Tampilkan postingan dengan label JACOB HARAHAP 1955-1964. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label JACOB HARAHAP 1955-1964. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Februari 2011

JACOB HARAHAP 1955-1964


PERISIWA DIDANAU TOBA 1955 JACOB HARAHAP
Director
TANDJUNG KATUNG 1957 JACOB HARAHAP
Director
AIR MATA DARAH 1964 JACOB HARAHAP
Director
SUNGAI ULAR 1961 JACOB HARAHAP
Director
SERAMPANG 12 1956 JACOB HARAHAP
Director.

SERAMPANG 12 / 1956



Setiap bangsa perlu punya tari nasional, atau setidak-tidaknya tari pergaulan. Itulah yang terpikir oleh Diana dan kawan-kawan, yang semula keranjingan dansa Barat. Mereka mulai mempelajari tari dari bumi Indonesia, seperti Serampang 12, Kaparinyo, Gunung Sayang, Tanjung Katung dan lain-lain. Akhirnya mereka berhasil mementaskan satu pertunjukan yang sukses dan gemilang.

TANDJUNG KATUNG / 1957

 

"TANDJUNG KATUNG"
Melulu tarian & hiburan sadja?
 RADIAL

RD ISMAIL
FIFI YOUNG
ZAINAL ABIDIN
KAMSUL
HARDJO MULJO
M. SITORUS
NUN ZAIRINA
HADISJAM TAHAX

Betapapun dalam hati kita ingin berkata djudjur dan manis, kalau dalam pelahirannja penuh dusta, itu adalah dusta semata. Dan betapapun terlalu enaknja makanan kalau telah dikunjah berkalikali adalah sangat memuakkan, bukan sadja tidak punja kemampuan memenuhi tugasnja sebagai makanan, tapi ia akan membawa penjakit jang berlarut-larut.

RADIAL FILM COMPANY mulanja kita lihat akan berkata djurdjur : ~ Menjembangkan satu tarial nasional jang setjara kebetulan sekali kita ini adalah satu bangsa besar dan tidak punja tarian nasional.

Sebelumnja telah disadari : film adalah satu alat paling mudah untuk menambat perhatian masjarakat, dan dapat dilihat merata oleh segala lapisan djenjang masarakat, irama dan lagu dapat sadja menmabat hati jang punja selera. Masarakat mana sadjapun akan merasa lega bila kehadirannja menonton peristiwa masarakat, ia diberi gambaran wadjar dan hasil dari suatu kemampuan sesamanja jang wadjar, dan peristiwa itu ada hidup dalam sekitarnja. Tapi masarakat akan mengerti dusta, apalagi dusta jang terlalu apek dan kita sendiri me-lap-nja, menjemirnya dan dihadapkan kembali kepada masarakat jang sebelumnja mengharapkan kewadjaran : itulah di mambo.

Kasih sajang kepada bangsa adalah kewadjiban, dan siapa sadja akan kita beri salut dan terimakasih jang tak terhingga, kalau dalam kerdjanya ia telah melangkahkan kakinja dari sirkel masarakat, langkah itu penuh kedjudjuran, penuh kepertjajaan. Kita sendiri menerima baik niat Radial ini. Tapi sbg, anak jang hidup dalam suasana itu sendiri, anak jang ingin mempertahankan keaslian dari warisan kebudajaan jang memang luhur itu, kita sangat merasa keberatan atas tjintjangan Radial jang memodernisir tari2 Sumatra Timur itu mendjadi mambo, tari jang diharapkan dapat menmapung selera anak muda jg. Mengharapkan kehangatan dari keindahan tari itu sendiri. Kalau Radial bitjara tentang selera dan business, kita tidak keberatan ada niat radial menjumbangkan satu tarian jang kalau mungkin buatlah djadi tarian jang dapat ditarikan segala lapisan masarakat.

Kita tidak usah malu dengan sederhananja alat2 jang dipergunakan untuk mengiringi tarian Sumatra Timur ini, jang tjuma terdiri dari biola, gendang, tjanang ; djustru itu adalah chas Indonesia. Dan apakah nantinja orang2 jang hidup ditanah lahirnja mambo tidak akan ketawa lebar melihatkan kita menarikan tarian pergaulan kita, tapi sesungguhnja kita adalah menari mambo. Ini memang kalau kita ingin kerdja sungguh2 dan menghargakan hasil dari kerdja kita, dan kita merasa masarakat akan mengerti apa jang hidup dan apa jang tiada disekitarnja, mereka akan segera mengerti bahwa peristiwa jang mereka lihat hanja melempar mereka hingga mereka telah diusahakan oleh satu kedjadian, melupakan mereka akan sumber mereka.

