Tampilkan postingan dengan label SI PITUNG / 1970. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SI PITUNG / 1970. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Januari 2011

SI PITUNG / 1970



Dibuat dua seri.
Dari tahun 50'an Nawi terkenal sebagi pembuat komedi. Dan dia tidak pernah bekerja dengan perusahaan film Safari, karena itu ia tidak mengulang lawakan Kwartet Jaya (eddy Sud, Bing Slamet, Iskak, Ateng). Justru karena itu Nawi bebas sekali, bahkan apapun bisa dijadikan komedi.

Berbeda dengan cerita lenong , Si Pitung tidak meninggal. Ia bak koboi yang menyelesaikan satu masalah dan pergi. Si Pitung (Dicky Zulkarnaen) yang berguru pada H.Naipin (M.Panji Anom), mendapat kekuatan untuk melawan penindasan yang dilakukanpara tuan tanah terhadap rakyat kecil. Dengan bantuan sahabatnya, Djiih (Sandy Suwardi), ia menghajar centeng-centeng bayaran para tuan tanah. Begitu juga opas-opas kompeni. Komandan Polisi Kompeni (A.Hamid Arief), mendapat jalan untuk menghalangi Pitung. Pacar Pitung, Aisyah (Paula Rumokoy) dijadikan istri ketiga Demang Meester (H.Mansjur Sjah). Pada saat pesta akan berlangsung Pitung berhasil melarikan kekasihnya, sambil berkata bahwaakan pergi ke tempat orang-orang yang membutuhkan.

Film ini cukup sukses dan mengangkat Dicky Zulkarnaen sebagai icon Si Pitung.
 
Film ini dibuat lanjutannya dengan judul "Banteng Betawi", dengan pemain sama. Kisah aslinya adalah dari legenda masyarakat Betawi.

P.T. DEWI FILM

DICKY ZULKARNAEN
PAULA RUMOKOY
SANDY SUWARDI HASSAN
A. HAMID ARIEF
MANSJUR SJAH
CONNIE SUTEDJA
HASSAN SANUSI
RINA HASSIM
FIFI YOUNG
M. PANDJI ANOM
JEFFRY SANI
W.D. MOCHTAR


Cerita aslinya
Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasasrkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda. Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian lengenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah Legenda Si Pitung ini terkadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung di identikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.

Tempat Lahir
Si Pitung lahir di daerah Pengumben sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bung Piung dan ibunya bernama Mbak Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Seperti yang dikisahkan dalam film Si Pitung (1970).

Nama Asli Si Pitung
Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari Bahasa Jawa Pituan Pitulung (Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).


Awal Legenda
Menurut versi van Till(1996) Si Pitung merupakan seorang kriminal, yang diawali ketika Si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang, kemudian dicuri oleh para “centeng” (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah. Sebagai tindakan balasan kemudian Pitung melakukan pencurian di tempat Haji Saipudin seorang kaya Juragan Tuan Tanah di Marunda pada waktu itu (Rumah Haji Saipudin sekarang menjadi tempat Musium Si Pitung). Legenda yang di kisahkan dalam film Si Pitung, Si Pitung dan Kawanan-nya menggunakan cara yang “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung, Pitung sebagai "Demang Mester Cornelis (Wilayah Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara merupakan bagian dari Kota Jakarta Timur") dan Dji-ih sebagai “Opas”). Kemudian melakukan penipuan dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya membawa lari uang tersebut.

Akibat dari hal ini kemudian Si Pitung dan Kawanannya menjadi buronan “kompenie”. Hal ini menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Heyne (“Schout Heyne, atau Heijna, Scothena, atau “Tuan Sekotena”). Secara resmi menurut van Till (1996) nama petugas polisi pada saat ini bernama A.W.V. Hinne yang pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. (Menurut catatan kepolisis Belanda. Hinne memulai karir sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belnda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia. Hinne menderita sakit yang serius, sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada akhir tahun 1880 Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia (Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274). Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu bebas dengan kekuatan “magis” tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.

Kemudian Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung berupa “jimat” sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diiragukan kebenarannya. Tetapi menurut Versi Film Si Pitung Banteng Betawi (1971) dikhianati oleh Somad yang memberi tahukan kelemahan Pitung untuk mengambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil “Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena sesorang melemparkan telur. Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas). Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari kubur hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996):

Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya

Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya

Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin

Aer keras ucusnya dikeringin

Waktu dikubur pulisi pade iringin

Jago nama Pitung kuburannya digadangin

Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi

Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi

Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi

Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi

Yang gali orang rante mengaku paye

Belencong pacul itu waktu suda sedie

Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye

Dilongok dikeker bangkenye masi die

Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata

Dicitak di kantor, koran kantor berita

Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata

Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta

Pesta itu waktu keiewat ramenye

Segala permaenan kaga larangannya

Tuju ari tuju malem pesta permisiannya

Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya

Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya


Pitung Robin Hood ala Betawi
Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):

Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.'

