Tampilkan postingan dengan label NJOO CHEONG SENG 1940-1955. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NJOO CHEONG SENG 1940-1955. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Februari 2011

NJOO CHEONG SENG 1940-1955

 


MASUK KAMPUNG KELUAR KAMPUNG1955NJOO CHEONG SENG
Director
HABIS HUDJAN 1955 NJOO CHEONG SENG
Director
DJANTOENG HATI 1941 NJOO CHEONG SENG
Director
AIR MATA IBOE 1941 NJOO CHEONG SENG
Director
PANTJAWARNA 1941 NJOO CHEONG SENG
Director
KEBON BINATANG 1955 NJOO CHEONG SENG
Director
KRIS MATARAM 1940 NJOO CHEONG SENG
Director
ZOEBAIDA 1940 NJOO CHEONG SENG
Director
 
Njoo Cheong Seng
Fred Young lah yang menarik Njoo masuk dalam film JIF, setelah ia meninggalkan Oriental film , sebagai tulang punggung Fred Young dalam penciptaannya. Njoo yang suaminya Fifi Young artis yang lagi terkenal saat itu dan banyak main film, mempunyai kecendrungan ingin membuat film yang dasyat, kolosal dan spektakluler. Dan Fred Young sendiri merasa cocok dengannya yang sama-sama memiliki tujan dan impian.

Dengan Majesti Pictures 2 film yang dihasilkan Djantoeng Hati dan Airmata Iboe, kedua film ini adalah drama penuh dengan airmata yang tragis dan parade hiburan nyanyian yang tidak kepalang tanggungnya. Bintangnya serba gemerlap yang terdiri dari kaum berpendidikan tinggi. Dan diharapkan juga sukses di penonton golongan atas dan berpendidikan. Karena pada tahun 1940 ciri paling dominan dari pembuat filmnya adalah usaha menggunakan resep Terang Boelan yang sukses dan tumbuhnya keinginan agar film bisa diterima oleh kalangan baik-baik, dan terpelajar. Hal ini karena sebagai upaya yang dilakukan untuk menyambut imbauan kemajuan yang dituntut oleh perkembangan pergerakan nasional saat itu.

Memasuki tahun 1941, orang film sudah merasa berat menghadapi tuntutan publik terpelajaran dan pers perjuangan. Apa yang mereka inginkan dianggap tidak proporsional. Sebaliknya, kalangan publik terpelajar terus saja meningkatkan harapannya, sesuai dengan meningkatnya dengan cepat tuntutan menyiapkan diri untuk menjadi bangsa yang merdeka.

Dalam tulisannya dengan nama samaran M.d'Amour ia mengeluhkan sikap pers dan publik yang mengharapkan terlalu berlebihan dan film nasional. Menurutnya, orang film sulit sekali untuk memenuhi keinginan kalangan bawah dan atas secara bersamaan, yang seleranya sangat jauh beda.

Sebagai reaksi terhadap pendapat Nyoo, RM Winarno (pimpinan harian Berita Oemoem) menulis,"tidak setuju kalau mempertimbangkan film Indonesia masih dalam taraf permulaan lalu boleh seenaknya saja, boleh seperti film Amerika pada tahap permulaan. Karena, selera, perasaan, dan pikiran orang sekarang sudah berkembang. Meski pun film Indonesia masih baru, namun harus disesuaikan dengan keadaan zaman. Dalam sejarah negara manasaja, sahamnya, untuk mempengaruhi, mendorong, mengalirkan semangat serta perasaan pada rakyat hingga cocok dengan panggilan waktu. Dizaman dulu hanya ada satrawan, pujangga, dan pelukis-pelukis, hingga kewajiban untuk membimbing dan menggolongkan perasaan umum itu cuma terletak pada pundak mereka, tetapi diwaktu sekarang ada orang-orang film, sutradara-sutradara, dan penulis-penulis film harus dapat turut memberikan bagiannya untuk melahirkan perasaan-perasaan baru guna turut membangun masyarakat baru."

Pada pertengahan 1941,konflik pemerintah anatar Hindia Belanda dengan Jepang, yang sebetulnya hanya dicari-cari saja oleh Jepang sudah hampir mencapai puncak.

