Tampilkan postingan dengan label SJUMAN DJAYA 1971-1986. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SJUMAN DJAYA 1971-1986. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 April 2020

SI DOEL ANAK BETAWI / 1973


 
Lagi-lagi munculnya jiwa pemberontakan dalan Sjuman dan karyanya ini. Serasa Sjuman yang anak Betawi ini memperotes sosial kehidupan masyarakt Betawi di kota Metropolitan yang kebetulan menjadi Ibu kota RI. Kalau Jogjakarta menjadi ibukota RI, tentu akan lain lagi, karena karakteristik sosial masyaraktnya pun berbeda. Dalam film ini Sjuman ingin mengutarakan, mendambakan, dan sekaligus harapan terpendam anak-anak Betawi terhadap suatu hidup yang wajar di tengah kota yang terus membesar dan tetapi selalu cuma dinikmati oleh pendatang. Film ini tentang anak-anak Betawi , Si Doel Anak Betawi, yang diangkat dari karya Aman Datuk Majoindo. Kabarnya film itu menghasilkan banyak uang dan juga jadi pembicaraan anak-anak. Sukses itu nampaknya kemudian menimbulkan ilham baru bagi Sjuman untuk membuat seri lanjutannya yang berkisah mengenai si Doel dan kawan-kawannya setelah mereka sama-sama dewasa dan berada di kota metropolitan.

Sebuah film anak-anak yang boleh dikatakan berhasil. Suasana riang novel bisa teralihkan ke film. Si Doel (Rano Karno) dibesarkan oleh ibunya (Tutie Kirana) dan ayahnya (Benyamin S.), menurut gaya Betawi asli. Karena kecelakaan ayah si Doel meninggal, hingga ia hidup bersama ibunya saja. Si Doel kecil harus membantu berjualan ibunya untuk meneruskan hidup. Untung datang "bantuan" Asmad (Sjuman Jaya), pamannya yang kemudian diterima sebagai ayah. Asmad memberi kesempatan si Doel bersekolah untuk memutus lingkaran jelek kehidupan anak Betawi. Maka di akhir film, si Doel menjadi anak yang akan menjadi modern. Sjuman berhasil mengisahkan kehidupan bebas anak-anak yang harus berbenturan dengan realitas kematian bapaknya. Pesan akhir film, bisa juga dianggap sebagai pesan pribadi sutradara yang punya latar belakang Betawi juga. Ketika cerita dimulai, rumah keluarga Doel sudah tidak di Jakarta, tetapi di Cibinong. Kepindahan dari Betawi ke pinggiran itu memang tidak perlu dijelaskan lagi, sebab toh luas diketahui bahwa seorang Betawi terdesak ke pinggiran. Kendati demikian, toh Doel (Benyamin ) muncul dengan pakaian anak kota, lengkap dengan motor buatan Jepang model terkini. Cara bicaranya pun mirip anak Menteng, meski lagak lakunya tidak pas dengan Betawi Jakarta.

Di Jakarta ia ketemu dengan teman sekampungnya Sapei (Farouk Afero), Sinyo (Wahab Abdi) dan Nona alias Christine Hakim. Kecuali Christien, dua teman Doel lainnya cuma tukang catut dengan gaya yang meyakinkan. Dan Doel yang digambarkan keliwat Bloon ini akhirnya di catut oleh teman-temannya sendiri. Ini soal Bloon memang khas Benyamin. Tetapi penonton yang dulu nonton Si Doel Anak Betawi barangkali bisa bertanya, apa pasal itu Doel kecil (Rano-Karno) yang dulu lincah dan cerdas jadi amat bloon setelah lepas sekolah di Taman Siswa. Dan penonton memang terpaksa tertawa ketika bloon Doel membanggakan Taman Siswa di depan Ahmad (Ahmad Albar) anak Kwitang yang mendapat pendidikan di Perancis.


 
Sjuman mengejek Taman Siswa? Kesannya memang demikian. Tetapi pengurus Taman Siswa tidak perlu merasa berkecil hati. Sebab yang diejek dalam film ini bukan cuma mereka orang Betawi yang sok modern pun habis-habisan diejek Sjuman. Juga haji-haji pun jadi bulan-bulannanya. Digambarkan secara karikatur dalam kelicikan dan kerakusan, dalam menjual tanah mereka. Ini memang gaya Sjuman, mengejek, dalam Si Doel Anak Betawi, guru ngaji (Soekarno M.Noer) digambarkan mata duitan, adegan diperlihatkan guru ngaji ini dengan intercut kambing kawin. Difilm Si Doel Anak Modern digambarkan juga disini Haji sebagai penipu dan pembohong yang toh tetap dengan mulut komat-kamit menyebut Allah. Beberapa adegan di potong sensor, adegan dengan jejeran sepedamotor (saat itu menjadi barang mewah), dan tasbih di tangan mereka, bukan nama Allah yang mereka sebut tetapi harga tanah. Sambil memaikan tasbih mereka sepakat menyebutkan "empat Ratus tidak kurang..." serempak para Haji itu kompak untuk menyebutkan tawaran harga tanah mereka. Ejekan Sjuman Djaya ini di potong sensor karena menyerempet Islam. Tetapi bagi yang suka, akan tertawa serasa mentertawakan situasi sosial yang ada dan nyata.

Sjuman marah betul sama anak betawi yang malas sekolah, dia menginginkan semua anak betawi harus sekolah tinggi, termasuk dirinya yang anak betawi berhasil lulus sekolah gengsi perfilman dunia di Moskow dengan pedikat memuaskan. Dan dia juga marah betul sama orang Betawi yang selalu menjual tanahnya untuk naik haji, setelah naik haji, dia bingung tinggal dimana karena tanah sudah terjual. Dan Sjuman mengkritik betul karakter Betawi yang serba malas, malas sekolah, dan malas bekerja, hasilnya menjual tanah semeter demi semeter akhirnya Betawi tergusur ke pinggiran Jakarta (ini yang terjadi saat ini). Dan Pak Haji juga kena sindiran dan kemarahan Sjuman yang menjual tanah nenek moyang mereka tanpa meningkatkan penghasilan dan tanpa menjual tanah. Dan dalam masyarakt Indonesia, sangat banyak kasus ini yang terjadi, bahkan saya juga membeli tanah di Jakarta dari orang Betawi yang mengenal karakter mereka sendiri. Inilah yang digambarkan Sjuman dan yang ditakutkan Sjuman akan hari esok Betawi. Sekarang sudah terjadi apa yang dikawatirkan Sjuman. Jauh sebelumnya Sjuman sudah kawatir. Di sini juga Pak Haji mata duitan, dan ambil andil dalam mensukseskan penjualan tanah mereka juga, bahkan mereka menjadi alat bagi sang pembeli tanah untuk mensukseskan penjualan tanah orang Betawi, lalu mendapat persen dari sang pembeli tanah. Samapai saat ini juga terjadi seperti itu, baik dalah kasus ini juga kasus negara ini. Berapa Haji dan pemukau agama harus bertanggung jawab terhadap kerusakan Iman para penguasa negara ini, sehingga negara ini jadi hancul fisiknya dan moralnya. Selama ini pelajaran agama selalu di peruntukan buat masyarakat saja, bukan terhadap penguasa negara ini yang jauh-jauh dibutuhkan untuk meluruskan iman mereka.


 
Ternyata Sjuman sangat keras saat itu, dan mengingat saat itu juga Indonesia mengalami peristiwa isu PKInya yang diberantasi oleh TNI dan pemukau Agama. Sjuman yang bekas sekolah Rusia ini ternyata terlalu nekat, sehingga adegannya di potong habis oleh sensor. Tetapi banyak yang protes juga karena itu hal yang wajar dan terjadi di masyarakat, dan mereka mempertanyakan kenapa meloloskan adegan sex dari pada adegan yang nyata adanya. Tetapi bagi yang suka film Rusia, sering menampilkan dalam film Rusia seperti Haji yang digambarkan dakam film-film Sjuman, dalam film Rusia mereka menggambarkan Rabi (pendeta Yahudi), banyak film Rusia menampilkan Pendeta Yahudi ini berkeliling masuk kerumah-rumah orang yang berhutang pada mereka dan menagihnya, tasbih yang mereka bawa itu serasa mengitung jumlah hutang piutang mereka.

Penonton boleh tidak sejutu dengan Sjuman terhadap guru ngaji, tetapi di film Si Doel Anak Modern ini harus diakui sebagai film terlancar dari semua film yang pernah dihasilkan oleh Sjuman. Sebagai anak Betawi asli, Sjuman kelihatan kenal betul watak orang-orang kampungnya dan dengan cara yang rapi ia menggambarkan kekonyolan mereka. Para pemain pun memainkan peranan mereka dengan baik, dan dengan bantuan Djufri Tanissan (pengarah seni) dan Tarigan MA (kamera) sebuah tontonan ringan yang memngasyikan telah dihsilkan oleh Sjuman.

Adegan terakhir film ini Doel terbaring di ranjang rumah sakit setelah mengalami kecelakaan mobil ketika ia melarika diri Christien yang menolak lamaran Si Doel (Ini adegan luar biasa sekali, Sjuman sungguh sukses membuat ending film ini yang memuncak bertiar air mata), disamping ranjang berkerumun teman dan keluarganya, termasuk Pak Haji (Nico Pelamonia) yang juga ikut menipu uangnya yang kini sedang berdoa dan komat-kamit. Christien ternyata datang dengan perubahan sikap. Dalam keadaan kaki di Gips, Doel meloncat dari tempat tidur berlari menyambut Christien di lorong rumah sakit. Hanya beberapa saat setelah ia berjanji pada ibunya untuk tidak lagi merisaukan si gadis modern. Mereka berpelukan dan terjatuh dilantai Gusrak tertulis di layar, selesai.

