Tampilkan postingan dengan label MARSINAH (Cry Justice) /2001. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MARSINAH (Cry Justice) /2001. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Februari 2011

MARSINAH (Cry Justice) /2001


 



















PT GEDAM SINEMUDA PERKASA

MEGARITA
DYAH ARUM
INTARTI
TOSAN WIRYAWAN

Marsinah: Cry Justice adalah sebuah film tahun 2001 yang diproduksi oleh PT Gedam Sinemuda Perkasa, disutradarai oleh Slamet Rahardjo Djarot. Film ini diangkat dari kisah nyata tentang Marsinah, seorang aktivis dan buruh di sebuah perusahaan jam tangan di Sidoarjo yang ditemukan tewas pada 8 Mei 1993.

Skenarionya ditulis oleh Agung Bawantara, Eros Djarot, Karsono Hadi dan Slamet Rahardjo. Eksekutif produser: T.B. Maulana Husni, Direktur fotografi: Yudi Datau, penata artistik: Berthy Ibrahim Lindya, penata suara-editor: Tri Rahardjo, dan penata musik: Djaduk Ferianto.

Film berbiaya sekitar Rp 4. milyar ini sempat menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta pemutaran film itu ditunda. Produser film ini juga disomasi oleh mantan Kepala Seksi (Kasi) Intel Kodim 0816/Sidoarjo Kapten (Inf) Sugeng dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.

Proses pascaproduksi, mulai mixing, penataan audio, hingga pemrosesan film dikerjakan di Bangkok, Thailand.

Pemutaran perdana filim Marsinah (Cry Justice) diselenggarakan di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, pada 3 April 2002. Mulai ditayangkan di bioskop tanggal 18 April 2002

Film berdurasi dua jam yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot itu menggunakan cara bertutur kronologis lengkap dengan tanggal dan tempat kejadian, tak ubahnya seperti film dokumenter.

Tokoh Marsinah diperankan Megarita, seorang mahasiswa Institut Kesenian Jakarta sedangkan Mutiari diperankan oleh Diah Arum. Keduanya cukup berhasil menghadirkan adegan-adegan yang bersifat natural dalam film yang berdurasi satu jam 55 menit itu sehingga ciri khas film ini yang kuat dengan nilai true story kian mengental.

Dibuka dengan adegan unjuk rasa buruh PT. Catur Putra Surya (CPS), film bergulir dengan adegan penangkapan para buruh dan petinggi PT CPS oleh sejumlah oknum berbaju preman, diselang-seling adegan hitam putih yang menceritakan kilas balik saat Marsinah bersama rekan-rekannya menggerakkan buruh untuk meminta hak mereka.

Seperti yang biasa terjadi di rezim Orde Baru dulu, setiap orang yang diciduk oleh oknumPKI, sebuah stigma yang biasa diberikan masa Orde Baru dulu untuk orang-orang yang mengikuti aksi demonstrasi yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional. aparat militer kerap mengalami siksaan. Tiga belas orang buruh yang ditangkap, semuanya dituduh

Tak kurang delapan petinggi PT CPS yang ditangkap tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam Brawijaya.

Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Awalnya mereka semua mengelak terlibat, tapi akibat siksaan yang tiada henti, satu per satu akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Mutiari yang sedang hamil muda pun, tak urung keguguran saat diinterogasi.

Menyadari istrinya hilang, suami Mutiari, Hari Sarwono mencari istrinya ke mana-mana. Mulai dari pabrik PT CPS hingga ke kantor polisi setempat. Bisa ditebak, hasilnya nihil. Dari informasi yang diperoleh dari seorang karyawan PT CPS, Hari mengetahui kalau istrinya dibawa oknum tak dikenal. Hari lalu mendatangi LBH Yayasan Persada Indonesia, Surabaya untuk mencari bantuan. Sementara itu, keluarga Hari merasa malu atas pemberitaan media mengenai pelaku pembunuhan Marsinah yang mengarah pada Mutiari dan rekan-rekannya, meminta Hari untuk menceraikan Mutiari.

