Tampilkan postingan dengan label ISMAIL SOEDARDJO 1976-1991. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ISMAIL SOEDARDJO 1976-1991. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Februari 2011

ISMAIL SOEBARDJO 1976-1991

 

Lahir Minggu, 07 November 1943 di Maos, Cilacap. Pendidikan : SLA, Sekolah Tinggi Publisistik (tingkat III), Kino Workshop LPKJ (1974).Sewaktu masih kuliah, dia pernah jadiburuh dan berdagang. Semenjak 1972jadi wartawan pada harian Abadi, laludiharian Pedoman, 1973 sampai awal1974. Dan sekarang menjadi wartawanlepas.Ismail mulai menyentuh film ketikabekerja sebagai anggota staff produksipada P.T. Umbara Film ditahun 197I untuk film "Pengejaran Ke Neraga". Bidang penyutradaraan mulai dijamahnya ketika dia membantu menyutradarai "Setitik Noda" (1973), sembari merangkap sebagai Penata Pakaian dan Juru Catat. Dia menjadi Sutradara penuh lewat film dokumenter "Beternak Ayam" (1975) dan "Ternak Lebah" (1975) yang skenarionya dia tulis sendiri.Film cerita pertama yang di sutradarai dan ditulis skenariOnYa "Remaja '76", menyebabkan Ismail memenangkan Piala Usmar Ismail untuk Sutradara Harapan Terbaik pada FFI 77. Kemudian dia menyutradarai "Binalnya Anak Muda" (1978).

TAKSI JUGA1991ISMAIL SOEBARDJO
Director
ANAK-ANAK BUANGAN 1979 ISMAIL SOEBARDJO
Director
BINALNYA ANAK MUDA 1978 ISMAIL SOEBARDJO
Director
BERCANDA DALAM DUKA 1981 ISMAIL SOEBARDJO
Director
PEREMPUAN DALAM PASUNGAN 1980 ISMAIL SOEBARDJO
Director
REMAJA 76 1976 ISMAIL SOEBARDJO
Director
SUMPAH KERAMAT1988ISMAIL SOEBARDJO
Director

NEWS
Mengapa "Harapan" FFI Menghilang?

PUNCAK Festival Film Indonesia (FFI) 2008 Bandung berlalu sudah. Ternyata, peringkat "pemain harapan", tak pernah lagi hadir. Penerima gelar Aktor/Aktris Harapan atau Pendatang Baru Terbaik, selama ini tenggelam di balik pamor pemenang Piala Citra. Padahal, di awal kembalinya festival film (FFI 1973 Jakarta), kedua penghargaan itu menyatu ke dalam gelar Aktor/Aktris Harapan Pendatang Baru Terbaik, yang diberikan kepada Arman Effendy ("Mereka Kembali") dan alm. Tanty Yosepha dari film "Seribu Janji Kumenanti".

Kemenangan mereka, bahkan dihargai dengan Piala Citra. Sayangnya, tak pernah terdaftar dalam deretan para pemenang lambang supremasi perfilman nasional itu ("PR",7/12). Tidak setiap FFI pula, dewan juri memberi anugerah untuk insan film yang dinilai prospektif itu. Dalam FFI Surabaya (1974), Medan (1975), dan Bandung (1976), gelar pemain harapan itu absen. Di Bandung justru muncul predikat Aktor/Aktris Pendatang Baru Terbaik, yang dimenangi Enteng Tanamal dari film "Jangan Biarkan Mereka Lapar" (Christ Pattikawa), dan Marini dalam film "Cinta" karya alm. Wim Umboh.

Berselang tiga kali FFI sejak 1973, Roy Marten terpilih jadi Aktor Harapan (1977) dari film "Sesuatu yang Indah" (Wim Umboh). Meski tidak ada penerima aktris harapan, namun Ismail Soebardjo bergelar Sutradara Harapan Terbaik (film "Remaja ’76"). Itu gelar "langka", yang tak pernah berulang lagi di pentas festival film. Di Ujungpandang 1978 pun, hanya terpilih Aktor Harapan untuk Rachman Arge (film "Jumpa di Persimpangan"). Pasangan gelar Aktor/Aktris Harapan, muncul lagi di FFI 1979 Palembang, yang diraih Alan Suryaningrat ("Pengemis dan Tukang Becak"), dan Nur ’Afni Oktavia dalam film "Pulau Cinta". Amak Baljun dari film "Janur Kuning" (alm. Alam Rengga Surawidjaya), dan Farah Meuthia dalam film "Yuyun" karya alm. Arifien C Noer, merebut gelar tersebut di FFI 1980 Semarang.

Mencermati kilas-balik FFI dalam penetapan gelar harapan, terkesan menggelikan di FFI 1981 Surabaya. Seolah bimbang di antara peringkat aktor harapan dan pendatang baru terbaik! Hasilnya, Adi Kurdi yang tampil apik dalam film "Gadis Penakluk" (Edward Pesta Sirait) ditetapkan sebagai Aktor Pendatang Baru Penuh Harapan.

Kalau maknanya tak banyak berbeda dengan FFI terdahulu, kenapa gelar itu mesti berganti? Bahkan, bentuk hadiah harapan itu belum pernah baku. Seusai FFI 1973 menghadiahkan Piala Citra, penerima gelar itu berganti dengan piala khusus, seperti Piala Suryosumanto, Piala PWI Jawa Barat, serta Medali Emas Parfi. Sejak kebangkitan lagi FFI dalam kondisi kekinian, kategori harapan tak pernah mengemuka. Gelar keaktoran Adi Kurdi pun yang menjanjikan dengan "penuh harapan", hanya sekali itu saja terjadi.

Gemilang
Banyak kenyataan membuktikan, harapan di balik peringkat "harapan" itu, mampu berbuah prestasi gemilang. Pesatnya reputasi Tanty Yosepha, hingga melaju ke tingkat The Best Actrees versi PWI Jaya Seksi Film 1974, dari film "Suster Maria" (S.A. Karim), merupakan cerminan terpuji. Penerima gelar Aktris Harapan Pendatang Baru Terbaik FFI 1973 itu, menajamkan lagi suksesnya dengan gelar Aktris Terbaik FFI 1975 Medan, sekaligus berjaya di Festival Film Asia (FFA) ke-21 Jakarta, dari film "Setulus Hatimu" karya Arizal.