Banyak penonton yang berfikir, konyolkan anak betawi? Sekali lagi ini alah sebuah film, bukan fakta. Ini hanyalah tontonan. Justru dibalut dengan komedi, orang yang dihina oleh Sjuman justru tidak merasa terhina. Film kadang menunjukan seolah mengejek, tetapi dibalik itu ada sebuah pesan yang disampaikan oleh Sjuman, salah satunya adalah, jarangnya anak Betawi yang sekolah tinggi, seringnya menjual tanah mereka dan akhirnya terpinggir. Keinginan mereka ingin tampil Modern sebagai kulit. Sama seperti cerita keinginan untuk merubah warna kulit putihnya. Tetapi film ini luar biasa sekali, sangat peka mengangkat persoalan besar di kota Jakarta.
 P.T. MATARI FILM

RANO KARNO
TINO KARNO
DEWI ROSARIA INDAH
ATIK PASONO
SUKARNO M. NOOR
FIFI YOUNG
TUTY KIRANA
BENYAMIN S
SJUMAN DJAYA
FRANK RORIMPANDEY
NANI WIDJAJA

Selasa, 08 Februari 2011

SJUMAN DJAYA 1971-1986

SJUMAN DJAYA

 

Sjumandjaja lahir di Jakarta 5 Agustus 1933, meninggal dunia di Jakarta, 19 Juli 1985. Pendidikan : SLA Taman Siswa, Institut Sinematografi Moscow, Rusia (lulus 1965). Selepas SLA mulai menulis cerpen, sajak dan kritik sastra. Lalu iseng-iseng main film dalam beberapa peranan kecil. Tahun 1956 cerpen, “Keroncong Kemayoran” dijadikan film oleh PT. Persari dengan judul Saodah. Lalu dia bekerja di studio tersebut di departemen penulisan yang dipimpin Asrul Sani.

Tahun 1957 dia menjadi Asisten Sutradara dalam pembuatan Anakku Sajang. Setahun kemudian dia mendapat bea siswa untuk belajar di Moscow, yang ditempuhnya sampai 1965. 

Lulus dengan film karya akhir dengan judul Bayangan, yang diangkat dari karya penulis novel Amerika Erskin Caldwell. Ia lulus dengan predikat “sangat memuaskan”, hingga dia merupakan orang ke-7 yang lulus dalam predikat tersebut dan orang non-Rusia pertama. Jadi bukan hanya sinema Rusia yang ia bawa ke Indonesia, tetapi ideologi politik Rusia saat itu juga, banyak film-film dia serasa ingin mengatakan pemberontakan atas pakem-pakem klise film Indonesia dan juga tatanan kehidupan sosial masyarakat dan negara Indonesia saat itu juga. Maka film pertama dia Lewat Jam Malam adalah penggambaran awal dari diri Sjuman. Banyak yang bilang sangat Rusia sekali. Dan seterusnya juga masih bisa dilihat hal tersebut dalam semua karya dia. Rusia yang memang melahirkan tokoh-tokoh perfilman dunia, bahkan mengambil andil bagi penciptaan tentang makna dan teori film dunia.

Bahkan Pundovkin sejarah film dunia membicarakan teori editing dia yang bahwa film memiliki dan harus ada makna. Sedangkan bentuk politik Rusia saat itu sangat mementingkan film adalah Alat propaganda. Sjuman kembali ke Indonesia tahun 1965, dan mulai membuat film pertamanya Lewat Djam Malam tahun 1971. Sedangkan di Indoensia sendiri, Jepang lah (1942-1945) yang membuka pikiran masyarakt film Indonesia bahwa Film bisa dimanfaatkan untuk apa saja, termasuk kepentingan Jepang juga (propaganda). Dan bahkan awal-awal film tentang revolusi dibuat juga untuk kepentingan hal yang sama. Semua orang membuat film romatisme revolusi, tetapi Sjuman malah membuat hal yang lain, tentang pejuang yang menikmati kemewahan dengan memakai alat negara. Sampai sekarang pun masih seperti itu kondisi Indonesia. Jiwajiwa pemberontakan ini dan juga pemberontakan atas klise film indonesia yang ditabrak oleh Sjuman, hal ini wajar saja karena dia sekolah di Rusia. Tetapi saat tahun pertama filmnya muncul 1971, Indonesia baru saja melewati masa sulitnya dengan isu PKInya, jadi banyak orang-orang yang bekas sekolah Rusia (komunis itu) termasuk film bisa mengkawatirkan bagi politik Indonesia saat itu. Wakaupun Sjuman hanya sekolah film dan sangat tepat Sjuman sekolah di Rusia, karena Rusia adalah negara yang cukup andil dalam mengembangkan teori film dunia.
 
Tetapi ideologi politik Rusia ini lah yang mengkawatirkan bagi negara-negara lain, termsuk Indonesia yang baru saja mengalami hal yang pahit dengan isu PKI itu. Tetapi kalau ideologi Rusia pada saat itu tidak menganut sistem sosialis dan komunis-nya, saya rasa Rusia tidak ambil andil dalam mengembangkan teori film dunia. Dan film Sjuman juga banyak yang membencinya bagi orang yang tersinggung atas filmnya atau ia bekas lulusan Rusia yang sangat dibenci setelah kasus PKI di Indonesia, ada juga yang senang karena sebahagian orang yang mempelajari teori film mengerti Rusia adalah negara teori film dunia juga atau orang yang memang jujur menanggapi karya Sjuman, ada juga yang mengambil jalan tengah menganggap Sjuman seperti seniman yang hanya berkreasi saja.

Kembali kepada saat pertama Sjuman pulang dari Rusia. Tapi sekembali ke Indonesia, pekerjaan yang ditanganinya adalah sebagai birokrat. Direktur Film di Departemen Penerangan. (1967-1968). Pada masa jabatannya itu Direktorat Film cukup banyak melahirkan tindakan yang penting bagi pengembangan perfilman. Antara lain diadakannya seminar penyiapan UU Perfilman (UU ini sendiri baru lahir tahun1992) dan Dewan Produksi Film Nasional (1968) yang membuat film percontohan guna mengubah orientasi para pembuat di lapangan, yang waktu itu sedang dilanda film kodian dan “kotor”. Lepas dari jabatan kantoran itu, ia mulai aktif menulis sambil sesekali main. Dari tangannya lahir sekitar 30 skenario, dua memenangkan Piala Citra, Laila Majenun (FFI 1976) dan Si Doel Anak Modern (FFI 1977). Ceritanya Kerikil-Kerikil Tajam mendapat Citra pada FFI 1985. Karir sutradaranya dimulai dalam film film Lewat Tengah Malam (1971). Di bidang ini ia menghasilkan dua Piala Citra, yakni Si Doel Anak Modern pada FFI 1977 dan Budak Nafsu pada FFI 1984. Sjuman pernah juga berperan dalam beberapa buah film sebagai pemain pembantu. Dia mendirikan perusahaan PT. Matari Film pada tahun 1973 dengan produksi pertamanya Si Doel Anak Betawi. Film ini menaikkan nama aktor (cilik) Rano Karno, dan dan ke “Betawi”an di dunia film & sinetron. Semua film yang dia sutradarai, skenario ditulisnya sendiri. Dan kecuali film pertamanya, maka semua film Sjuman dibuat oleh perusahaannya sendiri.

Sjuman adalah pekerja keras. Pada awal tahun 1980-an, Sjuman yang fisiknya memang kurang kukuh kesehatannya mulai merosot. Ia pernah tiba pada keadaan kritis, tapi bisa kembali bertahan dan bikin film lagi, dan tanggal 19 Juli 1985, Sjuman meninggal dipenghujung pembuatan Opera Jakarta.

 

Ketika produksi film Opera Jakarta belum separuh jalan, penyakit lever Sjuman Djaya kambuh. Dokter dan para produser dari Gramedia Film menyarankan agar sang sutradara beristirahat dari kegiatan syuting. Seolah tidak ada yang salah dari kesehatannya, Sjuman nekat melanjutkan pekerjaannya.

Pada hari Senin 15 Juli 1985, Sjuman berhasil menyelesaikan sekitar 90 persen dari keseluruhan film sebelum akhirnya tumbang. Sjuman pun terpaksa berpisah dari kamera dan dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Salemba, Jakarta Pusat. Empat hari kemudian, Sjuman tutup usia pada tanggal 19 Juli 1985, tepat hari ini 34 tahun silam.

Sejak 1978, kondisi kesehatan Sjuman memang tidak begitu baik. Dia sudah bolak-balik dirawat di rumah sakit akibat penyakit komplikasi yang dideritanya. Namun, Sjuman tidak pernah kapok dan terus bekerja menulis skenario sembari memimpin proses pengambilan gambar.

Para produser dan kru film sudah berulang kali menasehati Sjuman yang semakin membandel. Pada akhirnya, kabar duka itu tidak mengagetkan lagi buat mereka.

“Saya tidak terkejut. Sjuman Djaya sebenarnya sudah meninggal beberapa hari sebelumnya: cuma semangatnya saja yang menunda ajalnya,” kata Sutomo Gandasubrata, juru kamera film Opera Jakarta, seperti dikutip dari obituari Sjuman yang ditulis Salim Said dalam Pantulan Layar Putih (1991: 246).