Hari yang yakin istrinya tidak bersalah, menolak permintaan keluarganya dan semakin getol mencari bantuan. Hari mendatangi SCTV Surabaya untuk menceritakan istrinya yang hilang. Di situ Hari juga mengungkapkan oknum yang terlibat dalam penangkapan istrinya, yang diduganya sebagai anggota militer. Berita seputar terbunuhnya Marsinah dan penangkapan karyawan PT CPS yang semakin gencar membuat aparat militer panik. Apalagi Hari bermaksud mempraperadilankan aparat atas penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai prosedur.

Aparat balik menekan Mutiari dan mempercepat proses pemeriksaan, dipindahkan ke tahanan Polda Jawa Timur hingga akhirnya Mutiari dipaksa menandatangani BAP dan diajukan ke pengadilan sebagai tersangka. Karena keburu diajukan ke pengadilan, gugatan pra peradilan gugur dan sidang Mutiari digelar lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya yang lain sebagai ”hukuman” karena suaminya bersikeras mempraperadilankan aparat.

Sisa film dipenuhi dengan adegan pengadilan Mutiari dan rekan-rekannya yang divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, sampai mereka mengajukan banding dan kasasi ke MA yang membebaskan mereka karena tidak cukup bukti. Sementara pembunuh Marsinah yang sebenarnya tak pernah terungkap. Film diakhiri dengan adegan adik Marsinah, Marsini, yang menangis sambil menatap tumpukan majalah dan koran yang dipenuhi berita Marsinah mempertanyakan siapakah yang sebenarnya membunuh kakak kandungnya.




 15 April 2002
Menguak Kisah Marsinah 
Marsinah (Cry Justice)

Sutradara : Slamet Rahardjo Djarot Skenario : Agung Bawantara, Karsono Hadi, Tri Rahardjo, Slamet Rahardjo, Eros Djarot Pemain : Megarita (Marsinah), Diah Arum (Mutiari) Produksi : PT Gedam Sinemuda Production SEKELEBAT gambar hidup, sekelebat jeritan, sekelebat kematian. Marsinah hadir dalam adegan-adegan yang begitu cepat, susul-menyusul berdesakan dengan potongan gambar lain. Dia datang begitu cepat dengan semangat menggebu untuk memperjuangkan kenaikan upah buruh dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari. Dan dia pergi begitu cepat pada suatu malam tanggal 5 Mei 1993 dan tak pernah kembali. Empat hari kemudian, ia ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang mengerikan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Tokoh Marsinah dalam rekaan sutradara Slamet Rahardjo Djarot hanya tampil dalam durasi yang begitu pendek. Namun, rohnya hidup hingga akhir film ini. Jika begitu banyak yang memprotes kenapa film ini memberikan porsi yang lebih banyak kepada Mutiari, harus dipahami bahwa penonton (Indonesia) tampaknya masih terbiasa dengan pendekatan biografis, terutama bila sosok yang diangkat sudah menjadi ikon, lambang, atau pahlawan. Film ini pada akhirnya memang hanya mengambil satu cuplikan periode peristiwa yang dimulai dari demonstrasi para buruh PT Catur Putra Surya; disusul kematian Marsinah; pencidukan sembilan orang tertuduh, termasuk Mutiari, kepala personalia per-usahaan itu, yang dianggap sebagai otak pembunuhan; hingga pengadilan para tersangka. Yang membuat film ini layak tonton adalah bagaimana sutradara menyajikan suasana interogasi para tertuduh dengan teknik dokumenter, kamera yang agresif, cepat, dan adegan-adegan yang menggebrak mata. Di sebuah markas militer, para tertuduh itu tampil close-up dalam kondisi "orang-orang yang kalah", basah, menunduk, dan memberikan kesaksiannya kepada penonton tentang apa yang terjadi pada mereka. Slamet kemudian memilih Mutiari sebagai tokoh "jembatan" antara penonton dan subyeknya. 