Tanty Yosepha penyanyi cantik bersuara melankolis, membintang dalam masa kejayaan perfilman nasional. Setelah pernah lama menghilang, kekuatan aktingnya masih berdaya saing dalam peraihan Piala Citra. Di FFI 1982 Jakarta, Tanty terjaring nominasi pemeran utama wanita terbaik dari film Dokter Karmila (Nico Pelamonia), namun tersisih kemenangan Jenny Rachman dari film Gadis Marathon (Chaerul Umam). Ismail Soebardjo sang Sutradara Harapan Terbaik FFI 1977, menguatkan pembenaran "harapan" dewan juri festival itu.

Terbukti, film karyanya kemudian, "Perempuan Dalam Pasungan", sukses menjadi Film Terbaik, dan menobatkan Ismail Soebardjo berkelas Sutradara Terbaik FFI 1981 Surabaya. Memang, tak semua pemenang harapan, mampu memperbaiki peringkatnya. Laju karier Arman Effendy (1973), Racman Arge (1978), Alan Suryaningrat (1979), Amak Baljun (1980), serta Adi Kurdi (1981), agaknya tidak terkembang secerah harapan. Reputasi Roy Marten menguat dalam perfilman, namun itu dicapainya sebelum bergelar Aktor Harapan (1977).

Sejarah bersaksi, Franky Rorimpandey sebagai Aktor Pendatang Baru Terbaik di film "Fadjar di Tengah Kabut" (Usmar Ismail) dalam Pekan Apresiasi Film Indonesia 1967, tak bisa melambungkan keaktorannya. Agaknya, peluang pemain pria tidak selicin artis wanita. Berbeda dengan alm. Suzanna sebagai Aktris Harapan (1960), dari film "Asrama Dara" (Usmar Ismail), yang secepat itu jadi bintang gemilang. Franky Rorimpandey melesat sebagai Sutradara.Terbaik dan membuahkan Film Terbaik ("Perawan Desa") di FFI 1980.

Pelengkap
Lain dengan Enteng Tanamal, Marini, dan Nur ’Afni Oktavia, yang kembali menggeluti profesinya semula sebagai pemusik dan penyanyi pop. Hanya saja Farah Meuthia, yang menghilang bersama kekuatan potensinya. Betapa pun, peringkat harapan tidak harus hilang dari FFI. Terlebih, karena penilaian sistem nominasi diterapkan sejak FFI 1979 di Palembang. Masih terbuka peluang bagi dewan juri, untuk memilih insan film yang memenuhi kriteria "harapan", dengan menjaring lagi pemenang di antara nama yang dinominasikan.

Namun, Alan Suryaningrat dan Nur ’Afni Oktavia (1979), ternyata masih saja nama di luar nominasi. Begitu juga dalam festival film berikutnya. Semasa PWI Jaya Seksi Film menggelar tradisi tahunan, pemilihan The Best Actor & Actress, konsisten menetapkan peringkat pemain harapan. Pada pergelaran pertama (1970), terpilih empat aktor (almarhum); Farouk Affero ("Noda tak Berampun"), W.D. Mochtar ("Kutukan Dewata"), Dicky Zulkarnaen ("Si Pitung"), dan Sandy Suwardi Hassan ("Nyi Ronggeng").

Predikat Aktris Harapan terbagi kepada Suzanna ("Bernapas Dalam Lumpur"), Chitra Dewi ("Nyi Ronggeng"), Widyawati ("Hidup, Cinta, dan Air Mata") dan Mieke Widjaya ("The Big Village"). Di putaran 1971, terjaring nama Rachmat Hidayat, alm. Maruli Sitompul, alm. Soekarno M. Noer dan Rima Melati. Setiap tahun, pemain harapan silih berganti, terkadang berulang dengan perbaikan peringkatnya. Tahun 1972, alm. Sophan Sophiaan berada di urutan keempat ("Perkawinan"), setara dengan Lenny Marlina ("Teror Tengah Malam").

Kejelian dalam memilih pemain harapan, menguat dengan prestasi Rano Karno sebagai Aktor Harapan I ("Rio Anakku" 1973), yang membawahi alm. Purnomo, alm. Kusno Soedjarwadi, dan Slamet Rahardjo ("Cinta Pertama"). Terbukti, Rano mampu bergelar Aktor Terbaik FFI 1990 dari film "Taksi" (Arifien C. Noer). Tak banyak lagi diingat orang, Christine Hakim pun pemboyong enam Piala Citra, berangkat dari prestasi Aktris Harapan II ("Cinta Pertama"), setelah alm. Fify Young dari film "Jembatan Merah" (1973).

Ini bisa dimaknai, predikat "harapan" bukan sekadar gelar pelengkap! FFI 1973 dan 1974 pernah memilih peringkat "terbaik II" bidang film, sutradara, aktor, dan aktrisnya, namun kemudian gelar itu lenyap. Tak jelas, dari jaringan nominasi saja tak pernah lahir pemenang harapan. Bahkan FFI 1980 Semarang memvonis tidak ada aktor terbaik di antara sederet nama yang dinominasikan. Tragis, aktor harapan pun luput.***
Yoyo Dasriyo, wartawan, pemerhati film nasional dan sinetron, tinggal di Garut.

Cerita angka, ffi 1977
Dari 27 film cerita yang ikut ffi 1977, 23 buah berkisah mengenai manusia kota bertempat di kota (85,1%) dan 4 buah mengenai manusia yang hidup di lingkungan desa (14,9%).

Penyair Taufiq Ismail adalah salah seorang juri dalam FFI 1977. Ia sejak lama "penasaran" tentang tuduhan bahwa film Indonesia "banyak sex", "tidak mencerminkan kenyataan Indonesia", "memamerkan kemewahan" dan semacam itu. Apa betul? Berapa persen yang begitu? tanya Taufiq dalam hati.