Opera Jakarta menjadi film terakhir sekaligus peninggalan berharga dari Sjuman Djaya. Konon kisahnya dihidupkan berdasarkan perjalanan hidup dan kisah percintaan Sjuman dengan istri terakhirnya, Soraya Perucha.

Perucha pun berkeras agar sisa pekerjaan film Opera Jakarta dapat diselesaikan sebelum 40 hari meninggalnya Sjuman. “Sebagai bentuk hadiah,” katanya, seperti diwartakan Tempo (3/8/1985).

Dari Senen Sampai Soviet

Sebelum terjun ke dunia film, Sjuman adalah anak yang biasa-biasa saja. Keluarganya bukan keluarga seniman. Ayahnya berdarah Jawa, tetapi sangat lekat dengan budaya dan lingkungan Betawi. Sepeninggal sang ayah pada 1943, Sjuman dan ketujuh saudaranya dibesarkan seorang diri oleh sang ibu.

Setelah lulus dari Taman Madya, Sjuman menjadi lebih gemar menulis cerpen, puisi, dan main sandiwara. Kegemarannya ini membawanya bergabung ke dalam lingkaran Seniman Senen. Kebetulan teman sekolah Sjuman seperti Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan juga bagian dari lingkaran tersebut. Sjuman kemudian banyak mengenal begawan-begawan perfilman dari Senen seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan Djamaluddin Malik.

Di tengah masa-masa perjuangan perfilman nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada dekade 1950-an, Sjuman mulai tertarik mendalami dunia film. Pada 1956, Sjuman diajak bekerja menjadi penulis cerita di perusahaan film Persari milik Djamaluddin Malik. Sjuman ditempatkan di bawah bimbingan Asrul Sani dan berhasil menelurkan dua cerita yang kemudian difilmkan dengan judul Saodah (1956).

Sjuman nampaknya belum puas hanya sekedar menulis cerita dan jadi asisten sutradara. Saat kesempatan untuk menimba ilmu tiba, Sjuman tidak berpikir dua kali untuk menerima beasiswa film pemerintah Rusia, menggantikan Misbach Yusa Biran yang urung berangkat. Sjuman baru mau menerima beasiswa itu dan berangkat ke Rusia selang satu tahun setelah masuk Persari, seperti dikisahkan oleh Misbach dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel (2008: 105).
 
Meskipun terkenal galak lewat ucapan-ucapan dan kritiknya, tidak diragukan lagi Sjuman memang sosok yang romantis. Di sela masa studinya di Moskow, Sjuman mulai memadu kasih dengan Farida Oetoyo, seorang penari balet berdarah Indonesia. Seolah sedang meniru adegan di film-film drama Rusia, Sjuman melamar Farida di tepian Sungai Moskow yang berdekatan dengan Hotel Ukraina.

Menurut Farida dalam Saya Farida: Sebuah Autobiografi (2014: 116), sebelumnya Sjuman sudah melamarnya di bawah tangga apartemen. Tetapi, nampaknya tempat itu sama sekali tidak istimewa sehingga Sjuman ingin pindah lokasi. Sjuman dan Farida pun menikah pada Juni 1962.

Setelah rumah tangga bersama Farida kandas, Sjuman sempat menikah untuk kedua kalinya dengan aktris Tuti Kirana. Sayang, mereka tidak langgeng. Pernikahan ketiga dilalui Sjuman bersama mantan perenang nasional, Soraya Perucha, yang usianya jauh di bawah Sjuman.

Kerja Bareng Pemerintah

Tiga tahun setelah pernikahan di Moskow, Sjuman dan Farida kembali ke Indonesia. Kendati menjadi lulusan terbaik di kampusnya, Sjuman sulit mendapatkan pekerjaan karena ada embel-embel Moskow di ijazahnya.

Untungnya, kawan-kawan Sjuman sesama Seniman Senen mau membantu Sjuman. Di tambah lagi, Adam Malik, satu dari tiga serangkai pendiri Orde Baru merupakan orang yang menikahkan Sjuman dan Farida di Moskow. Sjuman jadi tidak kesulitan mendapatkan koneksi.

Jalan Sjuman menuju industri film pun kembali terbuka. Kebetulan sesaat sebelum kepulangan Sjuman dari Rusia, kelompok Seniman Senen sempat dikumpulkan Kementerian Penerangan untuk berbincang masalah perfilman. Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan pembentukan Direktorat Pembinaan Film Departemen Penerangan (Deppen).

Pada 1966, Sjuman ditunjuk menjabat direktur film Deppen yang kemudian bertahan selama dua tahun. Pada masa jabatannya itulah lahir kebijakan perbaikan kualitas produksi film lewat pemberian dana pinjaman yang didapat dari pajak film impor. Di bawah pengawasan Sjuman, kondisi produksi dan rehabilitasi film Nasional berhasil tiba di titik yang menggembirakan.

Setelah lepas jabatannya di tahun 1968, Sjuman banyak terlibat dalam pembuatan film-film percontohan pemerintah melalui Dewan Produksi Film Nasional (DPFN). Model produksinya dilakukan dengan cara mengkolaborasikan sentuhan artistik para seniman film dengan permodalan dari pemerintah. Selama kurang lebih dua tahun, Sjuman dan sejawatnya berhasil memproduksi film Nji Ronggeng (1968) dan Apa Jang Kau Tjari Palupi? (1969) di bawah naungan DPFN.

Film Adalah Kritik Sosial

Menurut J.B. Kristanto sebagaimana ditulis dalam Kompas (20/7/1985), sineas Indonesia pada periode 1970-an hingga 1980-an kekurangan obsesi. Oleh karena itu, tidak heran jika film Indonesia kala itu acap kali gagal karena tidak jelas arah tujuan filmnya. Sjuman justru sebaliknya: dia sangat terobsesi dengan masalah-masalah sosial.

“Dialah yang paling jelas mau ngomong apa. Ini menarik, apalagi di tengah film Indonesia yang bisu, tidak tahu mau bicara apa. Sjuman juga yang secara jelas menghubungkan film dengan realitas sosial,” kata Arifin C. Noer kepada Kristanto.

Kendati berdarah Jawa, tetapi Sjuman lebih suka menyebut dirinya orang Betawi. Barangkali berkat hal itu pulalah ia gemar mengangkat tema-tema sosial orang Betawi serta segala bentuk kekerasan yang menggambarkan situasi pinggiran Kota Jakarta.

Berdasarkan catatan Salim Said, sikap idealis Sjuman paling tampak dalam Lewat Tengah Malam (1971), film pertama Sjuman setelah vakum lama lantaran tertawan oleh pekerjaan film di Deppen. Lewat Tengah Malam disebut Salim sangat menonjolkan selera Rusia, tetapi sarat akan kritik sosial khas Sjuman.

“Saat pulang dari Rusia, Sjuman menemukan masyarakat Indonesia tumbuh berbeda dengan cita-cita yang menggerakkan revolusi. Lewat karya pertamanya Sjuman ‘berontak’ dengan suatu perampokan terorganisir yang menggerogoti pembesar korup. Hasil perampokan dimanfaatkan pada usaha-usaha sosial,” tulis Salim dalam Pantulan Layar Putih (1991: 238-239).

Pada 1973, Sjuman memutuskan membangun perusahaan filmnya sendiri dengan nama Matari Artis Jaya Films. Alasannya sederhana: ia tidak ingin terikat kontrak kerja dengan para produser yang terlalu mengekang. Cita-cita Sjuman membuat film sendiri akhirnya tercapai melalui Si Doel Anak Betawi yang berhasil merajai sebagian besar bioskop rakyat di Jakarta tahun 1973.

Sjuman kemudian lebih dikenal sebagai sedikit dari seniman film Orde Baru yang memiliki kapasitas untuk menulis naskah sekaligus mengarahkan pembuatan film. Bakat menulisnya itu tidak disia-siakan Wahyu Sihombing yang kemudian mengajaknya menjadi bagian Sindikat Penulis Skrip Film. Tugas Sjuman hanya satu, yaitu memperbaiki penyakit film Indonesia yang gemar merusak cerita-cerita bagus menggunakan alur yang acak-acakan.

Sejak tahun 1971 hingga tutup usia, film dari buah penyutradaraan Sjuman Djaya terhitung ada 16 judul. Sebagian besar menjadi film peraih penghargaan Piala Citra dan sebagiannya lagi film terlaris.

Selain itu, Sjuman juga meninggalkan puluhan skenario yang kemudian dikerjakan oleh sutradara-sutradara lain. Menurut catatan Farida Oetoyo, sepanjang hidupnya Sjuman telah terlibat dalam pembuatan 53 judul film.