Kepada penonton tidak disajikan seluruh adegan kekerasan secara telanjang dan verbal. Melalui reaksi Mutiari-yang disekap di ruang sebelah tempat penyiksaan-kita mendengar jeritan-jeritan tokoh Yudi Susanto, Yudi Astono, Karyono, Suwono, Suprapto, Prayogi, Bambang Wuryantoyo, dan Widayat. Secara sugestif, kamera merekam situasi mereka dalam ke-adaan yang paling hina yang tak pernah terbayangkan oleh peradaban mana pun. Justru karena kekerasan sesungguhnya tak divisualkan ("karena saya tak tega," demikian ungkap sang sutradara), efek sugestif itu malah mencekam dan menggerogot. Slamet sama sekali tak menyentuh materi siksaan secara verbal-seperti penis yang diolesi Remason, penyetruman, atau pemaksaan minum air kencing-bukan hanya untuk kemanusiaan. Ini juga menjadi adegan-adegan yang melahirkan gambar yang jitu secara estetis dan sinematik. Dari problem interogasi dan penyiksaan, penonton akhirnya memperoleh pandangan Mutiari atas segala peristiwa. Marsinah pada akhirnya menjadi roh yang mempertanyakan keadilan melalui kesenang-senangan dan rekayasa gila-gilaan dari seluruh kasus ini. Memang ini pilihan yang penuh risiko. Penonton mengharapkan dua hal: kesatu, profil Marsinah sejak kecil hingga ia tewas (dan pendekatan seperti ini punya risiko lain: romantisisme); atau kedua, sebuah investigasi memburu pembunuh Marsinah sebenarnya (pilihan ini akan memaksa Slamet Rahardjo menjadi detektif Sherlock Holmes). Slamet menolak kedua pendekatan itu, seperti halnya dia menolak banyak usul-termasuk ada usul memasang Krisdayanti sebagai pemeran Marsinah. Maka pilihan mengambil Mutiari sebagai sosok "jembatan" untuk memandang ketidakadilan ini berisiko banyak hal: banyak penonton merasa judul film ini tidak tepat karena pada akhirnya Mutiari mengambil begitu banyak porsi. Slamet mengaku berangkat dari data yang tersedia dan dia tak bersedia berspekulasi. Artinya, dia juga tak ingin menghakimi atau menyimpulkan siapa pembunuhnya. Sutradara Oliver Stone juga hanya menampilkan John F. Kennedy beberapa menit-dalam bentuk dokumenter-dalam film JFK dan lebih mengutamakan sosok asisten jaksa. Bedanya, Stone berani bersikap-dengan teori konspirasi yang agak gegabah-tentang pembunuhan JFK. Terlepas dari sikap Slamet yang dianggap terlalu "santun" itu, ada beberapa hal yang perlu dipujikan dalam film ini. 

Pertama, adegan-adegan teknik dokumenter yang penuh sesak. Setiap kali adegan Marsinah, gambar berubah menjadi hitam-putih bak sebuah dokumen yang tengah bercerita. Adegan-adegan kilas balik ini berselang-seling dengan berbagai adegan penyiksaan para tersangka yang disajikan secara sugestif. Kedua, akting para pemainnya-yang sama sekali bukan pemain profesional-yang luar biasa wajar, menyentuh, dan alamiah. Mereka tampil tanpa pupur, lipstik, atau teori akting Stanislavsky yang membebani pundak. Dalam hal ini, baik para pemain maupun sutradaranya layak diberi penghargaan. Ketiga, keberanian Slamet dan timnya untuk menampilkan adegan kekejaman-meski sugestif-sebagian anggota militer. Ini adalah sesuatu yang baru dalam perfilman Indonesia, bahkan pasca-Orde Baru, yang melahirkan film-film komersial, persona yang sama sekali tak menyentuh persoalan sosial dan politik negeri ini. Yang perlu dikritik adalah keengganan Slamet untuk menampilkan Marsinah sebagai manusia biasa. Meski ia sudah telanjur tampil sebagai ikon, dan meski Slamet tak ingin menggunakan pendekatan biografis, penonton tetap ingin tahu sosok Marsinah yang lengkap. Selain aktif memperjuangkan hak buruh dan sibuk bekerja di pabrik, bagaimana kehidupan sehari-harinya? Bagaimana hubungannya dengan keluarganya dan rekan-rekannya? Apa sih hobinya? Di beberapa media, teman-temannya yang diwawancarai sering mengatakan Marsinah senang membaca buku primbon untuk iseng. Kenapa sisi-sisi human seperti ini tak ditampilkan untuk memperlihatkan bahwa ia juga seorang gadis yang memiliki hidup yang wajar? Seorang pahlawan, bagaimanapun hebatnya dia, pasti akan dipandang juga sebagai manusia yang lengkap dengan jiwa dan kegairahannya dengan hidup. Saya yakin, penonton pemuja Marsinah mana pun tak keberatan memandang dia sebagai manusia. Pada akhir film, Slamet melemparkan sebuah pertanyaan untuk republik ini-yang selalu saja terlindas oleh rutinitas sehari-hari, sehingga melupakan satu jiwa yang masih belum jelas pembunuhnya. Pertanyaan itu dilontarkan melalui bibir Marsini ketika para tersangka dibebaskan: "Jika bukan mereka, siapa pelakunya?" Leila S. Chudori

