Tampilkan postingan dengan label MOTINGGO BOESJE 1960-1978. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MOTINGGO BOESJE 1960-1978. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Maret 2012

MOTINGGO BOESJE 1960-1978



Motinggo Busye sebenarnya adalah nama samaran, ia lahir dengan nama Bustami Dating di Kupangkota, Telukbetung, Bandar Lampung dari pasangan Djalid Sutan Rajo Alam dan Rabi’ah Jakub.

Ibu Bustami berasal dari Matur, Agam dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Setelah menikah, mereka berdua pergi merantau ke Bandar Lampung. Disana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sedangkan ibunya mengajar agama dan Bahasa Arab.

Kedua orangtua Bustami meninggal saat Ia berusia 12 tahun. Dia lalu diasuh oleh neneknya di Bukittinggi, Sumatera Barat hingga menamatkan SMA di sana lalu melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, meski tidak selesai.

Dalam Pandangan Dunia Motinggo Busye (2007), Agus Sri Danardana dan Puji Santoso menjelaskan, nama Motinggo Busye dipakai sejak 1953 saat puisinya dimuat di sebuah majalah. Dikutip dari Badan Bahasa, menurut Taufik Ismail, nama Motinggo berasal dari kata bahasa Minang, mantiko yang artinya bengal, eksentrik, suka menggaduh, ada kocaknya, dan tak tahu malu.

Namun, hal itu disanggah oleh Motinggo Busye bahwa mantiko bungo artinya seperti bunga yang harum mewangi dan bukannya berkonotasi jelek. Mantiko Bungo atau disingkat menjadi MB sama dengan Motinggo Boesje bila disingkat.

Pada waktu itu, Taufik Ismail bahkan berpendapat bahwa Motinggo adalah anak ajaib di pentas sastra  Indonesia, sebab pada usia yang masih sangat muda (SMP) karyanya sudah disetujui H. B. Jassin untuk dimuat di Mimbar Indonesia.

Pada tahun 1958, Motinggo menulis drama berjudul Malam Jahanam dan memenangkan hadiah Sayembara Penulisan Drama Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Tiga tahun kemudian ia memenangkan hadiah majalah Sastra untuk cerpennya Nasihat untuk Anakku.

Sunardiyan Wirodono, dalam blognya menulis karya-karya Motinggo Busye pada era 1960-1970 mengajak penikmatnya untuk membebaskan pikiran dan imajinasi mereka (dengan) membayangkan hubungan intim antara lelaki dan perempuan.

Novel-novelnya yang bergenre erotis itu, antara lain terlihat dari judul-judulnya seperti; Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Dosa Kita Semua (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Retno Lestari (1968), Kutemui Dia (1970).

Simak sebuah adegan berikut yang Motinggo Busye tuliskan dalam novel Kutemui Dia tahun 1970.

"Sepasang manusia sedang dalam kenikmatan, yang lelaki sedang memangku yang gadis di atas sebuah kursi, yang membelakangi jendela. Keduanya tak tahu bahwa aku melihat mereka. Keduanya begitu asyik dalam terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi. Tris menyerang pada bagian leher gadis itu, kemudian mendesaknya pada sebuah lipatan kaki yang menggerumul, seakan-akan gadis itu terjepit."

Era sekarang, cerita yang ditulis Motinggo Busye mungkin terasa hambar dan tidak memantik hasrat seksual bagi generasi yang sudah terpapar adegan-adegan riil dalam bentuk visual. Namun pada masa ketika akses audio dan visual masih langka, rangkaian kalimat yang Ia susun dapat membuat jantung berdegup  kencang dan kepala menghangat.

Pada masa itu banyak kritikus sastra yang mengamati perkembangan karya Busye yang dianggap mengambil tema-tema vulgar.

"Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang kan sebenarnya interes," ujar Busye seperti diikuti dari Harian Terbit, 17 September 1994.

Selain dikenal luas sebagai novelis, Motinggo Busye  juga menyandang predikat dramawan, sutradara film, penyair, dan pelukis. Kepiawaiannya dalam melukis ini pernah dipamerkan dalam sebuah pameran di Padang pada tahun 1954.

Kontribusi Motinggo Busye sebagai sutradara dapat dilihat dari film-film garapannya seperti, Cintaku Jauh di Pulau, Putri Seorang Jenderal, dan Si Rano. Dalam film Si Rano (1973) Motinggo mempertemukan aktor legendaris Indonesia Benyamin Suaeb dengan Rano Karno yang saat itu masih remaja.

Dalam jagat sastra Indonesia Motinggo Busye terbilang  penulis yang cukup produktif dalam berkarya. Sedikitnya ada 200-an karya yang telah dihasilkannya baik novel, drama, cerpen, maupun puisi. Karya-karya tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.

Jiwa kepengaran Motinggo ia akui dipengaruhi beberapa sastrawan Barat dan Indonesia. Ketika ia menulis cerita pendek, teknik yang digunakannya dipengaruhi oleh pengarang Maupassant. Dalam menampilkan watak tokoh cerita, Motinggo secara tidak langsung dipengaruhi oleh sastrawan Rusia, Anton P. Chekov dan John Steinbeck. Sementara itu, penulis Indonesia yang ia kagumi adalah Pramoedya Ananta Toer.

Sekitar tahun 1984-199, Busye mengubah pandangannya dalam berkarya. Pertama karena lesunya dunia perfilman nasional. Kedua, kritik keras dari anaknya yang disekolahkan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Oleh sang anak dari hasil pernikahannya dengan Laksmi Bachtiar, Ia diingatkan untuk tidak membuat karya sastra atau film yang lebih banyak menonjolkan seksualitas. Dari sinilah Busye membuat novel Sanu Infinita Kembar (sisipan majalah Horison 1984, kemudian diterbitkan oleh Gunung Agung, 1985).