Maka sejak hari pertama penjurian ia bawa buku catatan dan menyiapkan satu sistem buat menghitung, seberapa jauh tuduhan di atas terbukti. Sehabis penjurian ia pergunakan mesin hitung (jangan lupa, dokter hewan ini pernah belajar statistik). Hasilnya ia terakan di bawah ini: DARI 27 film cerita yang ikut Festival Film Indonesia 1977, 23 buah berkisah mengenai manusia kota bertempat di kota (85,1%) dan 4 buah mengenai manusia desa dengan desa sebagai lingkungan (14,9%). Hampir seluruhnya mengenai kelas menengah (92,6%). Hanya dua film saja murni bercerita tentang petani di pedesaan (7,4%). Dari dua film selebihnya yang mengambil tempat di desa juga, sebuah (3,7%) para pelakunya berpindah ke kota, sedangkan satu lagi (3,7%) pada prinsipnya para pelakunya tinggal di desa saja walaupun pernah pindah ke kota dalam jangka waktu pendek. Film terakhir ini misalnya, berkisah tentang dua keluarga di desa: satu kelas menengah pernah tinggal di kota (orang kaya dengan sejumlah sawah, kebun dan ternak) dan satu kelas bawah (pedagang kopi di warung dinding bambu). Lambang Kekayaan Mobil Jerman Barat Mercedes-Benz sebagai simbol kekayaan mulai digeser oleh sedan mahal bikinan Swedia itu, Volvo Lima buah film secara menyolok memperlihatkan merek-merek mobil ini (18,5). Mercedes-Benz bersiluncur dengan sedapnya pada tiga film (satu di antaranya di jalanan desa tak beraspal, milik petani-peternak kaya itu), dan Volvo pada dua film. Pada dua film terakhir ini, Volvo terdapat lebih dari sebuah dan lebih dari satu warna, pada masing-masing film. Perabot Ukir Sebagai pertanda taraf ekonomi orang Indonesia yang tinggi baik juga disebut tentang perabot ukir. Pada 55,5% dari seluruh film (15 buah), atau 65,2 dari film yang ceritanya bermain di kota, nampak perabot ukir menjadi unsur penting dalam penataan artistik. Perabot ukir ini meliputi kursi dan meja tamu, kursi dan meja makan, lemari hiasan dan lemari pakaian. Lampu gantung berukir bergantungan di langit-langit. Pada sebuah rumah pelacuran nampak sampai tiga lampu gantung semacam ini masuk dalam frame. Sejalan dengan perabot ukir dan lampu gantung berukir ini juga hampir selalu digunakan bunga plastik dan permadani.

Bunga plastik tidak selalu tumbuh di rumah tokoll-tokoll Indonesia kaya saja, tetapi terdapat juga sebagai elemen penataan artistik di rumah tokoh yang tidak berada. Pada dua film (7,2%) perabot ukir sedemikian berdesak desaknya dalam adegan, sehingga kelihatan seperti toko meubel yang tak punya gudang atau rumah orang kaya Indonesia yang meluap nafsu pamernya. Pada kedua film tersebut penataan artistik semacam ini tidak lagi mendukung dramaturgi. Gejala Anak Tunggal 70,3% film menampilkan tokoh anak tunggal. Artinya tokoh pada 19 film adalah anak satu-satunya dalam keluarga. Baru pada 8 film selebihnya (29,7%) keluarga Indonesia itu beranak lebih dari satu orang. Dari film yang 19 itu, dua film (7,4%) menunjukkan dua anak tunggal dalam setiap filmnya, sedangkan satu film (3,7%) menampilkan empat anak tunggal. (Ceritanya begini: dua anak tunggal berpacaran, kawin dan beranak. Anaknya tunggal pula. Salah satu tokoh dalam plot cerita juga anak tunggal. Jadi ada empat anak tunggal dalam satu film). Bagaimana kira-kira keterangan wajah anak tunggal yang demikian dominan dalarn film kita ini? Anak yang banyak menyulitkan penulis skenario. Dia mesti mengarangkan dialognya, mengembangkan perwatakan mereka, menganyam mereka dalam jalinan konflik secara rapi, mengatur pengadeganan mereka, pokoknya repotlah. Kenapa mesti repot-repot amat? Anak Tunggal Sajalah Begitu juga dengan tokoh-tokoh tambahan lain, yang dari sudut pandangan produser menambah biaya saja. Biasa pula jadi korban adalah pembantu rumah-tangga. Demikianlah kita lihat pada 5 film (18,5%) ada keluarga Indonesia yang kelas sosial dan secara ekonomis berkecukupan, tetapi tidak ada pembantu atau babunya, tanpa alasan yang logis terjalin dalam alur cerita. Kehormatan Kelab malam muncul pada 52,1% film yang ceritanya berlangsung di kota (12 dari 23 film, jadi lebih dari separo). Di setiap adegan kelab malam selalu ada botol minuman keras dan hostess. Seperti di sasana tinju, kerja orang Indonesia selalu berantem di kelab malam.

Pada keenam film (22,2%) di mana diceritakan wanita Indonesia hidup ekonominya terdesak, Ibu Kita Kartini dipaksa untuk: menjual kehormatannya, menyanyi lantas menjual kehormatan, dan memijat di rumah mandi uap dan akhirnya menjual kehormatan juga. Tidak pada sebuah filmpun yang ikut FFI 1977 ini wanita Indonesia yang hidupnya secara ekonomis sudah terlampau kepepet, diberi jalan mencari nafkah dengan mati-matian menjahit, jualan gado-gado, jadi guru, makelaran barang perhiasan, mencuci pakaian orang, menyapu jalan raya, kerja di pabrik plastik, jadi buruh batik, atau kerja kasar lainnya. Semuanya ambil jalan pintas: jual kehormatan. Hubugan Kelamin Hubungan kelamin di luar pernikahan yang dinampakkan di layar putih terdapat pada 11 film, atau 40,7%. Dari 11 film itu, 5 film (18,5%) memperlihatkan adegan hubungan sex dengan pelacur dan bukan-pelacur, pada satu film (3,7%) dengan pelacur saja, dan pada 5 film (18,5%) melulu dengan bukan-pelacur. Dilihat dari jumlah peristiwa hubungan kelamin, maka terdapat 6 peristiwa hubungan kelamin dengan pelacur (37,5%) dan 10 peristiwa hubungan kelamin dengan bukan-pelacur (62,5%). Yang dimaksud dengan bukan-pelacur itu adalah kekasih, kenalan, babu dan isteri orang. Indikasi ke arah masyarakat permissive? Hubungan sex dengan yang sejenis dan masturbasi tidak ada. Kasus perkosaan tidak dicatat. Tokoh yang bunuh diri terdapat pada dua film (7,2%) dan yang mencoba bunuh diri tapi gagal atau digagalkan ada pada 4 film (14,4%). Tema dan Cerita Dilihat dari ceritanya, 20 film (74%) berjenis drama, 2 buah (7,4%) komedi, sebuah kisah kejahatan dengan suspense (3,7%), 3 buah cerita anak-anak (11,2%) dan sebuah lagi cerita anak-anak belasan tahun atau remaja (3,7%). Tiga dari 20 film drama tersebut merupakan film berurai air mata (15%). Enam buah di antaranya (30%) diramu dengan bumbu dan cabe sex yang kuat. Contoh dialog dari salah satu di antara film sex yang pedas itu: "barangmu itu masih mulus".