”Marsinah”
Simbol Pencari Keadilan yang Terlupakan

Jakarta, Sinar Harapan
Misteri pembunuhan Marsinah—seorang buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur—tanggal 8 Mei 1993 yang sempat menghebohkan waktu itu dan pelakunya hingga kini belum terungkap diangkat ke layar lebar lewat judul Marsinah (Cry Justice). .

Film berdurasi dua jam yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot itu menggunakan cara bertutur kronologis lengkap dengan tanggal dan tempat kejadian, tak ubahnya seperti film dokumenter. Dibuka dengan adegan unjuk rasa buruh PT CPS, film bergulir dengan adegan penangkapan para buruh dan petinggi PT CPS oleh sejumlah oknum berbaju preman, diselang-seling adegan hitam putih yang menceritakan kilas balik saat Marsinah bersama rekan-rekannya menggerakkan buruh untuk meminta hak mereka.
Seperti yang biasa terjadi di rezim Orde Baru dulu, setiap orang yang diciduk oleh oknum-–sebagai kata ganti aparat militer—mengalami siksaan. Tiga belas orang buruh yang ditangkap, semuanya dituduh PKI, sebuah stigma yang biasa diberikan masa Orde Baru dulu untuk orang-orang yang mengikuti aksi demonstrasi yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional. Tak kurang delapan petinggi PT CPS yang ditangkap tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodim Brawijaya.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. 


Awalnya mereka semua mengelak terlibat, tapi akibat siksaan yang tiada henti, satu per satu akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Mutiari yang sedang hamil muda pun, tak urung keguguran saat diinterogasi.
Menyadari istrinya hilang, suami Mutiari, Hari Sarwono mencari istrinya ke mana-mana. Mulai dari pabrik PT CPS hingga ke kantor polisi setempat. Bisa ditebak, hasilnya nihil. Dari informasi yang diperoleh dari seorang karyawan PT CPS, Hari mengetahui kalau istrinya dibawa oknum tak dikenal. Hari lalu mendatangi LBH Yayasan Persada Indonesia, Surabaya untuk mencari bantuan. Sementara itu, keluarga Hari merasa malu atas pemberitaan media mengenai pelaku pembunuhan Marsinah yang mengarah pada Mutiari dan rekan-rekannya, meminta Hari untuk menceraikan Mutiari.
Hari yang yakin istrinya tidak bersalah, menolak permintaan keluarganya dan semakin getol mencari bantuan. Tak tanggung-tanggung, Hari mendatangi SCTV Surabaya untuk menceritakan istrinya yang hilang. Di situ Hari juga mengungkapkan oknum yang terlibat dalam penangkapan istrinya, yang diduganya sebagai anggota militer. Berita seputar terbunuhnya Marsinah dan penangkapan karyawan PT CPS yang semakin gencar membuat aparat militer panik. Apalagi Hari bermaksud mempraperadilankan aparat atas penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai prosedur.
Aparat balik menekan Mutiari dan mempercepat proses pemeriksaan, dipindahkan ke tahanan Polda Jawa Timur hingga akhirnya Mutiari dipaksa menandatangani BAP dan diajukan ke pengadilan sebagai tersangka. Karena keburu diajukan ke pengadilan, gugatan pra peradilan gugur dan sidang Mutiari digelar lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya yang lain sebagai ”hukuman” karena suaminya bersikeras mempraperadilankan aparat.
Sisa film dipenuhi dengan adegan pengadilan Mutiari dan rekan-rekannya yang divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, sampai mereka mengajukan banding dan kasasi ke MA yang membebaskan mereka karena tidak cukup bukti. Sementara pembunuh Marsinah yang sebenarnya tak pernah terungkap. Film diakhiri dengan adegan adik Marsinah, Marsini, yang menangis sambil menatap tumpukan majalah dan koran yang dipenuhi berita Marsinah mempertanyakan siapakah yang sebenarnya membunuh kakak kandungnya.