Pitung menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996).Karmani menulis novel Si Pitung, novel ini dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali (1993).

'Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal' (Rahmat Ali 1993:7)

Beragam pro dan kontra banyak menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya bahwa tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu yaitu Belanda. Apakah hal ini dipertanyakan valid atau tidaknya, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung diatas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.


Kisah Nyata Si Pitung
Berdasarkan penelusuran van Till (1996) berdasarkan Hindia Olanda 22-11-1892 (Koran Terbitan Malaya (Malaysia pada saat ini)). Pada tahun 1892 SI Pitung dikenal pada sebagai “One Bitoeng”, “Pitang", kemudian menjadi “Si Pitoeng” (Hindia Olanda 28-6-1892:3; 26-8-1892:2). Laporan pertama dari surat kabar ini menunjukkan bahwa schout Tanah Abang mencari rumah “One Bitoeng” di Sukabumi. Dari hasil penemuannya ditemukan Jas Hitam, Seragam Polisi dan Topi, serta beberapa perlengkapan lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung (Hindia Olanda, 28-6-1892:2).Kemudian sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan ditemukan uang sebesar 125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C dan Haji Saipudin seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2; 26-8-1892:2). Kemudian Si Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal 30 Juli 1892, ketika itu Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan mengancam bahwa Haji Saipudin akan ditembak.

Pada tahun 1892 Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah adanya nasehat dari Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) untuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih menrencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil, karena kejadian tersebut Kepala Penjara dicurigai karena dimungkinkan melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seseorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil)” kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).

Akibat, Si Pitung lepas lagi, berdasarkan rumor Pitung pernah menampakkan diri ke seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Semakin sulitnya menemukan Si Pitung, harga untuk penangkapan Si Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin "menembak mati" di tempat , tetapi sebagian pejabat mengatakan jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.

Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian secara kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga mencuri wanita pribumi, Mie dan termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C seorang wanita pedagang di Kali Besar bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahu-nya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).

Selanjutnya Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya, karena menderita sakit. Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pistol dalam jangkauannya. (Hindia Olanda 19-8-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian.

Pernyataan surat kabar Hindia Olanda yang menyatakan si informan mati dibunuh oleh Pitung,

“'Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan tempat sepi troes. Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.' (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)

Beberapa bulan kemudian, di Bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung diantara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam perajalanannya Hinne diberikan laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893), kemudian Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi, meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya yaitu hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.

Setelah Hinne menangkap Pitung setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar "Pitung"-"Pitung" yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak di ziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.


Kesaktian dan Kematian Si Pitung
Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut diatas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2) sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng Betawi), tetapi yang menarik versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat di-"lemahkan" jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia Olanda tersebut dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.

 
NEWS
11 Desember 1971
Robin hood, sebelum magrib

APAKAH jang harus dikatakan tentang seorang djagoan jang mati dalam filmnja jang kedua? Si Pitung gugur. Begitulah menurut tjerita jang berpuluh tahun hidup di Betawi. Demikian pula menurut sutradara penulis skenario Nawi Ismail dalam Banteng Betawt (BB), sambungan kisah Pitung ini. Paling sedikit kita bersjukur: setelah bagian pertama film jang berlaba gemuk itu. Nawi Ismail dan Dewi Film ternjata tidak terdjebak buat memperpandjang nafas Pitung hingga djadi sematjam dongeng Tarzan. Sebab seandainja demikian, ia bisa membosankan dan makin sedikit jang bisa dibitjarakan tentangnja. Apalagi si Pitung sebagai tokoh tjerita punja potensi besar untuk tjepat membosankan. Dia bukan seorang antihero. Dia bukan Clyde dalam Bonnie Clyde, meskipun sama-sama merampok dan djadi pudjaan. Clyde punja persoalan psichologis, Pitung tidak. Dia adalah seorang Robin Hood berlatarbelakang kampung, dengan Dji'i (dalam bagian pertama dimainkan Sandy Suwardi, dibagian kedua ditiadakan) sebagai sematjam Little John-nja jang lutju: penggarong orang kaja jang djahat dan penolong orang miskin. Di Djawa Tengah tokoh sematjam itu biasa disebut sebagai "maling dermawan", di Betawi dia adalah pahlawan legendaris rakjat jang tertindas dimasa kolonial jang kuno. Supra manusia. Sebagai pahlawan legendaris, kehidupan kemanusiaannja jang lengkap termasuk ketakutan dan kebimbangannja tidak lazim digambarkan. Dan Nawi Ismail nampak tetap mempertahankan tokohnja sebagai demikian: dibagian pertama dan kedua Pitung tampil sebagaimana ia tampil dalam kepertjajaan rakjat Betawi lengkap dengan kekuatannja iang rada supra manusia, lengkap dengan doa serta djimat. Tapi dengan aksentuasi utama pada silat, tjerita Pitung ini bukanlah 100% tjerita keadjaiban lebih banjak ia merupakan tjerita ketangkasan dan kekerasan. Sebagai demikian, seperti halnja berpuluh-puluh film silat Hongkong, kedua kisah Pitung ini tidak mentjoba menangkat diri mendjadi kisah jang lebih dalam. Nawi Ismail djuga tidak berpretensi. Si Pitung, berbeda dengan tokoh film-film Western jang terkenal setelah masa Tom Mix dan William S. Hart, tidak menundjukkan ambiguitas moral. Ia tak terlibat dalam problim, bahwa apapun alasannja dalam kisah ketangkasan dan kekerasan itu, sang tokoh tetap seorang pembunuh. Ia tidak seperti Shane jang sebenarnja enggan bertarung. Ia tak menghadapi pertanjaan tentang moral dari kekerasan. Seperti film Western Italia, jang dalam aspek ini berbeda dengan film Western klasik Hollywood, kekerasan dalam kisah Pitung hampir suatu hal rutin.