ABOUT
Njoo Cheong Seng (Ejaan yang Disempurnakan: Nyoo Cheong Seng; Cina: 楊 章 生; pinyin: Yáng Zhāngshēng; Pe̍h-ōe-jī: Iûⁿ Chiong-seng; 6 November 1902 - 30 November 1962) adalah seorang dramawan dan sutradara film Tionghoa. Juga dikenal dengan nama pena Monsieur d'Amour, ia menulis lebih dari 200 cerita pendek, novel, puisi, dan drama panggung selama kariernya; Ia juga tercatat sebagai sutradara dan / atau menulis sebelas film. Dia menikah empat kali selama hidupnya dan menghabiskan beberapa tahun perjalanan di seluruh Asia Tenggara dan selatan dengan rombongan teater yang berbeda. Drama panggungnya dikreditkan dengan teater revitalisasi di Hindia.

Njoo lahir di Jawa Timur pada 6 November 1902; Sinolog Indonesia Leo Suryadinata menulis bahwa ia dilahirkan di Surabaya, sementara penulis Sam Setyautama dan Suma Mihardja merekamnya sebagai orang yang dilahirkan di Malang. Ia menerima pendidikan dasar di sekolah Tiong Hoa Hwe Koan di Surabaya. Pada usia dini ia mulai berkontribusi pada surat kabar milik Cina; karya sastra pertamanya, Tjerita Penghidoepan Manoesia (Cerita tentang Kehidupan Manusia), diterbitkan dalam Sin Po pada tahun 1919.

Pada tahun 1920, Njoo mulai menulis secara ekstensif, sering dengan nama pena Monsieur d'Amour, nama pena lainnya termasuk N.C.S. dan N.Ch.S. Dia menulis banyak cerita untuk publikasi yang berbasis di Gresik, Hua Po pada tahun 1922, dan pada tahun 1925 dia membantu mendirikan majalah Penghidoepan.  Karya yang diterbitkan selama waktu ini termasuk Menika dalem Koeboeran (Marry in the Grave) dan Gagal (Kegagalan), serta drama panggung Lady Yen Mei. Mereka umumnya memiliki banyak lokasi dan latar belakang budaya, dan sering berhubungan dengan kejahatan dan pekerjaan detektif.

Njoo menjadi aktif dengan rombongan Orion Miss Riboet di akhir tahun 1920, menulis beberapa drama panggung mereka, termasuk Kiamat (Apocalypse), Tengkorak (Skull), dan Tueng Balah. Pada tahun 1928 ia menikahi aktris Tan Kiem Nio, anggota rombongan yang berusia 14 tahun pada saat itu.  Njoo melatihnya dalam akting dan meyakinkannya untuk mengambil nama panggung Fifi Young; Young adalah bahasa Mandarin yang setara dengan nama keluarga Hokkien dari Njoo, sementara Fifi dimaksudkan untuk mengingatkan pada aktris Prancis, Fifi D'Orsay.

Keduanya bergabung dengan beberapa rombongan teater lebih lanjut, termasuk Club Moonlight Crystal Follies di Penang (di bawah kepemimpinan Njoo) dan Dardanella, melakukan perjalanan di seluruh Asia tenggara dan selatan.  Pada 1935 mereka telah membentuk kelompok mereka sendiri dengan Young sebagai bintang, Pagoda Fifi Young; Namun, ini runtuh dalam beberapa tahun.

Setelah keberhasilan Terang Boelan dari Albert Balink pada tahun 1937 dan The Teng Chun's Alang-Alang pada tahun 1939, empat studio film baru dimulai. Salah satunya, Film Oriental, ditandatangani Njoo dan Young; Njoo diambil sebagai penulis, sementara Young dimaksudkan untuk menjadi seorang aktris. Ini adalah bagian dari gerakan umum yang membawa personil panggung ke dalam industri film.

Njoo dan Young membuat debut film fitur mereka dengan Kris Mataram, kisah cinta terlarang, pada tahun 1940; Njoo mengarahkan dan menulis cerita, sementara Young bertindak.Ini diikuti oleh dua kolaborasi lebih lanjut, drama Zoebaida dan musikal Pantjawarna. Njoo kemudian meninggalkan perusahaan.

