Tampilkan postingan dengan label PEMBALASAN RATU LAUT SELATAN (Lady Terminator) / 1988. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PEMBALASAN RATU LAUT SELATAN (Lady Terminator) / 1988. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Februari 2011

PEMBALASAN RATU LAUT SELATAN (Lady Terminator) / 1988

PEMBALASAN RATU LAUT SELATAN


Film ini cukup menghebohkan, karena eksploitasi seks. Setelah banyak protes masyarakat, film itu ditarik dari peredaran oleh Badan Sensor Film (BSF). Ketika disensor ulang pada tahun 1994, masa tayangnya jadi 80 menit.


Film ini dalam judul bahasa Indonesianya adalah Pembalasan Ratu Laut Selatan, entah kenapa di kasih judul dalam Inggrisnya Lady Terminator, mungkin maksudnya untuk menarik perhatian umum akan film Terminator. Dan apa maksud dari Ratu Laut Selatan yang sering dibuat dengan settingan Jawa dan bintang Suzzana?, tidak ada yang tahu. Seakan film ini perpaduan Ratu Pantai selatan dan action dari Terminator.

Ceritanya sendiri Untuk membalas dendam karena dipermalukan lelaki sakti, Nyi Roro Kidul menggunakan jasad Wanda (Yurike Prastica). Lelaki yang menyetubuhi Wanda akan mati, karena ada keris keluar dari kemaluannya. Keris itu pula yang akhirnya menaklukkan Wanda, hingga Nyi Roro Kidul kembali ke dunia siluman.
 

15 Juli 1989 


KENAPA film seperti Pembalasan Ratu Laut Selatan harus dikecam? 
Banyak yang telah menontonnya dan merasa sebal dan sepakat: bukan hanya karena adegan seks, tapi karena inilah film yang mahabodoh. Jalan ceritanya, kata para penonton itu, asal terabas seperti bis pasar dengan sopir yang mabuk. Aktingnya blegak-bleguk mirip gerak boneka Si Unyil. Kegemarannya mengumbar yang sadistis dan yang jorok naudzubillah. Jika benar begitu, penyelesaiannya bukanlah mengasah gunting sensor lebih tajam. Sensor adalah sebuah institusi yang sebenarnya tak punya hak untuk mengatakan bahwa dialah yang paling berkompeten memutuskan apa yang baik dilihat dan tak baik dilihat orang banyak di Indonesia. Sensor terdiri dari orang-orang lumrah. Mereka selalu bisa salah. Badan sensor ini pula yang pernah menahan film seperti Max Havelaar beredar di Indonesia, tapi sementara membiarkan film seperti Pembalasan Ratu Laut Selatan lepas begitu saja. Paling sedikit, sensor sama bingungnya dengan orang lain. Hanya dia punya kekuasaan. Saya tak mencemooh. Hampir 20 tahun yang lalu saya pernah jadi salah seorang anggota badan sensor film, dan saya mengalami bagaimana bisa tak selalu masuk akal argumentasi buat menggunting atau tak menggunting. 

Dengan kata lain, badan sensor memang bisa disalahkan bila film macam Pembalasan Ratu Laut Selatan beredar begitu aja. Tapi mendesak agar sensor lebih galak bisa menyebabkan makin banyak kesalahan terjadi dalam menilai. Demam prohibisionisme yang di Indonesia ini sering meradang telah membuat pelbagai macam larangan begitu gampang didekritkan. Kita pernah dengar lagu The Beatles dilarang seakan-akan dengan itu Indonesia besok akan dijajah kembali. Kita juga perah dengar sebuah film dilarang menggunakan judul Arjuna Mencari Cinta -- seakan-akan dengan itu seni wayang akan cemar atau hina atau ambruk. Jika orang tak bisa mencari penyelesaian di badan sensor, lalu di mana gerangan letak salahnya? Ada yang mengatakan bahwa film kini sudah jadi barang dagangan semata, yang diatur para broker dan para penguasa bioskop. Tapi ini pun hanya sebagian dari penjelasan. Memang, dunia film Indonesia akhirnya seperti tak memungkinkan dibuatnya film yang bermutu-tapi-tak-laku.
















Orang film bahkan cenderung mencemooh film macam ini. Kita telah kehilangan dana dan prasarana untuk membuat film yang berseni -- yang menyebabkan dan Indonesia hampir tak ada film seperti yang dibuat oleh para cineast India, Turki, Yugoslavia, Polandia, dan lain-lain negara yang industri filmnya tak selalu mengikuti semangat komersial Hong Kong ataupun Hollywood, tapi hasil sinematografinya terpandang di dunia. Namun, harus ditambahkan di sini: toh dengan segala arus deras dagang yang ada kini, kita masih bisa melihat film macam Ibunda, Ponirah, dan Tjoet Nya' Dhien, yang seperti hendak menyatakan diri tak mau tenggelam dalam komersialisasi. Kita masih punya sejumlah penulis skenario dan sutradara dan aktor dan aktris yang tetap hermimpi bagus bahwa mereka bukan bagian dari dunia kue-kue. Lagi pula, para broker dan pemilik bioskop tak sepenuhnya bisa disalahkan. Film sebagai barang dagangan bukan benda najis. Film tak selamanya harus membuat kening berkerut hingga penonton enggan datang. Apa salahnya film seperti A Fish Called Wanda yang membuat kita ketawa bahkan setelah adegan terakhir selesai? Apa salahnya film seperti Kejarlah Daku Kau Kutangkap? Apa salahnya film seperti yang dibuat dengan humor dan keterampilan oleh Nyak Abbas Acub? Di dunia film Indonesia orang sering keliru: film yang "bagus" selalu mereka artikan sebagai film yang "tidak laku" dan film yang laku sebab itu harus vulgar, harus dengan lelucon yan memekik-mekik, dan harus dengan digarami seks yang cukup atau dicat darah yang menyembur-nyembur. Dengan kata lain, teknik bercerita dianggap tak perlu. Padahal, itulah intinya: kekurangan film Indonesia selama ini, yang menyebabkannya kurang laku, adalah kekurangan dalam kepandaian menyusun cerita -- yang mampu membawa kita terlibat dari awal sampai akhir tanpa rasa sebal. 

Usmar Ismail sebenarnya telah meletakkan dasar kepandaian itu, tapi hanya sedikit yang mampu mengikutinya. Selebihnya yang terdengar hanya suara keluh dan gerutu yang menyalahkan pasar, kritikus, pemilik bioskop, pemerintah, dan segala setan alas dari luar yang asli ataupun palsu. Pada saat yang sama kita, para penonton, diminta mencintai film nasional dan melindunginya dari selesma -- sementara kita disuguhi film yang kadang-kadang terasa seperti telur busuk. Nampknya Pembalasan Ratu Laut Selatan bisa ditarik dari peredaran, tapi banyak soal mendasar yang tetap dan berlingkar-lingkar. Goenawan Mohamad

Tentang DVD Film Lady Terminator ini yang beredar di luar negeri. DVD ini tidak ada sensor jadi adegan panasnya masih ada di dalam film, bahkan wanita dengan telanjang dada.

Indonesia pernah mengalami era dimana permintaan masyarakat terhadap film lokal melampaui permintaan terhadap film Hollywood. Produser-produser film telah menemukan resep yang tepat untuk membuat sebuah film dengan budget sedikit mungkin namun memiliki daya jual tinggi. Tak disangka film-film tersebuat kelak akan disebut sebagai film exploitation dan melanglang buana sebagai film cult favorit.'

