Tampilkan postingan dengan label HASMANAN 1962-1988. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HASMANAN 1962-1988. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Februari 2011

HASMANAN 1962-1988



Hasmanan lahir Sumbar 15 ' Agustus 1930 , adalah seorang sutradara, penulis Skenario dan Cerita dan juga pernah menjadi redaksi majalah " Olah Raga " dan koran harian " Pelopor Baru " ditahun 1968 lewat film-filmnya yang hampir dua puluh tahun , yang kebanyakan bertema komedi yang dibintangi oleh Bing Slamet dan Ateng. Film Drama yang sempat meledak dipasaran adalah Romi Dan Yuli yang dibintangi Rano Karno, Yessy Gusman, Widyawati, dan Sophan Sophian.

Di Tahun 1980, Filmnya " Anna Maria " mendapat nominasi di FFI {Sutradara Terbaik}, dan Aktor Ryan Hidayat dinominasihkan sebagai aktor terbaik dalam film ini

Nama aslinya Chalil Hasnan Manan, kelahiran Agam, Sumatra Narat. Sebelum terjum ke dunia film dia seorang wartawan dan kritikus musik. Ia gemar membaca dan memiliki koleksi buku dan majalah yang mencangkup bidang seni. Memulai karir film sebagai pembantu sutradara dan penulis skenario.

1960 pertamakali menyutradarai filmnya sendiri. Pada Festival Film Surabaya 1974 ia terpilih sebagai sutradara terbaik ke 2, tetapi selanjutnya ia sibuk membuat film yang semata-mata memuaskan produsernya. Ia terkenal sebagai pembuat film serial ATENG. Tidak semua film itu lucu meski menghasilkan uang. Meski ia sering membuat film dengan mutu rendah, ia teman yang baik untuk ngobrol tentang film yang serius.

"Kita harus berontak pada produser. Jangan beri kesemptan, pada mereka untuk mendikte kita". --Teguh Karya, dalam ceramah di TIM 29 Maret 1975. *** JAUH sebelum ia mengucapkan kalimat tersebut, Teguh Karya, 37 tahun, telah menembakkan pemberontakannya ke langit film Indonesia. Sukses dengan film Cinta Pertama di tahun 1974, ia serta-merta mendapatkan tawaran dari berbagai produser.

Tapi cerita yang akhirnya muncul di layar lebar adalah hasil pemberontakan sang sutradara. Kematian tetap mengakhiri film Ranjang Pengantin. Namun kematian dalam cerita itu akan tetap lebih rombengan, seandainya selera produser yang dipraktekkan Teguh. Mengikuti kehidupan perfilman sejak tahun 50-an - sebagai pemain maupun asisten sutradara--Teguh nampaknya memang orang yang pantas untuk mengobarkan sebuah "pemberontakan". Ia tahu betul sejarah film Indonesia. Dengan panjang lebar ia bisa berkisah, betapa dulu di masa itu sutradara bukan cuma didikte oleh produser yang memiliki modal, tapi juga oleh para juru kamera. Teguh yang mematangkan diri melalui teater sejak awal tahun 50-an itu melalui ASDRAFI (Yogyakarta) dan ATNI (Jakarta), menanti cukup lama untuk mulai berdiri penuh di belakang kamera. Pesangon Tentara Ketika di tahun 1972 ia memutuskan untuk melangkah ke dunia film lewat film Wajah Seorang Laki-Laki, ia bukan satu-satunya yang bertekad penuh. Bersama dengan Teguh, sekumpulan orang juga telah siap dengan sebuah rencana baru. Mereka itu adalah seniman muda yang beberapa tahun terakhir terus-menerus bersama Teguh Karya dalam setiap kegiatan teater sang sutradara. Mereka inilah yang dulu secara teratur membina kelompok penonton teater di Hotel Indonesia, jauh sebelum Taman Ismail Maruki dibangun. Dengan menggunakan nama Teater Populer, Teguh dengan teman-temannya memang tidak berharap terlalu banyak. Mereka bertindak sebagai pembina selera penonton. Dan usaha mereka cukup berhasil, baik dalam membina penonton maupun dalam mematangkan anggota grup mereka.

Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, Riantiarno, Titik Qadarsih, semuanya menemukan bentuk melalui grup ini. Bersama dengan beberapa anggota lainnya, seniman-seniman itulah yang mendampingi Teguh Karya dalam melahirkan film-filmnya. Membuat film secara bergrup seperti ini memang bukan soal lazim di Indonesia, meskipun bukan pula barang baru. Di awal tahun lima puluhan, Usmar Ismail yang membangun Perfini, pada mulanya juga dengan cara bergrup. Dari Yogyakarta, pemuda-pemuda itu mendapatkan sejumlah uang dari pesangon mereka sebagai tentara yang diberhentikan dengan hormat. Modal yang konon jauh dari cukup itulah yang dimanfaatkan oleh almarhum Usmar Ismail, almarhum Surjosumanto, D. Djajakusuma Gayus Siagian, Soemardjono dan beberapa lainnya, untuk memulai suatu usaha film. Meskipun secara komersiil Perfini memang tidak sesukses perusahaan lainnya di masa itu, namun hanya dari Usmar dan kawan-kawanlah akhirnya lahir film-film yang betul-betul berkisah tentang manusia Indonesia dan soal-soal yang dihadapinya. "Semua itu karena kita dari semula sudah memiliki ide serta cita-cita yang sama", kata Soemardjono pada suatu kali. Dengan cita-cita serta ide yang sama, masing-masing orang memainkan peranan pada bidang yang berlainan, sembari saling isi mengisi. Kalau Gayus yang menulis skenario, Usmar yang menyutradarai, Soemardjono yang memadu gambar. Teguh Karya yang lama menjadi murid Usmar maupun Djajakusuma, nampaknya kini memanfaatkan kembali pengalaman dari guru-gurunya.

