Tampilkan postingan dengan label WONG BERSAUDARA / WONG BROTHER'S 1930-1950. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WONG BERSAUDARA / WONG BROTHER'S 1930-1950. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Januari 2011

WONG BROTHER'S 1930-1950

WONG BERSAUDARA

Wong Bersaudara adalah 
 NELSON WONG, JOSHUA WONG  dan OTHNIEL WONG



Othniel Wong adalah seorang sutradara dan fotografer Indonesia di era tahun 1930-an. Ia juga mempunyai saudara laki yang juga terjun menjadi sutradara bernama Joshua Wong. Mereka bersaudara mendirikan perusahaan film bernama " Wong Bersaudara "

bersaudara ini lahir di Tiongkok, dari keluarga kristen. Ayah mereka pendeta keliling gereja Adbent, Rev, Wong siong Tek. Pendidikan mereka barat. Ayahnya menginginkan ke tiga anaknya ini ada yang menjadi orang terhormat seperti dirinya. atau mendapat gelar keserjanaan di negara Barat. Nelson dikirim ke Amerika, di San FRansisco, tetapi lebih tertarik pada keajaiban tehnik barat yang sedang berkembang dan mengagumkan pada 1920. Bersam 2 pemuda cina asal Jawa, The Theng Chun, dan Frend Young, mereka sering bolak-balik ke Hollywood LA. Nelson banyak bertanya pada sutradara terkenal D.W. Grifith, banyak bantu-bantu secara suka rela orang yang sedang bikin film, sampai ikut menarik-narik kabel lampu. Sampai akhirnya dia diberi kesempatan untuk menjadi pembantu juru kamera dalam pembuatan The Tree Musketers.

Pendeta Wong datang ke Amerika dengan membawa 2 saudaranya lagi Joshua, Othiel tidak dapat mampu menahan hobi Nelson akan film. Malah ke dua adiknya itu juga ikut tergila-gila akan film. Nelson mendirikan perusahaan film The GreatWall di Shanghai dengan modal dari seorang cina warga negara Amerika. Lapangan kerja yang dipilih Nelson ini mendapat kecaman dari keluarga Wong karena dianggap mencemarkan nama keluarga. Kemudan ke 2 adiknya itu juga ikutan membantu di studio. Maka ke tiga anak keluarga Kim Le yang terhormat itu disingkirkan oleh keluarga. Bahkan ayah mereka juga ikut terasing. Perusahaan The Gratwall tidak pernah memproduksi film cerita klasik cina, baik silat maupun siluman seperti banyak dilakukan di studio-studio di Shanghai sekitar 1920'an. Karena Nelson tidak kenal cerita itu dan juga ikatan budaya. Bahkan kakak beradik ini tidak dapat membaca tulisan cina. Akhirnya umur perusahan Nelson tidak panjang. 1921 itu ditandai memang pesatnya perkembangan perusahaan film, dan berguguran satu-persatu setelah membuat film. Walhasil 1927 Nelson sudah berada di Batavia dengan ayahnya yang bertugas di kota itu. Lalu bekerja di Miss Riboet Orion. (selanjutnya baca kisah WHO"S NELSON WONG).

Produksi pertama berjudul Lelie van Java 1928. Tahun 1936 perusahannya diubah namanya menjadi "Halimoen Film Co. Tahun 1934 berubah lagi menjadi ANIF (Algemene Nederland Indische Film) memproduksi film Terang Boelan yang dibintangi Roekiah dan Raden Muchtar. Tahun 1948 bersama Tan Kaoen Hian, mereka mendirikan perusahaan film "Tan and Wong Bros" di Bidara Cina dibawah pimpinan Joshoa.

Filmnya antara lain Indonesia Malaise 1931 dan Tjok Speelt voor de film 1932. Selama pendudukan Jepang produksi filmnya terhenti. Wong Brothers sempat membuat Kecap dan Limun dan baru mulai kembali membuat film tahun 1948. Filmnya berjudul Air Mata Mengalir di Tjitaroem, Bengawan Solo 1949, Pantai Bahagia 1950, Selendang Pelangi 1951, Ternado 1952, Pandji Semirang 1951 dan Ratoe Kentjana. Nama perusahaan sempat diganti menjadi "Tjendrawasih Film". Pada 1960 kegiatannya menyusut. Atas jasa-jasanya dalam perfilman, mereka mendapat penghargaan dari gubernur Ali Sadikin pada 1973.



SITI AKBARI 1939 JOSHUA WONG
Director Of Photography
KOEDA SEMBRANI 1941 WONG BERSAUDARA
Director
GAGAK ITEM 1939 JOSHUA WONG
Director Of Photography
INDONESIA MALAISE 1931 WONG BERSAUDARA
Director Of Photography Director
ZUSTER THERESIA 1932 M.H. SCHILLING
Director Of Photography
BANTAM 1950 WONG BERSAUDARA
Director
ALADIN DENGAN LAMPOE WASIAT 1941 WONG BERSAUDARA
Director
SI PITOENG 1931 WONG BERSAUDARA
Director
LARI KA ARAB 1930 WONG BERSAUDARA
Director Of Photography Director

LARI KA ARAB / 1930

LARI KA ARAB

HALIMOEN FILM

 Semula judulnya adalah Lari Ka Mekah, karena dilarang oleh film commissie, hal ini disebabkan nama Mekah adalah tempat suci umat islam yang tidak bisa dibuat main-main. Maka judulnya di ganti Lari Ka Arab, agar tetap memiliki daya tarik. Peran utamanya diperankan Oemar yang pernah main dalam Loetoeng Kasaroeng dan saat itu terkenal sebagai pelawak Sunda. Film ini tidak mendatangkan uang, karena pemainnya tidak menarik bagi daerah luar Sunda. Dan saat itu memang penonton tidak mau lagi melihat layar putih.
 
Saat itu produser Halimoen lagi senangnya dengan film komedi slapstik Amerika yang disukai penonton. Pada tahun 1930 lelucon yang dikisahkan oleh produksi Halimoen film tentang kehidupan serba sulit saat zaman malaise, yakni ketika Hindia Belanda terkena depresi ekonomi yang melanda seluruh dunia. Filmnya menggambarkan secara lucu kehidupan yang serbah salah dari tokoh utamanya. Dirumah salah, keluar juga salah, begini salah, begitu salah. Maka ia memutuskan untuk kabur saja ke Mekah. Namun dengan maksud sinis, bahwa disana mungkin baru bisa hidup tentram karena hanya akan ibadah saja, tidak memikirkan ekonomi.

INDONESIA MALAISE / 1931

INDONESIA MALAISE
















1931 produksi pertama wong dalam film bicara. Ini adalah drama percintaan Indonesia Malaise. Dalam pembuatan film ini ada campur tangan M.H.Schilling secara aktif, ia memang seorang pelawak radio yang lucu dan terkenal. Pendekatan dalam film ini adalah panggung Tonnel Melayu tentu seni yang sudah dikenal oleh seniman Indo seperti Tjok nama samaran M.H.Schilling.

Ceritanya melodrama yang dudukung oleh lawak dan musik khas Toneel yang masih berbau opera bangsawan.