Salah satu film exploitation Indonesia paling tersohor adalah Lady Terminator/Pembalasan Ratu Pantai Selatan. Film yang sesungguhnya dibuat oleh produsen Indonesia untuk dipasarkan diluar ini memiliki segala unsur yang diinginkan penonton, ketelanjangan, seks, kekerasan dan beberapa spesial efek bodoh.

Untuk menarik penonton luar negeri, beberapa pemain bule pun dicasting menjadi pemeran utama. Diantaranya adalah Barbara Ann Constable yang bermain panas dan memikat sebagai titisan Ratu Laut Selatan. Dengan paras yang cantik dan tubuh yang seksi, amat disayangkan ia tidak pernah menampakkan dirinya lagi di film lain.

Kisahnya dimulai ketika Ratu Laut Selatan yang diperankan mantan bomseks Indonesia, Yurike Prastika yang masih berbulu ketek sedang bercinta dengan seorang bule. Tidak tahu apa maksudnya, si bule menarik seekor ular dari kemaluan Ratu Laut Selatan. Ular ini lalu berubah menjadi keris. Hal ini rupanya membuat Ratu Laut Selatan marah besar. Di tengah efek suara petir ia mengancam bahwa dia akan membalas dendam kepada keturunan si Bule.

Lalu cerita berpindah, seorang antropologis muda dan cantik (dan bule, diperankan Barbara Ann Constable) bernama Tanya sedang menyusun tesis mengenai mitos Ratu Laut Selatan. Dengan bimbingan seorang pria tua misterius, Tanya mengadakan perjalanan dengan kapal sambil berbikini ria. Namun di tengah laut, sebuah ombak besar menerjang Tanya yang langsung berpindah ke dimensi lain. Tanya tiba-tiba jatuh ke sebuah ranjang besar dan seekor ular datang menghampiri dan masuk ke dalam alat kelamin Tanya.

Rupanya ini merupakan sebuah ritual yang menjadikan Tanya sebagai titisan Ratu Laut Selatan yang diberi misi untuk membunuh cucu si Bule tadi. Tanya lalu keluar dari pantai tanpa sehelai benangpun dan mulai mencari korban. Ia membunuh dengan cara… Berhubungan seks dengan korbannya. Dan juga dengan senjata otomatis yang ditembakkannya dengan brutal dan sesuka hati. Lengkap dengan jaket kulit layaknya Arnold Schwarzeneger dalam The Terminator.

Setelah mendapat hotel den bersemedi topless, Tanya berhasil menemukan keberadaan cucu si Bule yang kini telah menjadi bintang Pop terkenal. Dimulailah aksi kejar-kejaran, Sang Lady Terminator dan sang bintang Pop yang dilindungi oleh polisi Bule, Ikang Fawzi, dan seorang pertapa yang diperankan oleh HIM Damsyik. Sang Lady Terminator tidak akan gentar mamburu sasarannya meski harus menyerbu markas polisi sekalipun.

 











 











 











 
 
15 Juli 1989
Gunting bsf kok majal
DALAM acara dengar pendapat Ko misi I dengan Menteri Penerangan Harmoko Kamis pekan lalu, sejumlah wakil rakyat yang terhormat secara keras mempertanyakan lolosnya film Pembalasan Ratu Laut Selatan -- PRLS. Kabarnya, film Ketika Musim Semi Tiba (KMST) -- dibintangi Meriam Bellina dan dijegal dari peredaran Juli 1987 lantaran dianggap terlalu porno masih kalah berani dibanding PRLS dalam mempertontonkan tubuh manusia. PRLS tak semata menawarkan kecabulan, tetapi juga sadisme yang meramu muntahan pelor plus darah-darah nyinyir yang berhamburan. Lebih dari itu, PRLS juga membawa pada kepercayaan nan jauh surut ke masa lalu, yakni dinamisme. Bahwa kekuatan utama bukan terletak di tangan Tuhan, tetapi pada keagungan sebilah keris yang keluar dari alat kelamin Ratu Pantai Selatan. Ram Soraya, Direktur PT Soraya Intercine Films, mengatakan bahwa PRLS menelan dana lebih dari Rp 1 milyar. Dari jumlah itu, 70%-nya berasal dari pihak luar negeri. Karena film itu merupakan hasil kerja sama dan juga dipasarkan di luar negeri, maka ide-idenya juga datang dari pihak luar, agar cocok dengan konsumen di luar negeri. "Saya tak mendengar ada orang mengatakan film itu porno," kata Ram Soraya kepada TEMPO lewat telepon. Yang jelas, kata Ram, dia sebagai produser telah melewati jalur hukum yang benar. "Saya sebagai produser telah menempuh prosedur secara benar," kata Ram, selebihnya orang bisa saja mempunyai penilaian macam-macam. Menteri Harmoko berjanji akan meneliti PRLS. Ia yakin, BSF tak bakalan meloloskan film-film porno. "Kalau berbugil-bugilan, sebaiknya di kamar saja, bukannya dipertontonkan khalayak umum," tutur Harmoko. Departemen Penerangan, kata Harmoko, berkepentingan meneliti PRLS. Jangan sampai terulang kasus yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu. Sebuah film yang sudah disensor BSF, guntingannya disambung lagi dan kemudian dipertontonkan di gedung bioskop. "Kalau memang menjurus ke pornografi, PRLS akan ditarik dari peredaran," kata Harmoko kepada TEMPO. 

Apalagi kalau di balik lolosnya PRLS ada "apa-apanya". Direktur BSF Thomas Sugito, yang dicegat TEMPO di DPR, berkesan enggan membicarakan PRLS. Yang jelas, menurut Thomas, PRLS sudah terkena gunting sensor. Mungkinkah guntingan itu disambung lagi? "Wah, saya nggak tahu. Tapi potongan film PRLS itu disimpan di BSF," ujar Thomas. Sementara itu, tokoh-tokoh agama pun cukup resah dengan film model PRLS. "Ibarat menyiram api dengan bensin," tutur K.H. Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Hasan Basri menyarankan agar BSF tak perlu sungkan menggunting. Jangan hanya menguntungkan kaum yang condong melihat film semata barang dagangan. "Kata Pak Harmoko, film bukan sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan," ujar Hasan Basri lebih lanjut. Pada akhirnya, "Orang lebih suka nonton film ketimbang ikut pengajian," ujar Lukman Harun, tokoh Muhammadiyah, pada kesempatan lain. Bahwa sekarang Badan Sensor Film (BSF) banyak meloloskan film yang mempertontonkan bagian-bagian tubuh, bagi Raam Punjabi, bos Parkit Film, hal itu masih belum memenuhi keinginan produser. "Kalau dibandingkan dengan dunia internasional, itu masih terlalu minim," ujarnya. "Coba lihat, apakah dalam satu film ada adegan bercinta yang lebih dari lima menit? Kan tidak ada," katanya serius. Raam menginginkan lebih jauh dari itu. Apakah itu, Ram? "Kelonggaran bebas," katanya tegas. "Untuk mencapai kelonggaran bebas, mental masyarakat harus kita siapkan. Itu tak mungkin tercapai dalam waktu yang singkat. Tapi kalau tidak mulai sekarang, kapan lagi." Gope T. Samtani, bos Rapi Films, berkata lain kepada TEMPO. "Film-film seks dan kekerasan belum tentu laku dipasarkan," ujarnya. Satu contoh, Birahi Dalam Kehidupan produksi Rapi pada 1986. Kata Gope, film yang blak-blakan bertemakan seks ini malah merugi -- sayang, tanpa didukung angka. 