Novel tersebut menjadi penanda perubahan pandangan Motinggo dari hal-hal yang berbau seksualitas dan erotisme ke hal-hal yang bersifat religius, serius, transendental, pengembaraan intelektual imajinatif, serta absurditas.Terlebih setelah ia menunaikan ibadah haji bersama istrinya pada tahun 1994.

Lembar-lembar kalimat yang Ia tuangkan dalam karya seni akhirnya kembali membuahkan hasil. Busye mendapatkan hadiah ke-4 Sayembara Penulisan Cerpen Majalah Horison 1997 melalui cerpennya berjudul Bangku Batu.

Tidak hanya itu, cerpennya berjudul Lonceng juga masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah sastra Horison 2000. Karya lainnya, cerpen berjudul Dua Tengkorak Kepala juga ditahbiskan sebagai cerpen terbaik Kompas tahun 1999.

"Perkembangannya sangat menarik.Semakin Ia mendalami agama, semakin Ia terbuka mendengarkan pendapat orang lain," ungkap Remy Sylado mengutip arsip Gatra.
Motinggo Busye tutup usia pada 18 Juni 999 pada usia 62 tahun di Jakarta akibat komplikasi penyakit diabetes. Anak ajaib itu dibumikan di pemakaman umum Penggilingan, Rawamangun, Jakarta Timur. Obituari Lian Tanjung dalam majalah Gatra menuliskan bahwa Motinggo Busye adalah Master Tanpa Mahkota.


MOTINGGO BOESJE
Ia sering menulis buku-buku saku yang biasanya di jajakan di restoran-restoran. Ia pengarah akhli bercerita, ia berkecendrungan yang cukup besar untuk terlalu memperhatikan kecil-kecil pada saat ia mengabaikan peranan hal yang lebih besar dan penting dalam keseluruhan jalan cerita. Inilah ciri khas Boesje bercerita.

Nama :Bustami Djalid
Lahir :Lampung, 23 Nopember 1937
Wafat :Jakarta ……..
Pendidikan :SLA Bagian C Bukit Tinggi
Karya Novel :Bibi Marsiti (1964)

Sewaktu masih siswa SLA bagian C di Bukit Tinggi, Boesje telah giat menulis dan berdrama. Tahun 1952 mengisi acara sandiwara radio RRI studio Bukittinggi, sambil belajar melukis bersama Delsy Syamsumar pada Wakidi. Kemudian dia ikut mendirikan Himpunan Seniman Muda Indonesia-Sumatra Tengah dan menjadi Pemimpin majalah Kebudayaan organisasi itu. Karya-karya sastranya kala itu banyak dimuat dalam harian dan majalah di Bukittinggi, Padang dan Jakarta. Kegiatan seninya makin berkembang dan intensif setelah dia melanjutkan pendidikannya ke Yogyakarta.

Karya-karya tulis dan dramanya makin dikenal di berbagai kota. Tahun 1958, Boesje memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan naskah drama P&K untuk naskahnya Malam Djahanam, naskah drama ini kemudian di filmkan Pitradjaja Burnama di tahun 1970.

Karya-karya Boesje sampai terbitnya novel Bibi Marsiti”di anggap para kritisi sastra sebagai karya-karya sastra. Novel Bibi Marsiti”tahun 1964 yang dapat serangan dari kelompok Lekra ini, merupakan titik awal peralihannya kepenulisan yang lebih popular sifatnya.

Perubahan ini mendapat kritikan tajam dari kalangan sastra, sehingga Boesje “diadili” para sastrawan waktu dia berceramah tentang karya-karyanya di TIM tahun 1969. Sementara banyak pula peninjau sastra dari luar negeri yang menghargainya. Corak penulisannya ini kemudian banyak diikuti orang. Novel-novelnya dari masa inilah yang banyak difilmkan orang, antara lain Di Balik Dosa”tahun 1970, Tiada Maaf Bagimu tahun 1971 dan Insan Kesepian tahun 1971.

Boesje memasuki dunia film sebetulnya sejak tahun 1960 ketika ceritanya Si Pendek dan Sri Panggung” di filmkan Sutradara Alam Surawidjaja dan dia menjadi Pembantunya. Kemudian pada 1960 juga dia menjadi Pembantu Sutradara Rd. Arifin untuk film Di Balik Dinding Sekolah”tahun 1961. Tetapi setelah kedua film itu, Boesje kembali menulis dan berdrama.

Dia kembali ke film untuk menyutradai Biarkan Musim Berganti”tahun 1971 lebih banyak didorong ketidakpuasannya melihat film-film yang diolah dari ceritanya. Selain menulis naskah drama, cerita bersambung dan sebagai sutradara film, Boesje juga melukis. Ia sempat berpameran bersama para pelukis Jakarta di Balai Budaya dan juga di TIM. Terutama dengan HIPTA (Himpunan Pelukis Jakarta), sastrawan yang pelukis ini banyak mengisi waktu dan hari-harinya berdiskusi di Balai Budaya dan di salah satu kios makan di TIM. Beliau wafat karena serangan penyakit gula yang akut.


SEORANG NOVELIS

Ia terkenal lewat novel-novelnya yang bercerita tentang seks dan kehidupan malam seperti Cross Mama (1966) dan Tante Maryati (1967). Karyanya yang berjudul Malam Jahanam dipilih sebagai naskah drama terbaik oleh Departemen P & K dan menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah seni dan teater.  Selain dikenal luas sebagai novelis, mantan Redaktur Kepala Penerbitan Nusantara ini juga menyandang predikat dramawan, sutradara film, penyair, dan pelukis.

Darah kecintaan pada sastra telah mengalir dari Sang Ayah kepada dirinya. Ketika masa pendudukan Jepang di tanah air sekitar bulan Maret 1942, di mana kedatangan pasukan Jepang membuat sebuah "mobil buku" milik Balai Pustaka ditinggalkan lari begitu saja oleh supirnya, sang Ayah sibuk menjarah buku-buku yang ditinggalkan sementara orang-orang lain mempreteli onderdil kendaraan tersebut.

