Tampilkan postingan dengan label MOERAH PUTJIH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MOERAH PUTJIH. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 November 2009

Selamat Datang Film Perang! "Merah Putih" Menyapa Penantian Lama

Selamat Datang Film Perang!

"Merah Putih" Menyapa Penantian Lama

BERTARUH bisnis film di atas tema perjuangan tidak banyak menggoda produser film nasional. Bisa dipahami, karena penanaman modal besar untuk sebuah film perang seringkali berpaling dari panen berangan keuntungan. Itu yang mengeringkan perwajahan film nasional dari tema perjuangan. Tudingan sumbang pun terumbar, produser film dinilai tak lagi memiliki jiwa nasionalisme. Pada sepuluh tahun pertama saja di awal kebangkitan perfilman 1970, hanya lima film perjuangan yang diproduksi.
 
Tahun 1971 ditandai kelahiran film "Perawan di Sektor Selatan" karya alm. Alam Rengga Surawidjaya, bersambut film "Mereka Kembali" (1972) garapan alm. Nawi Ismail. Tiga film lainnya, "Butet" karya SA Karim (1974) dan dua film kemasan Alam Surawidjaya, "Bandung Lautan Api" (1974) serta "Janur Kuning" (1979). Lahan paceklik film perjuangan mulai membasah dalam dekade 1980-an, yang menghadirkan banyak sutradara kenamaan.
 
Sutradara alm. Arifien C. Noer menampilkan film "Serangan Fajar" (1981), disusul Imam Tantowi dengan film "Pasukan Berani Mati" (1982). Di tahun 1983 alm. Sophan Sophiaan mengurai drama berlatar masa perjuangan dalam film "Kadarwaty", Imam Tantowi menggelar film "Lebak Membara", Yopie Burnama mengemas film "Kamp Tawanan Wanita" (1983), hingga alm. Drs Syumandjaya dengan film "Budak Nafsu" (1984).
 
Lahir kemudian film "Kereta Api Terakhir" (Mochtar Soemodimedjo 1984), film "Komando Samber Nyawa" (Eddy G Bakker 1985), "Naga Bonar" (MT Risyaf 1987), film "Tjoet Nyak Dhien" (Eros Djarot 1987), dan film "Soerabaja `45" (1990) karya Imam Tantowi. Selepas itu, film bertema perang kembali meredup. Kalaupun hadir, itu adalah film "Oeroeg" (1993) buatan Hans Hylkema, tetapi lebih dimaknai sebagai film "tamu" yang dikerjakan di Indonesia.
 
Penantian panjang untuk kebangkitan film perjuangan makin memanjang, manakala mega mendung memayungi industri perfilman nasional. Martabat film negeri ini pun runtuh, dan sekian lama terpuruk. Di sisi lain, pergeseran selera konsumen film kian merentangkan jarak dengan perwajahan film perang. Itu sebabnya, beberapa film nasional bertema perjuangan yang pernah tandang seolah hanya tersisa sebatas cerita. Tak banyak diperhitungkan orang, jika film "Merah Putih" kini hadir menyapa penantian lama.
 
Film karya Yadi Sugandi itu serta-merta menguatkan pembenaran, tentang pergeliatan keragaman dalam era kebangkitan kedua perfilman nasional. Film yang membintangkan Lukman Sardi, Donny Alamsyah, serta Rudy Wowor itu, berani memotret lagi lintasan sejarah alam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kepeloporan baru yang bisa mendukung tampilan variatif film nasional. Selamat datang film perang! Dengan keberanian berspekulasi untuk terobosan melawan arus pasar, harga keragaman perfilman bisa tergelar.
 
Momentum penting
Bukan sekali ini, Merah Putih lambang bendera pusaka menginspirasi niat produser film nasional! Tahun 1950, sutradara Moch Said HJ dengan dukungan Nawi Ismail sebagai editor, membuat film "Untuk Sang Merah Putih", dibintangi Chatir Harro, Pak Kasur, alm. Marlia Hardi, dan Djoewariah. Berselang sepuluh tahun, Alam Rengga Surawidjaya mencatat awal karir sutradara dengan film "Sehelai Merah Putih". Bahkan, pernah lahir film "Sang Dwi Warna".
 
Bukan sekali ini pula, kabar fantastis tingkat biaya produksi film perang mengemuka. Perwujudan film "Merah Putih" membuktikan tentang mahalnya harga yang mengental dalam setiap pengemasan film perang. Dalam kondisi lain, tingkat dana produksi yang membengkak itu membarengi sosok film "Janur Kuning", "Soerabaja ’45", maupun "Oeroeg". Bahkan, film "Oeroeg" yang diperankan Rik Launspach dan Martin Schwab, menelan dana patungan beberapa negara, serta melibatkan banyak kru tenaga asing.
 
Itu semua upaya agar filmnya bisa tampil terpuji secara filmis dan berjaya di pasar film, meski tak berbalas gaung pasar sedahsyat biaya produksi. Film heroik seperti "Soerabaja `45", "Kereta Api Terakhir", "Kadarwaty", atau "Kamp Tawanan Wanita", termasuk sederet film yang kurang berdaya di pasar film. Walaupun begitu, film perang dengan identitas semangat nasionalisme diharapkan tak pernah padam dalam kesuburan industri perfilman nasional.
 
Terlebih, karena film bermuatan perjuangan merupakan bagian dari derap riwayat perjalanan panjang perfilman nasional. Momentum Hari Film Nasional (30 Maret) pun, bertonggak pada awal shooting film "Darah dan Doa" ("Long March") karya alm. Usmar Usmail (1950). Film tentang peristiwa hijrah pasukan Siliwangi ke Yogyakarta, yang sukses dikemas-ulang dengan versi lain di film "Mereka Kembali" garapan alm. Nawi Ismail.
 
Kepopuleran film perang diwarnai pula dengan film "Sungai Ular" (1950) karya Jacob Harahap, dan "Turang" (1957) dari Bachtiar Siagian. Akan tetapi, reputasi Usmar dalam film perang, melegenda dengan sukses di film "Pedjoang" (1960) yang melejitkan alm. Bambang Hermanto sebagai Aktor Terbaik di Festival Film Internasional Moskwa (1962). Dua film heroik Usmar lainnya yang populer, film "Toha Pahlawan Bandung Selatan" (1962), dan "Anak-Anak Revolusi" (1964).
 
Dalam perkembangan film kemudian, justru Alam Rengga Surawidjaya yang identik dengan gelar sutradara spesialis film perang. Padahal, tidak semua film karya Alam berwajah perang. Film "Luka 3X", "Tjek AA 42658" (1964), maupun film "Nyi Ronggeng" (1970), merupakan wajah lain film karya Alam Surawidjaya yang memikat. Memang, keahliannya membangun film perjuangan melesatkan reputasi Alam Surawidjaya, serampung film "Sehelai Merah Putih", "Daerah tak Bertuan", hingga mantap dalam film "Perawan di Sektor Selatan".
 
Akankah harga penantian atas film perang menjemput sukses pasar film "Merah Putih"? Apa pun hasilnya, film jenis langka karena biaya produksi tinggi, jangan hanya menggeliat sebatas "Merah Putih"! Akan tetapi, penonton film perang tidak cuma butuh film pamer teknis modern yang tergoda mengadopsi gaya Rambo seperti film "Komando Samber Nyawa". Di balik dentuman meriam dan desingan peluru, film perjuangan menuntut dukungan aspek filmis lainnya, baik struktur penceritaan maupun rangkaian gambar bernilai filmis. (Yoyo Dasriyo/wartawan, pemerhati film nasional dan sinetron, tinggal di Garut)***