Kata Teguh Karya kepada Budiman S. Hartoyo pekan silam: "Riantiarno yang pemain, ia lebih jago menulis naskah dari saya". Karena itu Riantiarno selalu bersama Teguh menyiapkan skenario untuk film mereka. Henky Sulaiman, pemain yang juga tekun belajar penyutradaraan, oleh Teguh dianggap lebih tepat jadi produser. "Ia orang praktis", kata sang sutradara. Dan Henky sekarang memang lebih banyak sibuk mengurusi produksi. Slamet Rahardjo yang kini terkenal sebagai aktor, memenangkan piala Citra 1975 ini minggu lalu - ternyata juga punya kelebihan di bidang lain. Maka untuk produksi terbaru grup ini, Kawin Lari, Slamet bermain, tapi sekaligus juga bekerja untuk menciptakan set dekorasi. Cara kerja seperti ini tentu saja lebih praktis, efisien dan murah. Tapi lebih dari itu, team kerja macam ini lebih memungkinkan tercapainya hasil maksimal sebagai yang diinginkan oleh sang sutradara. Malahan mungkin justru pada sistim kerja bergrup inilah harus dicari salah satu tiang penyangga keberhasilan Teguh Karya. Pengalaman Usmar Ismail dan kawan-kawan barangkali bisa membenarkan dugaan ini. Tapi kenyataan yang ada di seputar dunia film Indonesia sekarang ini barangkali juga bisa ikut diperhitungkan. Jika soalnya cuma bakat atau ketrampilan saja, tentulah Wim Umboh atau Asrul Sani harus selalu bisa membuat film lebih baik dari Teguh. Tapi kedua sutradara itu, terutama Asrul, amat terbentur pada tiadanya kelompok kerja yang tetap.

Setiap membuat film bertemu lagi dengan orang baru. Dan ini tentu memerlukan penyesuaian dengan cara kerja serta selera sejumlah besar orang yang terlibat produksi. Kasusnya akan menjadi berat jika bersamaan dengan penyesuaian itu sutradara masih pula harus ikut memikirkan segala tetek bengek produksi, sebagai yang lazim terjadi pada Wim Umboh. Turino, Niko Tentu saja harus dibedakan grup macam Teguh Karya dgan para pekerja yang secara tetap bersama Turino Djunaedi. Dari semula Teguh membentuk grupnya memang dengan tumpuan artistik dan ide-ide, sedang Turino dari dulu hingga entah kapan, melihat film terutama sebagai barang dagang. Maka selain barangkali soal bakat, Turino yang terkenal mempunyai organisasi yang rapi itu nampaknya tidak bakal membuat film seperti Teguh. Tidak serapi dan seketat grup Teguh, adalah grup yang bersama Niko Pelamonia. Sutradara didikan ATNI ini juga tergolong pembuat film yang lumayan. Dalam beberapa hal, ia mempunyai latar belakang yang tidak jauh berbeda dengan Teguh. Pernah bersama-sama ATNI, Niko ini juga mendapatkan kesenangan tersendiri dalam membuat film yang baik. Maka selain berselera cukup tinggi, ia juga mendapatkan pendidikan khusus tekhnik film di Jerman Barat. Karena itu ia mempunyai hak untuk mengeluh sembari berkata: "Pengetahuan elementer tentang film saja belum banyak diketahui oleh 91 sutradara anggota KFT". Tapi untuk sementara Niko nampaknya masih tidak sebeba Teguh dalam membuat film, sebab grup Niko berhimpun di sekitar sebuah perusahaan. Dan itu tentu saja harus secara langsung memperhitungkan soal laba-untung.

Teguh yang hidup dan bergiat pada sebuah sanggar sederhana -- dibeli dari pesangon otel Indonesia dan Honorarium main di TIM bersama teman-temannya dengan bebas bisa lebih memusatkan segalanya pada soal-soal artistik. "Kami biasa menderita. Pernah tiga bulan kosong tanpa rejeki", kata Slamet Rahardjo yang pernah jadi kasir grup itu selama 4 tahun. Terlalu menekankan keberhasilan Teguh pada kelompok kerjanya rasanya juga agak menyederhanakan persoalan. Bujangan, yag telah melewatkan dua pertiga hidupnya dalam pentas dan kemudian film itu, sesungguhnya tidak terlalu mengherankan jika sanggup menciptakan film-film sebagai yang klni dapat disaksikan. Ter kenal mula-mula sebagai aktor, Teguh yang kemudian menjadi sutradara itu ternyata mempunyai perhatian yang cukup luas. Ia seorang penata seni yang baik. Karena itu, baik pemanggungan maupun filmnya, semuanya hadir dengan rangkaian warna-warna yang serasi, dan manis. Pengalamannya yang lama di panggung itulah barangkali yang membawa Teguh pada kesimpulan ini: "Kita ini sebenarnya tidak punya tradisi menyajikan sesuatu hingga tamu betah. Kita bahkan tidak tahu bagaimana harus melakukannya". Dengan berkata begitu pada ceramahnya di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 29 Maret yang silam, Teguh sebenarnya berbicara tentang keterampilan pembuat-pembuat film kita.

Dalam hal ini ia berdiri sejajar dengan Turino Djunaidi yang juga bicara tentang "kurangnya ketrampilan", dan karena itu "perlu up grading" Alat Optik Jika ketrampilan melulu diukur dari kepandaian menggunakan peralatan yang sifatnya teknis, nampaknya pernyataan yang rendah hati itu memang benar adanya. Tapi sepanjang film tidak melulu dilihat sebagai suatu proses teknik dengan alat-alat optik serta perekaman suara, tentulah soalnya tidak dengan mudah dapat diselesaikan melalui serentetan kursus, santiaji yang kemudian dilanjutkan dengan pembelian alat-alat modern yang serba lengkap. "Dengan peralatan yang sederhana dan dengan tenaga yang ada, toh, Ranjang Pengantin bisa lebih lumayan", kata Teguh. Sambungnya pula: "Kita sering mengeluh, peralatan kita kurang. Lha Eisenstain atau Chaplin itu dulu pakai apa?". Dan kalau ditanya lebih lanjut, Teguh hanya melanjutkan: "Yang penting kan ide. Kreatifitas". Justru ide dan kreatifitas itulah yang kini langka dari dunia film Indonesia. Orang-orang yang lihai dalam memainkan kamera ataupun memadu gambar memang tidak kurang. Tapi sepanjang pendekatan mereka memang hanya pendekatan dagang, tentu saja yang lahir hanya film-film dagang dengan segala macam resepnya. Orang macam Nawi Ismail, bukannya tidak trampil. Tapi sutradara yang satu ini betul-betul terampil sebagai tukang. Ia terampil membuat sejumlah film, berdasar suatu pola yang dianggap sedang digemari para konsumen--menurut pengamatan para produser. Ide dan kreatifitas melulu juga belum modal yang memadai untuk menjadi sutradara.