Ceritanya mengenai seorang gadis yang sudah punya kekasih, tetapi dipaksa kawin dengan pria lain. Sang suami kemudian menyeleweng, sedangkan bayinya mati. Dan sang kekasih masuk penjara. Wanita itu jatuh sakit karena penderitaan dan rasa rindu pada kekasih. Pada saat yang amat gawat, ketika ia hampir mati, kekasih yang dirindukan muncul. Pertemuan yang mengharukan ini diselingi lawakan Oemar. Penyakit perempuan itu sembuh setelah mendengar nyanyian keroncong dari Ferry (kekasihnya itu). Cerita berakhir dengan adegan percintaan Oemar dengan Babu diatas pohon karet. Adegan ini mendapat tepuk tangan dan siulan penonton. Adegan ini sudah merupakan paket terkenal dalam semua pertunjukan opera bangsawan.

Film bicara pertama yang dibuat oleh Halimoen Film. Pendekatan film ini adalah "tooneel Melajoe" yang dikenal baik oleh Wong maupun M.H. Schilling, rekan kerjasamanya. Schilling sendiri membuat film pendek "Sinjo Tjo Main di Film" yang diputar sebagai film pembuka. Dibuat dengan kamera yang paling mahal di Eropa. Menurut Joshua Wong, film ini dibuat dengan kamera yang dijadikan "single system camera" garapan orang Bandung, maksudnya kamera yang bisa merekam sekaligus gambar dan suara. Biar selebaran propagandanya menyebutkan "Tjeritanja menarik hati dan penoeh dengan keloecoean. Penonton tentoe misti ketawa terpingkel-pingkel dari permoela sampe pengabisan", ternyata film ini tidak laku. Penonton tampaknya tak suka melihat kenyataan pahit (kemelaratannya) sendiri di layar putih.


HALIMOEN FILM
 M.S. FERRY
OEMAR

KOEDA SEMBRANI / 1941

KOEDA SEMBRANI


Film Koeda sembrani adalah film yang menggunakan set dekor besar Istana. Bersamaan dengan ini dibuat film ala 1001 malam lainnya seperti Aladin dengan Lampoe Wasiat. Nampaknya pertimbangan pembuatan film tahun 1941 ini memanfaatkan set yang mahal. Tetapi film Aladin belum rampung ketika Jepang datang. Dan film ini baru selesai tahun 1950, selewat masa perang, oleh perusahaan baru PT Tan & Wong Bross, yaitu kongsi keluarga Tan dan Wong.

TAN'S FILM

ROEKIAH
RD DJOEMALA
KARTOLO
WOLLY SUTINAH
HUSEIN
ALI
RD DADANG ISMAIL


SI PITOENG / 1931 & RAMPOK PREANGER / 1929

SI PITOENG & RAMPOK PREANGER

Film ini ditujukan untuk penonton pribumi, mengarah pada film Amerika untuk penonton kelas bawah juga. Pemilihan cerita si Pitoeng ini cerita tentang jagoan yang populer dikalangan pribumi dan cina. Pendekatannya ala film bandit Amerika. Cerita-cerita baru lainnya dikutip sana-sini. Rapok preanger diadaptasi dari film Amerika yang amat banyak penontonnya. Setelah pulang menonton dari alun-alun mereka menggarap cerita tersebut sampai malam selesai. Gagasan pertama dilontarkan Joshua Wong, film yang dibuat sesudah si Tjonat ini penuh dengan perkelahian yang seru, seperti diatas mobil yang sedang meluncur menuruni daerah lembah. Halimoen film selalu sangat berhati-hati dalam memilih pemain, dan ini penting kedudukan bintang dibandingkan perusahan lain. Untuk film action, Rampok Preanger dan Si Pitung digunakan pemain Ining Resmini. Disamping berani terlibat dalam adegan-adegan perkelahian yang mengerikan, Ining juga penyanyi keroncong terkenal di radio NIROM Bandung danm sudah dipiring hitamkan di Singapore. Kalau ia rekaman di Singapura ia sering diundang oleh putra-putra sultan di Semenanjung Malaka.

Film Rampok Preanmger 1929 tidak begitu komersial karena pemilik modal berikutnya lebih tertarik membuat film komedi.



SI PITOENG 1931

Tokoh jawara Betawi asli yang amat populer terutama lewat pentas lenong. Jagoan Rawabelong ini dipercaya bisa "menghilang", karena hampir selalu lolos dari kejaran polisi Belanda. Ia juga dianggap seperti Robin Hood: merampok orang kaya dan membagikan hasilnya untuk orang miskin.
 HALIMOEN FILM

HERMAN SIM
INING RESMINI
ZORRO


RAMPOK PREANGER 1929

Ining Resmini (1909-1978) adalah penyanyi keroncong yang populer di Bandung.

HALIMOEN FILM

INING RESMINI
MS FERRY

BANTAM / 1950

BANTAM


Peristiwanya terjadi di Banten (Bantam), menyangkut keluarga Rd. Ganda (Ali Bey) yang memanjakan anak lelakinya Bakhrum (Rd Dadang Ismail), tetapi istrinya (Sukarsih) mendidik anak perempuan mereka, Minarsih (Sofia WD), dengan baik. Bakhrum terperosok ke dunia kriminal, ditangkap polisi pada waktu "menggarong" milik ayahnya sendiri. Penangkapan itu berhasil berkat petunjuk dan bantuan Akhmad (Rd Mochtar) dan adiknya Mansyur (Moch Mochtar), anak Tisna, mandor di perusahaan Ganda. Atas jasa itu, Ganda menyetujui hubungan Akhmad dan Minarsih.
 TAN & WONG

RD MOCHTAR
SOFIA WD
RD DADANG ISMAIL
SUKARSIH
MOH MOCHTAR
ALI BEY
SURJONO
KELANA DJAJA
S. WALDY
MOCHSIN
MARIANA
NOVIAR

ALADIN DENGAN LAMPOE WASIAT / 1941

 

Aladin, anak janda miskin, tetap hidup sederhana walau punya lampu wasiat. Lampu itu baru digunakan untuk mengatasi rintangan, misalnya memenuhi permintaan wazir raja, karena Aladin meminang putri raja. Walupun nyaris mati, Aladin berhasil memberantas kejahatan wazir yang licik dan menerima warisan kerajaan sebagai menantu. Film ini baru diselesaikan tahun 1950an.
 TAN'S FILM

ELLY JOENARA
BENNY
WOLLY SUTINAH

NELSON WONG 1928-1929

NELSON WONG


Ia adalah kakak tertua dari Wong Bersaudara, Joshua dan Othniel, setalah ia sakit-sakitan ia tidak aktif lagi, tetapi diteruskan oleh adik-adiknya. Oleh karena itu tertulis film yang dikerjakan Joshua dan Onthniel.

Ia imigran dari Shanghai ke Jawa, lahir 1895. Pada tahun 1927 ia bekerja sebagai kasir di perkumpulan sandiwara Miss Riboet Orion pimpinan Tio Tek Djin. Saat itu sandiwara ini lagi jayanya, hingga saat m,ereka main di Bali, Nelson membuat rekaman film mengenai penari dan sebagainya. Ia menggunakan kamera filmnya yang sederhana, model kuno dengan kotak kayu yang diputar. Tio Tek Djin terperangah melihat anak buahnya yang kasir itu bisa membuat film.

Tadinya ia adalah produser film di Shanghai, karena perusahaannya bangkrut karena saingan dengan film Amerika, ia cari makan ke Jawa. Lalu Tio Tek Djin memutuskan untuk melangkah ke dalam pembuatan film cerita. Nelson setuju, asalkan Tio Tek Djin mau mendatangkan peralatannya dari Shanghai serta juga memboyong keluarganya yang ada di Shanghai ke Jawa, termasuk 2 adiknya, Joshua dan Othniel. Dan hal ini di setujui, Tio mengeluarkan uang banyak untuk itu, dan juga membeli bangunan bekas pabrik tepung tapioka daerah bojong loa Bandung. Untuk tempat tinggal wong dan juga studio.