Dokumenter
Film yang berjudul Marsinah ini boleh dibilang telah lama ditunggu. Ada sepercik harapan untuk menyaksikan kisah perjuangan Marsinah yang menjadi bahan pembicaraan beberapa tahun lampau. Namun ternyata, Slamet Rahardjo tidak memberi porsi penuh pada Marsinah. Alih-alih, ia malah menggambarkan perjuangan Mutiari, mantan tersangka utama pembunuh Marsinah, untuk memperoleh keadilan. Tokoh Marsinah hanya muncul dalam cerita kilas balik yang digambarkan hitam-putih.
Penonton tidak diberi pengantar yang cukup untuk mengetahui sosok Marsinah dan apa yang membuatnya sampai tewas terbunuh, sehingga kematiannya memang perlu dijadikan bahan renungan. 

Penonton hanya disuguhi adegan Marsinah terbunuh, divisum dan dikuburkan hingga sempat dibongkar lagi untuk diperiksa ulang. Mengingat kurun waktu yang cukup lama dari peristiwa yang terjadi hampir 10 tahun lampau, kata pengantar agaknya diperlukan, apalagi bagi penonton yang ketika itu belum mengikuti peristiwa tersebut sehingga harus meraba-raba peristiwa yang terjadi.
Yang patut dipuji adalah keberanian sang sutradara mengungkap oknum alias aparat yang terlibat. Tanpa menyebut nama, sutradara cukup jelas memberikan gambaran siapa pihak yang berwenang saat itu. Selain itu, akting dan wajah para pemain yang notabene pemain baru, juga cukup lumayan. Sayangnya, hingga akhir film usai pertanyaan besar mengenai perjuangan Marsinah tak pernah terungkap.