Tapi bukan berarti unsur seks dan kekerasan bisa digolongkan tidak penting. "Untuk daya tarik, seks menjadi penting sebagai bumbu," ujarnya. Oleh karena itu, kendati secuil -- kira-kira 10% -- kata Gope, unsur seks perlu juga. "Porsi seks sekecil itu paling tidak untuk iklan masih bisa diterima," ujarnya. Dalam FFI 1984, sebagian besar film peserta FFI cenderung menampilkan pornografi dan sadisme. Maka, tak ada film terbaik. Dewan juri pun lantas dikritik habis-habisan. "Seminggu kemudian," kata Ki Suratman, Ketua Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta yang menjadi Ketua Dewan Juri FFI 1984 itu, kepada Slamet Subagyo dari TEMPO, "Presiden Soeharto mengeluarkan komitmen yang menyatakan perang terhadap pornografi dan sadisme." Komitmen itu, menurut Ki Suratman, harusnya tetap berlaku sampai sekarang. Namun, kenyataan justru mengherankan, film porno dan sadisme yang kian berlebihan. "Selama ini BSF itu kerjanya apa, sih?" kata bekas juri FFI itu. Budiono Darsono, Tri Budianto Soekarno, Sri Pudyastuti, Moebanoe Moera.


Barbara Anne Constable Wawancara
Oleh Andrew Leavold

"Pertama dia kawan ... lalu dia berakhir!" poster-poster itu menjerit di luar bioskop-bioskop omong kosong New York City pada tahun 1988, dan untuk kali ini bukan hanya beberapa hiperbola penjaja produser film Z. Orang hanya bisa membayangkan reaksi kerumunan 42nd Street terhadap Lady Terminator yang memerciki-sci-fi Indonesia, dengan plot Terminator pertama Arnie yang dicangkokkan ke kisah horor supernatural dari seorang Ratu Laut Selatan yang memiliki seorang antropolog ‘Amerika’.

Barbara Anne Constable yang cantik dan berambut gondrong memainkan Tania dan mesin pembunuh sang Ratu yang tak terhentikan, menebang ratusan penonton yang tak bersalah dengan AK-47-nya, sementara - dalam riff yang tak terduga pada Terminator asli - mengibas seperti banshee. Sungguh menakjubkan, hyper-sleazy dan keras dalam dosis yang sama, dan penuh dengan satu setpiece aksi over-the-top demi satu, film ini hampir gila seperti eksploitasi Asia.

Barbara yang lahir di London tumbuh sebagai penari profesional di Australia yang cedera kakinya membawanya ke Hong Kong dan masuk ke dunia modeling dan fashion reportase. Setelah audisi kebetulan untuk sebuah perusahaan film Indonesia, Barbara ditawari peran utama dalam ripoff Terminator lokal: tidak ada pengalaman akting yang diperlukan, tetapi daya tahan fisik adalah nilai tambah. Produser film India yang seperti kartun, Ram Soraya “bertemu saya di bandara dan mengulurkan setumpuk uang tunai dalam dolar AS kepada pejabat bea cukai ketika saya tiba. Jadi itu mengatur adegan. "

Tanpa peringatan, Barbara terjerumus ke dalam kekacauan Wild West pembuatan film-B Indonesia. “Semua orang merokok di lokasi syuting, orang-orang sudah gila! Saya tidak tahu bagaimana mereka menyelesaikan sesuatu. " Barbara diharapkan untuk melakukan aksi sendiri, dan sebagai penari yang tidak menimbulkan masalah. Meski begitu, ambang rasa sakitnya didorong ke batasnya. “Aku punya banyak kesalahan, seperti setengah tubuh mobil yang terbang dan merindukanku dua sentimeter! Saya hampir terbunuh berkali-kali selama film itu ... ”Setelah tiga bulan yang sangat melekat menempel pada kap mobil dan dibakar oleh squibs peluru (“ luka bakar tingkat dua yang serius! ”), Tembakan terakhir adalah Barbara menendang pintu kaca. “Gelas itu seharusnya hancur berkeping-keping. Itu benar-benar panel kaca ampuh! ”

Pergelangan kakinya ditusuk oleh pecahan kaca yang panjang, hanya melewati tendon Achilles-nya. Produksi ditutup selama sebulan - dengan Barbara dengan upah penuh - sementara rumah sakit militer menjahitnya dan dia mendapatkan kembali kemampuan untuk berjalan. "Lalu aku menembak adegan terakhir itu, gelas permen pecah seperti seharusnya, dan kami membungkusnya.

"Ram Soraya memanggilku beberapa tahun kemudian dan berkata," Kami ingin kamu melakukan komedi. "Aku berkata tidak. "Aku akan membayarmu dua kali lipat?" "Tidak, aku tidak akan kembali. Saya tidak akan pernah keluar kalau tidak! '"

Barbara menerima perannya - dan nasibnya - sebagai Lady Terminator, dengan pengertian bahwa film itu tidak akan pernah diputar di luar Indonesia. Dua tahun kemudian, Ram Soraya mengirim Barbara salinan Betamax - dan sebuah pers yang memotong New York Times. "Aku seperti, 'Kamu bercanda denganku?' Aku malu." Yang lebih mengganggu adalah 'adegan kepemilikan', di mana seekor ular CGI yang sangat primitif merayap masuk ke pantatnya - ahem - bikini.

“Mereka ingin aku jatuh ke tempat tidur. Saya diikat, dan mereka ingin saya terlihat seperti kesurupan. Itulah pemandangannya. Mereka tidak mengatakan, 'Setelah itu kami akan meletakkan ular ini yang naik ke vagina Anda ...'! "

Apakah Barbara masih malu, aku ingin tahu. “Saya sudah melihatnya sejak itu dengan teman-teman sambil minum-minum, dan hanya tertawa sepanjang waktu. Itu sangat kacau! Orang-orang seperti, 'Itu ANDA? Itu aneh! ’Saya tahu!"

 







NEWS (BERBAHASA INGGRIS)
Lady Terminator

Pada tahun 1988, tujuh tahun setelah membuat Mystics di Bali, H. Tjut Djalil membuat film yang mungkin paling kontroversial dalam karirnya: Lady Terminator. Dia merilisnya dengan nama samaran "Jalil Jackson", yang memberi kesan sial bahwa dia anggota keluarga bisnis pertunjukan yang paling memalukan. Lady Terminator sangat over-the-top dengan penggambarannya tentang seks dan kekerasan yang membuatnya mengejutkan penonton Asia Selatan: dilarang di satu tempat, akan muncul di tempat lain, melakukan bisnis yang luar biasa melalui mulut ke mulut sampai ditutup lagi.