PERAWAN BUTA 1971 LILEK SUDJIO
Actor
OMBAKNYA LAUT MABUKNYA CINTA 1978 ABRAR SIREGAR
Actor
JANG DJATUH DIKAKI LELAKI 1971 NICO PELAMONIA
Actor
FLAMBOYANT 1972 SJUMAN DJAYA
Director
KABUT SUTRA UNGU 1979 SJUMAN DJAYA
Director
PINANGAN 1976 SJUMAN DJAYA
Director
YANG MUDA YANG BERCINTA 1977 SJUMAN DJAYA
Director
VIOLET SILK OF FOG THE 1980 SJUMAN DJAYA
Director
ATHEIS 1974 SJUMAN DJAYA
Director
KERIKIL-KERIKIL TAJAM 1984 SJUMAN DJAYA
Director
SI DOEL ANAK BETAWI 1973 SJUMAN DJAYA
Actor Director
SI DOEL ANAK MODERN 1977 SJUMAN DJAYA
Director
BUDAK NAFSU 1983 SJUMAN DJAYA
Actor Director
OPERA JAKARTA 1986 SJUMAN DJAYA
Director
R.A. KARTINI 1983 SJUMAN DJAYA
Director
ANJING-ANJING GELADAK 1972 NICO PELAMONIA
Actor
REAL THING, THE 1980 SJUMAN DJAYA
Director
LAILA MAJENUN 1975 SJUMAN DJAYA
Director
HATI SELEMBUT SALJU 1981 ISHAQ ISKANDAR
Actor
BUKAN SANDIWARA 1980 SJUMAN DJAYA
Director
LEWAT TENGAH MALAM 1971 SJUMAN DJAYA
Actor Director

OBROLAN SJUMAN DJAYA

2 Juni 1972


BUNG Sjuman setuju dengan saya kalau saya katakan bahwa film nasional sekarang adalah film-film hasil kultur burdjuis-kota ?. Lebih dari itu !”, jawabnya bukan hanya pemahaman orang kota yang membuat film terhadap peri kehidupan rakyat yang tidak tepat, tapi juga merekapun tak punya persepsi yang besar tentang tata hidup lingkungan yang selapis dengan mereka, hidup kota. ( Sjuman berhenti bicara disini.Dia mengamati gelas bir yang ditangannya. ( sebentar ). Tapi sesungguhnja saya setuju dengan burjuasi, asal itu type elit yang bisa hasilkan ilmu, tehnologi, industri dan seterusnya. Dan bukan burjuasi yang konsumtip yang menjadi kaya dan punya kekuatan ekonomis dikarenakan oleh koneksi, warisan kekuasaan, kekayaan dan seterusnya.


Film jang dibina 
Kalau masalah film Indonesia dewasa ini adalah masalah uang, maka sjuman menyebutkan jumlah uang lebih dari satu milyar yang bisa terkumpul dari SK 71. Dan kalau yang berwenang mau membina, maka dengan jumlah sebesar itu, film Nasional bisa dibina, artinya : “ bisa lahir sejumlah film yang bisa disebut, film Indonesia “ , semacan cap. Seperti halnya silat hongkong, realisme, prancis, editing, rusis., dan lain- lain. Disamping style seperti itu, ada juga sebagai film sebagai karya seni yang baik, yang tidak semata-mata mengabdi pasar, tapi berdaya untuk memberikan selera atau persepsi atas kehidupan yang lebih luas, baru dan human…..

Selain sejumlah uang yang dikreditkan oleh pemerintah buat produksi film, maka bentuk lain cara pembinaan pemerintah yang dijalankan sekarang adalah memberi petuah-petuah untuk skrip setiap film yang mau diproduksi. Yang memberi petuah- petuah adalah Direktorat Film dan PPFI. Dan untuk ini ada setidak-tidaknya dua alas an yang diajukan sjuman :
1) Memungkinkan pencurian rahasia “ skrip oleh para produser “
2) Apakah birokrat dan para produser kompeten dalam memberi bimbingan dan bukan sekedar petuah-petuah.



Untuk hal yang pertama kemungkinan rabaan itu bisa dipahami dari titik tolak alam persaingan antara para produser untuk mendapatkan skrip yang baik. Dan alam semacam ini sudah melahirkan taktik baik produser pemilik skrip untuk tidak menyerahkan skrip pada para pembina dalam bentuknya yang utuh, ini tidak sehat. Tentang yang kedua diberi contoh oleh Sjuman dengan petuah yang keluar atas, “Anjing-anjing Gelodok” nya. Karena logika plot dan makna simbolik dari cerita menghendaki kematian kelima tokoh dalam Anjing-anjing Glodok maka skrip yang ditulis sjuman mematikan semua tokoh-tokoh film. Maka petuah dari yang kompeten tersebut. Dalam masa pembinaan film nasional adalah “ Jangan matikan semua tokoh- tokoh bung “. Sjuman tidak sebutkan dengan jelas apa argumentasi ( kalau ada ) dari usul yang saleh tersebut. Apakah dewan Film Nasional tidak bisa efektif dalam hal semacam itu?. 

Dan dijawab Cinemathografhy Moskow ini , oleh sutradara keluaran Institut Cinematografhy ini “, tidak DFN tak punya kekuatan dalam bidang eksekutip. Dan nasihat-nasihat DFN dalam policy film nasional pada MENFEN tidaklah mengikat. Dalam hal ini lebih baik jika dibentuk team yang terdiri dari mereka-mereka yang betul punya kemampuan dalam bidang penulisan scenario, tahu seluk belunknya, dan pasti akan mampu bukan memberi petuah, tapi memberi kritik-krtik yang bisa didiskusikan dengan jelas.



Cukup banyak ada sutradara yang baik, penulis-penulis scenario, wartawan-wartawan film, orang-orang teater dan sebagainya. Dan mereka bukan birokrat-birokrat, tapi mereka tahu masalah-masalah yang mereka bicarakan.” Selama film nasional ditangani oleh birokrat-birokrat, jangan harap film nasional akan maju”, kata sjuman. Sebab tugas pemerintah dalam pembinaan film tidak begitu berbeda dalam membina ekonomi, yakni berikan fasilitas- fasilitas yang sebesar-besarnya dan ciptakan iklim yang favourable untuk film nasinal. Iklim yang favoerable bagaimana ?. Maka Sjuman berkata tentang kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah jika dalam rantaian problem film ada salah satu mata rantai yang kosong, pemerintah turun tangan. Umpamanya saja soal gedung bioskop, atau soal kekuatan bookers yang kelewat besar dalam menentukan kwalitas film dan arah film. Selama ini di Indonesia tidak ada director movie, jangan harap akan ada film yang baik di Indonesia “ kata Sjuman lagi “. Sebelum mengatakan hal-hal tersebut, Sjuman djaja yang beristeri seorang balerina Farida Sjuman dan berputra dua bujang laki-laki kecil, dengan mengerutkan jidatnya menyambut kedatangan, Kompas. Yang membuka pembicaraan dengan bertanya, Bung Sjuman bisa yakin dengan apa yang orang biasa sebut “ pembinaan film nasional ?“. Dan kemudian dijawabnya, semua-mua mau dibina. Ini pemikiran apa ?! Mungkin ini warisan cara berpikir kita yang terlalu politis. Membuat orang malas berpikir.

RUSIA CINEMA
Rusia membina film nasionalnya menutup Rusia dari semua film imfort. Dan baru, ketika Rusia mampu membuat film yang tak kala hebat dengan negara kapitalis, impor diijinkan dan orang Rusia telah amat tebal dengan kebanggaan akan film nasional.

Kalau Indonesia menutup impor filmnya, para produser kita pasti akan tiduran puas bung!, saya nyeletuk. Dan Sjuman ketawa, sambil meneruskan bicaranya. Dengan system totaliternya Rusia bisa berhasil membina filmnya. Tapi sudah pada titik dan fase tertentu hidup seni tidak lagi bisa dibinanya. Jiwa manusia yang kreatip dalam seni tidak bisa dibina. Dan itu mulai terasa diusia belakangan ini. 

Menurut Sjuman Di Indonesia cukup ada materi yang akan bisa menghasilkan sebuah film yang baik. Sutradara dan karyawan-karyawan dan bakat-bakat artis !

Pemerintah dapat menghidupkan dan mengepektifkan materi ini dengan data yang terkumpul dalam SK 71. Ambil umpamanya produksi film sejumlah 50/tahun. Dan ada ada 5 film yang sepenuhnya disponsori oleh SK 71, dikerjakan oleh team yang dibentuk dari yang terbaik dari tenaga di Indonesia. 5 film yang baik ditengah 45 film yang semata-mata komersil pasti akan merupakan kekuatan yang tidak kecil. Yakni bahwa yang laku di Indonesia bukan film-film yang kacau, tapi juga seperti film-film “melodi”, “Guest Who Come to Dinner”, “Dr Yekkil and Sister Hyde”, “Dr zhivabo”, “War and Peace”, dan lain-lain. Kemenangan kulturildari pembuatan film-film sutradara (director- movie) adalah kemampuan untuk membuka mata para produser kita agar kratip, imaginatif dan tidak hanya bermental dagang paku semata-mata. 

Disamping dengan sendirinya membuka pikiran pada gedung-gedung bioskop bahwa “selera publik selalu berubah” dan secara dinamis akan mencari film-film yang baik, tidak tetap diam pada selera-selera seks, kekerasan, hayal konnyol dan lain-lain. Seperti yang bisa dicatat dari reaksi-reaksi spontan dari publik yang mengujungi bioskop. Gedung-gedung bioskop bukan sekedar tempat berhayal, tapi adalah gedung dimana orang kota bisa belajar dan belajar melihat dimensi kehidupan yang selalu tak pernah habis kita minum sebagai manusia. Lima buah film yang dikerjakan oleh tenaga terbaik di Indonesia dan kemudian disertai dengan kampanye yang efektip pasti akan merupakan kekuatan yang luar biasa. Dan masalah kampanye ini dianggap oleh Sjuman sebagai factor yang amat penting dalam hal pembinaan dan kehidupan film. Asas dasar dari kampanye (yang pasti akan makan biaya yang besar) adalah menimbulkan gambaran yang hidup tentang film tersebut. Contoh riil dalam hal ini adalah kampanye yang berhasil dari “Love Story” yang kemudian pada banyak orang menimbulkan kekecewaan karena juga dibayangkan tentang film terbesar abad kedua-puluh, tidaklah sehebat yang dikatakan oleh kampanye luar negeri. Sambil mengatakan bahwa budget kampanye bisa sama besarnya dengan budget produksi. Sjuman mengkonstatir bahwa film nasional belum punya tradisi kampanye ini
dengan intensip.