Saat peristiwa itu terjadi, dirinya telah berumur 5 tahun. Beberapa tahun kemudian, setelah beliau mahir membaca, buku-buku Balai Pustaka seperti karya-karya Karl May dan buku Mowgli Anak Didikan Rimba terjemahan Haji Agus Salim mendampinginya beranjak dewasa.

Motinggo Busye yang bernama asli Motinggo Bustami Dating, lahir di Kupangkota, Teluk Betung, Lampung, 21 November 1937. Ayahnya bernama Jalid Sutan Raja Alam, berasal dari Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat. Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, Motinggo Busye harus ikhlas di usianya yang keduabelas tahun ditinggal mati kedua orang tuanya.

Motinggo Busye menggunakan nama penanya untuk pertama kali di tahun 1953 dalam majalah Nasional. Sementara novelnya yang berjudul 1949 merupakan gambaran sejarah atas kenangan buram masa revolusi fisik yang menyebabkan dirinya bersama keluarga harus mengungsi di hutan belantara.

Pernah bersekolah di Fakultas Hukum UGM Jurusan Tata Negara. Namun tidak sampai tamat, karena kecintaan pada dunia seni yang lebih besar telah menyedot seluruh perhatiannya. Bakat Montinggo Busye sudah kelihatan ketika beliau beranjak remaja. Berbagai kegiatan seni ditekuninya, seperti mengisi siaran sandiwara radio di RRI Bukittinggi, bermain drama, menjadi sustradara, melukis, menulis puisi, cerpen, novel, dan bahkan essai.

Pilihannya untuk kuliah di Kota Gudeg, Yogyakarta semakin menyuburkan bakat seninya tersebut. di Kota Pelajar inilah beliau bertemu dengan seniman-senimana kawakan seperti Rendra, Kirdjomuljo, Nasjah Djamin, dan membuatnya bergabung di Sanggar Bambu.

Nama Motinggo Busye makin berkibar di dunia kesusastraan tanah air. Karya-karyanya bertebaran di media massa, seperti Minggu Pagi, Budaya, Mimbar Indonesia, Kisah, Sastra, dan Aneka. Naskah Dramanya berjudul Malam Jahanam memperoleh Juara I Sayembara Penulisan Drama yang diadakan oleh Kementerian P.P. dan K di tahun 1958. Cerpennya berjudul Nasehat Untuk Anakku mendapat Penghargaan dari Majalah Sastra di tahun 1962.

Perjalanan kehidupannya padat dengan kegiatan seputar seni dan kepenulisan. Beliau pernah menjadi wartawan majalah Aneka hingga menjadi redaktur. Kemudian, bakatnya sebagai sutradara semenjak remaja mengantarkannya menjadi sustradara film. 

Karya-karya Motinggo Busye menunjukkan perjalanan seni sekaligus perjalanan kehidupannya. Beliau pernah memasuki fase menulis novel-novel pop porno demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang lebih baik. Namun, hidayah kemudian datang dari sosok anaknya yang belajar di Pesantren Gontor. Selanjutnya karya-karya sastra Motinggo Busye menjadi lebih religius dan serius. Cerpen Bangku Batu menyabet Juara IV dalam Sayembara Mengarang Cerpen di Ulang Tahun ke-31 Majalah Horison tahun 1997.

Motinggo Busye merupakaan salah satu dari sedikit Penulis Indonesia yang terbilang produktif, lebih dari 200 buku, berupa novel, drama, cerpen, maupun puisi telah dihasilkannya. Karya tersebut juga telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jepang, Korea, dan Cina.

Cerpen terakhirnya berjudul Dua Tengkorak Kepala di muat di Kompas, 13 Juni 1999, ketika beliau jatuh sakit. Pada tanggal 18 Juni 1999, dini hari, Motinggo Busye menghadap yang Kuasa, di Jakarta.


NEWS MOTINGGO
12 Juli 1975
"saya ini suka gembira"

MOTINGGO Bosye, 38 tahun, jauh sebelum terjun ke dunia film, telah menempatkan dirinya sebagai pelopor dalam penulisan cerita hiburan yang hangat, tpi tetap mempertahankan mutu bahasanya. Anak muda sekarang sering menyebut kata indehoy, namun tidak banyak di antara mereka yang tahu bahwa kata itu adalah ciptaan Boesye yang populer lewat novel-novel popnya. Tapi Boesye bukan cuma sibuk menghibur. Ketika masih di Yogyakarta sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, ia dikenal sebagai pelukis, penulis novel, cerita pendek, puisi serta drama yang cukup bernilai sastra. Sambil menulis drama, ia juga aktif di pentas, sebagai sutradara maupun pemain. "Melalui teater inilah saya terfarik kepada film", kata sutradara Boesye yang telah menyelesaikan 7 buah film. Berikut ini adalah wawancara singkat sutradara itu dengan Kepala Desk Film TEMPO, Salim Said Tanya: Film nampaknya lebih menarik anda dari menulis, mengapa? Jawab: Saya merasa film adalah dunia saya. Dalam film saya bertanggungjawab kepada banyak fihak: pada artis, pemilik uang, karyawan, penonton dan keinginan saya sendiri. Menulis? Saya masih, tapi hanya sebagai latihan.

T: Bagaimana anda melihat perbedaan menulis dan membuat film?
J: Sebagai penulis saya lebih merdeka. Saya mempunyai otoritas untuk menulis tentang apa saja yang saya sukai dan mengetik sebanyak kertas yang saya sanggup habiskan. Film jelas lain. Di sini medianya melibatkan banyak orang. Maka di sini faktor menyeleksi lebih memegang peranan penting.