Menurut standar Barat isinya adalah rutin: banyak tembakan, ledakan warna-warni, percikan darah besar, sesekali payudara. Mungkin bahasanya agak kasar untuk saat itu; mengingat kembali hal itu, saya sepertinya tidak dapat mengingat pada titik mana kata "blowjob" menjadi dapat diterima dalam film yang tidak diberi peringkat X. Bagaimanapun juga, ini bukanlah konten aktual yang tampak luar biasa, bahkan menurut standar sekarang, melainkan antusiasme sesat yang melatarbelakangi film mencoba meniru model Hollywood-nya. Pernahkah Anda melihat seorang pengusaha Jepang di bar karaoke, bernyanyi dengan intensitas tinggi dalam apa yang menurutnya adalah bahasa Inggris? Analogi yang lebih baik mungkin saya bernyanyi bersama dengan lagu-lagu pop Cina, tapi saya tahu Anda belum pernah melihat atau mendengar itu. Dan kamu tidak akan pernah. Dimana aku? Oh ya. Ini tontonan yang luar biasa, tetapi Anda merasa bahwa pada tingkat fundamental, ada sesuatu yang salah.

Inilah hal pertama yang saya temukan saat menonton Lady Terminator: ada bentangan pantai Indonesia yang begitu dramatis sehingga yang perlu Anda lakukan untuk membuat film yang menarik adalah mengarahkan kamera pada mereka. Ada sedikit hal lain di sisa film, terlepas dari semua ledakan dan efek khusus, yang dapat menandingi tontonan tipis ombak yang menabrak pantai berbatu.

Saya akan sangat senang menonton laut selama delapan puluh menit, tetapi sayangnya ada lebih banyak film. Sulih suara (yang tidak pernah diidentifikasi) membantu memberi kita Moral of the Story bahkan sebelum kita mulai:

"Kadang-kadang masa lalu harus diingat, untuk mengumpulkan debu di antara sampul waktu yang direkam."

 Oh sayang. Ini akan menjadi salah satu film itu, di mana seseorang merusak domain Tuhan. Agak aneh mengungkit-ungkit debu ketika kita melihat lautan terbuka, meskipun "di antara selimut" ternyata merupakan ekspresi yang tepat untuk banyak hal yang terjadi kemudian.

Sebenarnya, dalam kasus ini, domain yang dirusak bukanlah milik Tuhan, melainkan milik Ratu Laut Selatan, yang hidup dalam model perspektif-paksa sebuah kastil di hamparan pantai terpencil. Ketika kita bertemu dengannya, Ratu Laut Selatan sibuk memiliki, eh, snugglebunnies berkeringat dengan kekasih ke-99 nya. Sama seperti pria malang itu mulai menikmati dirinya sendiri, ia mulai berteriak kesakitan, ketika segumpal darah muncul dari pangkal pahanya. Sang Ratu turun dari mayat (dan kita dapat melihat bahwa orang-orang tampaknya berhubungan seks di celana dalam mereka di Indonesia). "Apakah ada pria yang bisa memuaskanku?" dia bertanya retoris, saat dia menyemprotkan segenggam anggur.

Satu lompatan kemudian, kita punya jawaban untuknya: ke dalam tangga langkah seorang lelaki bermartabat yang nantinya akan kita ketahui bernama Ilias. Tanpa kata pengantar, Ilias dan Ratu melompat ke tempat tidur. Namun, kali ini, pasangan Ratu terlalu cerdas untuknya: ia meraih ke bawah dan menarik ular, antara rahasia kakinya yang mematikan. Dengan gerakan, Ilias mengubah ular menjadi pisau melengkung, yang disebut keris. Ratu menuntut Ilias mengembalikan ularnya, tetapi dia bersikeras bahwa dia adalah istrinya sekarang, dan harus menghentikan pembunuhan. Alih-alih tunduk pada pria yang mengecohnya, sang Ratu memutuskan untuk pergi ke dasar lautan, untuk hidup dengan Roh Jahat.

"Dalam 100 tahun," katanya pada Ilias ketika dia pergi, "aku akan membalas dendam pada cicitmu!" Itu adalah ancaman khusus yang aneh untuk dia buat, tapi mungkin ada peraturan Serikat atau sesuatu: keris yang dicuri menuntut satu cicit perempuan sebagai kompensasi, dibayar dalam 100 tahun. Bagaimanapun, ancaman sang Ratu disertai dengan suntikan aneh, ketika kita tiba-tiba melihat kilat menyambar di atas air, dan bentuk gelap naik dari laut. Kami hampir tidak punya waktu untuk memahami gambar ini ketika aksi melompat kembali ke kamar tidur Ratu, di mana Ilias dibiarkan sendirian dengan kerisnya.

Kredit pembuka bergulir, dan tepat ketika kami sedang mempersiapkan diri untuk memulai film yang tepat, kami tiba-tiba menemukan diri kami di suatu tempat di tengah: seorang wanita bersenjata lengkap yang belum pernah kami lihat sebelumnya menembaki sebuah bar. Orang lain yang benar-benar asing bagi kita tampaknya melarikan diri darinya, sementara yang lain muncul dengan senjata mereka sendiri dan dengan cepat dipangkas. Tampaknya lampu kilat melampaui tanda seratus tahun dalam beberapa jam. Mungkin menyadari kesalahannya, film menghentikan aksi dan memberi kami layar judul, disertai dengan suara tembakan senapan mesin.

Melanjutkan narasinya, kami bertemu Tania Wilson. Kita perlu sedikit waktu untuk menyadari bahwa Tania bukanlah cucu perempuan yang telah kita janjikan, tetapi lebih merupakan seorang mahasiswa antropologi Amerika di jalur Ratu Laut Selatan yang legendaris. Tania muncul di perpustakaan Universitas mencari buku tentang Ratu. Pustakawan tua yang seram itu memberikan hardcover perdagangan yang berdebu tetapi terlihat normal. Seolah-olah untuk menebus penampilan biasa dari buku itu, pustakawan menariknya kembali dari genggamannya, menggumamkan peringatan tentang bermain-main dengan yang tidak diketahui.

"Ayo!" kata Tania. "Di zaman sekarang ini, kamu berbicara tentang legenda? Aku seorang antropolog, ya?"

Tetapi pustakawan itu melanjutkan dengan peringatan misteriusnya; pemandangan diselingi oleh potongan tiba-tiba pada lukisan Ratu Laut Selatan yang kebetulan tergantung di dinding. Tania adalah jika ada sesuatu yang lebih ditentukan oleh keengganan pustakawan untuk memberikan buku itu kepadanya, dan dalam waktu singkat dia menyewa perahu untuk mencari reruntuhan kastil Ratu di bawah laut.

Tentu saja, dua orang awak kapal sama tidak senangnya dengan tujuan Tania seperti halnya pustakawan itu. "Apakah kamu sudah gila, nona?" Blusters sang kapten. "Maukah kamu berhenti memanggilku 'nona'?" kata Tania. "Aku bukan seorang wanita, aku seorang antropolog!"

"Kamu terlalu banyak membaca," jawab kapten.
Tania berniat menemukan keris legendaris yang dicuri dari sang Ratu. Kapten mencoba untuk mencegahnya dengan menegaskan bahwa cerita itu hanya legenda. Tanya, yang menolak legenda hanya adegan yang lalu, bersikeras bahwa legenda itu benar dan bersiap untuk menyelam.