Hanya 60 Persen ide 
Masalah lain dalam film nasional adalah masalah perlengkapan tehnis. Berlainan dengan negara-negara barat, maka soal tehnis di Indonesia masih dianggap sebagai masalah yang sangat serius untuk bisa membuat film-film yang baik. Seakan-akan dikatakan bahwa hanya dengan keadaan dan kemampuan tehnis seperti sekarang ini, Indonesia tak akan mampu menghasilkan film-film yang baik. Tehnik diambil sebagai hambatan utama. Maka Sjuman membicarakan hal ini dengan mengambil contoh film yang dikerjakannya sendiri “LEWAT TENGAH MALAM”. Dia kemukakan bahwa memang dia tidak puas dengan film tersebut, karena hanya 60 persen dari ide yang sarat dibenaknya yang bisa dituangkannya dalam bentuk gambar. Diakuinya bahwa memang tidak bisa akan dilahirkan idenya secara utuh dengan keadaan tehnis yang sudah ada, tapi bahwa bisa menuangkannya 70 atau 80 persen adalah sudah suatu hal yang membanggakan dan memuaskan.

Kemudian Sjuman bercerita bagaimana sutradara-sutradara film nasional sekarang yang masih punya ideal untuk buat film yang baik harus ber-gerilya didalam pembuatan-pembuatan film untuk sebisa-bisanya, dalam kondisi yang ada membuat sebuah film-sutradara, dengan porsi-porsi sekian seks, sekian persen tinju, sekian persen spy-spyan dan lain-lain, seperti yang dikehendaki oleh produser atas tumpuan tuntutan bookers.

Teman-teman pemikiran bung Sjuman masalah-masalah social ?, saya bertannya dengan mengingat film pertamanya “LEWAT TENGAH MALAM”. Ya! Jawabnya, sebab disitulah kita masih punya masalah. Tidak seperti Ingerman Bergman yang bergelut dalam masalah-masalah agama, metafisik, mistik, dan seterusnya. Dan lagi saya pribadi memang tak punya keakraban dengan dunia agama, kecuali dalam masalah kerinduan untuk menikmati ceremoni-ceremoni yang syahdu. 

Dan bung sendiri pernah belajar teknologi ?, dia bertanya. Ya! Dalam mempelajari teknologi saya belajar membunuh Tuhan. Mendengar jawaban ini, dia ketawa sambil membakar sigaretnya, lalu kita ketawa, (entah apa sebabnya, tapi suasana waktu itu terasa memancing ketawa sinis atau getir).

Kemudian Sjuman kembali pada pokok masalah kemenangan kulturil yang bisa dicapai oleh medium seni yang bernama film. Sebab dalam film-film ini dapat dituangkan protes-protes social, rasa keadilan, rasa hak dan seterusnya. Dan efek film dalam masyarakat adalah bahwa yang berkepentingan melihat protes itu, terbuka dan tidak meneruskan tradisi tindaknya yang menyebabkan kesengsaraan rakyat kecil. Sementara bagi rakyat kecil adalah semacam hiburan bahwa “ada seniman film yang memahami perasaan-perasaan, kemarahan, harapan-harapan mereka sebagai manusia yang kali ini menjadi sengsara bukan karena salahnya sendiri”. Dan ketika ditanyakan watak ke “Robin Hood”an Lana dalam LEWAT TENGAH MALM maka Sjuman berkata : “Bung tahu bahwa kadang-kadang kita merasa bahwa kehidupan (yang kita protes itu) adalah untuk diikuti dan tidak seimbang untuk dilawan. Dan disini lalu bisa terasa tragisnya kita punya kehidupan ini. Semacam fatalisme yang memaksa kita untuk menerimanya. Di samping saya, sambungnya, memang tak punya type dan watak pemberontak”.

Mau apa kaum resensen ?! 
Bung tahu akan undang-undang tak tertulis di Indonesia yang mengharuskan agar apa yang dinamakan kritik film nasional harus bicara dalam nada membina. Disamping kata “membina” yang tidak jelas itu, disini berlaku adat “timur” untuk tidak mematikan komunikasi dengan bicara tegas dan mungkin kadang-kadang keras? Sjuman sebagai salah seorang sutradara yang beberapa saja di Indonesia itu menjawabnya dengan prinsip kritik yang secara asasi adalah ekspresi apa yang disebut kritik dalam penikmatannya terhadap sebuah karya film, sambil dia mengutarakan sebuah contoh kritik film yang “menghancurkan” seluruh folm hanya karena satu close-up yang tidak tepat, Sebab, masalah pembinaan itu jika mau riil adalah bukan masalah kritikus/resensen, tapi adalah masalah modal yang bisa dimanfaatkan secara efektip dan bersih dari dana SK 71, sambil pemerintah menciptakan iklim yang favourable dalam dunia film nasional, sehingga tiap potensi dalam film bisa berfungsi sesuai dengan fungsi masing-masing.



Masalah yang betul-betul pokok dalam film nasional adalah masalah kekuatan bookers yang kelewat besar dalam menentukan film. Tidak adanya dana dari pemerintah untuk secara penuh memberi sponsor pada film-film yang digarap oleh tenaga yang terbaik dalam film nasional, dengan dasar pertimbangan pertama-pertama tidak komersil. Kekurangan gedung bioskop. Kurangnya kampanye dalam hidup film.

Dan dalam hubungan ini kaum resensen bisa berfungsi bukan sebagai guru yang membina film (itu bukan bidangnya), tapi adalah keharusannya untuk menyoroti dan menampilkan sebanyak mungkin faset dan segi dari sebuah karya film, sesuai dengan daya, kepekaannya, daya kritis, pengetahuan akan film, pengetahuan sosialnya, psikologi, agama dan lain-lain. Ini mungkin tidak akan ditempuh oleh satu orang , tapi “tot capita tot sentential” (sebegitu banyak kepala, sebegitu banyak pendapat), banyak orang bisa bicara, bebas untuk mengeluarkan pendapat secara umum.

Dengan kata lain, resensen harus mengucapkan bahasa gambar dan bunyi dan warna film dengan bahasa kata, dibarengi dengan daya kritisnya sebagai manusia, kemampuan untuk pikir, merasa berlainan pendapat. Dan apa yang akan bisa dikemukakan jika yang diputar didepan matanya adalah sebuah film yang kacau? Atau sebuah film yang secara obyektip, jika dibandingkan dengan film-film nasional lain, memang tidak jelek tapi tidak puas jika sutradara yang mungkin bisa lebih tua Cuma sampai “sebegitu”. Memberi reaksi dari jawab yang bisa keluar dari pertanyaan- pertanyaan itu maka Sjumandjaja berkata : “Kapan kita akan dewasa”

KABUT SUTRA UNGU / 1979

 
 
 Film terlaris I di Jakarta, 1980, dengan 488.865 penonton, menurut data Perfini.

Miranti (Jenny Rachman) ditinggal mati suaminya yang mengalami kecelakaan sebagai pilot. Hidup menjanda ini yang lalu membawa banyak masalah, dan Sjuman mencoba melukiskan ketegaran seorang janda. Masalah yang mencobanya: keusilan kawan lama, pemuda tanggung maupun kenalan baru. Miranti tetap berusaha hidup mandiri. Kesulitan paling besar datang dari adik iparnya sendiri, Dimas (Roy Marten) yang juga mencintainya. Miranti tak percaya akan cinta Dimas. Kecuali dirinya ragu-ragu, dianggapnya Dimas hanya kasihan padanya. Baru di ujung film yang cukup panjang ini, Dimas dan Miranti bersatu, setelah Miranti yakin bahwa dia juga mencintai Dimas

Film “Yang MudaYang Bercinta” karya sutradara Syumanjaya terbaru yang dibuatnya lebih setahun yang lalu, tak begitu lancar keluar badan sensor. Film yang dibintangi W.S. Rendra itu, kabarnya telah mengalami banyak potongan sebelum dibolehkan diputar untuk umum, namun para penggemar Syumanjaya ini masih saja kecewa karena belum melihatnya. Sesudah ituSyuman belum membuat film lagi, kecuali menyilahkan Abrar Siregar membuat film “Ombaknya Laut Mabuknya Cinta” atas nama perusahaannya PT Matari Artis Film. Film itupun juga belum beredar di Jakarta. Kabarnya baru pada bulan haji nanti.


Pada bulan-bulan terakhir, Syumanjaya sering berurusan dengan Rumah Sakit Persahabatan, gara-gara kena serangan lever waktu pembuatan film yang dikerjakan Abrar Siregar itu. Akhir bulan Juli lalu, selama 2 hari, Syuman “nginap” lagi di rumah sakit itu. Tapi kali ini berurusan dengan dokter psikiater. Sesudah diajak ngobrol-ngobrol sejak pukul satu malam oleh dokter, besoknya Syumanjaya diizinkan pulang. Atensi darahnya begitu menurun saat itu hanya karena pikiran saja. Rupanya penyakit lever sutradara terkenal ini sudah dianggap pulih, sekalipun dua buah kaleng biscuit dirumahnya di jalan Kotabumi masih penuh oleh obat-obatan. Seperti tak pernah disentuh. 