T: Dalam dunia penulisan anda memulai dengan sikap serius, kemudian berakhir dalam karya-karya hiburan. Adakah dalam film juga akan berlaku hal yang sama?
J: Mungkin yang berubah itu bentuknya, tapi pengucapannya saya kira tidak. Dalam hal ini saya seolah-olah mengulangi Usmar Ismail. Ia pernah membuat Krisis, tapi kemudian juga membuat Tiga Dara. Kedila film itu toh bermutu--yang pertama film seni, yang kedua film hiburan--dan laku. Saya kira ini menyangkut soal modal. Jadi menyangkut pula usaha menarik penonton sebanyak mungkin.

T: Dalam keadaan tingkat penonton kita masih seperti ini, adakah anda melihat kemungkinan lahirnya film-film yang bermutu di Indonesia?
J: Bermutu itu bisa saja dengan cerita picisan tapi dengan pengerjaan yang baik. Contoh terbaik adalah Tiga Dara karya Usmar. Kisahnya sederhana, pengerjaannya baik. Film Indonesia sekarang ini umumnya tampil dengan kisah besar tapi kedodoran. Maunya hebat, tapi kemampuan teknis maupun intelektuil belum sampai. Dan ini terjadi ketika Wim Umboh membuat Mama.

T: Bagaimana komentar anda mengenai film Indonesia sekarang ini?
J: FIlm Indonesia sekarang ini--dari dialog, tema maupun akting para pemainnya -- hanya merupakan anak campuran bahkan anak haram. Ia cuma merupakan jiplakan dari film-film asing, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Aktr-aktris kita juga berperan bukan sebagai tokoh Indonesia melainkan salinan dari bintang luar. Ini yang menyebabkan film kita kehilangan watak. Orang tidak bisa lagi melihatnya sebagai film Indonesia.

T: Bagaimana anda melihat hari depan anda sebagai sutradara dalam masyarakat film Indonesia?
J: Dalam dunia karang mengarang, saya menghabiskan 8 tahun sebelum mantap. Di film saya mulai tahun 1971. Baru 4 tahun. Saya harus bersabar sebelum menemukan kepribadian sendiri. Soal seperti kompromi tidak jadi soal setelah kita menemukan kepribadian kita. Tapi saya tidak tinggal menanti datangnya itu semua. Saya harus berjuang, merintis dan terus menerus mencoba meninggalkan jejak saya dalam karya-karya saya.

T: Film-film apakah yang anda ingin bikin pada hari-hari mendatang?
J: Saya ini suka gembira, tapi juga suka kalau orang lain gembira. Dan nampaknya komedi itu memang dunia saya. Tapi kalau saya bikin komedi lagi, saya ingin mengerjakannya lebih sempurna dan tanpa menggunakan pelawak.


FILM-FILM MOTINGGO YANG MERANGSANG
Ada dua nama legendaris yang tak bisa dipisahkan dari lapangan penulisan berahi ini, yaitu Enny Arrow dan Fredy S. Karya-karya mereka berhasil membuat pembaca panas dingin diguyur imajinasi syur. Selain dua nama legendaris tersebut yang terkesan misterius, ada juga seorang sastrawan yang pernah berkecimpung di dunia bacaan pembangkit syahwat, yaitu Motinggo Busye. Jauh sebelum cerpennya yang berjudul “Dua Tengkorak Kepala” diganjar sebagai cerpen terbaik Kompas pada 1999, ia selama dua puluh tahun masyuk menulis kisah-kisah roman berbalut seks.

Sejak 1960-an sampai 1980-an, Motinggo Busye amat produktif menulis cerita-cerita yang digumuli oleh adegan-adegan panas. Hari ini mungkin apa yang telah ditulis olehnya terasa hambar dan tak memantik hasrat seksual. Namun, di masa ketika akses audio dan visul amat langka, rangkaian kalimat yang ia susun bisa bikin jantung berdegup kencang. Simak sebuah adegan berikut yang Motinggo Busye tulis dalam novel berjudul Mbak Retno:

“Retno merengek-rengek manja sekaligus menolak setiap elusan Ramses. Retno ingin sekali memagut Ramses. Gadis dua puluh enam tahun itu selalu teringat nasihat dukun pengantin untuk menolak jika dielus. Tapi nasihat dukun itu lenyap sewaktu Ramses mengecup dadanya, dan Retno merintih, memelintirkan tubuhnya dengan liat dan akhirnya dirangkulnya Ramses. Nasihat dukun pengantin itu hirap lenyap dari kepala gadis dua puluh enam tahun itu. Dalam suatu amukan menerjang dan menggeliat, menggelinjang bermandi keringat. Meronta meringis geram.”

Karya-karya Motinggo Busye yang berbumbu esek-esek laris manis dan karenanya selalu terancam dibajak oleh mereka yang hendak mengeruk untung dengan jalan curang.

Agus Sri Danardana dan Puji Santoso dalam Pandangan Dunia Motinggo Busye (2007) menyebutkan bahwa novel triloginya yang berjudul Bibi Marsiti, Jatuni, dan Nyonya Maryono yang semuanya terbit tahun 1968 adalah format novel erotis Motinggo Busye yang kemudian dikembangkan menjadi sejumlah karya lain yang serupa, seperti Cross Mama, Tante Maryati, Sri Ayati, Retno Lestari, dan sebagainya.

Sementara itu, menurut Sony Karsono dalam disertasinya yang dipertahankan di The College of Arts and Sciences of Ohio University, yang berjudul “Indonesia’s New Order, 1966-1998: Its Social and Intellectual Origins” (2013), Motinggo Busye mulai menulis novel populer setelah membaca trilogi Studs Lonigan karya pengarang Amerika, James T. Farrell. Ia sangat mengagumi karya itu dan terinspirasi, lalu menulis trilogi Bibi Marsiti, Tante Maryati, dan Retak dari Dalam.


Namun, sebelum format trilogi, Motinggu Busye sebetulnya telah menulis kisah-kisah berbalut seks sejak 1963, di antaranya Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Dosa Kita Semua (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), dan lain-lain.