Kelompok sandiwara ini selalu ramai, sehingga Tio memiliki dana yang kuat. Ia memiliki pengalaman dalam sandiwara dan juga memiliki sejumlah tokoh dalam sandiwaranya seperti Miss Riboet. Ternyata waktu diadakan tes kamera terhadap Miss Riboet wajahnya tidak tampak baik di kamera (camera face), sehingga hubungan mereka bubar dan Nelson mencari patner baru. Yaitu David Wong (bukan saudara dalam wong).

Meski bikin film tidak jadi Tapi niat Tio untuk memperkenalkan bisnis, pembuatan film ini untuk kalangan cina sukup disalutkan banyak orang atas keberaniannya, suatu bisnis modern, yang menuntut kreatifitas dan kecanggihan tehnologi.

 





LILY VAN JAVA 1928 NELSON WONG
Director Of Photography Director
RAMPOK PREANGER 1929 NELSON WONG
Director Of Photography Director
SI TJONAT 1929 NELSON WONG
Director

LILY VAN JAVA / 1928

LILY VAN JAVA


Lily Van Java ceritanya tentang seorang anak gadis keluarga kaya yang dijodohkan dengan seorang pemuda, padahal sudah memiliki kekasih.

Naskahnya sudah di periksa film commise (badan sensor) sehingga tidak ada banyak potongan gambar nantinya. Pemainnya adalah 2 kakak-beradik dari surabaya. Lie Lian Hwa, dan Lie bo Tan. Operator film (juru kamera dan sutradara) ialah Len H.Roos orang Amerika yang sedang berada di Java untuk membuat film tentang Java, produksi Metro Goldwyn. Roos akan pulang ke Amerika pada Juli 1928, kemudian kembali dan menangani produksi perusahaan Cina ini.


Pada bulan Juli sudah dilakukan shooting test kamera. set kamar yang dibangun di outdoor dibilangan Mangga Besar. Setelah Roos balik lagi tidak ada kabar lagi film ini diteruskan, entah apa masalahnya.

Lalu film ini dilanjutkan oleh Nelson dan saudaranya wong Brothers. dengan perusahaan Halimoen Film. Cerita film ini sederhana, yang banyak mendapat perhatian adalah adegan permainan tenis, permainan golongan atas waktu itu. Dan juga pemainnya yang bisa main silat, karena di beritakan mereka berasal dari keluarga Macan Betawi dan juga mafia saat itu, sehingga bisa bermain silat. Walaupun akhirnya menjadi bahan gosipan, tetapi film ini terus digemari selama bertahun-tahun sampai filmnya rusak. Film ini juga menadpat perhatian yang cukup besar sekali karena sekain menggunakan teks Melayu,dan Cina. Menurt wong film ini tidak untung karena itu David Wong sang penyandang dana mengundurkan diri, bisnis film sangat beresiko tinggi.

Film ini mutu tehnisnya amat rendah bila dibandingkan dengan film Hollywood, tetapi saih saja ditonton orang walaupun gambarnya buram. Hal ini berkaitan dengan bisa merabanya selera dari segmen penonton yang mereka pilih. Ada 3 pengelompokan penonton, Cina, Pribumi, Eropa/Belanda. Jadi film Lily Van Java disebut sebagai film Tiongha pertama buatan Java.
  SOUTH SEA FILM CO.

LIE LIAN HOA
LIE BOUW TAN
KWEE TIANG AN
YAH KWEE PANG

SI TJONAT / 1929

SI TJONAT


Dibuat Batavia motion Picture awal 1929, produser Yo Eng Sek yang sebelumnya membuat film untuk orang pribumi Nyai Dasima dengan hasil yang menggembirakan, dan kali ini untuk penonton orang cina Tjonat adalah bandit priobumi yang jatuh cinta pada gadis Cina, Lie Gouw Nio dan membawanya kabur. Kemudian si Tjonat bisa dikalahkan oleh Thio Sing Sang, yaitu kekasih Lie Gouw Nio.Nakal sejak kecil, si Tjonat (Lie A Tjip) melarikan diri ke Batavia (Jakarta) setelah membunuh temannya. Di kota ini ia menjadi jongos seorang Belanda, tapi kerjanya menggerogoti harta nyai tuan itu. Kemudian ia jadi perampok dan jatuh cinta pada Lie Gouw Nio (Ku Fung May). Karena menolak, Tjonat berusaha membawa lari Gouw Nio. Usaha jahat itu dicegah oleh Thio Sing Sang (Herman Sim) yang gagah perkasa.

Karangan F.D.J.Pangemanan ini pernah menjadi bacaan populer kalangan cina. Namun Orang pribumi juga suka karena Avontur tokoh kepala rampok ini mengasyikan. Selain membawa kabur gadis cina, Tjonat juga pernah menggaet Nyai (istri Piaraan) Belanda. Tapi pembuatan film ini lebih menekankan sektor cinanya. Semua pemain pentingnya dipegang oleh Cina. Dari pihak pers ada yang tidak suka dengan film adegan pembunuhan, tentang wanita yang diperas cara halus dan sekarang tentang kepala rampok. Tapi Kwee Tek Hoay yang biasanya galak kali ini membela. Karena agar kongsi film bisa hidup dulu. Ia juga mencatat film ini cukup terang, sebagian pemainnya cukup bagus serta atoerannja lumajan joega. Sim Pek Hok alias Herman Sim, yang pernah main film di Tiongkok, di sini berperan sebagai Thio Sing Sang telah memperlihatkan kepandaiannya dalam cara berkelahinya. Ia tidak kalah dari jago-jago dalam film Cowboy Amerika. Permainan Kung Fu May sebagai Lie Gouw Nio yang diculik si Tjonat, tidak bisa di cela. Kesalahan yang namapak tidak seberapa, justru sebaliknya terdapat bagian-bagian yang lucu dan menyenangkan. Oleh karena itu penonton terutama kelas murah bersorak-sorak tiada hentinya.

Bisu. Sebetulnya cerita ini fiktif, tapi oleh pengarangnya dikatakan "betoel soeda kadjadian di djaman doeloe". Ceritanya pertama kali dimuat secara bersambung di surat kabar "Perniagaan" tahun 1903. Film ini dibuat dalam dua seri.
BATAVIA MOTION PICTURE

HERMAN SIM
KU FUNG MAY
LIE A TJIP

NEWS

Ketika di tahun 1903, suratkabar Perniagaan [Kabar Perniagaan, 1903-1930], yang dahulu diterbitkan sebagai suratkabar khusus iklan, pimpinan F. D. J. Pangemanann— pada masa itu berisi berita-berita melayu yang paling berharga dan digemari oleh pembaca, tiada lain adalah cerita-cerita populer terjadi di masyarakat. Mengikuti kemauan pembaca di waktu itu, F. D. J. Pangemanann memuat di Perniagaan beberapa cerita yang direkayasa dari Djawa Koe’on, dan di antara cerita-cerita itu, yang paling terkenal adalah cerita "Si Tjonat", pemimpin penyamun di daerah Tangerang.