Nafsu berahi dikatakan "ngumpul di paha". Dan ketika tante syahwat itu berbaring-baring malas dengan pejantan sewaan di atas pasir pantai, dia mengelus lutut sang gigolo dengan tungkai kirinya seraya memuji "bulu maut" lelaki itu. Lingo di kalangan tante-tante sex umur 40-an adalah istilah ekonomi input untuk hubungan kelamin dan output untuk entah apalah itu. Contoh salah satu adegan Tante Sex (skenario Pitrajaya Burnama, sutradara Bay Isbahi): kamera menembak reproduksi Venus Boticelli, pelahan menggusur ke bawah dan Tuty S berbaring miring, pakaiannya dua potong tekstil hitam agak menerawang yang dinamakan orang pakaian dalam, dan di depannya anak belasan tahun (Rano Karno) melotot mempelajari topografi Tante Kita yang tidak berimbang komposisi hormonnya itu. Exhibisionisme untuk pendidikan sex? Dari 27 film ini cuma sebuah yang menggambarkan patriotisme (3,7%), yaitu mengenai penunaian tugas merebut Irian Barat (Semoga Kau Kembali, skenario dan sutradara Motinggo Busye). Yang dalam alur cerita memaparkan revolusi kernerdekaan dengan adegan pertempuran cuma satu juga 3,7%) yaitu Mustika Ibu (skenario Sufriamin Umar, sutradara Wisjnu Mouradhy). Namun kisah utamanya adalah perjalanan hidup seorang pengusaha, sebuah biografi sebenarnya seorang usahawan perkapalan Indonesia turunan Cina dari Nam An. Apakah film kita kehilangan tema patriotisme? Ya. Berjuang melawan tahayul adalah tema film Apa Salahku (skenario dan sutradara Sandy Suwardi Hasan), sebuah film drama berurai air mata, yang satu-satunya menggarap tema ini (3,7%). Tanpa berkhotbah mengenai modernisasi, tanpa pretensi mau jadi manusia moderen, Apa Salahku menggambarkan pertikaian di masyarakat desa yang masih membandel percaya pada kesialan yang dibawa sejak lahir paa seorang anak perempuan desa kecil, Faradilla Sandy. Drama satire satu-satunya (3,7%) Si Doel Anak Moderen, skenario dan sutradara Sjumanjaya, mencemooh pemuda pinggiran yang mau jadi pemuda ibukota (yang kepingin jadi "anak modern") dan juga mengejek habis-habisan orang Betawi keturunan Arab Hadramaut sekaligus orang-orang kampung yang karikatural itu.

Orang-orang kampung itu diberi Syumanjaya kopiah haji di kepala mereka. Pembukaan wilayah rimba raya Indonesia yang mengundang mesin-mesin baru nampak sebagai latar belakang pada sebuah film -(3,7o), skenario Arifin C. Noer, sutradara Wim Umboh, berjudul Sesuatu Yang Indah. SYI bertema kisah cinta segitiga-segiempat dua orang penerbang kakak-adik. Masalah manusia Indonesia dengan alam rimba raya yang perawan dan keras, dengan kerja menggali tambang dan kontak manusia dengan mesin-mesin baru serta konflik yang munkin timbul karenanya. tidaklah dipersoalkan dalam SYI. sebab tidak diangap Penting. Film anak-anak (11,2%) yang 3 buah itu berturut-turut mengenai penculikan anak orang kaya, fantasi jadi gubernur Jakarta selama satu hari dan perlawanan terhadap tahayul orang desa. Sebuah film remaja (3,7%) berjudul Remaja 76 (skenario Ismail Soebardjo dan Teguh Esha, sutradara Ismail Soebardjo) mengisahkan kehidupan biasa anak-anak remaja di sebuah SMA Jakarta. Alur cerita mendatar tetapi hidup dengan dialog yang segar, bukan bahasa-buku. Walaupun kisah drama dengan bumbu dan cabe sex banyak (30%), tetapi yang bertema kekerasan, hanya satu (5%). Orang biasanya menggandengkan kecenderungan sex dengan kekerasan. Film dengan tema cerita rakyat absen dalam festival ini (0%). Meskipun film-film kita ternyata urban (85,1%), tetapi tema yang diangkat dari masalah sosial di kota berpusu-pusu di sekitar soal terbatas benar: narkotika, kesulitan ekonomi (erat dengan jual kehormatan), cinta tidak sampai, otoritas orang tua pada anak. Masalah sosial yang aktuil seperti sulitnya mendapatkan kesempatan kerja, hancurnya industri kecil, krisis perumahan, berjangkitnya hama pertanian, kepadatan penduduk di pulau Jawa, mahalnya biaya pendidikan, untuk beberapa misal, belum dipetik jadi tema yang dikembangkan sebagai kisah manusia Indonesia. Produser tidak tertarik pada tema-tema ini? Betul. Film Dokumenter Ada sebuah film animasi dan 9 dokumenter.

Dari yang 9 ini 4 mengenai pembangunan fisik, 2 mengenai olahraga, dan berturut-turut masing-masing satu mengenai adat, bunga dan riwayat hidup pemimpin pergerakan nasional. Sembilan dari 10 film ini bertata-warna, dan sebuah hitam-putih, yaitu Ki Hadjar Dewantoro. Sehabis melihat segala yang gemerlapan dari entri festival, menyaksikan film hitam-putih dokumenter mengenai almarhum Ki Hadjar, saya jadi terpukau. Film itu secara teknis, miskin. Dengan teknik wawancara kita dibawa menyelusuri kehidupan pemimpin tua itu. Wajah Ki Hadjar yang kerut-merut, kurus, berkemeja katun itu mengingatkan kita bahwa pernah dulu ada di antara kita keteguhan cita-cita, keluhuran budi dan kesederhanaan hidup, yang kini begitu menipis di zaman kita ini. Adegan pemakaman alangkah mengharukan. Kolonel Soeharto, berbintang tiga, adalah inspektur upacara. Jenazah masuk tanah, semua mengusap mata: sebuah kesederhanaan telah dikuburkan. Lampu ruangan hidup kembali dan kita tercenung.

BERCANDA DALAM DUKA / 1981



Winarti (Nungky Kusumastuti)adalah anak angkat Dikun (WD Mochtar), lurah desa di Jawa Tengah yang sedang terkena gas beracun. Winarti yang dimusuhi ibu (Nani Widjaja), kakak tirinya,dan Yana (Joice Erna)hamil. Keadaan ini membuat Winarti semakin tidak disukai mereka. Puguh (August Melasz),suami Yana yang juga memperistri Rani (Indah Fajarwati)ikut membuat suasana semakin meruncing. Sahabat Winarti, si Bisu (Sant Laksana)menjadi korban keadaan,ia diusir dari desa itu karena dituduh menghamili Winarti. Sementara ayah Puguh Den Cokro (Rd Mochtar) diharuskan mempertanggungjawabkan keuangan koperasi.Oleh karena itu ayah Puguh berusaha menggulingkan Lurah Dikun dengan mencabut papan petunjuk gas beracun di desa itu, sehingga membahayakan penduduk. Akhirnya setelah terjadi tembak-menembak yang menewaskan Puguh, Bisu dan Winarti,pembantu rumah tangga Lurah Dikun membeberkan kejadian yang sebenarnya dan terungkap bahwa Puguh yang memperkosa dan menghamili Winarti.