Bulan lalu Syuman gagal berangkat ke festival film Asia di Singapore, sekalipun semua koper-kopernya telah terbang lebih dulu. Ticket pesawat berikut exit permit telah ditangan, tapi petugas pelabuhan masih menahan Syuman untuk naik pesawat yang telah lama menunggu. Dengan penuh pertanyaan, Syumanjaya kembali kerumahnya. Rupanya semua instansi belum diberi tahu “clearing” diri Syumanjaya, seperti yang telah diperlakukan oleh WS Rendra misalnya. Menurut salah seorang teman dekat Syuman, dia agak menganggap enteng perihal surat “clearing” itu. Karena tidak diurus, petugas pelabuhan tidak tahu, dan akibatnya tidak berangkat.


FULL MOVIE


Kabut Sutera Ungu
Dalam sebuah perjalanan ke Surabaya, di atas kereta api, Syumanjaya ditawari banyak buku novel oleh pramugari kereta api. Dari sekian banyak buku, rupanya Syuman tertarik pada sebuah buku yang judulnya “Kabut Sutera Ungu” karya seorang novelis baru Ike Soepomo.

Sebelum Syumanjaya telah diberi tahu oleh banyak orang, bahwa cerita itu bagus. Karena itu Syuman tertarik dan membacanya sampai habis, rencana pembuatan film “Wali Sanga” seperti yang sedang dijajakinya waktu itu dibatalkannya. Perhatian Syuman mulai tertuju kepada novel “Kabut Sutera Ungu”, sebuah novel tentang kemanusiaan dan kisah cinta.

Menurut Ny. Ike Soepomo kepada Vista yang sempat menemui novelis ini di kediamannya di jalan Prapanca Kebayoran Baru Jakarta, novel perdananya itu telah mengalami cetak ulang sebanyak dua kali hanya dalam masa 6 bulan saja. Cetakan pertama pada bulan September tahun lalu,. Cetakan kedua pada bulan Januari tahun ini dan cetakan ke 3 pada bulan Mei yang lalu seprti yang diketahui, sebelum dibukukan cerita “Kabut Sutera Ungu” telah pernah dimuat dalam sebuah majalah wanita secara bersambung di Jakarta.

Yenni Rachman lagi
Menurut Syumanjaya kepada Vista sejak beberapa hari yang lalu dia sengaja telah mendekati artis Yenni Rachman, Syuman telah mengajak Yenni berdialok, bertukar pikiran, bahkan main kiu-kiu, untuk mengenal lebih dekat lagi kebiasaan dan karakter artis film ini. Menurut Syuman kepada Vista, Yenni Rachman seorang artis yang punya potensi besar. “Jangan biarkan dia selalu memainkan rol gadis-gadis banal. Untuk peran semacam itu Yenni tak perlu acting, itu sudah kebiasaan hidupnya. Saya akan mencoba memberikan sebuah peran yang lain kepada Yenni. Saya yakin Yenni mampu untuk itu”, demikian Syumanjaya.

Tahun lalu untuk mendapatkan roll dalam film “November 1828” yang di sutradarai Teguh Karya, Yenni Rachman telah menolak banyak tawaran main. Rupanya penolakan Yenni Rachman terhadap peran yang telah lama dijatahkan untuknya dalam film “Anak Buangan” karya Ismail Subardjo, dan sebuah peran lagi dalam film “Milikku” bersama A. Rafiq produksi Naviri Film, beberapa waktu yang lalu ada hubungannya dengan ajakan Syumanjaya dalam film “Kabut Sutera Ungu” ini.

Kelihatanya Yenni Rachman adalah satu-satunya bintang film pop saat ini yang berani menolak banyak tawaran main, hanya untuk satu peran yang dianggapnya dapat menaikkan karirnya sebagai seorang pemain film. Melihat film-film karya Syumanjaya sebelumnya, hampir semua mengandung pesan-pesan dan kritik-kritik tajam terhadap situasi pada saat itu. Di samping hal itu yang menyebabkan film-filmnya dibicarakan banyak orang, dilain pihak hal itu pula yang banyak menyebabkan filmnya tidak lancar memasuki peredaran. “Kabut Sutera Ungu” tidak lebih dari sebuah kisah tentang kemanusiaan dan cinta.

Yang menyebabkan novel ini laku keras adalah, karena kisah itu mengenai kemanusiaan dan cinta itu menarik. Kelihatannya kali ini Syumanjaya tidak mau membuang banyak energi. Barang kali ada juga hubungannya dengan kondisi fisiknya yang mulai banyak gangguan itu. Atas pertanyaan Vista, Syumanjaya mengatakan , bahwa kendati film ini tidak mengandung kritik dan pesan-pesan, pemilihan cerita masih tetap atas keinginan hati kecilnya sendiri. Juga dalam hal pemasangan bintang pop Yenni Rachman itu.

Saat ini Syumanjaya tengah menyelesaikan skenarionya. Habis lebaran nanti, pembuatan film “Kabut Sutera Ungu” dengan kameramen Leo Fioole akan segera dimulai. Atas pertanyaan Vista lagi, Syuman belum dapat mengumumkan para pendukung lainnya. “Sentral figure yang memerlukan pemilihan yang tepat dalam film ini hanya yang dipegang Yenni Rachman itu. Selebihnya tidak ada kesulitan. Saya telah meminta kepada Yenni Rachman, agar dia Men-dubb sendiri suaranya dalam film ini.

Saya yakin peranannya dalam film ini akan memberinya sesuatu untuknya sebagai
seorang artis”, demikian Syumanjaya. 
 P.T. MATARI ARTIS JAYA FILM

JENNY RACHMAN
ROY MARTEN
EL MANIK
CHITRA DEWI
IDA KUSUMAH
RIMA MELATI
MARULI SITOMPUL
ROBBY SUGARA
ZAINAL ABIDIN
ITA MUSTAFA
DANA CHRISTINA
ULLY ARTHA


FLAMBOYANT / 1972

FLAMBOYAN
FIRST LOVE WILL NEVER DIE


Suami-istri Aksana (Rachmat Hidayat) dan Ellen (Mieke Wijaya) sedang ada di titik puncak keretakan. Ellen lebih mementingkan kariernya sebagai perancang mode dan peragawati dan meremehkan Aksana yang novelis. Di pihak lain pasangan Eneida (Tutie Kirana) dan Harjo (Aedy Moward), pengusaha, juga retak. Dalam keadaan seperti itu pertemuan Aksana dan Eneida mengingatkan masa lalu mereka: percintaan yang kemudian terpisah karena revolusi. Film ini bak sebuah pemberian alasan akan terjadinya perceraian. Tapi, bisa juga sebuah renungan pribadi, nostalgia, rindu dlsb.

P.T. KARTIKA WIRA BHAKTI CORP.

RACHMAT HIDAYAT
MIEKE WIDJAYA
TUTY KIRANA
AEDY MOWARD
ULLY ARTHA
JOHNY LESAR
PONG HARDJATMO
ISHAK SUHAYA
MUCHLIS RAYA
YATTI KUSUMAH
DIEN NOVITA
ALAM SURAWIDJAJA

BUKAN SANDIWARA / 1980



Sepasang suami-istri (Roy Marten dan Jenny Rachman) hidup saling setia, namun terasa hambar karena tak punya anak. Lama-lama akar hubungan mereka terguncang juga. Suami, sebagai diplomat dan berpos di Jepang, menerima jalan keluar berupa pembuahan buatan bagi istrinya. Hanya saja, sperma yang ditanam ternyata sperma Jepang,

hingga bayi yang lahir lebih mirip orang Jepang. Suami tak bisa menerima kenyataan ini. Anak yang diharapkan datang, tapi justru ini awal bencana. Sang suami menerima kehadiran anak itu, tapi dalam hati selalu menolak. Konflik inilah yang perlahan-lahan diselesaikan.


BUKAN SANDIWARA Terbadap temanya, inseminasi degan sperma donor, saya merasa sangat syuuur. Ini suatu problema baru dan aktual. Di Barat, banyak orang bikin film tentang produk teknologi. Tapi mereka lebih tertarik pada aspek suspense, misteri dan horror-nya. Bukan manusianya. Nah, saya bisa bilang, inilab film pertama yang bicara tentang konflik manusia dengan teknologi secara kejiwaan.

Secara manusiawi. -- Sjuman Djaja DIA mungkin benar. Tapi secara sekilas -- sesudah ia menggarap fi Kabut Sutra Ungu (diangkat dari novel Ike Soepomo) yang laris dan kini Bukan Sandiwara (dari novelet Titie Said) -- terkesan bahwa sutradara Sjuman Djaja tengah berubah. Orientasinya tak lagi pada masyarakat kelas bawah seperti dicerminkan filmnya terdahulu, misalnya, Si Doel Anak Betawi (1972) dan Si Mamad (1973). Atau Yang Muda Yang Bercinta (1977), yang sarat dengan protes sosial. Sebab KSU maupun BS (karyanya yang ke-10 dan 11) bercerita tentang keluarga elite. Ia dicurigai telah bersekongkol dengan pasar -- sengaja membuat film hiburan supaya laku.