Simbol Perjuangan
Disinggung mengenai peran Mutiari yang lebih dominan dalam film ini dibandingkan Marsinah, Slamet Rahardjo mengatakan dirinya memang sengaja ingin menjadikan Marsinah sebagai idiom bahwa Marsinah adalah identik dengan semangat kebebasan, keadilan serta sendi-sendi kehidupan yang saat itu tiba-tiba menjadi beku.
”Marsinah bukan lagi nama gadis desa atau pejuang buruh tetapi telah menjadi idiom permasalahan kita semua. Kebesaran nama Marsinah tidak perlu diungkapkan oleh dirinya sendiri tapi bisa lewat orang lain yaitu Mutiari. Angle yang ingin saya angkat adalah seperti itu dan bukan membuat film biografi,” tandas Slamet usai pemutaran film perdana Marsinah (Cry Justice) di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Rabu malam lalu (3/4).
Kesan film ini terkesan berat sebelah karena kurang mengungkapkan informasi dari sisi aparat keamanan, juga dibantah Slamet. Menurutnya ia sudah berusaha mengungkap apa adanya sesuai data yang timnya peroleh, sementara pihak militer seperti yang terungkap dalam persidangan selalu membantah telah melakukan kesewenang-wenangan. 
”Ini adalah film nonfiksi, dialognya dan jalan ceritanya nggak boleh ngarang. Saya memang sengaja tidak menyinggung orang terlalu berat dalam film ini, tapi ada indikasi jika saat itu terjadi komando tunggal,” sahut Slamet yang mengaku tidak takut dan tidak pernah mendapat tekanan selama pembuatan film ini. Apalagi sebelum pembuatan film ini, bersama PT Gedam Sinemuda Perkasa yang memproduksi film ini, dia sudah sowan ke berbagai pejabat militer.
Sesuai jadwal semula, film yang telah dinyatakan lulus sensor ini akan mulai ditayangkan di jaringan Bioskop 21 Jakarta mulai tanggal 18 April mendatang. Setelah itu, Marsinah akan preview dan diputar di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya.
Soal pembuatan film yang cukup lama hingga 2 tahun, tak lain karena masalah dana yang terbatas. ”Maklum saja kami kerja tanpa sponsor,” cetus produser Gusti Randa yang mengaku belum memiliki target jumlah penonton film ini. 

”Marsinah” Digugat, Pemutaran Filmnya Ditunda
Jakarta, Sinar Harapan
Pro dan kontra seputar pemutaran film Marsinah (Cry Justice) semakin berlanjut. Setelah mendapat kritikan dari beberapa pihak, termasuk Menakertrans, Jacob Nuwa Wea, produser film ini juga disomasi oleh mantan Kepala Seksi (Kasi) Intel Kodim 0816/Sidoarjo Kapten (Inf) Sugeng dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Meski demikian, produser Marsinah (Cry Justice) Gusti Randa mengaku tak gentar. Gusti mengaku hingga kini belum mendapat tembusan somasi seperti yang diutarakan Sugeng melalui kuasa hukumnya, Sunarno Edi Wibowo.

Saya belum menerima somasi dan belum dihubungi sama sekali oleh pengacaranya. Saya justru heran, somasi belum diterima kok beritanya sudah ada di mana-mana. Jadi yang melakukan pencemaran nama baik itu saya atau dia?” tandas Gusti Randa saat dihubungi SH per telepon di bandara Soekarno Hatta Jakarta sebelum terbang ke Surabaya melakukan preview film Marsinah, Selasa siang kemarin (22/4).
Seperti ditulis detikcom hari Sabtu kemarin Sunarno menyatakan akan melayangkan surat somasi ke PT Gedam Sinemuda Perkasa (GSP) yang memproduseri film Marsinah (Cry Justice). Pihaknya meminta agar film yang menceritakan kasus pembunuhan buruh PT Catur Putra Surya yang hingga kini masih misterius itu ditarik dari peredaran. PT GSP dituduh telah mencemarkan nama baik kliennya karena sebelum film itu dibuat, Sugeng tidak pernah dihubungi baik oleh pihak produser maupun sutradaranya Slamet Rahardjo Djarot.
Sugeng yang pada saat terjadinya kasus pembunuhan Marsinah tahun 1993 masih berpangkat Kapten yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan. Dia telah menyekap Marsinah di ruang kerjanya, sebelum akhirnya mayat Marsinah ditemukan di hutan di Nganjuk. Menurut Sunarno, Sugeng yang sudah tiga kali diperiksa di Polda Jatim, hingga kini belum terbukti secara hukum. Dalam surat somasi juga disebutkan, Sunarno juga mengundang PT GSP untuk membicarakan masalah tersebut secara baik-baik. Jika tidak, mereka sepakat untuk mengajukan gugatan perdata maupun pidana.
Atas tuduhan ini, Gusti mengakui pihaknya memang tidak menghubungi Sugeng sebelum film ini dibuat. ”Karena film ini tidak menceritakan tentang dia (Sugeng). Dia hanya muncul sebatas figuran,” kilah Gusti yang berencana akan menemui Sunarno setibanya di Surabaya untuk menjernihkan permasalahan ini.