Ketika Njoo meninggalkan studio untuk bergabung dengan Majestic Pictures atas undangan Fred Young, Fifi Young pergi bersamanya. Dengan Majestic ia mengarahkan dua film. Yang pertama, Djantoeng Hati (Hati dan Jiwa; 1941), tidak membintangi Young karena dia sedang cuti karena alasan kesehatan, kemungkinan kehamilan. Young kembali untuk Air Mata Iboe (Mother's Tears; 1941), sebuah tragedi yang diikuti seorang pemuda yang membalas dendam pada saudara-saudaranya setelah mereka menolak untuk melindungi ibu mereka.

Pendudukan Jepang di Hindia menyebabkan semua kecuali satu studio film di negara itu ditutup; Njoo dan Young kembali ke teater, bergabung dengan rombongan Bintang Soerabaia.  Pada tahun 1945 Njoo mendirikan kelompok Pantjawarna dan bercerai Muda - dengan siapa ia memiliki lima anak - untuk menikahi Mipi Malenka.  Beberapa waktu setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945, Njoo mengambil nama Indonesia Munzik Anwar.

Njoo kembali ke industri film di negara itu pada tahun 1950, menulis atau menyutradarai enam film lebih lanjut sebelum kematiannya; salah satunya, Djembatan Merah (Jembatan Merah; 1950), dibuat kembali pada tahun 1973. Pada akhir 1950-an, Njoo tercatat memiliki istri keempat, Oei Lan Nio; Pasangan itu memiliki toko bunga bersama di Malang. Njoo meninggal di sana pada 30 November 1962.

Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran memuji Njoo dengan membantu Miss Riboet mendominasi industri teater tur di negara itu dari tahun 1929 hingga 1931. Hal ini dikumandangkan oleh kritikus sastra kiri Indonesia Bakri Siregar, yang menulis bahwa Njoo dan sesama dramawan panggung Andjar Asmara memainkan revitalisasi genre di Hindia dan membuat karya-karyanya lebih realistis. Namun, ia menganggap konflik dalam karya-karya ini telah dikembangkan dengan buruk. Guru sastra Doris Jedamski menggambarkannya sebagai "salah satu penulis Melayu-Tionghoa yang paling terkenal, paling kreatif, dan paling produktif pada abad ke-20", dengan mengejutkan bahwa sedikit penelitian telah dilakukan dalam hidupnya.

Kisah-kisah yang dibuat Njoo Cheong Seng selalu berakhir dengan kematian tokoh utama. 
 
Di Kota Malang yang sejuk, bersama Huang Lin istrinya yang keempat, Njoo Cheong Seng merasakan sesuatu yang jarang dia alami: ketenangan. Ia menerima teman-temannya di rumah dan merayakan ulang tahun. Dulu, saat bersama istri-istri sebelumnya, ia terlampau sibuk di atas panggung.

Pasangan ini membuka toko bunga yang dinamai Malang Mignon. Cuaca Malang yang sejuk membuat bunga-bunga cantik tumbuh subur. Untuk setiap pesanan bunga dari pembeli, Njoo Cheong Seng menyertakan sepotong syair.

“Para pelanggan senang sekali pada syair-syairnya, sampai-sampai setelah Njoo Cheong Seng meninggal pun mereka masih sering minta syair untuk pesanan bunga mereka,” tulis Myra Sidharta dalam Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (2004).

Permintaan tersebut tentu saja tak bisa dipenuhi sebab istrinya tak dapat menulis syair—dan mesin foto copy belum ada.
Penyair jatmika ini lahir di Bangkalan, Madura, pada 6 November 1902. Sebagian sumber lain menyebutkan ia lahir di Malang. Semasa hidupnya, Njoo Cheong Seng menulis ratusan cerpen, novel, naskah drama, dan menyutradarai sejumlah judul film dan teater.

Pada usia 17 tahun, Njoo Cheong Seng menerbitkan ceritanya yang pertama. Dua tahun kemudian ia menulis cerita bersambung untuk harian Sin Po dan menjadi kontributor untuk majalah Hoa Po. Dalam catatan Myra Sidharta, ketika menginjak usia 21 tahun, Njoo Cheong Seng diangkat sebagai editor utama majalah bulanan Introcean.

“Meskipun Introcean sebenarnya adalah majalah bulanan bidang politik dan ekonomi, tetapi kecenderungan Njoo Cheong Seng ke kesastraan menjadi nyata setelah dua bulan, ketika ia menerbitkan nomor khusus untuk puisi berisi beberapa syair ciptaannya sendiri di samping karya Lie Kim Hok, serta terjemahan karya Shakespeare, Goethe, Tennyson, dan sebagainya,” terang Sidharta.