Cerita ini sebetulnya cuma suatu karangan yang dilebih-lebihkan saja. Tapi menurut adat kebiasaan kebanyakan pengarang pada waktu itu, seperti juga F. D. J. Pangemanann, berkata “Betul kejadian ini terjadi di zaman dulu.” Ini semacam kedustaan yang dianggap sebagai perkara kecil. Karena kesalahan itu sudah menjadi hal umum dan tidak dianggap sebagai kesalahan lagi, maka orang tidak merasa malu untuk melakukannya. Bahkan sampai sekarang pun masih ada satu dua pengarang Bang Pak yang suka melakukan kedustaan semacam itu.

Kita masih belum lupa ketika cerita itu dimuat dalam Perniagaan. Bagaimana kita yang baru belajar membaca koran sudah mesti saling berebut dengan kawan yang tinggal di sebelah rumah. Saling mendahului membaca "Si Tjonat" yang sangat kita gemari. Dan ketika Drukkerij Hoa Siang In Kiok yang dimuat dalam Perniagaan yang kemudian diterbitkan dalam bentuk ini, kita pun merasa perlu untuk membelinya.

Cepat sekali cerita itu populer, dan sering dimainkan oleh opera-opera bangsawan di waktu itu. Tapi belakangan ini orang tidak lagi peduli. Terutama sesudah munculnya cerita-cerita Melayu yang lebih baik dan pembaca mulai bisa membedakan mana cerita yang baik dan mana cerita yang jelek.

Dilihat menurut ukuran sekarang ini, cerita "Si Tjonat" tidak ada artinya apa-apa lagi. Baik dari cara penulisannya atau pun alur ceritanya. Cerita itu hanya melukiskan kehidupan seorang Bumiputra yang sejak kecil sangat nakal. Setelah ia membunuh kawannya dan merampas serta menjual kerbaunya, ia pun melarikan diri ke Jakarta. Di Jakarta ia bekerja sebagai pelayan seorang Belanda. Lantas mencuri barang milik isteri orang Belanda itu. Ia lalu menjadi kepala perampok. Akhirnya ia menaruh hati pada seorang gadis Tionghoa anak seorang petani yang hidup dari memelihara babi dan berkebun sayur yang tinggal di desa. Namun gadis itu tidak mencintainya. Ia pun membawa lari sang gadis yang bernama Lie Gouw Nio itu. Kemudian tunangannya, Thio Sing Sang, menolong dengan memperlihatkan kegagahannya di hadapan kawanan penjahat itu.

Sekarang cerita ini sudah diadaptasi dalam sebuah filem oleh perusahaan filem yang belum lama ini didirikan di Jakarta. Ketika membicarakan hal ini, salah satu suratkabar harian di Jakarta telah menyomel dan mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan filem di Jawa yang mulai tumbuh seperti jamur, sekarang ini hanya membuat cerita-cerita perampokan, pembunuhan, perempuan yang dibohongi dan sebagainya.

Kita sendiri, meskipun tidak setuju dengan cerita-cerita itu, tidak bisa menyalahkannya pada perusahaan-perusahaan filem yang sebelumnya memproduksi cerita-cerita yang bagus dan berharga untuk ditonton oleh kaum terpelajar. Setidaknya perusahaan-perusahaan filem itu bisa bertahan dahulu. Beberapa perusahaan filem yang memainkan aktor-aktor yang pandai berperan, terpaksa gulung karena rugi atau keputusan Benzine. Perusahaan yang memproduksi filem "Loetoeng Kasaroeng" (1926) [disutradarai oleh G. Kruger dan L. Heuveldrop, diproduksi oleh NV Java Film Company], legenda masyarakat Sunda, pun sekarang tidak terdengar lagi kabarnya. Maka sablonnya bisa melahirkan filem-filem yang bagus dan berharga untuk ditonton oleh golongan terpelajar. Biarlah perusahaan-perusahaan filem yang masih muda dan belum mapan itu, memilih jalan yang mudah, biaya murah, dan memilih cerita populer yang bisa menarik banyak penonton. Kalau pun semua perusahaan itu sudah maju dan mapan, dan orang yang nonton Thio Sing Sang berkelahi dengan penjahat di antara batu-batu karang. Seorang sutradara filem tidak boleh terlalu mengikuti bunyinya buku [textbook/teoretis], karena yang paling perlu dibuat adalah supaya filem itu menjadi bagus dan menarik. Tidak usah kukuh mengikuti jalannya cerita secara mati-matian.

Yang paling lucu, yang membuat satu ruangan bioskop gemuruh oleh sorak-sorai penonton adalah ketika kawanan penjahat itu memajukan empat laskar perempuan yang bertarung pukul-memukul dengan empat orang polisi yang datang membantu Thio Sing Sang. Pertarungan antara amazones dengan politie-politie agent itu menunjukkan bagaimana seorang sutradara tahu betul bagaimana membuat penonton tertawa.

Pemeranan orang-orang yang menjadi ibu, ayah, dan lain-lain, kelihatannya cocok, sedang pemeranan dari Miss Ku Fung May yang memerankan Lie Gouw Nio, tidak bisa dicela. Inilah yang membuat kita tidak heran karena Jakarta Motion Picture Company bisa memilih aktor-aktor yang pandai untuk memerankan tokoh-tokoh yang penting, yang semuanya diperankan oleh bangsa Tionghoa. Sehingga jikalau seterusnya bisa berjalan seperti itu, ada banyak harapan filem-filem yang diproduksi oleh perusahaan ini bisa mengalahkan filem-filem produksi perusahaan-perusahaan filem Indonesia lainnya.

JOSHUA WONG 1930-1950

JOSHUA WONG


Salah satu dari ‘Wong Bersaudara’ (adik Nelson, kakak Othniel), Joshua mulai tertarik pada film ketika melihat kakaknya, Nelson wong, yang mulai ikut terlibat dengan kegiatan di Hollywood. Sementara ayah mereka, pendapat Wong Siong Tek, tidak setuju anaknya tertarik pada film. Joshua malah ikut bergabung dengan abang dan adiknya dalam perusahaan The Great Wall di Shanghai pada awal tahun 1920-an. Ia berada di Jawa sejak tahun 1928 untuk bergabung dengan Nelson yang akan membuka usaha film bersama Tio Tek Djin, pemilik Miss Riboet Orion. Sejak itu menetap di sini bersama kakak dan adiknya, sebagai orang Timur pertama yang membuat film di Indonesia. Hampir semua cerita yang difilmkan oleh perusahaan kakaknya, Batavia Motion Picture & Halimoen Film Co, berasal dari Joshua, di samping ia ikut juga bertindak sebagai Juru Kamera. Ketika Nelson sakit sejak Sekitar tahun 1934, maka Halimoen Film diteruskan oleh Joshua dan Othniel. Antara lain bekerja sama dengan Albert Balink dalam pembuatan Pareh (1935).
 