KALAU KITA AKAN TERUS membitjarakan “Tandjung Katung” ini, baik sadja dulu kita memasuki peristiwa jang akan diperkatakan film ini : seorang penari ronggeng jang manis (Nun Zairina) bekas isteri seorang bangsawan di Sumatra Timur, oleh revolusi sosial tahun 1946 terpaksalah bertjerai dengan lakinja jang tertjinta. Seperti kebiasaan di sekitar tahun2 itu jang berhak mendapat warisan isteri tjantik dari kaum feodal adalah bapak2. tapi hidupnja dengan bapak gadungan ini tidak djuga lama. Untuk hidup selandjutnja ia mentjoba nasib di kota Djakarta. Kebetulan sekali disana hidup sepasang suami isteri bekas buaja ronggeng : Ulung dan Miah (Rd. Ismail dan Fifi Young). Ulung dan Miah merasa bisa mendapat sumber hidup jang deras dari penari ini, karena wadjahnja jang tjantik. Dan anda tidak usah bersusah pajah tentunja menebak, kalau ada wanita manis tentu banjak laki2 jang tjoba2 nasib untuk menikmati ketjantikan itu. Ja, itulah sebenarnja, Inspektur (Abidin Jr), saudagar muda (Hadisjam Tahax) dan seorang pemuda idealis (Kimsul) semua menaksir Zahara (Nun Zairina). Miah djagoan main djudi, bang Ulung djagoan ngadu ajam memang mendapat sumber hidup jang baik dari Zahara ini. Penjelesaian selandjutnja : Kimsul berhasil menarik Zahara kepihaknja.

Objek tjerita dan olahan tjerita memang chas Medan, artinja tetap roman pitjisan jang hidup sekitar tahun tigapuluhan. Dialog dan ungkapan2 sangat dangkal dan mentah, kita tjuma disodori klise2 kehidupan dan gerak hidup jang telah lama dan apek.

Klise2 iniliah kita lihat mengatju diri Rd. Ismail dan Fifi Young tidak dapat leluasa mengembangkan kesanggupanja. Kendatipun Rd.Ismail dan Fifi telah berusaha kuat mendukung tjerita ini dan memang mereka keduanjalah jang dapat memberi darah dalam tjerita ini.

Hadirnja Hadisjam Tahax dlm tjerita, suatu penggambaran adanja manusia jang bernafsu besar dan bedjat moral dan stempelan dari kehidupan saudagar2 muda jang memang hidup dalam masyarakat kita ini.

Hadirnja Abidin Jr. Sebagai inspektur polisi, adalah usaha mentalitet bangsa kita sering terlalu gojah dengan harapan kemewahan jang bisa didapat tanpa dari keringat sendiri. Hadirnja Kimsul sebagai pemuda jang mempunjai tjinta2 bisa menjumbangkan satu tarian jang dapat ditarikan segala lapisan.

BEBERAPA PENGGAMBAran watak2 menurut pendapat kita Jacob Harahap (regisur film tersebut ~ Red.) terlalu berkompromi dengan Kimsul, hingga Kimsul sangat mengurangi , jang memang kuarang, kelantjaran film “Tandjung Katung” ini. Betapa mendjemukannja kita melihat Kimsul mengutjapkan kata2 jang sangat sarat, mimiknja jang kaku. Dan kekakuan ini sangat djelas kita lihat pada adegan pertemuan Kimsul dan Nun Zairina ditepi sungai. Dialognja sangat mendjemukan, dan andelnja tjumanlah suaranja dan ini memang sangat menarik sekali.

Poengemukaan logat2 jang chas Sumatra Timur kadang diurap dengan logat Djakarta, kita merasa tidak menambah kesegaran tjerita ini.

Jacob Harahap sebagai sutradara film ini kita lihat terlalu banjak kompromi dan tidak hati2. satu flashback sewaktu Fifi menjajikan Selendang Delima dimana Nun mengenangkan nasib jang lampau, kita diberi Jacob pemandangan pakaian Nun Zairina jang tidak mungkin sama sekali ada dipakai gadis2 dimasa itu dan tingkatan itu.

Achirnja usaha Sauti dengan Tari Burung Putih-nja jang terdiri dari paduan beberapa tari daerah Djawa dan diiringi njanjian Sumatra hemat kita belum berhasil dan amat tergesa dikemukalau anda tjuma mengharapkan tarian daerah itu sesungguhnja. Dan kalu anda tjuma mengharapkan hiburan tarian, “Tandjung Katong” sekedar akan dapat memenuhi harapan anda ini. Lain : akan sia2 anda mentjari peristiwa wadjar dan segar didalamnja.

AIR MATA DARAH / 1964



Terjalin cinta segitiga antara gadis Mawar dengan dua lelaki bersaudara, Komar dan Bhakti. Mawar lebih cenderung ke Bhakti, anggota TNI yang di antara tugasnya adalah membangun desa dan menumpas gerombolan pengacau. Sebaliknya dengan Komar, yang malah ikut gerombolan pengacau pimpinan Kobar, ayah Mawar. Maksudnya agar Mawar tertarik padanya. Karena masih juga kalah dalam persaingan, Komar menantang Bhakti. Perkelahian tak terelakkan. Kemenangan diraih pihak yang benar yaitu Bhakti.

