Tampilkan postingan dengan label HENRY L. DUARTE / HENDRO SUDARTO 1941-1955. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HENRY L. DUARTE / HENDRO SUDARTO 1941-1955. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Februari 2011

HENRY L. DUARTE / HENDRO SUDARTO 1941-1955

HENRY L. DUARTE


Henry Lincoln Duarte alias Hendro Sudarto lahir di (Agana, Guam, Amerika Serikat, 2 September 1909)adalah seorang penulis dan sutradara film tahun 50an di Indonesia.

Selain aktif di dunia film Henry juga ikut serta dalam suatu group opera yang didirikan di Sidoarjo oleh A. Piedro, group opera ini di namakan Dardanella. Dardanella sendiri merupakan rombongan teater agung yang punya nama ketika masa colonial

Henry juga pernah mengerjakan perjalanan ke Siam, Burma, Sri Lanka, India dan Tibet yang di sebut Tour d'Orient bersama group operanya Dardanella. dalam perjalanan itu Dardanella menampilkan Tarian-tarian Indonesia seperti Serimpi, Budoyo, Golek, Jangger, Durga, Penca Minangkabau, Penca Sunda, tari-tarian Papua, Nyanyian Ambon dan Keroncong. tetapi dalam tour d'Orient mereka tidak memakai nama Dardanella melainkan The Royal Balinese Dancers.

Ketika mengadakan pertunjukan di India, Sin Po edisi 23 Desember 1939 menulis jikalau mereka mendapat pujian dari orang-orang terkenal di sana, seperti Rabindranath Tagore, Maharaja Baroda,Maharaja Patiala, Profesor Chaterjee, Jawaharlal Nehru, sampai di Mahatma Gandhi. Surat kabar amarita Bazar Patrika di Kalkuta, India, menulis: “Supple passionate and warm….which words are to poor express.” Surat kabar Madras Mail menulis: “An Excellent performance…”.

Henry juga pernah mengerjakan perjalanan ke Siam, Burma, Sri Lanka, India dan Tibet yang di sebut Tour d'Orient bersama group operanya Dardanella. dalam perjalanan itu Dardanella menampilkan Tarian-tarian Indonesia seperti Serimpi, Budoyo, Golek, Jangger, Durga, Penca Minangkabau, Penca Sunda, tari-tarian Papua, Nyanyian Ambon dan Keroncong. tetapi dalam tour d'Orient mereka tidak memakai nama Dardanella melainkan The Royal Balinese Dancers.
Ketika mengadakan pertunjukan di India, Sin Po edisi 23 Desember 1939 menulis jikalau mereka mendapat pujian dari orang-orang terkenal di sana, seperti Rabindranath Tagore, Maharaja Baroda,Maharaja Patiala, Profesor Chaterjee, Jawaharlal Nehru, sampai di Mahatma Gandhi. Surat kabar amarita Bazar Patrika di Kalkuta, India, menulis: “Supple passionate and warm….which words are to poor express.” Surat kabar Madras Mail menulis: “An Excellent performance…”.


KUSUMA HATI1951HENRY L. DUARTE
Director
SITI AMINAH 1951 HENRY L. DUARTE
Director
KEMBANG KATJANG 1950 HENRY L. DUARTE
Director
NUSAKAMBANGAN 1950 HENRY L. DUARTE
Director
SELENDANG DELIMA 1941 HENRY L. DUARTE
Director
BULAN PURNAMA 1953 HENRY L. DUARTE
Director
REMONG BATIK 1950 HENRY L. DUARTE
Director
KARINA 1954 HENRY L. DUARTE
Director
BAKAR TAK BERAPI 1954 HENRY L. DUARTE
Director
TIRTONADI 1950 HENRY L. DUARTE
Director
DJUDI 1955 HENRY L. DUARTE
Director
RODA DUNIA1950HENRY L. DUARTE
Director

KEMBANG KATJANG / 1950



Rd Mangundiputro (Noviar) yang kaya, menghentikan sekolah anaknya Sutiadi (Salmah), karena perempuan tempatnya di dapur. Sesudah istrinya (Sri Murniati) meninggal, Mangun kawin lagi dengan Srihati (Sudarmi). Mangun mewariskan hartanya pada Srihati saat tutup usia, namun Srihati mengembalikannya pada petani penggarap dengan imbalan yang tidak tinggi, agar mereka nantinya bisa memiliki tanah garapan itu.

WARNASSARI FILM COY

SITI AMINAH / 1951

 

Cinta segitiga dan musik jalanan (pengamen). Pemusik yang terpikat wanita lain, kembali ke isteri dan diterima lagi dengan baik. Padahal isteri ditinggalkan dalam kemelaratan, sementara suaminya bisa bermewah-mewah dengan wanita lain itu.
WARNA SARI
TAN & WONG

KUSUMA HATI / 1951




WARNASARI FILM COY

BAKAR TAK BERAPI / 1954



 
Biarpun sama-sama bekas pejuang, tapi lain Siman (letnan satu dengan julukan "Banteng Jember"), lain pula Suwandi (letnan dua, anak buah Siman). Suwandi dapat cepat menyesuaikan diri dengan keadaan dan masyarakat baru. Sebaliknya Siman sulit memasuki dunia baru, jadi pendiam. Keadaan tambah ruwet, karena Hartini, bekas kekasih Siman, telah jadi nyonya Suwandi. Baik Hartini maupun Siman menderita batin. Siman harus mengatasi hal-hal yang "tidak adil" di matanya.