Ia bahkan sempat mengeluarkan edisi khusus pada Oktober dengan tema Cinta yang berisi sejumlah cerita cinta terjemahan dari bahasa Inggris dan Tionghoa, juga karya-karyanya sendiri.

Sebagai seorang penulis, ia dianggap memelopori penggunaan bahasa Indonesia yang tidak serampangan di kalangan para penulis Tionghoa. Ia juga disebut-sebut sebagai salah seorang yang merintis jalan bagi kebaikan bahasa Indonesia.

“Tak dapat disangkal bahwa Njoo Cheong Seng-lah yang merupakan pengarang dan wartawan pertama dalam kalangan Tionghoa yang senantiasa berjaga-jaga dan memilih-milihnya bahasa Indonesia yang indah dalam karangan-karangannya,” tulis Tan Sing Hwat dalam Majalah Aneka No.13 Tahun II, 1 Juli 1951.

Jika mengacu pada informasi yang disampaikan Huang Lin, istrinya yang keempat, penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu yang dipilih Njoo Cheong Seng barangkali didorong karena ia tak bisa berbahasa Mandarin dan baru mempelajarinya setelah mereka menikah. Sementara itu, dalam catatan Leo Suryadinata yang dikutip Myra Sidharta, Njoo Cheong Seng justru pernah sekolah di Tiong Hwa Hween yang memakai bahasa pengantar Mandarin.


Manusia Panggung
Salah satu bidang kesenian Njoo Cheong Seng yang menonjol adalah dunia sandiwara. Benny G. Setiono mencatat dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), sejak 1926 Njoo Cheong Seng bergabung dengan rombongan sandiwara Miss Riboet’s Orion pimpinan Tio Tik Djien dan bertemu dengan seorang penari terkenal bernama Dewi Maria yang populer dengan sebutan Fifi Young.

Menurut Myra Sidharta dalam Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (2004), nama asli Fifi Young adalah Nonnie Tan Kiem Nio, seorang penari yang berayah Perancis dan beribu keturunan Tionghoa. Nama Fifi Young pertama kali muncul pada 29 April 1933 saat ia telah menjadi seorang aktris.

Kedua insan ini saling jatuh cinta dan menikah pada 1927. Bersama rombongan sandiwaranya, dua sejoli ini berkeliling ke sejumlah kota di Jawa dan Sumatera. Selain itu, mereka juga menyambangi beberapa negara di Asia.

“Akhirnya ia benar-benar terseret oleh dunia seni sandiwara dan dengan rombongannya merantau ke luar negeri, misalnya Tiongkok, Filipina, Indo-Cina, Siam, Burma, India, Ceylon, dan Tibet,” tulis Tan Sing Hwat dalam artikel bertajuk “Sedikit tentang Njoo Cheong Seng”.

Lebih lanjut, Myra Sidharta menerangkan bahwa selama aktif di rombongan sandiwara tersebut, Njoo Cheong Seng memperbaiki standar kelompok sandiwara secara radikal dengan mengubah teknik akting dan cara kerja sutradara. Sementara kerja-kerja jurnalistik yang pernah ia lakoni membuatnya mempunyai koneksi yang kuat dengan orang-orang media sehingga mendapat cukup publisitas dalam setiap pertunjukan.

Warsa 1932, Njoo Cheog Seng dan Fifi Young meninggalkan Miss Riboet’s Orion dan bergabung dengan Moonlight Crystal Folies di Penang, Malaysia. Dua tahun kemudian mereka bergabung dengan rombongan sandiwara Dardanella pimpinan A. Piedro dan bermain bersama Miss Dja atau Dewi Dja.

Memasuki tahun 1937, pasangan ini membentuk rombongan sandiwara sendiri bernama Fifi Young’s Pagoda. Popularitas Fifi Young telah begitu melambung. Nama yang diambil dari Fifi (bintang film Perancis bernama Fifi d’Orsay) dan Young dari kata Njoo ini amat populer di Kuala Lumpur.

Menurut Myra Sidharta, seorang gubernur Selangor yang rupanya penggemar Fifi Young kerap memimpin yel-yel saat aktris tersebut hendak tampil ke pentas.

“One, two, three, we want Fifi!” demikian seruan itu digemakan.