Orang macam Asrul Sani atau Wahyu Sihombing kurang apa kalau diajak berembuk soal ide? Tapi mereka toh belum membikin film sebaik Teguh. Bahkan Sjuman Djaja yang sarjana film sekalipun, masih harus hormat pada Teguh, meskipun lulusan Moskow itu cukup hebat keinginannya. Yang barangkali pantas untuk disejajarkan dengan Teguh adalah Wim Umboh dan Hasmanan. Wim Umboh terampil dan mempunyai cukup ide. Tapi modalnya masih tetap kurang dari Teguh, yang secara serius menggauli seni peran dan penyutradaraan lewat akademi maupun belajar sendiri sejak lebih dari 20 tahun silam.'Kekurangan-kekurangan Wim dalam segi ide-ide, sayangnya, tidak jarang membuat sutradara mahal ini menjadi tidak otentik dalam karya-karyanya. Hasmanan adalah seorang intelektuil. Dengan sutradara dan bekas wartawan ini orang boleh bicara banyak tentang bukan cuma film. Ia tahu musik, sastra. politik dan berbagai abang seni. Ia membaca bukan cuma novel dan berhagai surat kabar, tapi juga tulisan para Cineast besar. Tapi Hasmanan bukan pemberontak macam Teguh, meskipun sebenarnya ia juga punya kebolehan untuk itu. Maka berbicara dengan Tasmanan akan memberi kesan lain dengan apabila kita berkesempatan menonton filmnya.

Ketika membuat film Hasmanan mendadak sadar, bahwa yang ia kerjakan adalah sejumlah besar uang yang dipertaruhkan produser. Dan ia pun kompromi. Soal kompromi alau tidak, dari dulu memang tema utama hubungan timbal balik sutradara-produser. Bukan cuma di Indonesia, tapi hampir di seluruh dunia. Film besar Kurosawa, Singgasana Darab, juga lahir lewat kompromi. Karya almarhum Usmar Ismail, Tiga Dara dan Asrama Dara juga hasil kompromi. Tapi kompromi dan kompromi tetap saja mempunyai banyak emas. Kompromi seorang Kurosawa terang berbeda dengan seorang Hasmanan. Kompromi seorang Usmar Ismail masih jelas lain dengan Wahyu Sihombing yang menampilkan Rudy Hartono dalam Matinya Seorang Bidadari. Dan mereka yang mengikuti kisah Teguh Karya mengenai sejarah pembuatan film Ranjang Pengantin akhirnya tahu juga bahwa Teguh pun tak luput dari kompromi. Tapi kompromi yang bagaimana dulu? Pelacur Itu Dari pengalamannya berkompromi itulah rupanya Teguh Karya kemudian berani menyalahkan para sutradara yang membuat film jelek. "Jangan salahkan produser", katanya dalam ceramahnya. Dan untuk pernyataan yang nadanya membela produser, Teguh punya alasan. Pada kesempatan yang sama, ia mengisahkan pula bagaimana ia dengan cara yang cukup dingin mengajak seorang produser ke suatu restoran. Di sana. Kepada seorang pelayan wanita, yang harus bekerja karena harus menghidupi sejumlah anak, Teguh mengemukakan pertanyaan: "Kenapa anda tidak jadi pelacur saja?" Tentu saja sang pelayan jadi mendadak marah. Reaksi pelayan itu cukup bagi Teguh untuk membuktikan betapa tidak mudahnya seorang itu menjadi pelacur, meskipun bebannya berat. "Tokoh film saya, akhirnya tidak jadi pelacur", kata Teguh mengakhiri kisahnya.

Bagi Teguh, para produser itu tidak tahu apa-apa tentang film. "Mereka cuma punya uang, lalu melihat film sebagai tempat yang menguntungkan". katanya. Karena itu, Teguh menaruh sebagian besar tanggungjawab pada pundak para sutradara. Sayangnya pundak hampir seluruh sutradara film Indonesia tidak semua mampu memikul beban yang mestinya mereka pikul. "A .B. film saja belum diketahui oleh banyak sutradara film kita", kata Teguh pula. Nah, kalau yang dasar saja belum becus, bagaimana pula harus bicara macam Teguh mengenai ritme, kesatuan dramatik, atau kondisi sosial? Teguh Karya bahkan berkata: "Seorang sutradara harus menguasai seni sastra, falsafah ilmu jiwa, seni rupa dan sejarah kebudayaan". Kalau begini, masih lama baru ada sutradara yang berkebolehan. "Sepuluh tahun iagi, pasti ada", kata Wim yang masih kelihatan optimis. Tak berarti kini tidak boleh dicoba Hanya jangan lupa: selama struktur kehidupan film Indonesia masih seperti sekarang, tak akan lahir sutradara besar. Selama kekuasaan modal dan campur tangan birokrasi terlalu banyak, kreatifitas itu akan tetap kurang nafas.


DARAH NELAJAN1965HASMANAN
Director
ROMI DAN JULI 1974 HASMANAN
Director
BING SLAMET SIBUK 1973 HASMANAN
Director
BING SLAMET SETAN DJALANAN 1972 HASMANAN
Director
SELALU DI HATIKU 1975 HASMANAN
Director
DANGER -KEINE ZEIT ZUM STERBEN 1984 HELMUT ASHLEY Adventure Director
MAWAR JINGGA 1981 HASMANAN
Director
ANNA MARIA 1979 HASMANAN
Director
DANG DING DONG 1978 HASMANAN
Director
TJINTA DIUDJUNG TAHUN 1965 HASMANAN
Director
ATENG BIKIN PUSING 1977 HASMANAN
Director
ATENG PENDEKAR ANEH 1977 HASMANAN
Director
ATENG SOK AKSI 1977 HASMANAN
Director
PEMBERANG 1972 HASMANAN
Director
LEMBAH HIDJAU 1963 HASMANAN
Actor Director
ATENG SOK TAU 1976 HASMANAN
Director
ATENG THE GODFATHER 1976 HASMANAN
Director
BERMALAM DI SOLO 1962 HASMANAN
Director
DIA BUKAN BAYIKU 1988 HASMANAN
Director
RATNA 1971 HASMANAN
Director
SEMUSIM LALU 1964 HASMANAN
Director
PERCERAIAN 1985 HASMANAN
Director
KE UJUNG DUNIA 1983 HASMANAN
Director
WANITA SEGALA ZAMAN 1979 HASMANAN
Director
TIADA JALAN LAIN 1972 HASMANAN
Director
BUNGA PUTIH 1966 HASMANAN
Director
SAMIUN DAN DASIMA 1970 HASMANAN
Director
AKU CINTA PADAMU 1974 HASMANAN
Director
TAK SEINDAH KASIH MAMA 1986 HASMANAN
Director
MEKAR DIGUNCANG PRAHARA 1987 HASMANAN
Director
KEMILAU KEMUNING SENJA 1980 HASMANAN
Director
DIMANA KAU IBU 1973 HASMANAN
Director
MUTIARA HITAM 1967 HASMANAN
Director
ROMANSA 1970 HASMANAN
Director
MARIA, MARIA, MARIA 1974 HASMANAN
Director