Beberapa cerita yang didadarkan Motinggo Busye tak terkesan rumit, meski kerap dilatari persoalan hubungan yang berantakan. Simpul-simpul pertemuan orang-orang yang tengah bermasalah itulah yang sering menjadi pintu untuk menghadirkan adegan-adegan aduhai pemicu degup jantung.

Dalam Perempuan Paris (1968) misalnya. Seorang lelaki Indonesia berusia 33 tahun yang telah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak, karena berkonflik dengan istrinya dan keperluan akademik serta keperluan lainnya, bermukim di Paris. Selama tinggal di Paris, lelaki itu beberapa kali bertemu dengan perempuan antah berantah, mempunyai masalah relasi, saling mengenali lalu bercumbu dan bercinta.

Ating nama lelaki Indonesia itu. Sekali waktu ia dikenalkan oleh Henri, kawannya, kepada Nina Papandreou, seorang mahasiswi cantik berayah tentara Jerman yang mati ditembak tentara Jerman. Nina selalu merasa dirinya anak haram. Menurutnya, sekali waktu seorang tentara Nazi yang kesepian mencari penghiburan dan bertemu dengan seorang perempuan yang membutuhkan sepotong roti. Dan perempuan itu adalah ibunya. Maka ia selalu merasa menjadi anak Nazi dan itu haram.

Kekecewaan Nina pada asal asul, dan kegelisahan Ating terhadap hubungannya dengan sang istri dipertemukan dalam sebuah perkenalan. Kedua insan itu lalu memadu kasih. Ating dan Nina yang dalam penggambaran Motinggo Busye sebagai gadis yang tubuhnya montok dan padat serta rambut pirangnya menimbulkan selera, memacu berahi para pembaca, yang terpancing imajinasinya.

“Gemetar telunjuk-telunjukku menyelusupi rambutnya yang pirang. Kuketahui kancing baju atasku dua buah dibukanya, dan jari-jarinya menyelusupi bagai akan menghitung tiap helai bulu dadaku yang bertumbuh lebat dan rajin kuminyaki saban hari dengan mentega. Napasnya berdesah sewaktu bibirnya seakan-akan kuremas dengan keberahian penuh, ibarat kuda jantan yang lepas dari kandang, tanganku menyelusup memasuki blousenya, dan Nina Papandreou merengek dengan napasnya mengalun-ngalun, tetapi kemudian dia tersentak melepaskan pelukannya,” tulisnya.



“’Mari kita menyewa gondola’, katanya, menyeret lenganku,” tambah Motinggo.

Sampai di titik itu, Motinggo Busye telah menghamparkan rasa penasaran pembaca: bagaimana adegan selanjutnya di gondola?

Masih dalam novel yang sama, Motinggo Busye lagi-lagi mempertemukan Ating dengan seorang perempuan yang mempunyai persoalan hubungan dalam keluarga. Alkisah Ating bertemu dengan Myriam Debussy, seorang perempuan yang sudah bersuami tapi kesepian. Gabriel, suami yang telah menikahinya selama enam tahun, ia anggap telah mati sebelum ajal menjemput. Salah satu sebabnya adalah Gabriel impoten sementara Myriam menghendaki anak.

Dalam perjumpaan yang disatukan oleh curahan hati persoalan relasi masing-masing, Ating dan Myriam saling memagut hasrat. Mereka bergumul dalam berahi yang bergelombang.

“Kubenamkan kepala perempuan itu ke dalam dadaku. Kuciumi rambutnya yang coklatjingga itu. Dia menggelepar dalam pelukanku. Perlahan napasku menjalari leher dari sebalik belakang kupingnya. Dia menggelinjang, bibirnya terbuka. Entah apa suara yang menggeletar dari bibirnya itu. Kukunci suara bibirnya seketika itu juga, sehingga dia meronta-ronta, mengamuk bagaikan kuda liar dan menyeretku ke dalam,” tulis Motinggo.

Imajinasi pembaca terus dipacu olehnya.

“Aku tendang pintu kamar itu hingga terbuka. Dan kemudian dia juga menendang pintu itu kembali hingga tertutup, kemudian menguncinya dengan begitu tergesa. Diraihnya leherku, dilemparkannya bantal ke bawah tempat tidur. Aku terseret,” tambahnya.

Pada 1958 ia menulis drama berjudul Malam Jahanam dan memenangkan hadiah Sayembara Penulisan Drama Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Tiga tahun kemudian ia memenangkan hadiah majalah Sastra untuk cerpennya Nasihat untuk Anakku.

Setelah menikah dengan Laksmi Bachtiar, ia pindah meninggalkan Yogyakarta untuk menetap di Jakarta. Di kota inilah arah kepengarangannya berganti dan mulai menulis karya-karya erotis.

“Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang kan sebenarnya interes,”


 Sebelum perfilman nasional lesu pada awal 1980-an, dalam catatan Agus Sri Danardana dan Puji Santoso, Motinggo Busye sempat juga terjun ke dunia film, dengan menyutradarai film Cintaku Jauh di Pulau dan Puteri Seorang Jenderal. Dari sinilah kemudian ia mempunyai keinginan untuk kembali menulis karya-karya yang tidak lagi erotis. Kembali ke jalur penulisan sebelumnya.

Hal lain yang mendorong ia meninggalkan cerita-cerita panas adalah karena dikritik anaknya yang belajar di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo. Anaknya berpendapat bahwa karya-karya bapaknya yang menonjolkan erotisme dapat meracuni generasi muda.

Maka pada 1984 ia mulai menulis novelet Sanu: Infinita Kembar—sisipan Majalah Horison yang diterbitkan Gunung Agung setahun berikutnya. Setelah itu ia mulai memenangi sejumlah penghargaan sastra, yaitu menjadi juara ke-4 pada sayembara penulisan cerpen majalah Horison tahun 1997 untuk cerpen “Bangku Batu”, masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah Horison untuk cerpen “Lonceng”.