Pertarungan-jang didalam Django (dengan pistol) dan dalam kisah Pitung (dengan silat) adalah sama-sama sematjam "seni" jang disadjikan tjepat-tjepat dalam dosis jang besar. Tapi bila dalam Dango hidup sang djagoan jang kumal itu terpantul pada sikap tak atjuh pada agama serta moral konvensionil, dalam Pitung sang djagoan adalah pemuda alim murid Hadji jang selalu berasalamu'alaikum. Django hidup dengan suatu stijl tersendiri. Si Pitung hidup dengan kaidah kesalihan jang umum, dengan kebadjikan jang hampir-hampir mutlak. Dalam hal itu ia bisa mendjadi sematjam Tom Mix, hero jang rapi, tapi jang kini paling banter hanja disukai anak-anak. Si Pitung dan BB memperhatikan realisme fisik, tapi belum mempersoalkan realisme psichologis. Apakah jang harus dikatakan tentang seorang djagoan jang demikian? Maut. Walaupun begitu, seorang djagoan jang tewas lebih memungkinkan tjerita jang agak lain-dari jang-lain dari kisah seorang jang menang melulu. Film hiburan jang bertopang pada action memang punja kelebihan djika ia sanggup mengisahkan bahwa maut merenggut tokoh utama. Dalam hal itulah santeng Betawi punja kelebihan dari bagian pertama kisah Pitung. Tjeritanja memang diisi dengan kemalangan-kemalangan sang pahlawan. Demikianlah: Si Pitung jang diachir film pertama bersama kekasihnja, pergi naik rakit, ternjata tidak pergi djauh. Mereka bersembunji dirumah Bang Miun (Bunjamin S) jang terletak dibilangan Kebajoran zaman dulu. Dari sanalah usaha dilantjarkan untuk achirnja berhasil dengan perkawinan jang direstui oleh Hadji Naipin (Pandji Anom) maupun istrinja (Fifi Young). Tentu sadja berita ini tidak begitu sukar untuk disembunjikan kepada Demang meester (Mansjursjah) ataupun Heyne (Hamid Arif). Pembeslahan rumah Hadji Naipin--sebagai ganti rugi buat Demang jang gagal memperoleh bini muda dirasakan masih kurang tjukup. Usaha mentjari Aisjah terus sadja dilandjutkan, meskipun untuk itu tuan Demang harus mengeluarkan sedjumlah uang kopi bagi mandor Dadap (W.D. Mochtar) dan anak-anak buahnja.