P.T. GARUDA FILM
P.T. BHASKARA INDAH CINE FILM

SJAEFUL ANWAR
NUNGKY KASUMASTUTI
AUGUST MELASZ
NANI WIJAJA
W.D. MOCHTAR
JOICE ERNA
WINNY ADITYA DEWI
AUGUST MELASZ
INDAH FAJARWATI
RD MOCHTAR
WILDAN DJA'FAR
TORRO MARGENS

NEWS
21 Agustus 1982

Soal ilham dari seberang

PIALA Citra sudah dibagi-bagi. Dengan pukulan gong, Menpen Ali Murtopo menutup Festival Film Indonesia 1982 di Jakarta, Sabtu malam berselang. Glamurnya tidak berlebihan, atmosfirnya lebih sederhana. Kali ini, untuk menghargai orisinalitas cerita, disediakan pula sebuah Citra dimenangkan oleh Serangan Fajar. Dewan Juri sementara itu, dalam satu uraian singkat, merumuskan adanya peningkatan di segi teknik sinematografik dan kedalaman penggarapan isi cerita. Sampai di sini segala sesuatu nampak hampir memenuhi harapan. Padahal ada sebuah isu, dan tidak seorang pun yang berminat membicarakannya. Sutradara Nico Pelamonia misalnya kepada TEMPO berkata: "Itu 'kan kawan kita, orang flim sendiri. Jadi ya . . . bagaimana." Kawan kita yang dimaksud Nico tak lain dari Ismail Soebardjo, sutradara pemenang Citra 1981 dengan film Perempuan Dalam Pasungan (PDP). Tahun ini filmnya terbaru, Bercanda Dalam Duka (BDD), tercatat untuk beberapa unggulan. Tapi justru akhir Juli lalu BDD dituduh sebagai hasil jiplakan -- dari Homicide, produksi Hongkong 1973. Isu jiplak ini dilontarkan oleh sebuah harian di Ibukota. Akibatnya timbul heboh. PWI Seksi Film lantas memutarkan BDD dan Homicide di hadapan wartawan. Hal yang sama kemudian dilakukan KFT organisasi karyawan film, dalam forum lebih terbatas. Para penonton, agaknya, pada kesempatan itu memang sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi penjiplakan total. Habis tema dan penokohan mirip sekali. Juga beberapa adegan seperti pergumulan karena soal telur, penembakan oleh si bisu, dan obor-obor di pebukitan. Benar, BDD, yang waktu putarnya hampir dua jam, menampilkan tokoh sentral: Lurah Dirun.

Tapi, di samping penggarapan tokoh ini lemah, persamaan alur cerita kedua film bagaikan benang merah yang tidak terbantah. Tentang ini apa kata Ismail? Di rumahnya di kawasan Jelambar, Jakarta, Ismail Soebardjo, 39 tahun, mengakui BDD memang dipengaruhi Homicide. Tapi untuk film yang sama ia juga meramu gagasan dan bahan dari film dan buku lain -- tanpa menyebut judul-judulnya. Dikatakannya, dia memang terilhami oleh tokoh si bisu dalam Homicide. Tapi entah dengan maksud apa disebutkannya bahwa BDD merupakan pengembangan dari PDP, filmnya sendiri. Tuduhan menjiplak baginya terasa pahit. "Masyarakatlah yang akan menilai," ucapnya tertahan. Toh penjiplakan dinilai Ismail sebagai hal yang wajar. "Tidak ada yang murni, kecuali Allah," katanya. Dia tidak menyinggung soal persamaan adegan. Sebaliknya malah menegaskan: "Sepanjang yang lahir itu berbeda, itu adalah kreativitas." Tapi tidak hanya Ismail. Tuduhan menjiplak, meski tidak begitu gencar, juga ditujukan kepada M.T. Risyaf untuk filmnya Bawalah Aku Pergi (BAP). Diduga mengambil sesuatu dari film Jepang Take Me Away, BAP yang belum beredar itu paling tidak memang mcnjiplak nama. Tapi Risyaf tandas menolak tuduhan. Sejak mula ia memang sudah jatuh senang pada judul itu yang disodorkan produser satu paket dengan tiga "keharusan" lain. Yakni: pemeran utama harus Roy Marten. Harus ada shooting di luar negeri. Dan harus ada beberapa nyanyian. Dengan paket itu, Asrul Sani mengolah sebuah skenario yang kemudian memenangkan Citra sebagai skenario terbaik tahun ini. BICARA tentang tuduhan, Risyaf berpendapat bahwa sebuah karya baru bisa disebut menjiplak bila mencakup keseluruhan: fisik dan tema. Kalau yang ada sekedar pengaruh, itu bukan jiplakan. Menarik juga komentarnya: "Yang saya akui adalah, saya membeli celana Levi's, tapi saya tetap orang Indonesia.