Tidak Ingin Memojokkan
Dikatakan Gusti, pembuatan film ini memang tidak bermaksud untuk menyebut nama atau memojokkan orang-orang yang terlibat, dalam hal ini aparat kepolisian dan militer. Bahkan sejak awal pembuatan film ini, Gusti bersama Slamet sudah menemui Kapuspen TNI saat itu Marsda Graito Usodo dan Pangdam Diponegoro (saat itu) Letjen TB Silalahi yang lantas memberikan izin pembuatan film ini dengan syarat tidak boleh trial by film, tetap memegang asas praduga tak bersalah dan kemasan film tidak boleh provokatif. Lokasi syuting film juga tidak bisa dilakukan di tempat aslinya sehingga tim produksi harus membuat set baru di Yogyakarta.
Saat pemutaran perdana film ini awal bulan lalu, keduanya juga diundang tetapi tidak ada satu pun yang hadir. Mengenai ketidakhadiran mereka ini, Gusti juga enggan berkomentar. ”Saya nggak mau berandai-andai. Mungkin saja mereka sibuk,” sahutnya.
Atas somasi ini, Gusti menyatakan dirinya tidak merasa cemas. Malah secara bergurau dia mengatakan hal ini bisa menjadi publikasi gratis untuk filmnya. ”Saya dulu sempat bercanda dengan Mas Slamet, bagaimana caranya menekan bujet produksi tapi meningkatkan bujet publikasi. Eh ternyata, ini yang terjadi. Saya bilang sama Mas Slamet, ya sudah tidak usah pakai publikasi karena kita sudah terpublikasi,” cetusnya sembari tertawa.

Kritik Pedas
Sebelum keberatan yang diajukan Sugeng, sesungguhnya film ini sudah banyak menerima kritikan pedas. Misalnya saja dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwawea dan Ratna Sarumpaet. Secara garis besar mereka menyatakan bahwa isi film tidak sesuai dengan judulnya, tidak berani menyatakan aparat militer yang bersalah dan meminta agar film itu ditunda pemutarannya.
Belum jelas apakah kritikan ini yang membuat film Marsinah tak diputar di jaringan bioskop 21 sesuai rencana tanggal 18 April kemarin. ”Bukan takut, yang berhak menetapkan film itu layak edar atau tidak kan LSF. 


Film saya jelas sudah lolos sensor. Kebetulan tanggal itu film belum siap karena masih menjalani pasca produksi di Bangkok,” jelas Gusti yang ingin menampung semua pro dan kontra mengenai film ini sebelum jadi diputar.
Selain itu, Gusti juga tidak ingin dengan diputarnya film ini, dirinya justru dibenturkan oleh pihak-pihak yang selama ini menunggangi kasus ini. Siapakah pihak-pihak yang menunggangi? Gusti tak mau menjawab jelas. ”Macam-macam. Saya dibenturkan dengan buruh, dengan TNI, padahal film ini belum beredar,” cetus aktor yang melejit tahun 1980-an dan kini terjun menjadi pengacara profesional. Gusti juga tidak ingin filmnya ini nanti dikait-kaitkan dengan keinginan Komnas HAM untuk membuka kembali kasus ini. ”Saya tidak mau film saya jadi bahan referensi,” tandasnya.
Ditanya kapan film itu akan diputar di bioskop, Gusti belum bisa menjawab pasti. Bahkan dia mengaku jika kesimpulan yang didapatnya nanti negatif, alias banyak orang yang mengatakan filmnya jelek, ada kemungkinan filmnya tak akan diputar sama sekali. ”Buat apa saya membuat kopi film banyak-banyak kalau tidak ada orang yang mau menonton. Kalau memang banyak yang menentang, ya berarti selera orang Indonesia cuma sampai di situ, daripada menonton film yang memperjuangkan keadilan mereka lebih senang film yang menjual mimpi,” tandas Gusti yang mengaku sejak awal tak pernah membayangkan filmnya bakal meraih tanggapan sebesar ini.