Tahun 1937, Joshua pindah ke Jakarta dan bersama Balink mendirikan ANIF (Algemeene Nederland Indie Film Syndicaat)&emdash;yang kini jadi PFN (Perusahaan Film Negara). Di sini sempat membuat film Terang Boelan (1937) yang terkenal itu, di mana kedua kakak beradik Wong ini menjadi Juru Kamera/Suara. Tahun 1939, keduanya keluar dari ANIF, mendirikanTan's Film bersama Tan Khoen Hian. Perusahaan inilah yang melahirkan film-film dari Miss Roekiah Terang Boelan. Pada masa pendudukan Jepang perusahaan ini ikut pula ditutup oleh Jepang. Maka kakak beradik Wong berusaha di bidang pembuatan kecap. Di masa revolusi Wong bikin juga limun. Tahun 1948 kakak beradik Wong kembali bergerak lagi bersama Tan Khoen Hian dengan perusahaan yang diberi nama Tan & Wong Bros yang amat produktif di awal tahun 1950-an. Perusahaan ini sejak tahun 1955 berganti nama jadi Tjendrawasih Film. Sejak tahun 1960-an kegiatan perusahaan ini amat menurun, bahkan kemudian terhenti sama sekali. Di awal tahun 1970 nampak kembali kegiatan ‘Cendrawasih’ sedikit, dan nama Joshua yang sudah tua itu masih tercatat sebagai orang yang turut menggarap. Dalam usia di atas 70 tahun ini Joshua masih tetap menyediakan diri untuk diajak aktif dalam film. Setidaknya, katanya, sebagai penasehat.
 
 
 
JOSHUA: TEENAGER VS. SUPERPOWER 2017 JOSE PISCATELLA Documentary Actor
SORGA KA TOEDJOE 1940 JOSHUA WONG
Director
SITI AKBARI 1939 JOSHUA WONG
Director
TERANG BOELAN 1937 ALBERT BALINK
Director Of Photography
ROEKIHATI 1940 JOSHUA WONG
Director Of Photography Director
GAGAK ITEM 1939 JOSHUA WONG
Director
BILA CINTA BERSEMI 1972 JOSHUA WONG
Director
AIR MATA MENGALIR DI TJITARUM 1948 ROESTAM ST PALINDIH
Director Of Photography
FATIMA 1938 JOSHUA WONG
Director Of Photography Director
KRIS MATARAM 1940 NJOO CHEONG SENG
Director Of Photography
PAREH, HET LIED VAN DER RIJST 1935 MANNUS FRANKEN Documentary Director Of Photography

BILA CINTA BERSEMI / 1972

BILA CINTA BERSEMI

Mila Karmila

Sebuah sajian dengan gaya sorot balik. Kisah dimulai dari sidang pengadilan. Setyawati atau Wati (Mila Karmila) dituduh membunuh Johny (Muni Cader). Pembelaan Setyawati merupakan kisah film. Sebenarnya ia mencintai Rakhmat (Faisal Riza), tapi harus kawin dengan Iskandar (WD Mochtar), karena desakan ayahnya, Hendra (Darussalam). Rakhmat lalu keluar negeri belajar terbang. Dalam sebuah latihan terbang, Hendra dan Iskandar mengalami kecelakaan dan dinyatakan gugur. Farid, juga penerbang, bisa menghibur Wati dan sepakat nikah. Menjelang akad nikah, Hendra dan Iskandar muncul. Perkawinan gagal dan Wati hidup bersama Iskandar kembali. Celakanya Iskandar impoten karena kecelakaan itu. Dalam keadaan seperti itu, muncul Johny yang lalu memperkosa Wati. Iskandar yang tahu kejadian itu, lalu kalap, lari dan ketabrak mobil. Johny muncul lagi dan hendak mengulang perbuatannya. Wati melawan dan Johny mati di ujung gunting. Film berakhir saat Rachmat muncul di sidang.
 P.T. CENDRAWASIH FILM

W.D. MOCHTAR
FAISAL RIZA
MILA KARMILA
MUNI CADER
SOFIA WD
IDA KUSUMAH
DARUSSALAM
RITA HAYATI

OTHNIEL WONG


Othniel Widjaya (Othniel Wong), Othniel Widjaya

Lahir: Jumat, 01 Mei 1908 Jakarta. Pendidikan: Wooberry Primary School (1916), San Fransisco, Saint John University (junior), 1920, Pathe Kinema Studio (1924), Hongkong. Dibawa ke Amerika oleh ayahnya Wong Siong Tek yang pendeta untuk menyusul dan menarik kakaknya Nelson dari dunia film Hollywood. Tapi ternyata Othniel dan Joshua (adik Nelson) mengikuti jejak kakaknya terjun ke dunia film. Yang termuda dari Wong bersaudara ini datang ke Indonesia pada tahun 1920-an bersama kedua kakaknya Nelson dan Joshua, didatangkan dari Shanghai oleh Tio Tek Djin untuk bikin film. Walau usaha Tek Djin itu dibatalkan, tapi Wong bersaudara melanjutkan langkahnya. Mereka merupakan orang Timur pertama yang bikin film di Indonesia (tadinya adalah orang-orang Belanda). Bahkan aktifnya Wong ini menarik pula orang-orang Tionghoa perantau lain, sehingga mendesak orang Belanda. Othniel—bersama kakaknya Joshua—terus aktif setelah kakak mereka Nelson sakit mulai sekitar tahun 1934. Diantaranya mendapat penghargaan berkat kerja kameranya dalam pembuatan Pareh (1935) dan De Merapie Dreigt. Ikut mendirikan Tan's Film bersama Tan Khoen Man, setelah keluar dari ANIF—yang antara lain menghasilkan Terang Boelan (1937).
 
Di masa pendudukan Jepang dan revolusi fisik, kedua kakak beradik mengalihkan usaha dagang di luar film. Baru tahun 1948 kembali ke film, mendirikan Tan & Wong Bros bersama Tan Khoen Hian. Perusahaan ini amat produktif diawal tahun 1950-an. Pada tahun 1955 berganti nama menjadi Tjendrawasih Film, tapi kegiatannya menurun. Baru nampak bergerak lagi di awal 1970-an, di bawah pimpinan Willy Wilianto, anak Othniel. Pada tahun 1973, Othniel mendapat penghargaan dari Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin bersama Joshua. (Lihat juga Nelson Wong dan Joshua Wong).

Beberapa film Disutradarainya Sendiri ada juga yang disutradari berdua dengan Joshua Wong

SORGA KA TOEDJOE1940JOSHUA WONG
Director
SITI AKBARI 1939 JOSHUA WONG
Director
DJAKATA BUKAN HOLLYWOOD 1954 OTHNIEL WONG
Director
TERANG BOELAN 1937 ALBERT BALINK
Director Of Photography
ROEKIHATI 1940 JOSHUA WONG
Director Of Photography Director
GAGAK ITEM 1939 JOSHUA WONG
Director
RUSMALA DEWI 1955 OTHNIEL WONG
Director
AIR MATA MENGALIR DI TJITARUM 1948 ROESTAM ST PALINDIH
Director Of Photography
FATIMA1938JOSHUA WONG
Director Of Photography Director

DJAKATA BUKAN HOLLYWOOD / 1954

DJAKATA BUKAN HOLLYWOOD
Disutradarai OTHNIEL WON


Pengusaha piringan hitam Rasyid menugaskan penyanyi kenamaan Burhan untuk memikat RA Rooswati di Villa Murni di Puncak. Ayah gadis itu ingin mempertahankan keningratan, dan menjodohkan anaknya dengan RM Bimayu. Rooswati kabur, mengembara dengan menggunakan nama pelayannya, Suparni. Di tengah pengembaraan itu Rooswati ketemu Burhan. Orang tua Rooswati menyuruh Ma'ruf dan Manaf mencari. Rooswati pulang sendiri ke Puncak. Untuk memeriahkan suasana, dipanggil orkes yang antara lain menghidangkan lagu "Djakarta bukan Hollywood" ciptaan Burhan sesudah melihat lagak pemuda-pemudi yang meniru gaya luar negeri.