DIMANA KAU IBU / 1973



FULL MOVIE

Linda (Lenny Marlina) melahirkan bayi hasil hubungan gelap dengan pacarnya, Alex (Andy Auric), yang meninggal karena kecelakaan. Untuk menyembunyikan aib, ayah Linda meminta adiknya agar merawat dan membawa bayi Linda ke Cirebon. Kepada Linda sendiri dikatakan bahwa bayinya meninggal. Bayi yang kemudian bernama Yatim (Rano Karno), mendapat perlakuan buruk dari pengasuhnya. Uang yang dikirim ayah Linda untuk merawat Yatim, dikorupnya, hingga ayah Linda marah ketika adiknya minta uang lagi. Linda yang mendengar percakapan itu lalu bertanya. Ayahnya menceritakan keadaan sesungguhnya. Maka Linda pergi ke Cirebon menjemput anaknya. Di kota itu, ternyata Yatim sudah kabur karena tak tahan perlakuan perawatnya. Yatim ke Jakarta untuk mencari ibunya. Ia lalu menggelandang dan jadi tukang semir sepatu. Seorang penjual mainan anak-anak yang mendengar siaran radio mencari anak hilang, lalu menganjurkan Yatim menemui orangtuanya. Yatim menolak, dan malah ketabrak mobil. Pertemuan terjadi di rumah sakit.




NEWS
29 September 1973
Mencari seorang ibu






SUKSES dengan film Pemberang, sutradara Hasmanan muncul kembali dengan drama sosial. Di mana Kau Ibu. Tontonan yang berkisah tentang nasib bayi yang dipisahkan dengan ibunya sejak lahir ini, menarik untuk dilihat sebagai akibat dari suatu sikap hipokrisi seorang terpandang. Linda (Lenny Marlina) mendapatkan bayi di luar hubungan yang direstui ayahnya (Kusno Sujarwadi). Tapi jika toh hubungan itu direstui, bayi nan malang itu tetap saja mendapat musibah, sebab lelaki yang meniduri Linda telah pula meninggal sebelum sang bayi lahir. Minggat. Ditulis oleh Narto Erawan -- penulis skenario untuk film Perkawinan karya Wim Umboh -- skenario yang ceritanya disusun oleh team PT Rapi Film itu sendiri, kemudian berkisan tentang penderitaan Yatim (Rano Karno) -- nama sang bayi -- yang terdampar dalam tangan salah seorang keluarga ibunya. Kurang terang bagi penonton, berapa jauh alasan bagi nyonya Yusuf -- yang merawat Yatim dari masa bayi -- untuk bertindak bengis kepada anak malang itu. Tapi yang jelas. Yatim kemudian minggat, tepat pada saat ibunya mendapatkan kepastian masih hidupnya bayi yang pernah ia salurkan.

Hidup bebas yang lebih keras bermula di sini, di kota Jakarta, setelah dengan truk gandengan, Yatim meninggalkan Cirebon. Hidup bergelandangan, makan dari upah menyemir sepatu, Yatim juga bersahabat dengan pak Kosim (Alam Surawijaya) yang bijaksana. Tidak ada usaha yang sanggup mempertemukan anak yang hilang dengan ibu yang malang, kecuali tabrakan mobil yang nyaris disertai tabrakan maut. Berbeda dengan film Ratapan Anak Tiri Hasmanan hampir tidak mempergunakan air mata untuk memancing barang yang sama. Melalui jalan cerita yang memang tragis itulah ia berharap menggiring simpati para penonton kepada Yatim. idak semua usaha itu gagal meskipun juga tidak seluruhnya berhasil. Berlainan dengan Pemberang yang kisahnya lebih sederhana dan kompak, drama sosial macam Di mana Kau Ibu ini memang memerlukan ketelitian dalam penyusunan jalinan skenario sehingga kejadian yang saling berhubungan itu bisa pula saling mendukung. Untuk memberi alasan bagi Yatim minggat, misalnya, sudah seyogiayanya tekanan harus cukup berat di rumah keluarga Yusuf. Tekanan itu memang lebih dari hanya cukup, tapi dasar untuk kebengisan demikian yang nampaknya kurang diperhatikan Narto Erawan.

Kurangnya penggambaran bagi kegiatan Kusno juga mengurangi motif bagi keputusannya mengasingkan Yatim. Skenario. Dengan kekurangan-kekurangan kecil pada skenario, menggembirakan untuk menyebut bahwa film terbaru PT Rapi Film ini tidaklah terjatuh pada jenis tontoltan-tontonan murah yang dengan modai kecil berharap memeras banyak air mata. Sebagai sutradara, Hasmanan memamerkan kebutuhannya akan penulis skenario yang baik. Dan nampaknya kesempatan demikian tidak ia temukan dalam film terbarunya ini. Usahanya relakukan perbaikan-perbaikan setempat memang banyak menolong, tapi toh secara keseluruhan belum sesukses ketika ia menyelesaikan Pemberang. Sambil memberi kesempatan kepada Hasmanan untuk berbuat lebih banyak dalam film mendatangnya -- Sorga Biru: skenario oleh Arifin C. Noer yang juga menulis skenario untuk Pemberang -- film Di mana Kau Ibu boleh tiba dengan menyenangkan di mata dan telinga. Kamer? yang dikerjakan dengan rapi oleh Haji Syamsyuddin, tiba ke layar melalui proses editing oleh Kassim Abbas. Kalau saja Kassim bekerja dengan konstan seperti pada bagian-bagian pertama, maka film yang musiknya disusun oleh Idris Sardi ini, tentulah akan lebih sempurna adanya. Dalam keadaannya yang sekarang produksi ke empat PT Rapi Film ini boleh merasa terhormat untuk berdiri di luar arus asal jadi yang kini nampaknya sedang digemari pembuat film-film nasional. Permainan yang diperlihatkan oleh Alam Surawijaya dan Rano Karno amat mengasyikkan, tapi ini jelas karena kedua tokoh itu saja yang dikerjakan dengan selesai dan rapi oleh Narto. Kalau saja Kusno Sujarwadi diberi kesempatan bergerak tidak hanya di dalam rumah, pastilah ia akan berbuat banyak pula. Salim Said