Tidak lama setelah bikini-berpakaian Tania mulai menyelam ketika langit berubah menjadi oranye, dan gelombang besar turun di atas kapal seperti kepalan. Momen ini jelas palsu, bergantung pada pengeditan untuk meyakinkan kami bahwa gelombang normal benar-benar besar, dan bahwa gelombang dan kapal berada di tempat yang sama pada saat yang sama. Namun, ini adalah salah satu dari sedikit contoh dalam film di mana pengeditan benar-benar bekerja: di mana sering terjadi tidak hanya mencapai efek yang ingin diciptakan sutradara, tetapi juga masuk akal dalam narasinya.

Sementara itu, Tania telah diturunkan secara misterius ke sarang Ratu. Lukisan Ratu yang sama yang tergantung di perpustakaan juga ada di dinding kamar. Tania mendapati dirinya terikat pada ranjang bertabur kelopak dengan hiasan ranjang dengan pikiran mereka sendiri. Lebih cepat daripada yang bisa Anda katakan "Sam Raimi", kakinya dicungkil terpisah, dan meskipun ia masih mengenakan bikini, seekor ular animasi memaksa dirinya untuk menaikkan bagian-bagian tubuhnya yang nakal. Hei - itulah yang terjadi pada wanita di film horor yang "terlalu banyak membaca". Petir menyambar tempat tidur, dan meskipun kami pikir ini terjadi pada siang hari, awan menyebar perlahan ke bulan.

Oh tunggu sebentar - bulan seharusnya menjadi transisi, memberi tahu kita bahwa ini malam itu. Petir menyambar lagi di atas air, dan bentuk gelap muncul dari — tunggu yang lain. Sekarang, mengenakan salah satu jaket kulit anak laki-laki, Tania kembali ke apartemennya. Ada di atas tempat tidur lagi

Dari sini, aksi bergeser ke bar, di mana seorang polisi yang sedang tidak bertugas menyelamatkan seorang gadis muda yang cantik dari perhatian yang tidak diinginkan dari beberapa penjahat yang bertindak terlalu keras. Setelah bertemu-imut, polisi (yang bernama Max) meninggalkan temannya Snake (!) Dan Tough (!!) dan membawa gadis itu pulang. Ketika kami larut dalam refleksi Max dalam foto berbingkai kaca, kami menyadari ini semua adalah kilas balik. Max adalah salah satu dari Polisi dengan Masa Lalu Tragis. Dia melakukan apa yang selalu dilakukan polisi seperti ini: dia pindah ke Indonesia dan membenamkan diri dalam pekerjaannya, daripada Belajar Bagaimana Mencintai Lagi.

Max dikeluarkan dari lamunannya dengan kedatangan dua rekannya. Mereka memiliki serangkaian pembunuhan untuk diselidiki. Lebih baik aku membiarkan para detektif berbicara sendiri di sini; Saya mungkin harus meminta maaf kepada pembaca yang mudah dipengaruhi tentang bahasa eksplisit dan kebodohan eksplisit dalam dialog yang dikutip:

Sekarang setidaknya kita tahu apa yang dimaksud dengan flash-forward sebelumnya. Anyway: keluar dari tangga air Tania, telanjang dan berjalan kaku (seperti aktor buruk berpura-pura menjadi cyborg atau sesuatu). Di pantai ia bertemu dengan dua bocah laki-laki mabuk, salah satunya dengan marah mengencingi segala sesuatu seperti bayi gila dan memanggil perempuan. Ketika anak-anak lelaki melihat seorang wanita telanjang berjalan ke arah mereka, mereka hampir tidak bisa mempercayai keberuntungan mereka. Tania membawa salah satu dari mereka ke mobilnya; anak yang tersisa salah mengira teriakan temannya yang meningkat karena tangisan kesenangan. Dan segera gilirannya ... salinan lukisan Ratu. Biarkan saya mengambil kesempatan ini untuk menyebutkan juga bahwa lukisan itu memiliki sedikit kemiripan dengan aktris yang berperan sebagai Ratu dalam prolog. Ketika Tania berdiri di bawah lukisan, semuanya mulai menjadi gila (terutama penyuntingan) - ruangan mulai bergetar, lampu meledak, televisi (yang memutar beberapa video musik yang menampilkan penyanyi muda Indonesia) meledak juga; Baut energi terbang keluar dari Tania, saat klip adegan sebelumnya melintas di layar. Gangguannya sedemikian rupa sehingga penjaga keamanan gedung datang untuk menyelidiki. Berhenti untuk memeriksa senapan mesinnya - penjaga keamanan mengambil pekerjaan mereka dengan serius di Indonesia, saya kira - dia mengetuk pintu Tania. Bayangkan keterkejutannya ketika gadis telanjang itu menyentak membuka pintu dan menarik penjaga melalui ...

Max: "Kami memiliki tiga mayat di sini ..."
Detektif 1: "... ketiganya mati dengan ayam mereka digigit. Bisa jadi binatang kecil."

(Astaga. Hewan apa ?? Musang celana Indonesia yang terkenal buruk?)

Detektif 2: "Laporan itu menyebutkan seekor belut. Belut? Di tanah kering? Saya pernah mendengar tentang blowjob terbaik, tetapi, eh ... ini terlalu banyak."
Max: "Jelas dilakukan oleh orang yang sama. Tapi mengapa? Apa motifnya?"
Detektif 1: "Bagaimana mungkin manusia melakukan ini?"
Detektif 2: "Oh, sangat mudah ... pertama, lepaskan celananya ..."

Sementara itu, saatnya bagi kita untuk diperkenalkan dengan cicit Ilias. Namanya Erika, dan dia gadis yang ditampilkan dalam video musik yang diputar di apartemen Tania malam sebelumnya. Erika berada di ambang ketenaran, berkat acara musik TV-nya ... meskipun kami diberitahu itu tidak akan mulai ditayangkan sampai malam itu (dalam hal itu, apa yang ditonton Tania tadi malam?). Ketika Erika dan temannya meninggalkan kelas olahraga mereka, kami mendengar komentar mengatakan:

"Arnold Schwartzeneggar bukan kamu."

Teman Erika mengagumi kalung yang dia kenakan, barang antik yang dia warisi dari Ilias. Kebetulan dia menemukan salinan di sebuah toko perhiasan murah, dan ucapan penjaga toko itu tidak sengaja sesuai:

"Itu reproduksi asli ..."

Teman Erika membeli kalung imitasi, dan dua bagian perusahaan. Tanpa diketahui mereka, Tania telah melacak mereka. Melihat dua gadis mengenakan kalung Ilias, dia memilih untuk mengikuti teman Erika. Menuduhnya di kamar kecil, Tania mengeluarkan senapan mesinnya dan mengubahnya menjadi sup tomat. Selanjutnya, Tania melakukan hal yang sama untuk pengamat yang tidak bersalah; Namun, dia sangat marah ketika dia menemukan kalung itu palsu.

Max dan teman detektifnya, Jack, memutuskan untuk bersantai setelah menyelidiki pembunuhan kastrasi dengan pergi ke bar, di mana (seperti takdir akan terjadi) Erika merekam Big Show-nya. Max tidak terlalu sibuk mengagumi Erika dan penampilannya untuk memperhatikan bahwa seorang wanita di antara hadirin mengeluarkan beberapa persenjataan berat. Max menyelam di atas panggung untuk menyelamatkan Erika dari rentetan peluru yang terbang melintasi panggung. Segera penjaga dan bartender mulai mengeluarkan senjata mereka - semua orang di kota ini mengepak senjata serbu - dan sebuah bar-ruangan gratis untuk semua dimulai yang kemungkinan akan mengingatkan Anda pada film lain tertentu.