MERDEKA FILM MEDAN COY

SUNGAI ULAR / 1961

 

Film ini produksi (Kodam II BB/Yayasan Koperasi Veteran Sumatera Utara)

Sungai ini terletak di Medan pinggiran setalah Lubuk Pakam kalau kita mau ke Tebing-Tinggi dari Medan. Sungai itu sangat terkenal saat perang bahkan Bapak saya bilang banyak mayat bergelimpangan disitu, sampai pada isu PKI pun mayat-mayat dibuang ke sungai itu. Sungai ular dinamakan, ada yang bilang karena banyak ularnya, ada yang bilang karena berbelok kayak ular.

Ini adalah film perang pertama dibuat 1950, dan di susul lagi film perang berjudul Turang 1957 yang mengambil lokasi di Tanah Karo, tepatnya di Seberaja Sumatra Utara oleh Bachtiar Siagian, jauh sebelum Usmar Ismail membuat Pedjoang 1960. Tetapi entah kenapa film perang Sungai Ular dan Turang ini tidak masuk dalam daftar film-film perang atau perjuangan. Kepopuleran Usmar dalam film Pedjoang ini menghapur 2 film tersebut. Ada yang menyebutkan karena bukan perang di Jawa, ada yang menyebutkan karena mereka berdua adalah pengikut Lekra (saat isu PKI) sampai sekarang ke 2 film ini entah kemana.

PEPERTI KODAM II MEDAN

FARIDA ARRIANY
EDDY NASUTION
AGUS SALIM RANGKUTI
HADISJAM TAHAX
DT ANWAR BEY
ROSANA

PERISIWA DIDANAU TOBA / 1955


Produksi (Radila Film Medan / PFN).
DI SUTRADARAI BERSAMA H.B. ANGIN


Pemuda pejuang berpangkat sersan mayor, Syamsir, terluka dan dirawat oleh Hasnah, anggota PMI. Perawatan menimbulkan rasa kasih antara mereka. Kemudian Syamsir harus merelakan Hasnah, karena ditaksir pula oleh komandannya, kapten Effendi. Apalagi Syamsir lebih mementingkan perjuangan. Menjelang pernikahan, daerah Rantau Prapat itu diserbu pasukan Belanda. Penduduk kacau, tercerai-berai. Hasnah dan ibunya akhirnya tiba di Medan. Sedang Effendi konon gugur dalam pertempuran. Hasnah, yang tidak menerima kabar apapun tentang Syamsir, bekerja di perusahaan Rustam, yang ternyata seorang bandot tua. Hasnah diajak ke hotel, namun sebelum Rustam sempat berbuat mesum, muncul Syamsir. Akhirnya Hasnah dan Syamsir membangun rumah tangga.
 
Lahir di Padang Sidempuan. Meninggal di Sukamandi, Subang. Pendidikan : HIS, K.E. Jurusan Film, Universitas Kalifornia (1952).Tahun 1927, Angin menjadi Illustrator dan Karikaturis pada surat kabar 'Bintang Timur' pimpinan Parada Harahap. Kemudian pindah ke kantor berita 'Aneta' lalu ke sebuah studio foto. Di studio itu dia banyak memperoleh pengetahuan mengenal disain dan pembuatan klise.Tahun 1931 berhenti dan mendirikan biro reklame Tip Coy yang berjalan sampai kedatangan Jepang di awal I942. Dalam pada itu, pada tahun. terakhir 1930an sampai awal 1942, Angin bekerja pula pada JIF sebagai Penata Artistik. Ini dilakukannya untuk memperluas usahanya sembari memperdalam pengetahuannya. Film2 JIF yang dikerjakan segi artistiknya antara lain : "Njai Dasima"  1940), "Noesa Penida" (1941), "Ratna Moetoe Manikam,' (1941), "Srigala Item" (1941), "Kartinah" (1941).Selama pendudukan Jepang, ia bekerja pada Sendenbu bagian film, mengepalai Seksi Artistiknya. Setelah BFI didirikan ia ikut aktif dan bertugas di Solo, kemudian di Jogyakarta, sambil giat dalam sandiwara keliling PPPI. Pada masa itu banyak juga membuat foto-foto perjuangan yang kemudian dialbumkannya dengan judul "We Struggle With Posters". Tahun 1949 Angin kembali ke Jakarta, lalu menangani Tata Artistik film "Djauh Dimata" dan "Anggrek Bulan". Ketika 1950 BFI/Multi Film menjadi PFN, Angin menjadi Kepala Bagian Artistiknya. Waktu itu langsung menangani Tata Artistik film-film produksi PFN, baik dokumenter maupun cerita diantaranya : "Inspektur Rachman" (1950), "Djiwa Pemuda" (1951), "Rakjat Memilih" (1951), "Si Pintjang" (1952). Kemudian film-film produksi Kino Drama Atelier yang dibikin di studio PFN yang berjudul "Untuk Sang Merah Putih" (1950), "Antara Bumi Dan Langit" (1950), "Bunga Rumah Makan" (1951). Dalam tahun 1953, ketika berkunjung ke Italia, Angin sempat menjadi Pemain Pembantu dalam sebuah film Italia berjudul "La Fagilia di Matahari". H.B. Angin meninggal dalam kecelakaan ketika menuju ke pembuatan film di Subang.