Karena itu saya harus mensiasati film BAP." Mensiasati? Tidak jelas maksudnya, memang. Tapi ayah dua anak ini kemudian berkata: "Kalau film saya itu saya sebut hasil jiplakan, berarti saya tidak jujur." Dari awal sampai akhir, masalah penciptaan memang meliputi soal kejujuran. Terasa kurang bertanggung jawab jika Nico Pelamonia mengatakan: "Berulangnya penjiplakan tidak bisa diatasi, tidak pula bisa dihukum. Masalahnya tidak ada satu badan untuk menghukumnya." Risyaf berpendapat sama "Bergantung kesadaran orangnya, karena tidak ada yang menghukum." Dan Ismail Soebardjo menyayangkan tiadanya sanksi hukum, seraya menyesalkan FFI yang tidak punya konsep untuk mengatasi kasus penjiplakan. Ia pun mengingatkan perlunya rumus tentang 'penjiplakan' itu sendiri. Terasa ada kecenderungan untuk mencari jalan berputar. Pada saat perfilman Indonesia semakin maju di segi teknis, ia juga makin kedodoran dalam penulisan skenario. Kasus penjiplakan itu buktinya. Kelemahan di bidang itu mencemaskan, terutama karena tidak mudah diatasi. Bukan saja karena lembaga pendidikan yang ada tidak bisa menjamin tercetaknya penulis skenario yang baik. Tapi juga, seperti kata Edward Pesta Sirait, "Iklim penciptaan belum merangsang ke arah sana. Apalagi semua menulis berdasar pesanan," tandasnya. Sjuman dan Nya Abbas mensinyalir banyaknya faktor penghambat kreativitas bagi penulis skenario. Mulai dari Deppen yang nyinyir, BSF yang gawat, produser sampai 'booker.' Ada kecenderungan kedua, yang juga menyangkut skenario. Yakni makin banyaknya novel pop yang difilmkan. Ini memang tidak langsung membuktikan keterbatasan daya cipta penulis skenario. Lagi pula, meski trend itu juga mencerminkan kelatahan (hal yang dibantah Fritz Schadt, mengingat Usmar Ismail pun dulu memfilmkan Anak Perawan Di Sarang Penyamun dan Liburan Seniman), seperti kata Nya Abbas Akup novel bisa memberi landasan kerja yang baik bagi penulis skenario. Arifin. C. Noer memperinci sumbangan positif novel pop pada film antara lain pada bahasa, komposisi cerita, plot dan pcrwatakan yang semuanya lebih baik dan lebih rapi.

Perhitungan komersialnya bukan tidak ada. "Di Amerika bahkan ada semacam ketentuan harus memfilmkan novel yang sudah dicetak 100-200 ribu eksemplar, karena produser dan sutradara berpendapat secara hitung dagang hal itu lebih aman," ujar Fritz, diiringi senyum lebar. Perhitungan dagang itu pula yang memacu kecenderungan ketiga: menderasnya film-film keras, horor atau action satu tahun belakangan ini. Meski seorang staf BSF yakin, demam horor itu segera mencapai titik jenuh, tak urung banyak yang waswas. Apa tidak berpengaruh buruk, bisa memacu jumlah kejahatan Kecemasan itu diredakan Sarlito Wirawan, psikolog: "Jangan terlalu melebih-lebihkan. Pengaruh film keras terhadap tindakan kriminal hanya 5%. Dia memang belum meneliti khusus, tapi dia mengajukan tolok ukur: dalam 100 orang pasti ada 3 penjahat. Dipastikannya 3 orang inilah yang akan terpengaruh. Menurut Sarlito, film seks lebih besar pengaruhnya karena "bisa langsung ditiru." Hendrick Gozali, direktur PT Garuda Film, memperhitungkan selama 1 tahun terakhir ini di Indonesia diproduksi 50% film horor, 30% drama, 10% komedi, 10% action. Apa yang dicari penonton pada film horor? Dikatakan Hendrick: penonton sering kagum pada trik-trik seperti film Barat. TAPI itu pun belum menjamin pasar. Kata Hendrick, selera masyarakat berbeda -- dari golongan ke golongan, dari dacrah ke daerah. Sumatera Barat dan Inlon sia Tirlur biasanya tidak suka film horor. Apa sebabnya, dia pun kurang tahu. Gope Samtani dari Rapi Film, yang memproduksi Jaka Sembung, yakin tren film keras sekarang mengikuti arus yang sama di luar negeri.

Tapi selera penonton di sini cenderung pada film mistik (maksudnya: kepercayaan) yang diangkat dari legenda. Sundel Bolong umpamanya. Adapun Ratno Timur sama sekali tidak memperhitungkan trend, karena sejak mula ia memproduksi film keras. Ada 25 judul semua. "Orang tak betah mendengar dialog bertele-tele. Mereka ingin menonton action yang bagus," kata sutradara merangkap aktor yang kini sedang menggarap film Jin Galunggung itu. "Saya senang membuat film seperti ini. Baru judulnya saja sudah mendatangkan uang. Film belum selesai, booker sudah membayar," katanya terus terang. Sebaliknya Teguh Karya menegaskan: "Saya kurang suka film keras yang mempermudah kejahatan sambil mendangkalkan agama." Pada prinsipnya sutradara ini tidak antikekerasan dalam film. Apalagi di antaranya memang ada yang baik. Hanya ia berpendapat, "film yang bergelimang darah dan kekejaman tidak bisa ditingkatkan nilai artistiknya. Karena itu sebaiknya dilarang saja." Dan syukurlah, film macam itu tak menjadi pemenang Citra tahun ini: Serangan Fajar, 6 Citra untuk penyutradaraan (Arifin C. Noer), tata musik (Embi C. Noer), tata artistik (Fred Wetik & Farraz Effendy), peran pembantu wanita (Suparmi), serta untuk film terbaik dan keaslian cerita. Dalam film ini juga, Dani Mursani mendapat penghargaan khusus untuk peran anak-anak. Citra lainnya berbagi: Asrul Sani (penulis skenario. Bawalah Aku Pergi), Akin (sinefotografi, Jangan Ambil Nyawaku), Norman Benny (penyuntingan gambar/ editing, Bukan Istri Pilihannya), Zaenal Abidin (peran utama, Putri Seorang Jenderal), Maruli Sitompul (peran pembantu pria, Bawalah Aku Pergi), Yenny Rachman (peran utama wanita, Gadis Marathon). Sedang film komedi Pintar-pintar Bodoh, mendapat piala Antemas untuk film terlaris berdasar jumlah penonton di kota besar.

TAKSI JUGA / 1991




Film ini adalah terusan dari film Taxi yang dibuat Arifin C.Noer. Dengan pemain yang masih komplit.

Setelah sukses dengan film Taksi dan membawa Rano Karno meraih Piala Citra, Taksi (Taxi) akhirnya di buat sekuelnya dengna judul Taksi Juga. Masih mengusung nama Rano Karno sebagai Giyon, Meriam Bellina sebagai Desi juga bintang film Onky Alexander. Rano Karno dan Meriam Bellina bermain secara apik di film ini. Akting keduanya sudah tidak diragukan lagi.

Di film Taxi diketahui kalau Desi pergi entah kemana. Desi lari dari rumah Raymond, dan belakangan di ketahui kalau Desi pergi kebandung tinggal di rumah Bibinya adik dari Ibunya. Desi yang mempunyai nama asli Titin tinggal di gang sempit di Bandung. Desi yang lebih suka dipanggil Titin tinggal bersama Ita dan Bibinya, hingga suatu hari datang utusan dari sebuah agency iklan dari Jakarta mencari Desi atau Titin.