01 Maret 1975



Ekspor kok bisa ? 
TIDAK usah terkejut, tapi dunia lebih kenal Malaysia dari pada Indonesia dalam bidang film. Mendongkolkan memang, sebab Jakarta sudah menghasilkan hampir seratus film berwarna ketika Malaysia baru coba-coba bikin film, berwarna tahun silam. "Partisipasi dalam kegiatan film internasional membuat mereka dikenal di mana-mana", komentar seorang sutradara sembari mengacungkan buku International Film Guide edisi terakhir (di dalamnya ada tulisan mengenai kegiatan perfilman Malaysia, Indonesia sempat dilupakan). Dan salah satu dari partisipasi itu konon pula lazim dikenal sebagai festival. Bercerita Gope Samtani: "Hampir semua festival film mengundang kita. Tapi para produser Indonesia tidak pernah menggubris undangan demikian". Booker dan importir Nurli Medan ikut bicara: "Produser kita ini gantang terhadap perfilman luar negeri. Lagi pula ongkosnya tidak kecil, sementara mereka yakin film-film Indonesia tidak bakal mengalahkan film-film using". Nurli itu tidak cuma membela produser film Indonesia, sebab kemudian ia juga bicara tentang festival yang tidak sekedar pameran mutu. "Pertemuan para produser dalam peristiwa demikian bisa menjadi awal dari serentetan transaksi", katanya pula.

Apa yang dikatakan Nurli nantpaknya luga disetujui ketua PPFI, Turino Djuneidi. Meskipun belum terdengar berita kapan Turino sendiri berhasrat ikut festival film internasional (kecuali tingkat Asean dun Asia), tapi ia sempat juga mendesak Gope (PT Rapi Film) untuk turut ramai pada festival kelima International Film Festival of India. Maka berangkatlah Gope akhir tahun silam untuk menyertai, pesta film yang berlangsung di New Delhi dari tanggal 30 Desember hingga 12 Januari. Dua produksinya ia sertakan: Romi dan Juli serta Di Mana Kau Ibu? Yang pertama tidak terpilih untuk dinilai para juri, yang satunya sempat bersaing dengan film-film dari 31 negara. Bukan main. Orang-orang India tidak tanggung-tanggung memilih juri. Sutradara terkemuka India, Styajit Ray sebagai ketua, dan anggota-anggotanya adalah Bert Hanstra (Belanda), Frank Capra (Italia), Oleg Tabakov (Rusia), Nagisa Oshinta (Jepang) serta beberapa tokoh film dunia lainnya. Film-film yang ikut serta juga bukan film sembarangan. Dari film-film Kuba, Mesir, Eropa Timur hingga karya Coppola sampai Fellini. Dan kalau begini, sudah jelas Indonesia tidak kebagian apa-apa. Tapi Gope Samtani tidak perlu kecewa. Selain sempat bertemu muka dengan Gina Lolobrigida serta sempat berfoto dengan Perdana Menteti Indira Gandhi. Gope juga tidak pulang hampa tangan. "Saya pulang dengan uang hampir sepuluh ribu dollar Amerika", begitu ia bercerita bangga.

Selain berhasil merundingkan suatu rencana produksi bersama dengan India ia juga berhasil menjual filmnya untuk Afrika Utara. Afrika Barat, Timur Tengah, Amerika Latin, India Barat serta India. Nah yang terakhir ini yang betul-betul bikin bangga Gope. "Anda, taliu, India tahun 1973 dun 1974 tidak mengimpor satupun film using", begitu is menerangkan arti transaksinya dengan India. Ketika Inportir India (semi penterintah dun satu-satunya badan yang bertanggung jawab memasukkan film asing) menawar film Di Mana Kau Ibu? Gope langsung menilpon Jakarta. "Berapa harga yang harus kita buka", tanyanya kepada saudaranya, Samtani yang lebih tua. "Kalau perlu, gratispun boleh, asal mereka mau putar film Indonesia", jawaban Jakarta. Eh, lakunya 4500 dollar Amerika. "Lebih dari lumayan", sambung Gope pula. Sovexport Soal memberikan film dengan gratis macam jawaban yang diterima Gope dari Jakarta itu, memang bukan hal baru. Sebelum film-film Mandarin sanggup menembus pasaran Eropa dan Amerika maupun Afrika, produser-produser Hongkong itu secara gratis menyerahkan kopi-kopi film mereka untuk diputar di berbagai penjuru dunia. Ketika penonton sudah mulai kecanduan silat dan Kung Fu, nah, baru mereka pasang harga. Kepada Gope, Mr Velodia, Presiden Sovexport (Rusia) juga menjelaskan soal yang sama ketika mereka bertemu di New Delhi. Kata, orang Rusia itu, "banyak film India tahun ini bakal memasuki pasaran Uni Soviet. Tapi film-film itu belum menghasilkan uang". Lulu untuk apa? "Yang penting", tambah orang Rusia itu pula, "adalah mempersiapkan suatu masyarakat untuk menerima suatu kebudayaan lain". Berapa jauhkah produser-produser Indonesia bersedia menanam modal untuk mempersiapkan suatu masyarakat untuk menonton film Indonesia? "Nampaknya masih belum bisa diharapkan dalam waktu dekat", kata Nurli Medan di kantor Giprodfin pekan silam, "Soalnya, mereka juga membuat film dengan memperhitungkan hanya Indonesia, Malaysia, Singapura sebagai daerah pemasaran", tambah Nurli pula. Konon kalau daerah pasaian itu bisa digarap dengan baik (kalau filmnya tidak jelek, tentu saja), untungnya sudah lebih dari lumayan. Karena itulah rupanya maka produser-produser Indonesia enggan meladeni seorang importir Australia yang kemampuannya baru pada tingkat menyewa film, sebab "membeli terlalu mahal untuk pasaran Australia". Importir yang bernama Max Millic itu tahun silam berhasil menarik banyak penonton untuk film Di Mana Kau Ibu? "Tapi sebagian besar keuntungan saya diserap pemilik bioskop", begitu Millie mengeluh bulan silam.

Kamis, 03 Februari 2011

MEKAR DIGUNCANG PRAHARA / 1987



Daniel (Ray Sahetapy), anak mami yang rusak karena terlampau dimanja, bahkan sampai dia beristri dan punya anak dua. Kerjanya hanya berjudi dan main perempuan. Istrinya, Dinar (Ida Iasha), pelayan toko diharapkan bisa mendewasakan Daniel. Ia gagal, lebih-lebih karena intervensi mertuanya (Nani Widjaja). Akhirnya Dinar memutuskan pindah rumah bersama dua anaknya dan bekerja. Daniel tetap tinggal bersama ibunya.

