SPEELMETERS, EEN BEVRIJDINGSFEESTJE, DE MANNETJESMAKER en DE JONGENS VEERMAN

OVER OEROEG
Antara tahun 1945 dan 1949 pemerintah Belanda berusaha untuk menjadi negara merdeka Indonesia untuk berhenti. Dengan kekerasan. Banyak bapak masih bisa bicara tentang itu. Jelas bahwa hal-hal buruk telah terjadi, tetapi upaya untuk berbicara pada subjek segera dapat digambarkan sebagai "air mata luka." Dalam film perang Oeroeg memainkan peran utama. Direktur Hans Hylkema harapan bahwa generasi baru akan terbuka mata hati.

Novel 'Oeroeg' oleh Hella Haasse dirilis pada tahun 1948, antara dua tindakan polisi. Cerita diakhiri dengan kembalinya narator, seorang anak Belanda, ke India. "Saya tiba di Batavia jatuh kasar dengan pecahnya dari apa yang saya, penyederhanaan, akan memanggil polisi tindakan." Dekat pertanian di mana ia tumbuh narator terancam oleh orang Indonesia yang menambahkan: "Pergilah. Anda tidak ada hubungannya". Dengan kata-kata selama perang diringkas perubahan keadaan. Lebih tajam masih adalah bahwa kata-kata itu mungkin diucapkan oleh Oeroeg sejak awal di dada teman narator.



Skenario film mana Oeroeg mengambil buku berakhir. Johan protagonis kembali sebagai militer kembali negara asal mereka. Ancaman oleh Oeroeg diduga adalah awal dari pencarian Johan untuk teman masa kecilnya. Pencarian ini dikaitkan dengan kenangan lama tahun-tahun mereka habiskan bersama, periode Haasse dijelaskan dalam novelnya. Walaupun John adalah anak dari pemilik perkebunan dan putra Oeroeg pengawas, mereka tidak terpisahkan. Perubahan situasi politik, kedua sahabat itu perlahan-lahan terpisah. Sekarang, yang 1947, akan ditambahkan ke buku dan menunjukkan pertempuran antara pejuang kemerdekaan Indonesia dan tentara Belanda.

Bagaimana mungkin bahwa buku dibaca luas Oeroeg "tidak pernah telah menyebabkan film?

"Pembuat film Belanda telah membuat afinitas tidak memadai dengan India. Sebelum aku sedang mempersiapkan film ini aku hampir tidak tahu apa-apa. Ini adalah halaman hitam, yang bersangkutan hanya dengan kesulitan besar berbicara tentang hasil kehadiran Belanda di India. Selain itu rekaman sangat sulit untuk Max Havelaar waktu kedaluwarsa, begitu sedikit antusiasme untuk produser film Belanda di Indonesia. "

Hella Haasse mengikuti "Oeroeg" orang-orang seperti Tjalie Robinson dan Rob Nieuwenhuys kritik India tidak cukup. Bagaimana dengan afinitas Anda?

"Idealnya Saya pikir yang paling kontroversi tentang siapa yang India. Seolah-olah itu adalah hak eksklusif. Seperti untuk saya, tidak begitu. Aku tidak punya akar dalam bentuk keluarga. Hanya ayah dari seorang sepupunya telah berjuang dan Aku ingat kembali. Kemudian aku menerima, melalui teman-teman antusias, minat saat ini di Indonesia. aku tidak hanya pergi, tetapi dengan tujuan. Jadi saya harus mencari tujuan pertama dan itu membuat film. "

KonyolDua kali sebelum telah ada yang mencoba kengerian tindakan polisi di atas meja untuk mendapatkan: Joop Hueting pada tahun 1969 dalam "Behind the News" dan Loe de Jong beberapa tahun yang lalu. Kedua bangsa mendapatkannya di atasnya. Apakah Anda mengharapkan tanggapan seperti kembali? 
"Setidaknya tidak dalam cara yang terorganisasi ketika De Jong yang telah terjadi. Nya Bimbingan adalah suatu klub veteran konservatif diletakkan di bawah tekanan. Aku merasa keterlaluan dan tidak dapat dipahami sebagai ia pergi yang De Jong telah merevisi pendapatnya sebagai seorang sejarawan . Aku sudah tahu Joop Hueting Adegan di mana seorang penyiksaan tawanan Indonesia didasarkan pada pengalamannya. Dalam film ini jatuh pada laki-laki diikat kakinya di bumi, dalam kenyataannya mereka membiarkan dia jatuh di atas kepalanya pada beton.



September lalu kita telah dengan mantan tentara yang dihadapi, ketika surat kabar menerbitkan sebuah wawancara dengan Jeroen Krabbé muncul bahwa Pieter van Lierop telah di set. Krabbe mengatakan dalam wawancara itu: "Kami berada di sana sebagai Nazi nakal. Mereka kemudian memiliki surat dikirim ke Menteri Ter Beek, "untuk menyimpan apa yang dapat diselamatkan, karena mereka sendiri berkata. Itu semua terlalu konyol untuk kata-kata. Sementara itu sejumlah veteran telah melihat film dan mereka diyakinkan. Mereka ingin mencegah 135.000 prajurit yang telah ada, dan diensplichtigen relawan, bertahun-tahun kemudian lagi akan dipaku ke mengumumkan kekurangan. Pikirkan lagi. Film ini menunjukkan bahwa wajib militer dalam situasi perang hal bisa diisap. Kami telah sejak menggunakan metode interogasi yang setua penemuan listrik. "

"Oeroeg" adalah dengan Hella Haasse terutama cerita tentang persahabatan. Apakah bagi Anda, kecuali bahwa sebuah pernyataan politik?
"Memang tidak mudah untuk memecahkan pemerintahan kolonial, yang terlalu murah. Tapi saya simpati terletak pada perjuangan kemerdekaan Indonesia jelas, saya kira. Saya marah hebat ketika saya membaca apa yang telah dimakan. Dalam Loe de Jong dan lain-lain adalah ekses yang menyatakan di bawah judul "kejahatan perang" bisa gunting. Bahkan sebelum perang pemerintah Belanda sebuah kamp konsentrasi di New Guinea untuk mengatur nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, kita kadang-kadang kurang lancang sebagai panduan disebut fungsi dari Belanda. " Fragment artikel Filmkrant.nl.