Akhirnya Titinpun ke Jakarta mengontrak sebuah rumah bersama Ita dan seorang pembantunya. Titin di perkenalkan dengan pimpinan sebuah agency iklan di Jakarta yang memang dialah yang mencari Titin ke Bandung. Titin akhirnya ditawarin oleh Mona (Ayu Azhari) yang sebenarnya dalah istri dari Raymond (Onky Alexander) untuk menjadi model iklan. Setelah menelantarkan Titin, Raymond menikah dengan sepupunya bernama Mona. Sesuai dengan adat Batak, Raymond diharuskan menikah dengan Mona yang masih sepupunya agar garis keturunannya tidak hilang. Akan tetapi pernikahan mereka adalah pernikahan yang pura-pura karena Raymond tidak pernah mencintai Mona. Meski demikian , Mona tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri yang baik, bahkan rela berkorban perasaan.

Kedatangan Titin keJakarta di endus oleh opung dari Raymond , hingga opungnya mencari alamat Titin. Secara kebetulan, Opung berlangganan taksi dengan Giyon, hingga kemanapun mencari alamat Titin, Opung selalu menumpang taksinya Giyon. Setelah mengetahui dimana alamat Titin, Giyonpun kaget karena setelah sekian lama menghilang Titin berada di Jakarta lagi setelah mengetahui pembantunya yang sedang bersama Raymond yang mencari Titin. Opungpun susah sekali ketemu Titin, karena memang tidak pernah ketemu muka. Sementara itu Raymond yang selalu mencari Titin pun tidak pernah ketemu walau tahu alamatnya Titin, akan tetapi Titin begitu melihat Raymond selalu menghindar.

Titin akhirnya datang ke kantor Mona untuk melakukan tanda tangan kontrak, akan tetapi ketika dilobi Titin melihat mobil Raymond , hingga Titinpun menghindar. Akan tetapi Raymond sempat melihat Titin, sehingga ia menemui Mona istrinya dan menganggap Mona telah membuat rencana tersembunyi dengan mengundang Titin ke kantornya untuk di jadikan bintang iklan. Mona berbesar hati karenanya ia bilang kalau semua yang dilakukan adalah demi Raymond .
****
Titin pergi ke pangkalan taksi Giyon untuk mencarinya. Titinpun bertemu dengan Giyon dan beralasan kedatangannya kalau Titin ingin berbagi cerita, share dengan Giyon. Giyon yang sudah dekat dengan anaknyapun akhirnya kembali berhubungan seperti biasa. Bahkan Giyon seolah berusaha melindungi Titin dari gertakan Raymond. Giyon adalah sahabat Titin yang selalu member saran dengan baik. Akhirnya Titinpun memberanikan diri ke kantor Mona untuk menandatangani kontrak dan di make up untuk di potret oleh Raymond yang seorang fotografer. Begitu melihat Raymond, Titinpun kabur. Dan kemudian mereka berdua bertemu di rumah Titin dan terjadi perang mulut besar, ketika Raymond berusaha menjelaskannya. Tanpa sengaja Titin menusukkan gunting ke perut Raymond, Raymondpun di rawat di rumah sakit. Melihat Raymond terluka karena Titin, Mona tidak bisa berbuat apa-apa bahkan ia menenangkan Titin yang merasa bersalah karena telah menusuk Raymond.

Mengetahui Raymond terluka, opung akhirnyapun ketemu dengan Titin. Opung menuduh Titin berusaha merusak pernikahan Raymond dan Mona. Merasa dituduh akhirnya Titin menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada opung, bahkan menceritakan kalau Raymond telah menghamilinya. Mendengar cerita yang mengagetkan tersebut, opung kaget dan strokenya kambuh. Opung akhirnya meninggal dalam perjalanan ketika sedang di Taksinya Giyon.

Setelah kejadian tersebut, Raymond dan Mona menjadi akur dan mengakui keadaan mereka menjadi suami istri, Titin akhirnya menerima penawaran Mona secara professional menjadi bintang iklan. Sedangkan Giyon, meski masih menjadi sopir taksi, akan tetapi sebentar lagi taksinya akan menjadi miliknya karena peraturan di kantornya taksinya bisa dicicil dan menjadi milik sendiri. Dari Film Taksi dilanjutkan ke Taksi Juga dan masih ada kelanjutannya yaitu dengan judul Masih ada Taksi.

P.T. RAVIMAN FILM

MERIAM BELLINA
RANO KARNO
AYU AZHURI
ONKY ALEXANDER
RACHMAT HIDAYAT
MELATI RAHMA
SOFIA LATJUBA
FIRDHA RAZAK
PITRAJAYA BURNAMA
MANGARA SIAHAAN
IDA KUSUMAH
LINA BUDIARTI

BINALNYA ANAK MUDA / 1978

BINALNYA ANAK MUDA


Hangga (Mangara Siahaan) pemuda berandalan jatuh cinta dengan Bunga (Yenny Rachman) putri keluarga kaya. Hubungan ini tak mulus. Budi (Efrizal Nurdin) kawan sekolah Bunga mengadu domba Hangga yang igin sekolah lagi demi cintanya pada Bunga, dengan kelompok berandalan lain.

Untung kericuhan bisa terhindar Hangga bisa menyelesaikan sekolahnya. lalu muncul tokoh Hernowo (Sentot S.), ketua OSIS yang tampak kocak tapi gagal memperkosa Bunga dan kemudian memperkosa Rini (Yatti Surachman) adik Hangga. Maka terjadi perkelahian antara Hangga dengan Hernowo yang menyebabkan kematian Hernowo ditangannya sendiri. Musibah ini melancarkan hubungan Hangga-Bunga, dan orang tua Bunga Kol. Sukamto (Sukarno M. Noor) berlapang dada atas keputusan Bunga.

SUMPAH KERAMAT (Sumpah Pocong Lintang dan Bayu) / 1988

SUMPAH KERAMAT
(Sumpah Pocong Lintang dan Bayu)
 
 

Drama sangat barbau kepercayaan dan mistik. Lintang (Yessy Gusman) yang baru saja bertunangan dengan Bayu (Rano Karno), ternyata hamil. Baik Lintang maupun Bayu yang tidak merasa berbuat apa pun lalu mengadakan sumpah pocong, akibat desakan masyarakat desanya yang merasa desanya dikotori. Sumpah itu tidak berakibat apapun. Namun demikian perut Lintang tidak surut, sementara Bayu malah terkena penyakit aneh, yang semakin membuat penduduk desa gelisah dan menuntut Bayu dikucilkan. Sawung (Sabri Fadzli) yang sejak awal diperkenalkan sebagai sahabat Bayu, tampil sebagai penyelamat. Ia menyediakan diri menikahi Lintang. Lintang menolak. Sawung yang putus asa, minta bantuan dukun lagi. Sawung dan sang dukunnyalah yang jadi biang keladi segala kejadian itu. Mario (Eddy Riwanto) yang pada awal kisah berusaha memojokkan Bayu hingga sumpah pocong, membuntuti gerak-gerik Sawung, hingga terbukalah seluruh rahasia.