Di tempat kerja, Dinar mendapat perhatian khusus atasannya, Yudhawan (Deddy Mizwar), duda yang tidak punya anak karena dirinya mandul. Di tempat kerja ini pula intrik terjadi, lebih-lebih dari Monik (Putri Soraya) yang ingin mendapat perhatian dari Yudha. Monik akhirnya berhasil menjadi istri Daniel, setelah yang terakhir ini bercerai dan mendapat hak asuh dua anaknya. Monik yang punya motivasi sendiri, tentu tidak sabar menghadapi Daniel. Dalam sebuah pertengkaran Monik mati teraniaya. Maka Daniel masuk penjara dan Dinar bisa kembali berkumpul dengan anaknya.


PERCERAIAN / 1985



Tris (Chris Salam) dan Ayu (Ayu Azhari) sedang dalam proses perceraian, hingga kedua anaknya terombang-ambing. Ayah Ayu, Kakek (Zainal Abidin), yang berusaha merukunkan pasangan itu justru membuat konflik makin tajam karena kedua pihak sama-sama menginginkan memelihara kedua anaknya. Karena tidak sepakat, maka pilihan diserahkan pada anak-anak.

Kedua anak itu memilih minggat. Tentu saja semua jadi kelabakan. Waktu lapor polisi, sekali lagi Kakek marah. Kali ini kemarahan itu berbuah. Mereka sama-sama mencari ke tempat air mancur yang sering diceritakan Kakek yang membuat hubungannya dengan Nenek harmonis selalu. Di sana kerukunan keluarga kembali.

MENENTANG MAUT/ 1984

DANGER -KEINE ZEIT ZUM STERBEN
NOT TIME TO DIE
HI-JACKED TO HELL
MENENTANG MAUT
Disutradarai bersama HELMUT ASHLEY


Musibah terjadi di sebuah terowongan ICA, sebuah patungan usaha Indonesia-Jerman. Ledakan itu membuat sekitar 50 orang terkurung di dalamnya. Dalam usaha penyelamatan, seorang ahli dari Jerman memperagakan alat canggih, gabungan tenaga laser dengan gelombang ultrasonik, yang dapat mengebor segala jenis batu sekeras apapun. ICA memutuskan untuk mengangkut alat tersebut dengan pesawat terbang. Untuk menghindari sabotase dari saingan perusahaan ICA yaitu IMPEX, alat tersebut dikabarkan juga akan diangkut dengan Truk Mercy yang dikendarai oleh Ted, bekas juara rally di AS yang dibantu seorang insinyur Jerman, Heinz.

Penyelidikan pihak IMPEX, yang akan membajak alat canggih itu, mengetahui, peralatan yang asli diangkut dengan truk. Kelompok mereka mulai mengadakan pengejaran, tetapi berkat pengalaman Ted dan Heinz yang dibantu Vivi, usaha pihak IMPEX dapat digagalkan. Dalam waktu yang tepat Ted dan Heinz segera dapat menolong para korban yang nyaris tewas kekurangan oksigen dalam terowongan.

RAPID FILM GmbH
LISA
P.T. RAPI FILM
N.D.R.

KE UJUNG DUNIA / 1983



Lebih dari separuh film merupakan sorot balik. Dan tidak jarang sorot balik dalam sorot balik. Kisah dimulai dengan pertemuan Isna (Hanna Wijaya) dengan Rosadi (August Melasz) di Gajahmada Plaza. Lalu mulailah kenangan Isna selengkapnya saat bertemu dengan kekasih yang dicarinya sepuluh tahun lamanya. Pria ini menghamilinya saat bertugas ke Bali, dan tak pernah kembali, hingga Isna berjuang seorang diri, karena kemudian kedua orang tuanya meninggal merana. Ia kemudian ditolong oleh Subakti (Robby Sugara), polisi yang kemudian mengawininya, tapi sampai matinya tidak mendapat haknya sebagai suami, karena Isna tetap ingat Rosadi.

Isna sebenarnya sudah mulai berubah berkat bantuan psikolog Hasyim (Wahab Abdi), teman Subakti. Tapi maut keburu merenggut. Rosadi yang dijumpainya tak sengaja di awal film, ternyata sudah kawin dengan anak orang kaya, tempatnya memimpin perusahaannya. Isna diterima bekerja di situ, tanpa setahu Rosadi.

Rosadi yang mulai bosan dengan istrinya yang tidak memberinya anak, mulai menduga bahwa anak Isna, adalah anaknya juga. Untuk membuktikan bahwa dia memang ayah yang menyesal dan bertanggung jawab, maka ia bertindak saat anak itu diculik. Maka berkumpullah mereka, meski pada akhir film Rosadi sempat tertembak penculik.

KEMILAU KEMUNING SENJA / 1980

KEMILAU KEMUNING SENJA

 
Dokter Friska (Widyawati), ginekolog terkenal, gagal menyelamatkan nyawa pasiennya, meski anaknya selamat. Pasien itu ibu tiri Denon (Eddy Riwanto), mahasiswa yang sedang praktik dengannya, dan istri kedua Andi Bastian (Sophan Sophiaan), yang kurang memperhatikan keluarga dan hanya sibuk dengan pekerjaannya dan harus jadi duda dengan tujuh anak yang punya masalah sendiri-sendiri.

Sementara itu ia juga harus merawat Diah (Lenny Marlina), istri Victor (Awang Darmawan), kekasih Friska yang mengawini Diah karena desakan ibunya. Kandungan Diah tak bisa selamat. Dalam pemeriksaan selanjutnya terbukti bahwa Diah menderita kanker rahim. Sementara Victor berusaha mengembalikan hubungannya dengan Friska, Diah nekat hamil sebagai bukti cintanya pada Victor.

Bersamaan dengan itu, Friska yang yatim piatu sejak kecil, tersentuh melihat anak-anak Bastian yang bagai kehilangan induk dan merawat bayi Bastian, bila ada apa-apa, karena desakan Vivi (Dewi Irawan), anak Bastian juga. Vivi ini selalu datang pada Friska untuk mengadukan segala soalnya. Anak-anak Bastian ini membuat Friska sedikit demi sedikit terlibat jauh dengan persoalan keluarga. Anak-anak Bastian juga satu demi satu berubah karena Friska. Bastian yang merasa lelaki sukses, merasa gagal ketika Vivi hendak bunuh diri karena cinta. Ia juga mulai melihat bagaimana Friska berperan padanya. Ia mengajukan lamaran, tapi tidak selalu menghindar ketika melihat Victor yang juga memburu Friska, apalagi setelah Diah meninggal dan meninggalkan pesan yang merelakan Victor kawin dengan Friska. Friska tetap menolak Victor, dan akhirnya memilih Bastian dan ketujuh anaknya.
P.T. SANGGAR FILM