"Ikut aku jika kamu ingin hidup," seru Max - kurasa aku pernah mendengarnya di suatu tempat sebelumnya juga. Jack terbunuh ketika berusaha membantu mereka melarikan diri, tetapi Max berhasil sampai ke mobilnya. Max menarik senapan mesinnya yang praktis dari kursi belakang (jadi katakan padaku: di mana Anda menyimpannya?); dia meledakkan kendaraan di dekatnya tepat saat Tania melewatinya. Saya kira mereka sama sekali tidak peduli tentang kerusakan properti di Indonesia seperti halnya dengan penggunaan senjata api biasa. Tania tidak terpengaruh oleh bola api, dan tak lama kemudian Max dan Erika melarikan diri dari Tania di sebuah pengejaran mobil / tembak di jalan raya. Baik Max dan Tania berhasil menembakkan sampah hidup dari mobil masing-masing tanpa saling menyakiti atau orang lain.

Max dan Erika mencari perlindungan di kantor polisi sementara sepasukan kecil polisi pergi mencari psikopat yang tak terhentikan yang meninggalkan petak pembantaian yang mengerikan di belakangnya. Max mengambil kesempatan untuk memanggil teman-temannya Snake and Tough kembali ke Amerika Serikat. Dia memberi tahu mereka tentang mengamuk Tania, dan memohon mereka untuk memanggil teman mereka Joe. "Katakan padanya: aku ... butuh ... bantuan!", Dia pecah; Kami harap saya bahwa Joe adalah pelatih aktingnya, tetapi entah bagaimana saya ragu itulah masalahnya.

Anehnya, Erika punya pengunjung yang menunggunya di stasiun: Pamannya yang mistis Rabu, yang telah meramalkan bahaya dan datang untuk melakukan apa yang dia bisa. Dia menjelaskan kepadanya dan polisi yang tidak percaya cerita tentang Ratu Laut Selatan, dan alasan dia untuk datang setelah Erika. Dia juga mengambil darinya kalung itu, memberikannya sebagai ganti keris Ilias.

Seketika lampu di gedung padam, dan klakson darurat mulai menyala. Tania mengendarai mobil langsung ke gedung, dan berjalan dari kamar ke kamar, lantai ke lantai, membunuh semua orang (bukankah kita pernah melihat ini sebelumnya di suatu tempat juga?). Dia memiliki kebiasaan menembak korbannya di pangkal paha. Sangat mengherankan Max, Paman Rabu berjalan dengan tenang di depan senapan Tania yang menyala-nyala. Sambil memegang kalung itu, dia meniupnya; dan ia berlayar melintasi ruangan dan melekatkan dirinya di mata Tania. Tania terlempar ke belakang dan mendarat di tanah, lembam.
Tapi kemudian, tentu saja, dia duduk kembali. Saat dia menembak Paman Rabu di selangkangan, Max berlari untuk menyelamatkan Erika dan pergi dari sana.

Setelah mereka membuat jarak yang nyaman antara mereka dan Tania, mobil yang mereka "pinjam" menyerah pada mereka. Berkerumun bersama untuk kehangatan di malam yang dingin dan basah, mereka mulai saling bermesraan. Max bercerita pada Erika tentang istrinya, yang diperkosa dan dibunuh oleh penjahat yang baru dibebaskan. Erika memberi tahu Max kisah sedihnya sendiri tentang pengabaian dan nasib buruk. "Ini akan terlihat lebih baik di pagi hari," kata pria yang baru saja melihat sebagian besar teman dan rekan kerjanya berubah menjadi kabut merah halus oleh seorang pembunuh yang masih dalam jejak mereka. Erika bereaksi terhadap komentarnya kurang lebih seperti yang kita lakukan, dan untuk sesaat sepertinya dia akan mendapatkan simpati sepenuh hati kita dengan merobek wajah Max ... tetapi secara alami, tiga setengah detik kemudian dia mengunci bibir dengannya, dan mereka menumpahkan pakaian mereka.

Sementara itu, Tania pergi ke hotel murah untuk melakukan beberapa operasi bola mata dadakan. Muncul matanya, dia mengambil kalung itu dari tengkoraknya; lalu dia membuka bola matanya kembali. Bagus seperti baru! Pelayan gemuk dari Layanan Kamar muncul dengan nampan, tetapi ketika dia melihat gadis telanjang memanggilnya dari tempat tidur, dia tidak bisa merobek pakaiannya cukup cepat. Keluar dari satu pelayan.

Beberapa urutan pengejaran brutal tanpa henti kemudian, Tania dan para buron berakhir di lokasi bandara yang ditinggalkan. Tiba-tiba, siapa yang harus muncul tapi ... Ular! Sulit! Joe! Dan mereka telah berhasil membawa mereka ke tanah Indonesia seluruh jajaran tank dan helikopter dan peluncur roket dan artileri yang lebih berat (dan semua ini tanpa jejak jet-lag). Hei, jika itu adalah satu hal yang kami pelajari dari Tim-A, itu adalah bahwa tentara bayaran Amerika yang aneh selalu diterima di negara lain, terutama jika mereka siap untuk membuat Bad Guys yang ditunjuk menjadi Boom dengan cara yang penuh warna.

Saya kira seseorang harus melakukannya: membuat film yang menunjukkan dengan tepat bagaimana seharusnya film tidak.

Dibandingkan dengan Mystics in Bali, Lady Terminator lebih mirip film aksi gaya Barat, dan lebih buruk dari itu. Mistikus ramping - jika ada, sedikit terlalu ramping dalam penyajiannya hanya informasi yang kami pikir perlu dilihat. Lady Terminator

Alih-alih mendapatkan kekuatan dari strukturnya yang istimewa, Lady Terminator hanya tampak seperti palimpsest, salinan buruk dari sinema sampah yang memenuhi toko video pada 1980-an (film yang juga merupakan tiruan buruk dari aksi pembuat rencana aksi anggaran besar Reagan zaman). Energi Mystics di Bali masih ada di sebagian besar film, tetapi imajinasi dan rasa keyakinan yang membuat film sebelumnya mudah diingat hampir tidak ada sama sekali. Satu-satunya aspek khusus Indonesia dari Lady Terminator, balas dendam Ratu Laut Selatan, adalah dalih murni: ia juga bisa menjadi penyerbu alien, atau cyborg penjelajah waktu. Bahkan, saya curiga mungkin lebih baik jika mereka sama sekali menghindari cerita rakyat Indonesia: mungkin bukan ide terbaik untuk memiliki semangat yang indah dengan ular pemakan manusia yang sedang menanjak menjadi manusia robot pembunuh yang tak terhentikan yang menembaki pusat perbelanjaan. Sosok-sosok supranatural legendaris ini tidak membutuhkan senjata modern: Count Dracula mungkin menakutkan, tetapi Count Dracula dengan gergaji mesin atau senapan mesin benar-benar bodoh.