ARDJUNA FILM
TJENDRAWASIH


W.D. MOCHTAR
SUKARNO M. NOOR
SUHAIMI SAID
MISS NONIE
S. WALDY
BAS M. AMIN

ROEKIHATI / 1940

ROEKIHATI

Disutradarai bersama
OTHNIEL WONG



Roekihati (Roekiah) adalah seorang gadis desa yang diperistri oleh Mansur (Djoemala), walau ayah si lelaki tidak setuju. Atas bujukan teman-teman, Mansur tertarik pada gadis kota Aminah. Walau disia-siakan, Roekihati tetap setia pada suaminya. Kelemah-lembutan Roekihati akhirnya membuat Mansur sadar akan kekeliruannya.

Film ini tidak mencoba mencari hati penonton kelas atas, 1940. Tetapi film ini adalah anadalan Tan's film dengan lelucon Kartolo sang Suami. Mereka tidak melupakan resep TB (terang Boelan), seperti nyanyian, pemandangan, perkelahian dan sebagainya. Semua ini tidak diupakan agar terlihat lebih modren dari penyanyinya yang sudah-sudah. Pada film ini Tan's film berpihak kepada orang kampung dan mengkritik yang modren.

Roekiah anak Pak Poeki yang harus mencari kerja di kota karena ayahnya menghadapi kesulitan ekonomi dan ibunya sakit. Ia mendapat kerja di rumah orang kaya bernama Mahmud, tetapi mata keranjang dan istrinya pencemburu, hingga hari itu juga sudah timbul masalah. Roekiah harus angkat kaki dan diteman oleh Ancet (Kartolo), jongos di rumah Mahmud. Bancet kasihan padanya, kemudian Roekiah mendapat kerja sebagai penyanyi di restoran. kembali ia keluar kerja karena retoran juga sudah terjadi keributan.

Setelah terlunta-lunta penuh sengsara. diantar bancet yang baik dan lucu itu, akhirnya ia dicintai oleh Mansur (Djoemala) pemuda ganteng dan kaya. Dan menikahinya meski ayah Mansur melarangnya. Lalu rumah tangga mereka terganggu karena teman-teman Mansur mengucilkannya, karena ia mengawini gadis desa yang tidak terpelajar. Ia kemudian tergila-gila dengan Aminah, gadis modren dan menyia-nyiakan Roekih.Meski ia tahu kelakukan suaminya, tapi ia tetap setia. Kehalusan sikap dan budi Roekiah ini membuat mertuanya jadi sayang. Roekiah kembali mendapatkan kebahagiaannya, karena sang mertua menyadarkan putranya bahwa Roekiah ini adalah seorang istri yang semestinya mendapatkan penghargaan tinggi oleh suami yang ingin hidup beruntung.

Menurut film ini yang penting dari istri adalah kesetiaan, kecantikan dan budi luhur. Iklan film ini menekankan bahwa meski...Roekiah gadis desa yang tidak terpelajar, tapi ia punya budi pekerti yang halus dan kelakukan yang lemah lembut, disertakan hati nurani jujur mulia bisa menundukan hati mertua yang beradat keras dan bermula tidak mau mengakui ia sebagai mantunya -kalahkan juga daya upayanya satu gadis modren yang hendak rebut ia punya suami.

Film ini menojol dalam pemasarannya, Roekiah dengan segala keunggulannya sebagai wanita bawah, tetapi menjadi idola rakyat jelata dan tidak pernah diusahakan agar ia nampak sebagai orang Modren.

SORGA KA TOEDJOE / 1940



Judul Belanda In Den Zevenden Hemel
Film pertama Roekiah dengan pasangan barunya, Djoemala, setelah "pecah" dengan Rd.Mochtar.

Film ini sama juga dengan Roekihati, ceritanya tentang seorang gadis miskin yang mendapatkan cinta dari orang terhormat.

TAN'S FILM

ROEKIAH
ANNIE LANDAUW
KARTOLO
DJOEMALA
TITING
ISMAIL
RAMLI

Film ini juga sukses di pasar.

Rasminah (Roekiah) tinggal dengan bibinya yang tuna netra bernama Hadidjah (Annie Landouw) di Puncak, sebuah desa yang berada di tenggara Buitenzorg (sekarang Bogor). Hadidjah telah berpisah dari suaminya, Kasimin, selama beberapa tahun, sejak dia dituduh telah berzina olehnya. Meskipun ia segera menyesali insiden itu, sudah terlambat; mayat menyerupai Kasimin ditemukan mengambang di sungai, dan Hadidjah ditabrak oleh sebuah mobil, yang membuat dirinya buta, ketika ia buru-buru ingin melihat jenazah tersebut. Sekarang dia menyanyikan lagu kroncong "Sorga Ka Toedjoe", yang dinyatakan Kasimin sebagai simbol cintanya, pada pukul 5 sore setiap hari. Tanpa diketahui Hadidjah, Kasimin (Kartolo) masih hidup dan sehat; ia juga menyanyikan "Sorga Ka Toedjoe" setiap hari pada waktu yang sama.

Setelah bertemu dengan orang kaya dan dibenci masyarakat bernama Parta, yang berniat untuk membawanya sebagai istri keduanya, Rasminah pergi ke kota terdekat dari Batavia (sekarang Jakarta) untuk mencari pekerjaan. Beberapa hari kemudian, setelah menemukan pekerjaan, ia kembali ke Puncak untuk mengambil Hadidjah dan membawanya ke Batavia. Namun, Parta dan pengikutnya Doel mengejar-ngejarnya. Ketika kereta Rasminah yang terjebak dalam liang, kedua mulai mengejarnya. Rasminah berjalan ke hutan, dan setelah beberapa berjumpa dengan sejumlah orang, ia menemukan tempat berlindung di sebuah rumah kecil. Di sana ia beristirahat pada malam hari, tanpa melihat pemiliknya.

Keesokan paginya, Rasminah terbangun oleh suara gitar yang dimainkan oleh pemilik rumah itu, Hoesin (Djoemala). Takut bahwa ia bekerja sama dengan Parta, ia menyelinap ke luar, hanya untuk berhadapan dengan Parta dan Doel. Mundur, dia dikejar oleh keduanya. Hoesin campur tangan, dan setelah pertarungan sengit, mengalahkan dua dan mengusir mereka pergi. Dia kemudian meyakinkan Rasminah dan mengantarkan ke rumahnya.

Selama hari-hari berikutnya Hoesin berulang kali mengunjungi Rasminah, dan perlahan-lahan keduanya mulai jatuh cinta. Hoesin ikut Rasminah mengunjungi bibinya di Batavia untuk tinggal bersamanya. Mereka mulai membahas masa depan mereka bersama-sama, tapi Rasminah menegaskan bahwa dia hanya akan menikah jika bibinya kembali dengan Kasimin. Setelah pencarian panjang, ketika ia hampir putus harapan, Hoesin menemukan Kasimin di sebuah perkebunan kecil di perbukitan di luar kota - suami lama Hadidjah yang hilang yang sebelumnya mengolah kebunnya sendiri, tetapi kemudian digusur oleh pemilik licik dan serakah sehari sebelumnya. Akhirnya Kasimin dan Hadidjah bertemu kembali, memungkinkan Hoesin dan Rasminah untuk memulai persiapan mereka sendiri.