Bersama Fifi Young’s Pagoda, karya-karya Njoo Cheong Seng dipentaskan lalu digubah menjadi novel. Saat Jepang menduduki Indonesia, mereka bermain sandiwara bersama Bintang Soerabaja.

Pasca-pendudukan Jepang, tepatnya pada 1945, Njoo Cheong Seng mendirikan rombongan sandiwara Pantjawarna dan menikah dengan seorang aktrisnya.

Cerita yang Berakhir Bahagia Tak Realistis


Aktris itu bernama Mipi Malenka. Ia menjadi istri ketiga Njoo Cheong Seng. Sebelum menikah dengan Fifi Young, Njoo Cheong Seng pernah menikah mempunyai dua orang anak. Dari Fifi Young, ia dikaruniai lima orang anak.

Benny G. Setiono mencatat dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) menyebutkan bahwa sebelum menikah dengan Mipi Malenka, Njoo Cheong Seng terlebih dulu menceraikan Fifi Young. Hal ini sama dengan yang ditulis oleh Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008). Sementara Myra Sidharta mencatat justru pernikahan tersebut dilakukan atas restu dari Fifi Young dan mereka kemudian tinggal serumah.

“Dari pernikahan mereka (Mipi Malenka dan Njoo Cheog Seng) lahir seorang putra yang diberi nama Johnny. Tidak lama setelah itu rumah mereka bertambah satu penghuni lagi, yaitu ibunda Fifi. Sejak saat itu sering terjadi perselisihan di antara mereka,” tulis Sidharta.

Situasi itu mendorong Mipi Malenka pergi bersama anaknya. Setelah menjual rombongan sandiwaranya, Njoo Cheong Seng pergi ke Makassar untuk mencari Mipi beserta Johnny buah hatinya, tapi usahanya gagal. Peristiwa kepergian istri ketiganya itu ia tuliskan dalam novel Sjorga bukan sjorga tidak dengan Melinda.

Njoo Cheong Seng akhirnya berlabuh di Malang dan menikah dengan Huang Lin, istri keempatnya. Pada November 1962, tepatnya 28 hari setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-60, Njoo Cheong Seng meninggal dunia.

Dalam pengantar dalam salah satu bukunya, Njoo Cheong Seng sempat mengutarakan bahwa ia dikritik karena kisah-kisah yang ia buat selalu berakhir dengan kematian tokoh utama. Menurutnya, justru itulah yang terjadi dalam kehidupan: kematian adalah sesuatu yang alami dan merenggut kebahagiaan. Baginya, kisah-kisah yang berakhir bahagia tidak realistis.

MASUK KAMPUNG KELUAR KAMPUNG / 1955


Iwan dijuluki Rin Tin Tin Indonesia. Produsernya berkedudukan di Surabaya.


GADJAH MAS FILM STUDIO

KEBON BINATANG / 1955

KEBON BINATANG

 
Produksi pertama perusahaan yang berkedudukan di Surabaya, dan dibuat oleh yang dikenal sebagai orang sandiwara, Njoo Cheong Seng. Terasa kaku, dengan dialog yang dihafal, terutama oleh pemain-pemain barunya.

Yang menarik di sini adalah Nurnaningsih, artis yang berani setelah bermain di film Harimau Tjampa, dan beredarnya foto-foto tanpa busana dia. Setelah kasus itu, ia baru muncul di film ini.

HABIS HUDJAN / 1955

HABIS HUDJAN
Produser berkedudukan di Surabaya.
 

PANTJAWARNA / 1941








Diiring 12 lagu keroncong yang sedang hit. Film ini dianggap sebagai film musikal pertama.


ZOEBAIDA / 1941



Oriental film lebih sensasional dalam proyek ini, yaitu menyewa studio milik Belanda ANIF, yang mempunyai peralatan serba modren. Juru kameranya J.J.W.Steffens, sewa studio ini f1500. Dibelakangnya ada tanah luas yang sari sehingga bisa dibangun set kampung. Dengan alat modren, fasilitas yang tersedia ditambah pula tenaga-tenaga yang baik dari ANIF maka pengambilan gambar Zoebaida bisa diselesaikan dalam waktu hanya 27 hari saja. Dan pada Desember 1940 filmnya sudah bisa di pertunjukan. Di samping itu, penyewaan studio berat ini berarti menaikan gengsi Oriental. Tetapi sebaliknya ini merupakan beban biaya yang amat berat.