Meski begitu, film ini berhasil mengalahkan model-model Amerika dalam setidaknya satu hal: ketidakdewasaan. Dengan penekanannya pada mengebiri dewi-dewi seks, dan ikatan antara lelaki yang banyak mengutuk dan membawa persenjataan berat phallic, Lady Terminator mungkin menjadi film sempurna untuk bocah lelaki berusia empat belas tahun di setiap lelaki.

Namun, jika Anda seorang lelaki, dan Anda merasa tidak nyaman dengan sisi diri Anda yang tidak ramah itu, Anda mungkin tidak ingin menonton film itu lagi ... karena Anda mungkin akan menikmatinya lebih daripada yang Anda inginkan. mau mengakui. Film ini bodoh, turunan, dan tak berperasaan dalam mengabaikan nyawa manusia, tetapi untuk film dengan jumlah tubuh yang tinggi itu sangat baik. Bahkan ketika dia bekerja dengan bahan basi seperti itu, Djalil masih tahu cara membuat film yang menyenangkan; meskipun mungkin hampir tidak ada rasanya untuk sebagian besar waktu berjalannya, itu terlalu konyol dan menghibur untuk menyinggung.

Namun, aneh untuk berpikir bahwa fantasi remaja ini, dengan senjata api yang ada di mana-mana dan kekerasan beroda bebas, dibuat di Suharto, Indonesia. Saya terpaksa memikirkan hukuman penjara terhadap penulis Indonesia Pramoediya Ananta Toer, dan larangan selama puluhan tahun berikutnya pada semua tulisannya sampai diktator Suharto digulingkan hanya beberapa tahun yang lalu. Bacalah apa saja oleh Pramoediya Ananta Toer, dan Anda akan dikejutkan oleh kemanusiaan semata-mata dari tulisannya ... namun gagasannya dianggap terlalu berbahaya untuk dibaca. Lady Terminator secara diametris menentang seni semacam itu; namun ada tempat bahkan untuk bioskop omong kosong seperti ini dalam perjuangan melawan sensor. Meskipun pihak berwenang memang mencoba untuk menekan film setelah rilis, popularitasnya yang sangat besar membuatnya sulit untuk dihilangkan. Dengan caranya sendiri, itu mungkin telah membantu merobohkan beberapa dinding dan memaksa membuka beberapa pintu di hati nurani Indonesia ... meskipun jujur ​​saja, saya mungkin bercanda sendiri di sini, berhalusinasi beberapa nilai menjadi sepotong claptrap total. diedit. mengambil pendekatan sebaliknya, membombardir kita dengan gambar-gambar dengan cara yang tampaknya menantikan transisi musik-video / gaya videogame yang menjengkelkan yang sekarang sangat modis.

 









 










 "Tapi dia seorang ratu, dan begitulah ratu ...
" Notes on Lady Terminator (1988)
Sebuah topik besar dalam keilmuan kontemporer adalah "akulturasi": cara aspek-aspek budaya dipertukarkan ketika berbagai kelompok saling berhubungan. Gagasan tentang budaya "murni" cukup kental di zaman ini ketika ada band-band hip hop Jepang dan mahasiswa Amerika mendengarkan musik rumah Paris. Saya tidak yakin apakah para ahli teori akulturasi memiliki Lady Terminator dalam pikiran, tetapi mereka pasti bisa; itu adalah campuran yang agak aneh dari langsung Terminator James Cameron's, film eksploitasi pada umumnya, dan mitologi Laut Selatan. Dengan kata lain, ini akan menjadi The Terminator jika Arnold Schwartenegger adalah seorang wanita Indonesia dengan ular ajaib yang hidup di vaginanya.

Memang, ini adalah film yang mengerikan. Namun, tidak seperti banyak film eksploitasi, film ini memenuhi janjinya - film ini punya plot yang sangat bodoh dan jumlah seks dan kekerasan yang sangat besar. Itu saja; Anda tidak dapat meminta lebih dari film-film ini. Film-film eksploitasi tahun 70-an dan 80-an yang diputar di 42nd Street grindhouses telah banyak diromantisir belakangan ini. Saya pikir orang lupa berapa banyak dari mereka yang benar-benar impor; jika mereka benar-benar ingin mendapatkan keaslian, Quentin Tarantino dan Robert Rodriguez seharusnya merekam film "grindhouse" mereka dalam bahasa Italia dan memasukkannya ke dalam bahasa Inggris dengan buruk. Film-film ini adalah semacam program pertukaran budaya dan banyak rumah-rumah pemeras juga "rumah seni", menampilkan film-film eksploitasi asing dan film-film seni. Jumlah yang mengejutkan sebenarnya ditembak di Kanada. Mengunjungi Toronto seperti berjalan melalui film-film eksploitasi buruk yang saya tonton di VHS ketika masih kecil, tetapi tidak memiliki slasher dan anak-anak monster iblis.

Lady Terminator adalah bagian dari masa booming untuk bioskop berbiaya rendah Indonesia yang mencerminkan booming Kanada di tahun 70-an karena alasan yang sama - pembiayaan pemerintah. Kelemahan dari dana seni pemerintah adalah sensor resmi, yang ada di Indonesia dan Kanada. Film-film Indonesia dari era ini cukup mengejutkan karena mereka menggabungkan kiasan film-film kung-fu, aksi, dan horor dengan legenda lokal untuk menarik perhatian penonton kelas pekerja Indonesia. Efeknya agak aneh: seperti menonton film Kung-fu yang menampilkan Infant of Prague!

South Sea Queen from Lady Terminator

Lady Terminator sebagian besar mengikuti cetak biru ini.

Begini ceritanya: Bertahun-tahun yang lalu, Ratu Laut Selatan, seorang tokoh dari cerita rakyat Jawa, sangat senang membunuh para lelaki dengan membiarkan ular di vaginanya menggigit danglunya yang menjuntai selama hubungan seksual. Sayangnya, beberapa brengsek menarik keluar ular dari jubahnya dan mengubahnya menjadi belati. Dia marah (siapa yang tidak?) Dan bersumpah akan membalas dendam pada cicitnya. Pikirannya, tidak diragukan lagi, pada titik ini adalah, "Oke, Gila, semoga sukses dengan benda besar itu!"

Maju cepat ke tahun 80-an, ketika Tania, seorang antropolog, sedang menyelidiki Ratu Laut Selatan. Kita tahu dia seorang antropolog karena garis abadi: "Aku bukan seorang wanita! Aku seorang antropolog!" Ngomong-ngomong, Tania menyelam di sekitar tempat umum Ratu Laut Selatan ketika kapalnya terbalik oleh tsunami dan dia diseret ke dasar laut dan ke tempat tidur di ruang yang kering sempurna (Tidak, aku bisa ' Aku benar-benar menjelaskan hal itu) di mana ular laut itu masuk ke vaginanya (melalui animasi yang sangat buruk) dan merasukinya.

Tania muncul dari ombak yang kerasukan dan telanjang, dan film ini secara terang-terangan merobek seluruh urutan dari Terminator ketika dia memburu nenek moyang itu, yang merupakan penyanyi pop Indonesia, dan diburu oleh polisi dengan musik terburuk di sisi musik country. Banyak orang yang tertembak, banyak adegan diangkat, pakaian dilepas begitu saja. Apa yang luar biasa bagi saya tentang Lady Terminator adalah bagaimana film ini mengadaptasi film James Cameron untuk penonton kelas pekerja Indonesia dengan memasukkan begitu banyak mitologi lokal. Sepertinya film yang kita tahu sampai masuk ke ular laut dan ratu sihir yang hidup di dasar lautan. Itu semua sangat aneh.