Sorga Ka Toedjoe disutradarai oleh Joshua dan Othniel Wong bersaudara dari Tan's Film, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh dua bersaudara beretnis Tionghoa bernama Khoen Yauw dan Khoen Hian. Tan bersaudara, yang memproduksi sejumlah film, telah aktif dalam industri sejak Njai Dasima pada tahun 1929. Wong bekerja dengan Tan sejak 1938, ketika mereka menyutradarai film hit Fatima, membantu pembangunan ulang perusahaan tersebut setelah perusahaan tersebut belum menyelesaikannya pada tahun 1932. Sorga Ka Toedjoe direkam menggunakan hitam putih, dengan beberapa latar film di Telaga Warna, dekat Buitenzorg.

Film tersebut dibintangi oleh Roekiah, Rd Djoemala, Kartolo, dan Annie Landouw dan menampilkan Titing, Ismail, dan Ramli. Dalam syuting film, Roekiah selalu dipasangkan dengan Rd. Mochtar – meskipun pada akhirnya ia menikah dengan Kartolo – sejak berperan dalam film Terang Boelan. Pada tahun 1938, ketiganya bekerja dengan Tan, di mana mereka berakting bersama dalam tiga film sejak berperan dalam film Fatima. Namun, setelah sengketa upah pada film Siti Akbari (1940), Mochtar keluar dari perusahaan tersebut. Sebagai penggantinya, Tan menunjuk penjahit Djoemala sebagai lawan main Roekiah. Sorga Ka Toedjoe adalah film pertama mereka.

Kartolo menangani musik film tersebut, dan kebanyakan pemeran telah berpengalaman menyanyikan kroncong (musik tradisional dengan pengaruh Portugis). Sebelum membuat film pilihan mereka debut dalam Terang Boelan (Terang Bulan; 1937) karya Albert Balink, Roekiah dan Kartolo telah membangun popularitas dengan rombongan musikal panggung Palestina. Landouw telah menjadi penyanyi kroncong dengan orkestra Lief Java buatan Hugo Dumas, dan Titing juga seorang penyanyi yang mapan.

Sorga Ka Toedjoe yang tayang perdana di Surabaya pada 30 Oktober 1940, adalah salah satu dari empat belas produksi domestik yang dirilis pada tahun tersebut. Pada Maret 1941, film tersebut diputar di Singapura yang saat itu merupakan bagian dari Negeri-Negeri Selat. Seperti halnya semua film yang diproduksi oleh Tan, film tersebut ditujukan kepada penonton pribumi kelas bawah untuk semua umur. Film ini diiklankan, terkadang dengan judul berbahasa Belanda In Den Zevenden Hemel, sebagai sebuah "film sederhana namun menarik" dengan menampilkan "musik yang bagus, lagu yang menarik, dan latar yang indah". Versi novel dari film tersebut dirilis oleh penerbit yang berada di Yogyakarta bernama Kolff-Buning.

Film tersebut meraih keberhasilan secara komersial. Tanggapannya yang didapat pun juga positif. Soerabaijasch Handelsblad memberikan pujian yang tinggi terhadap film tersebut, menyatakan bahwa film tersebut memiliki dialog yang bagus dan musik maupun temanya "dipilih dengan baik, romantis dan tidak berlebihan". Menurut peninjau, Sorga Ka Toedjoe tampaknya terinspirasi dari film-film Amerika namun tetap menampilkan karakter Hindia Belanda-nya. Peninjau juga berpendapat bahwa Djoemala lebih baik seperti, kurang lebih, ketimbang Mochtar. De Indische Courant memuji pelatarannya dan menyatakan bahwa film tersebut telah mengkritik para orang kaya pemilik tanah yang menyalahgunakan kekuasaan mereka, sementara Singapore Free Press memuji akting Roekiah.

Setelah Sorga Ka Toedjoe, Tan's Film membuat empat film lainnya yang terbilang lebih sedikit ketimbang kompetitornya seperti Film Industri Jawa The Teng Chun dan anak perusahaannya. Tiga di antaranya dibintangi oleh Roekiah dan Djoemala sebagai pemeran utama, dan menampilkan Kartolo. Menurut Katalog Film Indonesia JB Kristanto, Landouw tidak membuat film lainnya. Tan berhenti beroperasi pada tahun 1942, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda.

Film tersebut kemungkinan hilang. Film-film di Hindia Belanda direkam menggunakan film nitrat yang sangat mudah terbakar, dan setelah kebakaran menghancurkan sebagian besar gudang Produksi Film Negara pada tahun 1952, film lama yang direkam menggunakan nitrat dihancurkan dengan sengaja. Namun, antropolog visual Amerika Karl G. Heider berpendapat bahwa seluruh film Indonesia yang berasal dari masa sebelum 1950 telah hilang. Meskipun demikian, Kristanto menyatakan bahwa beberapa yang selamat berada di arsip-arsip Sinematek Indonesia, dan sejarawan film Misbach Yusa Biran menuliskan bahwa beberapa film propaganda Jepang yang selamat berada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.

SITI AKBARI / 1939



Film ini di sutradarai bersama OTHNIEL WONG
Pada mulanya Siti Akbari (Roekiah) mengalami keberuntungan dalam berumahtangga. Kemudian ia disia-siakan suaminya yang terpikat wanita lain, meski Siti Akbari tetap setia. Kestiaannya berubah kebahagiaan di akhir cerita.


Film ini dimeriahkan oleh suara merdu Titing dan Annie Landauw. Lief Java adalah orkes keroncong. "Siti Akbari" berawal dari cerita karya Lim Kim Hok, yang kemudian mendirikan perkumpulan "wayang cerita" (pendahulu komidi stambul) dengan nama sama. Tidak diketahui, apakah cerita film ini sama atau mengembangkan dari cerita Lim Kim Hok, atau sekadar mengambil nama saja.


TAN'S FILM

GAGAK ITEM / 1938

GAGAK ITEM
















Judul Belanda De Zwarte Raaf
 Di sutradarai bersama OTHNIEL WONG

TAN'S FILM

RD MOCHTAR
ROEKIAH
KARTOLO

Cerita ini ada bukunya, Si Gagak Item memang mirip dengan tokoh Zoro dalam film action Hollywood. Tapi dalam pentas sudah lama dikenal tokoh seperti ini, antara lain Gagak Solo, yang merupakan repertoir paling handal Triomstuk menurut istilah Belanda yang digunakan masa itu, dari rombongan Miss Riboet Orion. Penyuguhannya khas panggung Toneel dengan segala bumbu-bumbu lelucon dan sebagainya. Jagoan bertopeng dari Tan's film ini juga mengacu pada itu. Tim pemain terpentingnya sama dengan produksi pertama dari Terang Boelan. Tapi cerita ini laku di kalangan penonton kelas bawah.

Gagak Item direkam menggunakan kamera hitam putih dan disutradarai Joshua dan Othniel Wong. Mereka juga mengarahkan suaranya. Film ini diproduseri Tan Khoen Yauw dari Tan's Film dan dibintangi Rd Mochtar, Roekiah, Eddy T. Effendi, dan Kartolo. Wong Bersaudara dan para pemeran sempat terlibat dalam film Terang Boelan karya Albert Balink tahun 1937 sebelum bergabung dengan Tan's untuk film Fatima tahun 1938. Film ini diiringi enam lagu yang dinyanyikan grup musik Lief Java pimpinan Hugo Dumas; grup musik tersebut dikenal karena pertunjukan keroncong-nya, yang mencampurkan musik tradisional tersebut dengan pengaruh Portugis. Lagu dalam Gagak Item dinyanyikan oleh penyanyi keroncong Annie Landouw.