WIDYAWATI
LENNY MARLINA
AWANG DARMAWAN
SOPHAN SOPHIAAN
DEWI IRAWAN
FARAH MEUTHIA
EDDY RIWANTO
NENENG ALINA
RYAN HIDAYAT

ANNA MARIA / 1979


Kisah seorang penyanyi dan janda beranak satu, Anna Maria Larasati (Marini), yang hidup dalam alam cinta dan penyakit. Sepulangnya dari lawatan luar negeri, ia tetap berhasil di dalam negeri. Salah seorang pengagumnya, Johan (Robby Sugara), mantu orang kaya yang tak bahagia kehidupan rumah tangganya, berusaha mendekati, namun Anna Maria menolak. Akibatnya, Johan kecelakaan dan meninggal. Pada saat gawat seperti itu Budiman (Ratno Timoer), duda pengelola asrama, tempat anak Anna Maria, Boy (Ryan Hidayat) dititipkan, mencoba menghibur. Budiman yang sudah lama tertarik pada Anna menawarkan bantuan dan cinta. Pada saat cinta mulai bersemi, penyakit lama kambuh. Anna meninggal setelah mengeratkan tangan Boy dan Budiman.

MUTIARA HITAM / 1967

 

TJINTA DIUDJUNG TAHUN / 1965

 
 

SEMUSIM LALU / 1964

 

Karena seluruh hartanya diludeskan ayahnya di meja judi hingga keluarganya terlantar, Bambang Irawan pergi ke kota untuk mencari uang. Ia bekerja di perusahaan pemborong, hingga diangkat anak. Ia terlibat percintaan dengan anak gadis pemborong, dan juga gadis lain yang tinggal serumah. Hubungan ini membuat Bambang harus berhadapan dengan pemuda-pemuda nakal yang juga naksir anak gadis pemborong itu.
P.T. AGORA FILM

BERMALAM DI SOLO / 1962

 

Hartawan Mulyono mengutus anaknya Irawan (Bambang Irawan) ke Solo untuk menghadiri pembukaan pameran batik yang diselenggarakan oleh sebuah bank. Irawan datang bersama Tengku Daham (Hadisjam Tahax), sekretaris Mulyono, dan temannya, Ibrahim (Alwi Oslan). Meski direncanakan cuma sebentar, tapi jadi berkepanjangan, karena Ibrahim betah di kota itu. Karena kehabisan tempat di hotel, mereka menginap di rumah ny. Tjitrosuwarno (Wolly Sutinah), teman Mulyono, janda yang punya dua anak gadis, Endang (Rima Melati) dan Dewi. Sesudah jalan bersama itu, Tengku Daham tertarik kepada ny. Tjitrosuwarno yang janda, sedangkan Irawan kepada Endang. Cuma Ibrahim yang pulang ke Jakarta, walau masih diberi harapan oleh Dewi yang masih usia sekolah itu.

TIADA JALAN LAIN / 1972



Produksi PT Tunggal Djaya Film dan Spoon Brothers Film Co Hongkong. Ditarik peredarannya.

Sempat membuat ricuh organisasi film Indonesia yang menarik kembali rekomendasinya. Dan sempat dilarang beredar di seluruh Indonesia oleh Jaksa Agung RI dengan alasan bisa merusak kepribadian Indonesia, karena banyak menonjolkan kemewahan.

Roy Supit (Teng Kuang Yung) terpesona melihat Helen (Debby Cynthia Dewi). Begitu juga sebaliknya. Perkenalan dengan gaya malu-malu kemudian disusul langsung dengan adegan ranjang, bahkan Helen membuka baju dulu. Lamaran Roy pada orangtua Helen ditolak, karena tak cukup kaya. Roy nekad. Ia curi uang kantor dan lari bersama Helen. Maka mulailah adegan pelarian yang kisahnya tidak jelas arahnya hingga ke akhir film, karena yang dipentingkan adalah tontonan mobil mewah dan adegan jotosan.

P.T. TUNGGAL JAYA FILM
SPOON BROTHERS FILM CO.

DARAH NELAJAN / 1965

 

Setelah menjalani hukuman 10 tahun karena carok, Samsu (Bambang Irawan) membantu koperasi nelayan desanya. Namun kerja ini kemudian ditinggalkan karena tidak cocok dengan pemodalnya, seorang janda kaya cantik, Lukitaningsih (Tuty S.), yang ingin mengeruk keuntungan pribadi sebesar-besarnya dari koperasi nelayan itu. Akibatnya ia juga berselisih dengan pacarnya Pijah (Chitra Dewi) dan ayahnya, Misral (Kusno Sudjarwadi). Samsu lalu jadi nelayan.

Lukitaningsih kemudian mencoba membujuk dan mengalihkan perhatian Samsu dari koperasi ke karapan sapi yang memang salah satu keahlian Samsu. Melihat usaha majikannya, Dani (Manan Dipa) sopir Lukitanigsih merasa iri lalu menghasut Mahmud (Ishak Suhaya), yang memang mempunyai dendam lama terhadap Samsu. Sementara itu Misral dan Pijah sadar akan sikap Samsu, hingga koperasi diubah menjadi seperti yang diinginkan Samsu. Mereka akur kembali. Tinggal Mahmud yang jadi permasalahan, apalagi Mahmud kalah dalam karapan sapi. Tawaran carok disambut dengan uluran tangan persahabatan. Carok tak jadi.

DIA BUKAN BAYIKU / 1988



Darmanto (Rano Karno) dan istrinya Marini (Marissa Haque) berangkat ke Malaysia, karena Darmanto menjadi dosen tamu. Marini yang waktu berangkat sedang hamil muda, akhirnya melahirkan di negara jiran itu. Ternyata bayi yang dilahirkan itu tertukar dengan bayi pasangan Malaysia, Lukman (H.A. Tajuddin) dan samina (Noreen Noor). Peristiwa ini ketahuan saat bayi Darmanto-Marini harus dioperasi karena kelainan ginjal. Lukma-Samina tentu saja tidak ingin bertukar bayi. Dengan bantuan berbagai pihak, masalahnya bisa diselesaikan.