Dan ia marah. "Saya tidak kompromi dengan siapa pun. Nggak ada itu kompromi dengan pasar ataupun selera publik," katanya tegas. Sjuman Djaja, 48 tahun, lulusan Moskow beranak 3 yang sampai sekarang masih menduda, menegaskan bahwa ia tak pernah berubah. Kalau toh ada, katanya, barangkali pada cara ia menyampaikan pikirannya lewat film. Sesudah sukses KSU secara komersial, dialah sutradara termahal saat ini. Dengan biaya sekitar Rp 250 juta, digarap dalam waktu 4 bulan, Bukan Sandiwara ternyata bukan film diskusi tentang teknologi yang kering. Sebab -- menurut pengarangnya, Titie Said --ceritanya yang "75% berdasarkan kisah nyata" itu pada dasarnya sebuah melodrama biasa. Hendro (Roy Marten), diplomat yang bertugas di Jepang, ternyata lelaki mandul. Perkawinannya bertahun-tahun dengan Pia (Yenny Rachman) tak menghasilkan anak. Kerinduan akan anak itulah yang akhirnya mendorong pasangan itu bersepakat mencoba upaya teknologi baru. Mereka datang ke Prof. Tsushiro (Wahyu Sihombing), meminta sperma lelaki yang tersedia di sana. Berhasil. Pia mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan . . . Jepang. Meski udah diberitahu sebelumnya oleh Tsushiro, Hendro tak sanggup menghadapi kenyataan itu. Ia terpukul dan malu harus jadi ayah seorang anak yang ternyata berasal dari sperma orang Jepang. Sejak kelahiran anak itu -- bernama Rani -- Hendro kehilangan keseimbangan. Bahkan ia jadi impoten dan hendak membunuh Rani. Dan ia menuding istrinya sebagai biang keladi seluruh keguncangan itu. Konflik itu terus berlarut sampai ketika mereka kembali ke Indonesia. Hendro, juga Pia, tak tahan lagi hidup bersandiwara terus. Yaitu di depan orang lain bermanis-manis, sementara pasangan tak rukun lagi. Frustrasi Hendro makin menjadi-jadi setelah secara kebetulan suami istri itu melihat inseminasi benih unggul pada kerbau-kerbau di sebuah peternakan. Untunglah kedua mertua Pia (Maruli Sitompul dan Nani Wijaya) tak peduli pada asal-usul Rani. Kehadiran anak itu sebagai cucu diterima mereka dengan lapang, penuh kegembiraan. Ketika Hendro terang-terangan tak mau mengakui anak itu, kedua orang tua itu hanya tersenyum sambil berjalan-jalan bersama menantu dan cucunya.
 
Film yang panjangnya hampir 3 jam itu pun berakhir -- menyarankan suatu happy ending. Tak pelak lagi, dengan film ini Sjuman telah memamerkan ketrampilan penyutradaraan yang hampir sempurna. Visualisasi yang kuat dengan kecermatan ada detil -- yang semula hanya tampak pada film Teguh Karya -- menegaskannya. Sjuman menunjukkan kemahirannya mengolah konflik. Sehingga, meskipun panjang, filmnya tetap memikat. Ritmenya terjaga. Editingnya yang tangkas banyak membantu terpeliharanya segi dramatik. Eksperimen dalam pengambilan gambar yang dicobanya dalam Kabut Sutra Ungu membuahkan hasilnya di sini. Dengan kata lain, gambarnya -- di samping artistik berkat pencahayaan yang cermat sangat efisien, berhasil memberi tekanan pada cara pengucapan sutradara.

Hanya musik dan rias para pemainnya yang barangkali sedikit menggangu. Dan, sebagaimana diakui Sjuman sendiri, ada beberapa adegan yang mengingatkan orang pada film lain. Misalnya, ketika tokoh Pia berbaring di tempat tidur dengan kepala tengadah di bibir ranjang. Gambar itu dipadu (dalam disolve) dengan adegan kilas-balik diiringi suara gemuruh kereta api. Itu sangat mirip dengan adegan dalam Apocalypse Now. Bagaimanapun, Bukan Sandiwara-lah yang rasanya paling layak memperoleh predikat yang terbaik. Begitu pula permainan Yenny Rachman. Dan -- ini penting juga -- Sjuman tak kehilangan kekhasannya. Ia tetap peka dan kritis menghadapi lingkungannya. Helikopter jatuh, mobil baru mogok, telepon rusak. Cemoohannya terhadap teknologi itu muncul dalam filmnya secara kocak.

P.T. BOLA DUNIA FILM

JENNY RACHMAN
ROY MARTEN
NANI WIDJAJA
SOFIA WD
MARULI SITOMPUL
ROBBY SUGARA
JIRO KOINUMA
ETTY SUMIATI
RACHMAT HIDAYAT
DODDY SUKMA

ATHEIS / 1974

ATHEIS


Hasan (Deddy Sutomo), santri keturunan, masa kanak-kanaknya sangat tradisional, pendidikannya setengah-setengah, dan pegawai Perusahaan Air Minum di Bandung pada tahun 40an. Waktu anak-anak jatuh cinta pada Rukmini (Christine Hakim), tapi waktu dewasa terpesona pada Kartini (Emmy Salim), perempuan bebas dan berpaham modern. Emmy ini bergaul erat dengan Rusli (Kusno Sudjarwadi), partisan yang bergerak di bawah tanah dan sahabat masa kecil Hasan. Tokoh-tokoh ini, ditambah lagi dengan Anwar (Farouk Afero) yang nihilis, menjelaskan tema dan alur konflik tentang kolot-modern, dan soal Tuhan. Hasan yang peragu dan terombang-ambing, suatu saat melihat kenyataan paling pahit dalam hidupnya: istrinya, Kartini, menginap satu losmen dengan si nihilis Anwar. Keputusan diambil: hadir atau tersingkir. Ia berangkat membunuh Anwar. Tokoh lainnya juga berakhir dengan kematian. Rusli ditembak Kempetai. Hasan pun tertembak Jepang saat dendamnya terlunasi, dan bersamanya berakhir pula pengejaran cakrawala yang dilukiskan saat Hasan kecil. 

Film ini yang dibanggakan dari Sjuman Djaya adalah mengadaptasi dari novel yang sangat tebal ini karya dari Achdiat Kartamihardja memang patu dihargai. Dibalik biografi Sjuman sendiri yang terkenal dalam menulis cerita-cerita pendek, ia mampu mempersingkat novel tebal tersebut ke durasi film. Dan juga banyak yang heran juga atas terlepasnya Sjuman dari polemik perdebatan atas tema Atheis ini dan tidak sedikitpun menyisakan ruang bagi imajinasi penonton. Selain diskusi mengenai Tuhan dan kebebasan manusia, dalam film ini juga ada diskusi mengenai kapitalisme, kemerdekaan maupun mengenai hubungan sex bebas. Sjuman nampaknya asyik dengn kata-kata hebat dari aktor dan akrisnya. Jadi kalimat yang akan dilontarkan dari Akris dan aktornya itu yang ia perhatikan dari pada mengatur mengalirkan dialog-dialog tersebut.

Dan juga terjadi pada tokoh Hasan yang menjadi sasaran Sjuman. Meski ia berbekal pendidikan agama di kampungnya, Hasan toh ditampilkan sebagai orang yang amat lemah dalam menghadapi hidup, ia bagaikan anak kecil ingusan di depan Rusli yang berapi-api membicarakan Ateisme. Tidak ada usaha Sjuman yang memadai untuk memperhatikan perjuangan jiwa santeri Hasan dalam menghadapi fikiran-fikiran revolusioner kawan-kawannya. Adegan ini sangat di benci bagi orang yang nasionalis dan bekas pejuang yang menjadi TNI, karena adegan ini adalah unsur dari negara Rusia yang Komunis, apalagi Indonesia punya pengalaman tentang isu PKI. Tetapi disukai banyak orang juga yang melihat realita di masyarakat yang ada tentang kiayi atau penganut agama juga yang tidak bisa melakukan apa-apa, yang seharusnya dia menjadi panutan masyarakatnya.

Dan selain itu juga munculnya adegan dari film Petemkin karya Eisenstein, yang diambil dari pengarang Rusia P.Chekov -kereta bayi yang meluncur di tangga baru- kedalam film ini. Adegan dalam film Rusia tersebut sangat klasik karena muncul dalam pelajaran editing film tingkat pertama di sekolah film dunia. Barangkali Sjuman menganggap film itu tidak masuk Indonesia. Semua itu menunjukan atas kebanggaan Sjuman yang sekolah dari Rusia tersebut. Saya sebagai lulusan sekolah film juga mendambakan bisa sekolah di Rusia tersebut. Karena dalam teori film yang diajarkan, saya banyak menemukan dari negara Rusia ini.

 P.T. BOLA DUNIA FILM

JENNY RACHMAN
ROY MARTEN
NANI WIDJAJA
SOFIA WD
MARULI SITOMPUL
ROBBY SUGARA
JIRO KOINUMA
ETTY SUMIATI
RACHMAT HIDAYAT
DODDY SUKMA
NEWS
Novelnya Dilarang Difilmkan
11 Mei 1974
Dilarang: "atheis"


Achdiat Kartamiharja merasa film Atheis garapan Sjuman Djaya tidak sepenuhnya menangkap amanat novelnya.