Film ini juga andalannya Fifi Young kepopulerannya. Pada publitisnya Zoebaida sudah tidak ada lagi tekanan mengenai segi anak wayang, tapi juga tidak ada upaya untuk bisa diterima oleh kalangan atas, cerita ini khayalan yang jauh dari kehidupan sehari-hari sehingga tidak akan disukai publik atas.

Ceritanya sendiri model Timoeriana karya Nyoo Cheong Seng yang pernah sukses di panggung, yakni cerita khayalan dalam lingkungan primitif. Kisah ini berlangsung dekat Kupang Timor. dahulu pulau Timor adalah pulau yang nan jauh disana, masih terasing dan primitif serta mirip pulau-pulau di Hawaii, seperti digambarkan dalam film Hollywood yang dimainkan Dorothy Lamour yakni film yang menjadi model Terang Boelan. Ia mencampurkan adegan primitif dalam film ini, kostum yang primitif yang warna-warni menurut khayalan beliau seenaknya. Ada juga perkelahian seru serta dilengkapi dengan tujuh nyanyian. Selain itu, ada acara adat yang aneh-aneh. Fifi Young berperan sebagai topeng Intan. Nyoo main Hantam Kromo saja memberikan nama-nama Islam kepada penduduk primitif ini seperti Zubaida, Hambali, Leila dan lainnya. Nyoo sepertinya ingin bercerita pada penonton tonil yang butuh hayalan ke alam fantasti, menyaksikan sensasi dan hiburan untuk sekedar melupakan penderitaan hidup.

Walaupun memakai peralatan Modren tetapi kurang maksimal memanfaatkan tehnologi canggih itu. Film ini tidak menonjol pada tehnisnya, keritikan tajam diarahkan orang pada segi dialoq yang berbunga-bunga, ia memang romantik dan puitik. Orang terpelajar menilai filmnya ini sebagai berbau Stambul
ORIENTAL FILM COY

KRIS MATARAM / 1940




Dalam film ini, sudah menggunakan nama Joshua Wong kini sudah bisa dijadikan sebagai andalah mutu suatu film. Tenaga Joshua digunakan untuk menangani kamera dan suara dari pembuatan film pertama Oriental Film, Kris Mataram. Nama Joshua ditonjolkan tulisan "Joshua Wong Brilliant Productie 1940" jadi suaranya film ini cukup kuat, tetapi tidak nampak perkembangan pada sektor sarana. Produksi mereka selama 1940-1941 hanya lima film.

Produser pelaksananya Tjan Hock Siong, adalah cerita berdasarkan cerita Nyoo, dan pemain utamanya perempuan adalah Fifi Young. Pertunjukan perdananya 29 Juni 1940 di bioskop Rex.Batavia. Ia berhasil menarik Joshua Wong dari Tan's (yang ada konflik internal Tan's dengan Joshua), titlenya "Joshua, dijamin lebih baik dari yang pernah ada".

Mengisahkan awal timbulnya pikiran dan pandangan baru (modern), sementara adat (kekolotan) masih amat teguh. Pikiran itu diutarakan lewat percintaan antara putri bangsawan R.A. Rusmini (Fifi Young) dengan pemuda biasa, Bachtiar (Omar Rodriga). Cerita diakhiri dengan kesimpulan kompromistis: tak ada yang salah dalam yang modern maupun tradisi.

Film ini mengandalkan kepopuleran Fifi Young di panggung dan suksesnya sebagai pengarang cerita tonil. Sedang penonton yang dituju hanya penggemar tonil saja, dengan sedikit tekanan pada khalayak Cina. Dalam film ini juga tidak ada upaya untuk menarik penonton kelas atas. Fifi Young ditampilkan sebagai anak wayang, dengan bintang panggung yang pernah memakai namanya Dewi Maya, dan dalam film ditekankan bahwa Fifi adalah putri tonil yang berdarah Tiongha-Indonesia. Dalam iklannya dimajalah dijelaskan pindahnya sembilan bintang populer Tonil ke dalam film. Bintang panggung memang bisa menarik penonton kelas bawah, tapi justru membuat kalangan baik-baik merasa kurang seronok.