Heyne sendiri terdesak oleh 2 pihak: orang-orang jang mengadukan perampokan jang makin meradjalela oleh badjingan-badjingan jang mengaku sebagai Pitung, dan atasan Heyne jan mengantjam pedjabat Belanda tersebut untuk dikirim kembali ke Holland djika dalam waktu singkat gagal mengatasi keadaan. Buat Pitung sendiri, keadaan tjukup merepotkan: disatu fihak harus waspada terhadap pengedjaran Heyne dan Demang, difihak lain harus membasmi perampok-perampok jang menggunakan namanja. Melewati majat Hadji Naipin suami istri, Demang Meester achirnja berhasil djuga mentjitjipi tubuh Aisjah. Tapi tak lama. Soal kesetiaan muntjul disini. Di rumah bini muda mandor Dadap, dimana Aisjah disekap oleh kaki tangan sang Demang, ia achirnja menemukan keberanian untuk mendjerat leher sendiri dengan sehelai setagen jang menggantung pada kasau punggung rumah. Dan Pitung jang ditinggal menduda itupun makin merupakan setan bagi polisi dan Demang beserta opas-opasnja jang tidak djarang terlibat pemerasan terhadap rakjat. Scott Heyne makin tidak bisa tahan ketika Demang Meester achirnja djadi korban setelah puluhan opas kaki tangan Kompeni mendahuluinja mati ditangan Banteng Betawi itu. Berpesan. Tapi kisah silat Betawi ini segera menudju achir. Maka dimuntjulkanlah seorang teman seperguruan Hadji Naipin. Orang inilah jang tahu hari naas murid sang Hadji itu. Dengan tawaran hadiah jang tjukup tinggi, teman seperguruan itu (Alam Surawidjaja), mendjelaskan kepada Heyne: "Apesnja Pitung itu ada antara lohor dan magrib. Tapi djimatnja harus ditjuri, setelah itu ia musti ditembak dengan peluru emas". Semua petundjuk itu diikuti dengan saksama oleh Belanda, dan djagoan Betawi itu memang mati pada achirnja. Sebelum menghembuskan nafasnja jang terachir Pitung masih sempat berpesan kepada pembunuhnja: "Heyne, baik-baiklah kepada orang kampung". Dan Hevne ternjata terharu dan kasih tabek sama itu majat jang baru sadja diuber-ubernja sebagai perampok. Apa ini? Sentimentalitas jang mendadak? Atau adegan jang dimaksudkan buat makin memperbesar harkat si Pitung? Nawi Ismail sedikit terlalu tiba-tiba menjuruh sang opsir Belanda bersikap demikian.

Maka ada jang agak mentjong dari bangunan tjerita dalam adegan itu kurang introduksi dibagian sebelumnja djustru karena setjara psichologi jang dilakukan Heyne bukanlah hal mustahil. Seseorang memang bisa menghormati musuhnja, apalagi setelah tahu motif luhur perbuatan sang musuh Djuga antara jang diburu dan jang memburu bisa sadja timbul hubungan tjinta bentji atau djuga jang memburu kehilangan arti dirinja sendiri sebagai pemburu setelah jang diburu kena. Tapi itu bisa nampak djika sang pentjerita punja sofistikasi sedikit. Tjuma soalnja sofistikasi memang bukan tjiri kebanjakan pembuat film action di Hollywood, Italia, Hongkong atau Djakarta. Subtil. Toch moment ketika Hamid Arief bersedih tetap merupakan adegan jang digarap setjara subtil. Adegan kesedihan itu mungkin klise, tapi sang Heyne mendjadi tidak karikatural. Keadaan matjam inilah jang seharusnja digunakan oleh para pemain untuk membuktikan kemampuan mereka menghajati tokoh masing-masing mengingat bahwa sekedar menjepak dan memukul bukanlah soal sulit didepan kamera. Dan disamping Fifi Young dan Pandji Anom, Hamid Arieflah jang membuktikan kemampuannja sebagai aktor jang bisa memberi dimensi lain kepada tokoh-tokoh kisah djagoan ini. Dicky Zulkarnaen, meskipun tak terlalu mengetjewakan, prestasinja tetap sama sadja dengan jang duludulu. Djuga W.D. Mochtar: dengan kostum jang berbeda-beda untuk tjerita jang berbeda-beda, W.D. tetap W.D. jang sama. Untunglah setjara keseluruhan film ini beres. Disini Nawi Ismail tidak lagi rojal dengan darah, meskipun masih rojal dengan dialog jang diulang-ulang. Tidak ada lagi pendjedjalan adegan sex dan kekedjaman jang berkelebihan, meskipun Aisjah diperkosa Demang dan korban berdjatuhan ditangan Pitung.

Usaha untuk lebih memanusiakan tokoh-tokohnja iebih terasa pada film ini daripada beberapa film Nawi Ismail sebelumnja tapi tentu sadja tak tertjapai sepenuhnja, karena konsep tjeritanja tidak ingin kesana. Dan pemotretan jang baik, warna jang tjerah tapi tidak menjolok, peralatan jang rapi dengan kostum jang menarik, semuanja mempunjai andil dalam membuat BB bagaikan makanan jang dimasak koki ahli, meskipun masih kurang imadjinasi. Sajang Idris Sardi jang memainkan musik untuk mengiringi kisah silat ini ternjata adalah Idris jang lama. Disamping tidak membantu pentjiptaan suasana Betawi kuno, jang dihidangkan Idris tidak lebih dari collage ilustrasi musik jang telah ditjiptakannja untuk banjak film Indonesia jang telah beredar dipasaran.