Barbara Anne Constable in Lady Terminator











 Lady Terminator menyanyikan the Blues
Saya melihat lima dari enam film yang diputar Alamo Drafthouse akhir pekan lalu sebagai bagian dari Tur Cinemapocalypse mereka. Saya melewatkan Escape From New York karena saya telah melihatnya berkali-kali sebelumnya. Jesse Hawthorne Ficks mengatakan bahwa itu adalah cetakan 35 mm baru, tetapi itu tidak cukup untuk membujuk saya untuk tetap.

Dari lima film yang saya tonton, empat adalah hal baru bagi saya. Saya sebelumnya telah melihat Chained HeatLady Terminator. Produksi Indonesia / Filipina ini adalah tiruan Terminator. Beberapa adegan menggelikan karena kurangnya imajinasi yang ditunjukkan dalam menjiplak film aslinya. Di antara adegan yang diambil dari film klasik Schwarzenegger termasuk baku tembak di klub dansa dengan garis "Ikut aku jika kau ingin hidup," baku tembak di kantor polisi dan bola mata di wastafel. Saya terkejut Lady Terminator tidak mengatakan "Saya akan kembali."

Ratu Laut Selatan dari Lady TerminatorNamun, Lady Terminator memiliki tema misandrist dan anti-Asia yang mencerminkan periode (pertengahan 1980-an). Film ini dibuka dengan Ratu Laut Selatan berhubungan seks dengan seorang pria Asia. Ratu Laut Selatan tampak seperti waria bagi saya di Filipina. Saya tidak berpikir dia akan dipekerjakan di AsiaSF. Selain penampilan, Ratu Laut Selatan memiliki ular atau belut yang hidup di vaginanya. Jika cukup puas dengan jenis kelaminnya, ular itu meluncur keluar dari vaginanya. Namun, jika pasangannya tidak dapat memenuhi standar orgasmiknya, ular itu menggigit penisnya.

meskipun saya lupa sebagian besar. Tanpa ragu permata di akhir pekan adalah di adegan pertama ada uang ditembak tetapi bukannya ejakulasi di wajah wanita itu, itu adalah darah (dari penisnya yang terputus) di wajah pria itu! Penyemprotan ini diulang 3 kali dalam film. Inilah kickernya. Hanya satu orang yang bisa memuaskan Ratu Laut Selatan. Suaminya yang kebetulan pria kulit putih. Meletakkan konten setelah sambungan yang memuaskan, ular muncul dari guanya di mana pria itu dengan cepat meraihnya. Semua ini memiliki citra homoerotik mengangkat alis tetapi sebelum itu dapat dieksplorasi Ratu Laut Selatan menuntut ularnya kembali (yang secara ajaib berubah menjadi belati di sarungnya). Pria itu menolak; bagaimanapun juga dia adalah suaminya. Sang Ratu mengutuk cicit buyutnya dan menghilang ke laut.

Itu mungkin terdengar seperti pengaturan yang tepat untuk film kaliber ini, tetapi pertimbangkan bahwa ada enam adegan seks dalam film ini. Empat menghasilkan pengebirian dan keempatnya adalah laki-laki Asia. Satu-satunya adegan di mana pria itu menyimpan penisnya adalah ketika pria kulit putih itu memuaskan wanita Asia itu. Jika tidak dipandang secara simbolis sebagai metafora untuk kolonisasi Eropa dan Amerika di Asia atau supremasi kulit putih laten, itu dapat diartikan secara harfiah untuk fenomena lelaki kulit putih / gadis Asia yang menginspirasi para fetisisme dan komik standup hingga hari ini.

100 tahun kemudian, keturunan pemikat ular (si rambut coklat lentur) adalah seorang antropolog yang mempelajari ... Anda dapat menebaknya - legenda Ratu Laut Selatan. Dia pergi scuba diving (dalam bikini minim) untuk peninggalan dan memiliki ular maut ditanamkan di vaginanya. Dia berjalan ke darat telanjang bulat dan mulai penisnya mengamuk mengamuk.

Itu akan menjadi cerita bagus dalam dirinya sendiri tetapi untuk beberapa alasan yang hilang pada saya, Lady Terminator mengejar liontin batu giok yang dikenakan penyanyi pop. Tersirat bahwa penyanyi itu adalah keturunan terakhir dari Ratu Laut Selatan tetapi itu tidak masuk akal. Lady Terminator pergi menembaki gadis itu dan liontinnya. Gadis itu jatuh cinta pada seorang polisi (satu-satunya pria kulit putih di departemen kepolisian) dan dia bertindak sebagai pelindungnya. Tentu saja, Lady Terminator kebal terhadap peluru, api, pukulan di kepala, tabrakan mobil, bazoka, tank, dan hampir semua hal kecuali sihir kuno yang bisa dipanggil seorang lelaki Tionghoa sebelum dia diberangkatkan oleh Lady Terminator (meskipun bukan oleh dia biasanya metode serpentine). Apakah saya menyebutkan Lady Terminator dapat menembakkan sinar laser dari matanya? Dia tidak menampilkan bakat itu sampai 10 menit terakhir yang membuat saya bertanya-tanya mengapa dia perlu memiliki begitu banyak senapan otomatis di seluruh film.

Hanya beberapa hari sejak saya melihat film ini tetapi saya tidak ingat bagaimana Lady Terminator dikalahkan. Saya pikir Pop Singer melakukan sesuatu dengan liontin batu giok dan Lady Terminator meledak menjadi bola energi dan roket ke langit. Mari kita hitung unsur-unsur film yang lebih menyinggung. Ada banyak ketelanjangan. Barbara Ann Constable memainkan Lady Terminator (kredit pertama dan terakhirnya di IMDB). Rupanya, dia tidak nyaman dengan ketelanjangan frontal penuh. Saya kira dia memiliki batasan artistiknya. Itu membuat saya bertanya-tanya mengapa mereka memilihnya untuk peran itu. Anda akan berpikir bahwa kesediaan untuk tampil telanjang bulat akan tinggi pada daftar agen casting keterampilan yang diinginkan oleh aktris yang memerankan Lady Terminator. Mungkin ada masalah sensor. Itu difilmkan di Indonesia setelah semua.

Ketelanjangan, empat pengebirian, kematian yang tak terhitung jumlahnya oleh tembakan, pisau Exacto ke bola mata, Lady Terminator membuat kulitnya terbakar, penetrasi ular mistis dan dua orang kulit putih / kopling gadis Asia. Satu-satunya selingan romantis yang tidak berakhir dengan kematian dan pelemahan adalah dua adegan pria kulit putih / gadis Asia. Direktur menggunakan nom de plume dari Jalil Jackson tetapi nama aslinya adalah H. Tjut Djalil. Anda akan berpikir bahwa seorang sutradara Asia akan memperhatikan stereotip yang sedang diabadikannya tetapi saya kira dia terlalu sibuk merobek James Cameron atau memposisikan film ini untuk distribusi AS yang tidak dia perhatikan. Yang lebih sinis adalah bahwa ia dengan sengaja menyisipkan alur cerita itu untuk menarik perhatian khalayak Amerika di tahun 80-an.