Kisahnya diilhami oleh kasus nyata bayi tertukar yang bernama Dewi dan Cipluk. Lihat juga Semua Sayang Kamu (1989). Gabungan pemain Indonesia-Malaysia lagi. Hisyam A. Tajuddin dan Noreen Noor adalah pemain Malaysia.
P.T. KANTA INDAH FILM

ROMANSA / 1970

 

Karena ditolak orangtua pacarnya, Fatimah (Widyawati, karena belum punya kerja, Marzuki (Rahmat Kartolo) pergi ke kota mencari kerja. Akan tetapi ia malah masuk pelukan Tante Leila (Chitra Dewi), janda yang dibelanya waktu diganggu pemuda brandal. Karena Leila membuat hubungan Marzuki dengan Fatimah putus, maka Marzuki pergi dan masuk pelukan tante lain (Tuty S.). Setelah satu dua kali pelukan dan dekap di atas kasur, Marzuki kembali ke Tante Leila. Sementara itu ibu Marzuki membawa kabar dari kampung, Fatimah sakit keras. Marzuki pun pulang, tinggal Leila sendirian.

RATNA / 1971

 

Aida (Camelia Malik), yang ditinggal ibunya sejak kecil di Medan, datang ke Jakarta untuk menemui sang ibu. Ibunya menyembunyikan identitasnyadan mengaku bernama Tante Lili (Chitra Dewi), sambil menjelaskan bahwa ibunya yang bernama Ratna telah meninggal. Agaknya persembunyian itu supaya Aida tidak mencela ibunya yang kerjanya pergi malam hari dan pulang dini hari. Aida kemudian karib dengan Waty (Renny Asmara) dan Andi (Rachmat Kartolo), teman sekolahnya.

Andi ini hebatnya setelah tidur dengan Waty, bisa memacari dan meniduri Aida, waktu yang terakhir ini marah melihat “tantenya” di klab malam bermesraan dengan seorang pria, dan lalu pindah tidur di rumah Andi. Ketika “tantenya” sakit keras, Aida dan Andi dipanggil. Sang tante berterus terang bahwa dialah Ratna, ibu Aida. Giliran Andi yang kaget, karena telah meniduri Aida. Untung ayah Andi, Arifin (A. Hamid Arief) datang juga dan kaget ketemu istrinya yang sudah lama terpisah entah karena apa. Arifin menjelaskan bahwa Andi adalah anak pungutnya.

P.T. CHITRA DEWI FILM

RACHMAT KARTOLO
CAMELIA MALIK
RENNY ASMARA
CHITRA DEWI
ENTENG TANAMAL
A.N. ALCAFF
A. HAMID ARIEF

22 Januari 1972
Kebetulan, ratna

ALANGKAH nikmatnja hidup didunia ini andaikata seperti kebanjakan kisah dalam film-film Indonesia. Bajangkan misalnja djika kebetulan terdjadi peristiwa matjam ini: seorang jang merasa tidak berajah dan beribu lagi pada suatu malam terpaksa harus mendapatkan sebuah kamar untuk merebahkan diri.

Tiba seorang jang kaja dan baik budi memberinja tempat tidur, malahan ternjata adalah ajahnja jang sedjak ketjilnja tidak pernah dilihatnja. Lebih istimewa lagi djika kemudian terbukti bahwa orang jang ditinggalkannja sebelum bertemu dengan ajahnja itu tidak lain dari ibu kandungnja sendiri. Bajangan serba kebetulan matjam ini ternjata tidak sukar ditjari. Dengan menggunakan lajar lebar dan tatawarna, sebuah film telah disiapkan oleh sutradara Has Manan bagi mereka jang suka datang kegedung bioskop. Soal apa jang menjebabkan terpisahnja ibu dan ajah itu, tidak begitu penting nampaknja bagi penulis skenario film ini.

Dan para penonton sebaiknja mengalah, untuk menerima sadja suatu kisah jang serba kebetulan. Film Ratna jang diangkat dari komik Zaldy itu mengetengahkan Chitra Dewi sebagai Tante Lili jang mendjanda sedjak lama tapi toch hidup mewah. Gadis Aida (Camelia Malik) jang datang dari Medan sesungguhnja anak kandungnja sendiri. Hubungan itu di rahasiakan, karena prihidup sang tante jang suka keluar malam. Randjang. Ada djuga pemuda jang bernama Andy Arifin (Rachmat Kartolo). Karena Andy berteman dengan Wati jang kebetulan teman kuliah Aida, maka tidak kebetulan djika Andi dan Aida mengikat hubungan. Jang lebih kebetulan adalah bahwa nona Aida ini sesungguhnja putri tuan Arifin (A. Hamid Arief) jang mengambil seorang anak berumur 5 tahun sebagai anak angkat sambil diberi nama Andy.

Semua ini kemudian baru menbdjadi djelas ketika Sang tante mendekati achir hidupnja disebuah randjang rumah sakit. Dari sebuah kisah jang dilupakan udjung pangkalnja ini memang repot di buat sebuah film jang bisa dimengerti. Dan seorang sutradara jang buma setia kepada semangat dan kemauan si empunja tjerita, paling djauh memang hanja mentjapai film seperti ini. Andaikata Has Manan lebih tekun menggarap filmnja, tentulah kedataran jang makin menambah kebingungan itu tidak usah hadir. Misteri jang melingkupi Ratna, Aida dan Arifin sama sekali tidak terungkapkan setjara filmis, ketjuali melalui dialog pada achir tjerita. Tidak misalnja diusahakan perdjuangan batin Chitra Dewi jang hanja mengaku tante dan merahasiakan hubungannja dengan anak kandungnja sendiri.

Kurang terasa hasil tangan hasil tangan Has Manan dalam menundjukkan Rachmat Kartolo sebagai play boy, sehingga adegan tempat tidur Renny Asmara dan Rachmat achirnja tidak lebih dari usaha memperpandjang film sadja. Berlainan dengan film Jang Djatuh di Kaki Lelaki, maka dalam film produksi Giiprodfin ini djuru kamera Leo Fioole bekerdja sangat kurang tjermat. Semua adegan interior siang mendjadi gelap, sehingga diperlukan bantuan laboratorium untuk memperdjelasnja. Akibatnja selain kegelapan itu tidak bisa tertolong, warna film itupun mendjadi kebiru-biruan. Keadaan sedemikian itu ditambah pula dengan beratnja gerak kamera, sehingga sedikit sekali sudut-sudut pemotretan jang baik. Kalau editor Janis Badar bekerdja kurang teliti djuga, maka bisa dibajangkan mutu film itu. Jang menggembirakan dari film ini ialah: bahwa seorang bintang baru telah lahir: Camelia Malik. Pendatang baru ini bukan sadja tjantik, lebih dari itu, ia berbakat. Dalam tjerita matjam jang dipertontonkan dalam film Ratna ini sadja ia sanggup bermain baik sebagai anak jang inosen. Apalagi kalau ia mendapalkan tjerita dan skenario jang lumajan