PENGARANG Achdiat K. Mihardja (kini di Australia) mungkin akan terkejut: karyanya yang terkenal, Atheis, dilarang difilmkan. Menurut ketentuan, satu produksi film sebelum mulai pengambilan gambar, kudu mengajukan skenarionya mtuk dibaca oleh Direktorat Film Deppen. Dan Matari Film yang mau memproduksi film Atheis, lewat prosedur itu tak diberi izin. Penolakan terhadap suatu skenario memang bukan untuk pertama kali ini terjadi. Seperti dijelaskan Djohardin, "sudah sering, misalnya karena kekerasan yang berlebihan, maupun kalender porno".
Tapi adakah penolakan terhadap Atheis merupakan harga mati? Sebagai pembina perfilman nasional, Djohan sendiri mengatakan: "Bila yang bersangkutan bersedia mengindahkan anjuran perubahan-perubahan pada skenarionya, selalu terbuka kesempatan izin". Pun terhadap Syuman Djaya yang menulis skenario dan bakal menyutra-darai Atheis itu kata Djohardin "kita beri kesempatan menulis kembali skenario yang lain untuk diteliti kembali". Singkatnya: Atheis dalam bentuknya yang sekarang, ditolak. Alasannya? "Jangankan isinya, sedang judulnya saja sudah bertentangan dengan sila pertama kita dalam Pancasila. Penolakan ini didasarkan pada alasan keagamaan". Tapi bukunya toh bisa saja beredar? lni wewenang Kejaksaan Agung.
Dalam hubungan dengan rencana pembuatan filmnya fihak Deppen mencoba mendapatkan referensi dari Departemen P & K yang sebegitu jauh konon menyerahkan kepu-tusannya kepada Direktorat Film. Dan alasan lebih terperinci dari Djohardin: "Sebagai buku maka kalangan pesnbacanya terbatas, dan umumnya mereka mampu menyaring isi buku tersebut. Lain halnya ketika dituangkan dalam film, mulai anak-anak sampai orang buta huruf pun bisa melihatnya". Ia menyodorkan pokok-pokok ajaran Marx yang menuding "agama sebagai candu" dan porsi faham atheis itu begitu dominan pada percakapan dalam skenario. 


Memang tak diingkarinya bahwa pada akhirnya sang atheis itu kalah, tapi kata Djohardin: "Itu bukan alasan untuk membenarkan, sebab film itu bercerita berpanjang-panjang tentang raham atheisme sampai hampir bisa meyakinkan orang beragama untuk memusuhi Tuhan". Hamka. Bagaimana jika ternyata pembuatan film ini beroleh "restu" dari Hamka misalnya? "Itu barangkali masih akan kita pertimbangkan", kata Djohardin. Dan Hamka memang telah menyatakan secara tertulis kepada Syuman Djaya: "Setelah membaca dan meneliti skenario dari cerita Afhes, yang berdasarkan kepada novel Achdiat K. Mihardja dengan beberapa perobahan, saya tidak keberatan bahkan menganjurkan usaha untuk menuangkan nya ke dalam film? tulis ulama profesor itu.
Dulu sewaktu novel itu terbit dan dihebohkan, Hamka pun berdiri membelanya. Dan kini mendapatkan kenyataan begitu", kata Djohardin pula. "Tapi Hamka bukan satu-satunya, masih perlu didengar pendapat yang lain. Sementara itu persatuan Karyawan Film & TV atau KET dalam suratnva yang ditandatangani oleh Sumardjonn selaku ketua umum dan MD Aliff sebagai skejen, kepada Direktorat film Deppen mengalihkan semacam jalan keluar terhadap apa yang disebutnya sebagai "kasus-kasus skenario yang ditolak": hendaknya dicapai suatu konsensus tentang ketentuan hak banding bagi mereka/ produser yang skenarionya ditolak oleh Dit. Film. Berbicara secara umum untuk kasu ini, surat KT itu mengusulkan bentuk naik banding tersebt: untuk ditanggulangi oleh Menpen atau Dirjen dengan cara menunjuk sebuah team ahli yang bertugas khusus menanggapi kasus-kasus skenario yang ditolak. Atau diberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mencari dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat yang kiranya dapat mencerminkan Opini dari golongan yang diperkirakan/dikuatirkan akan memberikan reaksi negatif.
Usul itu tulis KFT, semata-mata kami sampaikan untuk menghindarkan tuduhan adanya sikap otoritas/sefihak dari yang berwajib dan untuk tetap menjunjung tinggi azas demokrasi dengan tetap melaksanakan usaha preventif terhadap anarkhisme. Sebelum dikunjungi surat KFT itu menurut seorang pejabat Dit Film, "pada Djohardin waktu menerima skenario Syuman itu sudah menunjuk kemungkinan peluang, agar fihak Matari Film bisa mengurus rekomendasi dari Departemen Agama serta Kopkamtib" Sebegitu jauh beluml diperoleh jawaban. 

Namun Syuman sudah melakukan shooting filmnya itu. Terhadap hal ini Djohardin hanya berkomentar: "Itu satu pelanggaran, yang tak kami benarkan". Bila tindakan Syuman itu dipandang sebagai melanggar ketentuan Dit. Film yang Syuman sendiri pernah menjabat direkturnya tempo hari dan konon terbilang pembuat aturan perizinan itu, apa sikap Dit. Film? "Toh nanti film itu akan diproses ke luar negeri atau bakal berhadapan dengan" sahut Djohardin sembari tak lupa menunjuk alasan keberatan terhadap utak-utik motif agama itu atau apa yang oleh Kopkamtib sering disingkat SARA. "Masalah ini jelas masuk jalur terlarang". Bagai bicara pada dirinya sendiri dalam nada heran Djohardin bergurau "Kita ini kan bisa membuat film karena ada bangsa Indoncsia, jadi janganlah keutuhan bangsa ini diledak-ledakkan".



Kemarahan Sjuman Djaya
11 Mei 1974
"saya merasa dikerangkeng"

Syuman Djaya, sutradara yang baru saja sukses dengan film Si Mamad, sekarang ini sedang sibuk dengan film barunya, Atheis. "Dua puluh persen film ini sudah selesai dishooting" kata sutradara lulusan Moskow itu kepada Salim Said dari TEMPO. Berikut ini adalah bagian-bagian dari percakapan Syuman Djaya berkenaan dengan larangan memfilmkan novel karya pengarang Achdiat.K Mihardja itu. APA yang kali ini dibuat Djohardin bukan yang pertama memimpin diri saya. Hampir setiap saya bikin film, Direktorat film telah melakukan hal demikian. Sebagai contoh, Si Mamad. Kalau usul dewan peneliti skenario Direktorat Film itu saya turuti, tidak bakalan anda menyaksikan Si Mamad seperti yang ada sekarang. Waktu memberikan izin untuk film tersebut, Djohardin menegaskan kepada saya agar kemiskinan pegawai negeri jangan ditonjolkan lantaran hal itu, katanya, bertentangan dengan usaha pemerintah memperbaiki nasib pegawai negeri di akhir pelita pertama. Kali ini menjadi ramai karena izin produksi tidak mau diberikan mereka, meskipun juga tidak jelas adanya larangan. Buku Atheis sudah saya kirimkan kepada Djohardin enam bulan sebelum mulai shooting, dan satu setengah bulan sebelum mulai bekerja.
Skenario juga saya antarkan kepada mereka. Menanti terlalu lama, sementara kontrak dengan artis dan awak teknik telah ditanda-tangani, saya terpaksa mulai bekerja. Apakah saya melanggar turan? Tidak sama sekali. Pengawasan dan pembinaan Direktorat Film yang ketat memang perlu tapi itu terhadap produksi yang mendapat fasilitas pemerintah, seperti dana SK 71 dulu itu. 


Saya sama sekali tidak minta apa-apa dari mereka. Lagipula, saya tahu betul berapa banyak film yang mulai shooting sebelum Djohardin menandatangani izin produksinya . Kopkamtib. Kepada Djohardin sebenarnya sudah minta izin sementara saja. kalau ia takut memberikan izin produksi yang biasa. Tapi itupun tidak ia berikan, meskipun saya telah membantu dia mendapatkan dukungan pendapat dari berbagai tokoh masyarakat dan fihak Kopkamtib. Hamka jelas tanggapannya yang positif, sedang Laksamana Soedomo yang telah menyaksikan Si Mamad kemudian juga membaca skenario Atheis, tidak mengemukakan keberatan apa-apa. Saya heran betul mengapa orang-orang Direktorat Film sampai bertindak demikian, sementara buku karangan Achdiat itu masih beredar, malahan menjadi bacaan di sekolah-sekolah. Lagi pula skenario saya dalam beberapa hal jauh lebih positif terhadap hal-hal yang perlu ditakutkan sebagai bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Ya, kalau dibaca secara sepotong-sepotong, tentu saja bisa dibikin macam-macam kesimpulan. Tapi kalau secara keseluruhan, saya yakin tidak apa-apa. Besar dugaan saya bahwa pembantu-pembantu Djohardin meneliti skenario itu secara sepotong-sepotong. Saya betul-betul merasa dikerangkeng sekarang ini. Setelah membikin Si Mamad yang berkisah tentang kesulitan ekonomis seorang anak manusia, saya tentu ingin lebih maju. Dengan memilih Atheis, saya berkehendak mengisahkan kegoncangan jiwa manusia yang setiap saat bisa kita alami. Namun saya tidak akan mundur. Saya akan menghadap Menteri Penerangan, Kabinet, kalau perlu ke Parlemen. Pokoknya kesewenang-wenangan terhadap kreatifitas harus dihentikan.