Perkelahian mengakhiri kisah. Sawung memotong jari tangannya sendiri yang dipinjami jimat dukun.
 


REMAJA 76 / 1976



Yuni (Yuni Arcan), murid SMA IX, cantik, pintar dan jadi idaman teman-temannya. Nanin (Nanien Sudiar), anak berada, selalu dimanja orangtuanya. Dua gadis tapi merupakan biang percekcokan di kelas. Dari sini muncul kenakalan-kenakalan remaja, persaingan merebutkan pacar, bolos sekolah, nyontek; tidur di kelas, dll. Karena kepandaian Pur (Haryo Purnomo), pelajar yang kos di Jakarta dan sering telat mendapat uang dari ayahnya, dua gadis tadi bisa dikompakan, hingga dalam pelajaran dan basket antar sekolah, kelas mereka jadi juara.

Film ini menunjukan bagaimana kenakalan yang sehat diantara remaja, seperti juga dipetuahkan oleh polisi atau pejabat P & K di awal film.

ANAK-ANAK BUANGAN / 1979

 

Boma (Cok Simbara) yang miskin, mempunyai usaha bercocok tanam untuk membiayai kuliahnya di perguruan tinggi. Dia pacaran dengan Wulan (Lydia Kandou) yang juga ditaksir oleh Majid, putra tunggal usahawan besar. Konflik dibangun atas dasar ini. Majid menyudutkan Boma dengan mencuri mesin tik kantor ayahnya, Herman (Rachmat Hidayat) dan yang harus bertanggung jawab ayah Boma. Maksud Majid tercapai. Ayah Boma dipecat, sementara Boma harus menghidupi keluarganya dan lama-kelamaan jauh dari Wulan. Ketika tahu kelakuan Majid, Herman marah dan mengusir Majid. Sebaliknya, Boma diterimanya sebagai pegawai yang dipercayai manangani pertamanan, proyek perusahaan ayah Majid. Majid yang lalu hidup menumpang kawannya, berubah sikap dan tekun belajar. Semua akhirnya lulus dan masuk ke perguruan tinggi. Boma dan Wulan tentu saja makin lengket.

PEREMPUAN DALAM PASUNGAN / 1980



Film ini mengisahkan tentang Fitria (Nungki Kusumastuti), simbol dari perempuan Indonesia yang rupawan, halus tutur kata, rendah hati, sederhana dan khususnya sangat fleksibel dalam semua hal. Dia selalu menuruti apa perkataaan orang tua dan suaminya (Frans Tumbuan). Dari sinilah semua masalah timbul dan tertuang dalam film ini.

Ia bercerita tentang sosok perempuan yang harus dipenjaran dan dipasung oleh orang tuanya sendiri karena dianggap gila. Status kegilaannya pun diselamatkan karena perempuan itu menolak dinikahkan dengan pria yang menjadi pilihan orang tuanya.

Kisah diurai dari sudut pandang seorang wartawan yang berusaha mendapat cerita eksklusif. Fitria (Nungky Kusumastuti), mendapat kasih sayang berlebihan dari ayah-ibunya, Prawiro (D Djajakusuma dan Sofia WD), seorang lurah. Dia tumbuh jadi gadis penurut, agak pemalu, dan tak berani mengungkapkan perasaan dan pendiriannya. Hal ini agak berbeda dengan sahabatnya, Marni (Rini S Bono), yang sebenarnya sama-sama naksir Andi (Frans Tumbuan), alumnus universitas tempat mereka belajar. Andi memilih Fitria dan pindah ke Jakarta. Ketika Marni bekerja di Jakarta juga, untuk sementara ia tinggal di rumah Andi-Fitria. Keakraban Andi-Marni masih sama seperti dulu. Fitria merasa tersiksa dan diam-diam minta bantuan Prasetyo (Sentot S), kawan sejak mahasiswa juga. Fitria diberi air penawar sekedar untuk membelokkan niat Fitria yang hendak pergi ke dukun. Ternyata Marni sakit dan meninggal. Fitria didera perasaan bersalah sampai pada tahap "gila", hingga ia dipasung oleh orang tuanya sendiri.


NEWS
PEREMPUAN DALAM PASUNGAN Dalam hidupnya, perempuan itu selalu terpasung. Film ini adalah potret tentang perempuan Indonesia sebenarnya. Sederhana, lembut dan penurut. Tapi kemudian retak dan rapuh karena diberi bingkai yang terlalu kuat. -- Ismail Soebardjo PEREMPUAN Dalam Pasungan sebagaimana dikatakan sutradara itu memang bercerita secara kilas balik tentang kesewenang-wenangan. Tapi, Ismail Soebardjo, 37 tahun, sutradara dan penulis skenarionya, tak terjebak oleh sentimentalitas yang meletup-letup. Nadanya tetap rendah dan juga tak menggurui. Fitria (Nungky Kusumastuti) -- oleh ayahnya, Prawiro (D. Djajakusuma) - disangka gila. Perempuan itu memang sedang terguncang jiwanya oleh perasaan berdosa: merasa membunuh Marni (Rini S. Bono), sahabatnya. Ia dipasung dan disekap dalam kamar di rumah ayahnya di sebuah kampung di Yogyakarta supaya tidak bikin malu keluarga. Tapi rahasia itu lantas diketahui seorang wartawan Jakarta (Dorman Borisman). Sang wartawan mencari Andi (Frans Tumbuan), suami Fitria, yang berada di Jakarta, dan meyakinkannya bahwa istrinya tidak gila. Andi -- bersama Tini, anaknya, dan wartawan itu-lalu datang menengoknya. Meskipun memang tidak gila, ternyata Fitria menolak kehadiran suaminya yang telah membiarkannya dizalimi begitu. Pun Tini, yang menghambur ke arahnya sambil menangis, tak diindahkannya. Sikap itu barangkali menunjukkan protesnya yang keras dan getir terhadap kesewenang-wenangan keluarga - atau lingkungannya. Film ini banyak kelemahannya dalam detil . Mungkin karena sutradaranya terlalu terpaku pada temanya yang dramatis. Meskipun begitu, film ini menunjukkan juga kemajuan Ismail sebagai sutradara. Sehinggga boleh pula ia diperhitungkan.