Dalam kondisi sakit, ia masih sempat menulis cerpen “Dua Tengkorak Kepala” dan berhasil menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas pada 1999.

Pada 18 Juni 1999, hari ini atau 19 tahun yang lalu, Motinggo Busye wafat di Jakarta. Sastrawan yang sempat berkubang dalam penulisan kisah-kisah pembangkit berahi itu harus mengakhiri riwayatnya, jejaknya terhampar dalam tiga setapak periode kepengarangan.
 

TAKKAN KULEPASKAN1972MOTINGGO BOESJE
Director
SEMOGA KAU KEMBALI 1976 MOTINGGO BOESJE
Director
BING SLAMET DUKUN PALSU 1973 MOTINGGO BOESJE
Director
SEBELUM USIA 17 1975 MOTINGGO BOESJE
Director
TJINTAKU DJAUH DIPULAU 1972 MOTINGGO BOESJE
Director
BIARKAN MUSIM BERGANTI 1971 MOTINGGO BOESJE
Director
SAYANGILAH DAKU 1974 MOTINGGO BOESJE
Director
SEJUTA DUKA IBU 1977 MOTINGGO BOESJE
Director
JALAL KOJAK PALSU 1977 MOTINGGO BOESJE
Director
JALAL KAWIN LAGI 1977 MOTINGGO BOESJE
Director
SI PENDEK DAN SRI PANGGUNG 1960 ALAM SURAWIDJAJA
Actor
BAHAYA PENYAKIT KELAMIN 1978 MOTINGGO BOESJE
Director
SI RANO 1973 MOTINGGO BOESJE
Director


SEJUTA DUKA IBU / 1977



Sejuta duka ibu berkisah tentant pengorbanan seorang istri untuk berkorban baik perasaan maupun juga keteguhan hatinya untuk menghidupi kedua anaknya.

Uki atau Basuki (Rudy Salam) dan Anna (Marini) adalah pasangan muda yang sangat bahagia, karena disamping sudah punya rumah sendiri, Basuki juga merupakan pengusaha muda yang telah dikaruniai 2 orang anak. Kehidupan keluarga muda ini sangat bahagia pada awalnya. Hingga pada suatu ketika Basuki tertarik pada sekretaris barunya bernama Conie (Doris Callebout). Sekretaris baru yang ternyata mampu mengundang nafsu bagi Basuki. Conie yang biasa tinggal di kontrakan sempit dan panas akhirnya di belikan rumah oleh Basuki. Sementara itu Basuki mulai pulang malam dengan alas an rapat. Anna juga mulai curiga dengan Basuki karena sikapnya yang mulai dingin. Sementara itu pamannya pun tahu akan sikap Basuki terhadap Anna karena telah menyia nyiakannya. Seolah ingin melindunginya iapun berusaha member wejangan kepada Anna, akan tetapi ini ternyata adalah sifat pamannya yang ingin berbuat tidak senonoh pada Anna. Anapun menampiknya.

Sikap Basuki yang mulai dingin dan tidak mempedulikan keadaan keluarga, akhirnya terendus oleh Anna. Tanpa sengaja Anna memergoki Basuki sedang nelpon dengan memanggil-manggil sayang. Akhirnya Anna pun tau kalau Basuki menyeleweng . Anna minta cerai. Anna dan anaknya hanya ditinggali rumah dan cek senilai satu juta rupiah untuk kedua anaknya selama satu tahun. Basuki lebih memilih Connie sekretarisnya dan menjadikannya istri. Sementara itu Ana dan anak-anaknya hanya bisa menangis tanpa bisa mencegah semuanya.

Kehidupan Anna dan anaknyapun berubah. Ketika dulu diantar jemput kesekolah, kini harus naik turun bus, juga telpon dirumahpun akhirnya diputus karena tidak mampu bayar. Sementara itu Basuki meski telah berpisah dengan anak-anaknya akan tetapi Basuki masih sering membayangkan saat-saat bahagia dengan anak dan istrinya. Bayangan itu tidak pernah hilang. Anapun akhirnya mencari pekerjaan untuk dapat menopang hidupnya dan anak-anaknya. Anna akhirnya bekerja di rumah Pak Gautama (Deddy Sutomo) sebagai guru les privat bagi kedua anaknya. Gautama adalah seorang Duda dengan 2 anaknya yang masih kecil. Bayangan anak-anaknya yang sering di rindukan, akhirnya membawa Basuki datang kerumah Anna. Akan tetapi ia tidak mendapati Anna, dan lewat simbok dirumah, Basuki pun tahu kalau tiap sore Anna pergi, tapi tidak tahu kemana tujuannya.
****

Tanpa diketahui suaminya, Basuki, Connie berselingkuh dengan teman sekantornya Din yang juga bawahan dari Basuki. Keduanya sering bertemu ketika Basuki tidak ada di sisi Connie. Sementara itu rumah tangga Basuki dan Connie akhirnya mulai renggang. Percekcokan dan ketidak cocokan mulai dirasakan keduanya.

Pak Gautama akhirnya mengutarakan niatnya untuk mempersunting Anna sebagai istrinya, akan tetapi Anna belum siap dan berusaha menolaknya dengan halus. Akhirnya Pak Gautama bersedia menunggu Anna sampai membuka hatinya.
****

Basuki kembali datang kerumah Anna dan kedua anaknya menyambut dengan gembira. Melihat kebahagiaan dan kedekatan anaknya dengan Basuki, Anna hanya bisa menghela nafas panjang. Saat itulah Basuki tahu siapa Pak Gautama, karena saat itulah Pak Gautama datang kerumah Anna. Sementara itu anak-anak Basuki akhirnya pun terlihat mesra kembali dengannya. Basuki jadi lebih sering kerumah Anna, dan secara tidak langsung mengulangi kemesraan yang terdahulu ketika masih terikat perkawinan meski hanya sebatas hubungan rekan saat ini.