BULAN PURNAMA / 1953



Pangeran Citra ingin menggantikan raja Basilam yang wafat. Citra mengancam permaisuri akan membunuh bayi yang akan dilahirkannya, bila seorang lelaki. Demi menyelamatkan Putera Mahkota, maka permaisuri menukar bayinya yang ternyata lelaki itu dengan bayi perempuan, dan diberinya nama puteri Amidra. Putera Mahkota dikirim ke pulau Talisajan oleh pak Taruk, atas permintaan permaisuri. Bayi itu dipelihara oleh pak Amir, saudara pak Taruk, yang memberinya nama Hasan. Setelah Hasan dewasa, dan mendapat tahu dari pak Amir siapa dia sebenarnya, Hasan berangkat ke kerajaan. Dibantu pak Taruk yang menjelaskan siapa Hasan, maka rakyat berbondong memberi dukungan. Citra dijatuhkan, Hasan jadi raja, didampingi Amidra, yang sebetulnya cuma anak seorang menteri.

SELENDANG DELIMA / 1941


Henry L. Duarte adalah orang asal Guam yang sejak 1929, mengembara ke Singapura dan Jawa. Di Jawa ia memulai kariernya lewat perkumpulan sandiwara Fifi Young's Pagoda. Dikenal sebagai jago dansa.
STANDARD FILM

REMONG BATIK / 1950

 

Setelah jadi dokter, Sri Wahyuni (Sri Murniati) pulang ke kota asal. Anak RM Hadisunaryo (Ali Bey) itu merawat Bu Lasmini (Wolly Sutinah), bagai ibu kandungnya, padahal Lasmini adalah ibu temannya, Sedyaningsih (Ratna Ruthinah). Ia minta nasehat pula dari dokter ahli Effendi (A. Thys) dari Semarang, yang ternyata bekas suami Lasmini. Ketahuan pula bahwa Sri Wahyuni itu adalah Sedyaningrum, adik Sedyaningsih. Sri itu diselamatkan oleh Hadisunaryo dalam sebuah kecelakaan mobil, sementara Lasmini dan Effendi menganggap anak itu hilang. Barang bukti bahwa mereka kakak beradik adalah sebuah remong batik (kain pembungkus bayi) bermotif serupa yang disimpan oleh Lasmini maupun Hadisunaryo.

KARINA (Gadis Penasaran) / 1954

KARINA
(Gadis Penasaran)

Suhardi (Ismail Saleh), pegawai kantor pos Cipanas, dipindah ke Jakarta. Karena dianggap bersalah, ia "dibuang" ke Irian. Terpaksa istrinya (Djoewariah) bekerja sebagai penyanyi di radio. Karena kesehatannya ia lalu pulang ke Cipanas bersama adiknya, Resna (WD Mochtar). Sesudah sang istri meninggal, Suhardi kembali, sedang anaknya, Karina (Atikah) diajak ngamen oleh Resna yang penjudi. Selanjutnya Karina hidup sebatang kara, karena Resna ditangkap polisi. Untung ada keluarganya yang mengambil Karina dan memeliharanya hingga dewasa (Sri I. Uniati). Karina bernasib baik: mendapat jodoh hartawan dan menampung ayahnya.

TIRTONADI / 1950

 
 
 
Setelah mengetahui bahwa anaknya Sujono (Noviar) menikah dengan gadis desa Sulastri (Sofia), Raden Mas Hendro memanggil Sujono dan mengawinkannya dengan Raden Ajeng Kusumaningsih. Kawin paksa itu tentu saja tidak membahagiakan Sujono. Apalagi laku Kusumaningsih tak mengenakkan, dan Sujono masih terus mengenang Sulastri. Gangguan batin menyebabkan Sujono terganggu jiwanya. R.M. Hendro menginsyafi kekhilafannya.

DJUDI / 1955

 

Dengan mengadakan show batik, Hazairin berhasil memikat koperasi batik di Pekalongan dan saudagar batik di Bandung. Di Bandung itu Hazairin juga berkenalan dengan seorang bandit besar, Jamal, dan Biduri, penyanyi dan penari. Akibat judi, Hazairin masuk penjara untuk empat tahun. Selama itu isterinya, Anisah, digoda oleh Rifai, petugas hukum. Anisah tetap teguh imannya. Karena memang punya latar belakang agama, Hazairin agak mudah kembali ke jalan yang benar. Didampingi isteri yang setia.

RODA DUNIA / 1950

RODA DUNIA
(Rahasia Telaga Warna)


Suwarno, pemuda desa Ciloto, telah bertunangan dengan Sutinah (Rd. Suhara Ningsih), gadis sekampungnya. Kemudian ia pergi ke Jakarta untuk bekerja di perusahaan pamannya, Suwiryo (Rd. Dadang Ismail). Di sini Suwarno terlibat asmara dengan Harum Cendana (Salmah), anak Suwiryo. Saat menengok kampung, Suwarno didesak menikahi Sutinah, karena telah hamil. Dalam kesempatan itu pula Sutinah mengajak Suwarno tamasya dengan perahu di Telaga Warna. Perahu mereka tenggelam. Sutinah meninggal, Suwarno selamat dan kembali ke Jakarta. Kemudian Suwarno dipanggil polisi dan diadili. Meski tak terbukti membunuh, Suwarno dipersalahkan karena tidak melaporkan kejadian itu. Ia dijatuhi hukuman penjara 10 tahun.