Dalam film ini Njoo sebenarnya menyinggung hal yang mulai penting pada masa itu, yakni pertikaian antara Kolotisme dan Modrenisme, kebaratan dan ketimuran, serta putra-putri modren lawan ibu bapak kuno. Gadis modren R.A.Roosmini lari dengan kekasihnya, Bachtiar, karena hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua Roosimini yang kolot, R.M.Hadikusumo. akan tetapi Roosmini ditinggal pergi oleh Bachtiar yang piulang kampung. Ia terpaksa kawin di sana. Dengan diselingi sembilan lagu keroncong populer dinyanyikan para bintang radio serta Fifi sendiri, maka Roosmini mengakhiri hidupnya di ujung kris Mataram pusakanya, jadi tidak ada hubungan dengan daerah Mataram.

Dalam tulisannya dengan nama samaran M.d'Amour ia mengeluhkan sikap pers dan publik yang mengharapkan terlalu berlebihan dan film nasional. Menurutnya, orang film sulit sekali untuk memenuhi keinginan kalangan bawah dan atas secara bersamaan, yang seleranya sangat jauh beda.
ORIENTAL FILM COY

AIR MATA IBOE / 1941



Film ini di sturadarai oleh
NJOO CHEONG SENG bersama M. d'AMOUR


Dalam film ini Fifi Young istri dari sutradara Njoo Cheong Seng ikut main, dan bahkan peran dia disini sangat menantang sehingga dia bisa membawakan aktingnya yang dipuji banyak orang. Fifi bisa menjadi ibu muda dan sekaligus tua-nya. Ceritanya sendiri adalah tentang seorang ibu yang disia-siakan. Sayangnya film ini tidak selesai saat Jepang masuk, tetapi diselesaikan oleh Tan Tjoei Hock pada masa pendudukan Jepang.

Pembuatannya tahun 1941 akhir, Majestic sibuk-sibuknya membuat film ini. 1942 diberitakan bahwa perusahaan ini akan dipindahkan ke Yogja karena kekawatiran menghadapi bahawa perang. Batavia dianggap tidak aman sebagai ibu kota. Tapi rencana ini gagal, karena selang hanya beberapa hari Jepang sudah berhasil menaklukan negeri ini. Bahkan semua orang kaget, disaat orang film sedang sibuk membicarakan kesuksesan sebuah film dengan trik kameranya, Jepang sudah menaklukan negeri ini. Banyak yang tidak menyangka secepat itu.

Cerita ini mendapat persetujuan dari BKPII pimpinan Soerjohamidjojo di Surabaya. Siapapun tokoh ini yang jelas ia dalah seorang ningrat tinggi. Gagasannya ini mendapat persetujuan, nampaknya dipengaruhi oleh nama intelektual poerbatjaraka dalam Tjioeng Wanara.

Film ini berisi tidak kurang dari 11 lagu keroncong asli ciptaan R.Koesbini. Mereka yang menyanyikan adalah lima penyanyi terbesar di Jawa, Soerip, Soelami, Titing, Ning, Nong dan S.Poniman.

MAJESTIC FILM COY

FIFI YOUNG
RD ISMAIL
ALI YUGO
SOERIP
A. SAROSA
SOELAMI
S. PONIMAN
SOENINA
N. SOELASTRI
R. KOESBINI


DJANTOENG HATI / 1941




Film ini disutradarai oleh  NJOO CHEONG SENG bersama M. d'AMOUR
Di film ini Fifi Young tidak ikut karena alasan kesehatan. Ceritanya sendiri adalah tentang gadis ultra modren (R.Rr Ariati), ia suka olah raga, musik dan kehidupan merdeka serta menjadi perusak rumah tangga Sobari (Chatir Harro), yang lulusan HBS. Hal ini disebabkan istrinya Sobari adalah perempuan dapur yang hidupnya untuk suami. Nyoo Choeng Seng tetap berpihak kepada yang kuno. Tetapi kalangan terpelajar diharapkan tidak antipati karena cerita ini. Cerita film ini tentang mahasiswa yang diharapkan mau ditonton orang terpelajar.

Untuk menarik golongan menengah, ditampilkan pemain dari kaum ningrat, seperti tampak dari empat pemain utamanya. Daya tarik lainnya: tujuh lagu keroncong yang dinyanyikan oleh Rr Anggraini, Soerip, Soelami, S. Poniman dan Titing. Ariati adalah ibu Widyawati yang menjadi populer di tahun 70an.

MAJESTIC FILM COY