Sementara itu anak Basuki menghilang yang akhirnya diketahui kalau mereka ikut keluarga Basuki dan Conie. Surya anak sulungnya suatu ketika berbuat kesalahan dengan memainkan ketapel dan mengenai ayahnya dan memecahkan akuarium. Akhirnya Surya di hukum oleh Basuki. Akan tetapi basuki menyesal ketika melihat keadaan Surya, akhirnya Basuki memeluknya. Ketika lebaran tiba, keduanya datang kerumah Anna dan memberikan Kado kepada Anna dan adik surya. Basuki mengantarkan Surya untuk berlebaran dengan Anna dan Adiknya. Sementara itu Basuki pulang sendirian kerumah. Basuki yang menahan kerinduan kepada kedua anaknya hanya memeluk radio sambil mendengarkan lagu-lagu lebaran. Akhirnya surya dan Anna pun datang kerumah Basuki untuk mengucapkan lebaran yang merupakan surprise bagi Basuki. Akhirnya Anna dan Basuki bermaaf-maafan.
*****

Basuki memergoki perselingkuhan Connie dan pacarnya. Akhirnya keduanya terlibat duel . Perkelahian keduanya tidak terhindarkan. Hingga akhirnya Basuki menembak Connie dan pacarnya hingga tewas. Basuki akhirnya masuk penjara. Setelah keluar dari Penjara Anna dan Basuki akhirnya bersatu kembali karena keduanya masih saling mencintai. Sementara pernikahan Anna dan Pak Gautama tidak jadi dilaksanakan karena tidak ada jalan keluar dengan masalah keduanya anaknya yang tidak bisa dipersatukan. Mereka berdua lebih memilih mengorbankan kebahagiaa keduanya daripada merusak kebahagiaan anak-anaknya. Akhirnnya Anna dan Basuki hidup bahagia.
P.T. JAKARTA PUTRAJAYA FILM

MARINI
RUDY SALAM
DEDDY SUTOMO
DORIS CALLEBAUTE
AEDY MOWARD
FARA NOOR
NIKEN BASUKI
FACHRUL ROZY

Sabtu, 05 Februari 2011

BAHAYA PENYAKIT KELAMIN / 1978


 
Film ini menyorot kasus yang lagi ramai di masyarakat, yaitu penyakit kelamin Spilist/Raja singa akibat gonta-ganti pasangan / pelacur.

Iwan (Rudy Salam) meninggalkan kota kelahirannya menuju Jakarta akibat goncangan jiwa sepeninggal orang tuanya. Di Jakarta ia berkenalan dengan Christine (Farida Pasha) yang banyak kesepian karena sering ditinggal berlayar suaminya, pelaut. Hubungan antara Iwan dan Christine sering berlangsung tanpa batas. Tetapi kemudian mereka berpisah beberapa tahun. Sementara Christine tak pernah tahu yang sebenarnya, bahwa Iwan adalah salah satu pimpinan gerombolan perampok.

Suami Christine yang sering berlayar ke luar negeri juga tak luput dari dunia pelacuran di kala kapalnya singgah di pelabuhan. Selama tidak bertemu Christine, Iwan juga sering berganti pasangan, termasuk dengan Doris (Doris Callebaute), teman sekolahnya dahulu yang kini menjadi fotomodel sambil melacur. Akibat hubungannya dengan Doris, Iwan tertular penyakit kelamin. Penyakit itu kemudian menular kepada Christine. Penyakit kelamin itu mengakibatkan anak Christine menderita kebutaan, bahkan kemudian meninggal. Saling tuduh antara Christine dan suaminya tentang siapa pembawa penyakit itu pun terjadi. Mereka kemudian saling menyadari, setelah Iwan ditembak kawannya sendiri saat peristiwa penguburan anak mereka.

JALAL KAWIN LAGI / 1977


Dari naskah drama "Barabah" karya Motinggo


 
Banio (Jalal), lelaki tua, ingin kawin lagi lewat Pos Jodoh di salah satu koran. Ia datangi salah satu pemasang di Pos Jodoh itu, Ny. Senter (Sunaryo), yang punya anak gadis Barabah (Yatti Surachman). Lamaran akhirnya diterima. Banio kawin dengan Barabah, dan punya anak seperti yang dicita-citakannya. Ketenteraman mulai terusik ketika datang seorang gadis. Mengingat kelakuan Banio yang tukang kawin, Barabah jadi cemburu. Keadaan tambah ruwet ketika ada lelaki lain yang naksir Barabah juga. Untung datang penyelamat yang mengungkapkan bahwa gadis tadi adalah anak Banio juga dan calon istri si penyelamat.

SEMOGA KAU KEMBALI (ONE-WAY TICKET) / 1976

SEMOGA KAU KEMBALI
ONE WAY TICKET


Film dimulai dengan cuplikan pertempuran yang dialami oleh pahlawan Yos Sudarso dalam perang untuk membebaskan Irian Barat (Irian Jaya). Maksudnya memang film ini untuk menunjukkan bahwa semangat kepahlawanan itu menitis pada generasi penerus Angkatan Laut. Mayor Rino (Dicky Zulkarnaen), komandan kapal perang Sultan Iskandar, suatu kali mendapat perintah "one way ticket". Bagaimana perintah itu dijalankan, begitu juga sebab-sebabnya, tidak begitu jelas. Yang jelas adalah Rino berhasil dan pulang mendapatkan istrinya baru saja melahirkan bayi mereka.

SI RANO / 1973



Rano terpisah dan kehilangan ayahnya di stasiun Jatinegara sewaktu turun dari kereta. Beruntung ia jumpa dengan seorang tukang ubi goreng yang baik hati, Amin (Benyamin S), yang lalu membawanya pulang. Rano dimasukkan sekolah dan ternyata jadi murid terpandai, meski sering nakal dan dihukum guru. Kenakalan ini ditebus dengan inisiatifnya merayakan ulang tahun gurunya yang akan pensiun. Kisah ratapan yang sedang jadi trend ini, tampaknya dipadu dengan banyolan. Dewi (Nanien Sudiar), teman sekelas, mengundang Rano ke rumah. Ibu Dewi menghina Rano, hingga Amin naik pitam dan membelikan baju baru yang mahal dan mengantar Rano dengan motor. Maka Rano diundang lagi bersama ayah-ibunya. Kali ini Ratmi (Ratmi B-29), disangka pembantu yang mau melamar. Amin yang tak berani masuk, melihat pengemis dipukuli. Ternyata pengemis itu adalah ayah Rano yang terpisah, dan karena luka yang dialaminya, tak lama kemudian meninggal.
P.T. MAHKOTA METROPOLITAN FILM

RANO KARNO
BENYAMIN S
NANIEN SUDIAR
FAROUK AFERO
RATMI B-29
TAN TJENG BOK
NETTY HERAWATI
ALAM SURAWIDJAJA


29 Juni 1974
"papi, itu habis ngapain?"

BINTANG cilik bukan sekedar untuk memenuhi selera publik, sebagaimana orang-orang film suka menyisipkan seks atau kejahatan. Dia lebih banyak memenuhi kebutuhan satu golongan umur. Para bocah. "Anak-anak dalam tiap generasi mengharapkan adanya hero. Adanya pujaan. Munculnya Rano dan Faradilla telah lama mereka tunggu. Sama seperti kaum remaja menunggu pahlawan mereka pada diri Romi dan Juli dalam film Pengantin Kemaja. Mereka tidak sampai kecewa sekalipun mereka ketahui kemudian bahwa Sophaan dan Widya sudah kawin", ulas sutradara muda, Motinggo Boesje. Ada perbedaan yang agak mendasar antara film dulu dan sekarang.

Film kanak-kanak dulu masih patuh untuk tetap bermain dalam lapangan permainan dan lingkungan hidup kanak-kanak sewajarnya. Tapi kini bocah cilik dengan satu latar belakang, sudah dimasukkan lebih dalam ke persoalan rumahtangga yang mungkin masih tabu buat mereka. Ambillah Timang-timang anakku sayang. Di situ ada adegan laki dan perempuan turun tergesa-gesa dari ranjang. "Saya jadi bingung ketika anak saya menanyakan 'Papi itu habis ngapain, koq pakaiannya nggak karu-karuan?", cerita Motinggo. Tak sempat dia menceritakan apa yang dijawabkan untuk puteranya tersebut. Dia hanya menggeleng-gelengkan mengapa sensor melepaskannya. Momok Apabila demikian juga pengalaman kaum ayah yang lain, mungkin sensor yang suka jadi momok bagi produser tersebut perlu berfikir lebih panjang. Belum lagi kalau dihitung bahwa film di mana si bintang cilik sering muncul dalam cerita-cerita yang pesimistis. Lagi pula, menurut Boesje, dari segi ilmu pendidikpun thema-thema macam itu kurang afdol. Memang, untuk menggolongkan film ratap-tangis yang diperankan bintang-bintang cilik sekarang ke dalam jenis film anak-anak, bisa menimbulkan keberatan tertentu sebagaimana sudah disinggung Boesje.

Penonton masih harus menunggu munculnya film kanak-kanak untuk para bocah. Sebagaimana kata penulis skenario Haji Misbach Yusa Biran, "film anak-anak tidak selamanya harus dimainkan anak-anak. Binatang juga bisa. Cerita tentang kuda misalnya". Tapi yang jelas pertimbangan para orang tua dengan para produser memang jauh panggang dari api. Yang satu untuk menjaga anaknya, sementara yang lain untuk untungnya". "Seperti Aku" Perkara kebolehan berperan si cilik sekarang memang memuaskan hati. Gambaran seperti datang dari Motinggo Boesje yang menyu-tradarai Rano Karno untuk satu film yang judulnya diambil dari nama anak Soekarno M Noor itu, Si Rano. Bertolak belakang dengan film sebelumnya dalam film ini Rano harus memainkan gelagat sebagai seorang anak yang nakal memancing ketawa. "Sekalipun untuk pertama kali dia main humoristis, toh dia tetap dalam kemampuannya yang luar biasa. Bakatnya sebagai seorang aktor besar sekali", komentar si sutradara. Titik optimal dari kemampuan anak ini belum bisa ditentukan sebelum munculnya skenario film yang bagus. "Anda tahulah penulis skenario sekarang kan pesanan. Sama seperti aku", lanjutnya. Kesadaran aktornya juga boleh satu saat dia lupa mengenakan arloji tangan. Dengan menangis dia minta maaf kepada sutradara dan minta supayaadegan tadi diulangi saja. Dalam shooting, bergaul dengan orang dewasa dia tampaknya tak canggung. Untuk satu adegan Motinggo memberikan contoh akting yang harus dimainkan Rano.

Kebetulan adegan itu untuk membangkitkan suasana lucu. Si Rano tenang-tenang memperhatikan. Lantas enak saja dia nyeletuk: "Oom bisa juga main lucu-lucuan, Oom saja yang main". Betapa besarpun bakat Rano anak Soekarno M Noor ini, haruslah ada yang menuntunnya. Banyak orang beranggapan permainannya dalam Tabah Sampai Akhir dan Yatim mengecewakan. "Mudah-mudahan hal itu tidak merupakan satu kesengajaan untuk menjatuhkan Rano. Khusus mengenai Yatim baik ibunya maupun saya sendiri, sudah menolak untuk menerima main di situ. Tapi apa boleh buat Rano sendiri jauh-jauh hari sudah pasang janji dengan Teguh anak Tuty S yang membikin itu film". Keterangan ini datang dari ayah si aktor kecil. Tapi Soekarno M. Noor tidak berhenti dalam kalimat itu. "Orang boleh menilai Rano bermain jelek dalam film tadi, tapi nyatanya film tersebut laris bukan main."