Saeroen, mantan jurnalis yang menjadi penulis naskah Terang Boelan dan Fatima, dikontrak sebagai penulis naskah Gagak Item. Film ini bercerita tentang kisah cinta antara seorang gadis dan pria bertopeng yang dijuluki "Gagak Item" dan mengambil latar di pedesaan Buitenzorg (sekarang Bogor). Meski judul "Gagak Item" mirip dengan Zorro, tokoh yang cukup populer di Hindia Belanda pada masa itu, bandit-bandit serupa sudah muncul di setiap pertunjukan teater awal 1930-an. Saat menulis skenarionya, Saeroen menggunakan kembali formula yang ia pakai di Terang Boelan, termasuk aksi, pemandangan indah, dan komedi fisiknya.

 
Gagak Item tayang perdana di Cinema Palace, Batavia (sekarang Jakarta), ibu kota Hindia Belanda, pada tanggal 19 Desember 1939. Film ini tayang di Surabaya, Jawa Timur, pada Maret 1940. Novelisasi film baru dilaksanakan kemudian. Gagak Item juga diiklankan dengan judul Belanda De Zwarte Raaf. Setelah itu, film tersebut dinovelisasikan dan diterbitkan oleh penerbit yang bermarkas di Yogyakarta yang bernama Kolff-Buning. Gagak Item adalah salah satu dari enam produksi domestik yang diluncurkan pada 1939; industri film tersebut mengalami penurunan yang signifikan menyusul terjadinya Depresi Besar, pada waktu itu bioskop-bioskop umumnya menampilkan produksi-produksi Hollywood, dan baru pulih setelah perilisan Terang Boelan.

Ulasan anonim di Bataviaasch Nieuwsblad memuji film ini, terutama musiknya. Si kritikus beropini bahwa film ini akan sukses besar dan industri film Hindia Belanda memiliki masa depan yang menjanjikan. Ulasan lain di koran yang sama menyebutkan bahwa meski "seseorang dapat menggoyang kepala orang lain, bertentangan dengan nilai budaya film-film pribumi", film ini menandakan kemajuan industri perfilman. Ulasan tersebut memuji akting Roekiah yang "lembut".

Setelah kesuksesan Gagak Item, Wong bersaudara, Saeroen, Roekiah, dan Mochtar melanjutkan karyanya dengan Tan's Film. Produksi mereka selanjutnya, Siti Akbari (1940), mendapatkan kesuksesan yang sama, meskipun kembali tidak mendapatkan keuntungan seperti Terang Boelan atau Fatima. Saeroen, Joshua Wong, dan Mochtar meninggalkan perusahaan tersebut pada 1940: Wong dan Mochtar karena sengketa upah, dan Saeroen kembali ke dunia jurnalisme. Sampai 1941, Tan's Film memproduksi jumlah film yang lebih rendah ketimbang para saingannya, dan kemudian berhenti setelah pendudukan Jepang pada awal 1942.

Gagak Item dibuat pada akhir Januari 1951. Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Film-film di Hindia Belanda direkam menggunakan film nitrat yang sangat mudah terbakar, dan setelah kebakaran menghancurkan sebagian besar gudang Produksi Film Negara pada tahun 1952, film lama yang direkam menggunakan nitrat dihancurkan dengan sengaja. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.

FATIMA / 1938

Disutradarai Dengan OTHNIEL WONG











TAN'S FILM

MISS ROEKIAH
RD MOCHTAR
E.T. EFFENDI
MOESA
HABIBAH
SAPRI
KARTOLO

Penduduk pulau Motaro itu hidup makmur. Bunga pulau itu, Fatimah (Roekiah) menjalin cinta dengan Idris (Rd Mochtar), anak nelayan miskin. Hubungan tulus itu terganggu oleh kedatangan Ali (E. T. Effendi), yang selalu membanggakan kekayaan. Salah satu pemberian Ali kepada Fatimah, cincin, justru diserahkan oleh sang gadis kepada Idris. Cincin itulah yang membawa polisi pergi ke pulau untuk menangkap Ali, yang sebetulnya adalah kepala perampok.

Lief Java adalah orkes keroncong. Lagu-lagu dinyanyikan oleh Roekiah, Rd Mochtar, Kartolo, Louis Koch, Miss Ani Landauw.

Film ini sebenarnya meniru resep film Terang Boelan. Semua rempah-rempah dan adonannya digunakan sepersis mungkin. Saroen yang pada Terang Boelan berdiri dibelakng layar, sekarang ditarik keluar untuk menulis ceritanya. Ceritanya mirip Terang Boelan yang berlangsung disebuah pulau antah berantah bernama pulau Muntaro. Para pemainnya juga berasal dengan Terang Bolean, Miss Roekiah, Rd Mochtar, ET Effendy, dan Kartolo. Dalam panfletnya ditulis sebagai pemain yang sudah dapat sukses di seantero Indonesia dan Malaya. Pemain musiknya juga sama Lief Java. Disamping Miss Roekiah, penyanyinya ditambah dengan mengikutsertakan bintang-bintang keroncong yang sudah tenar yaitu Miss Annie Landow dan Luis Koch. Resep ini di utarakan dalam pamflet lainya penuh romance, pemandangan indah, perkelahian dan diselingi dengan lagu-lagu nyanyian Melayu yang disukai oleh penonton semua golongan. Perhitungan Tan memang jitu karean Fatima laku keras. Produksi yang dibuat dengan anggaran f 7000 dalam waktu enam bulan bisa mendapatkan f 200.000. Suatu pemasukan yang luar biasa. Kehebatan Tan kata wong dari segi pemasaran, perhatian Tan hanya difokuskan setelah film itu jadi.

Kesuksesan Terang Boelan karya Albert Balink tahun 1937, yang dirilis saat industri perfilman dalam negeri masih stagnan, mendorong Tan Bersaudara (Khoen Yauw dan Khoen Hian) mendirikan kembali rumah produksi mereka, Tan's Film. Untuk film pertamanya, Tan Bersaudara meminta bantuan Wong Bersaudara, Othniel dan Joshua, untuk menyutradarai dan menangani aktivitas harian perusahaan. Wong Bersaudara, yang sebelumnya menjadi sinematografer Terang Boelan namun menganggur setelah studionya menutup divisi film fitur, menerima tawaran tersebut. Mereka juga menangani sinematografi Fatima yang direkam menggunakan kamera hitam putih.
 








Wong Bersaudara memanfaatkan pemeran Terang Boelan dan beberapa anggota krunya. Penulis film sebelumnya, Saeroen, penned the story for Fatima, closely following the same formula of romance, good music, and beautiful scenery as his earlier film. Para pemeran utamanya seperti Roekiah, Rd Mochtar, dan ET Effendi, serta aktor tokoh figuran seperti Kartolo (suami Roekiah), juga bergabung Mereka digaji lebih tinggi ketimbang saat terlibat di Terang Boelan. Roekiah, misalnya, per bulannya digaji 150 gulden, sedangkan Kartolo 50 gulden lebih banyak. Jumlah tersebut dua kali lipat daripada yang ia terima sebelumnya.

Musik latar film ini ditangani Lief Java. Mereka memainkan musik keroncong (musik tradisional yang dipengaruhi bangsa Portugal). Film ini diiringi beberapa lagu yang dinyanyikan Roekiah, Mochtar, Kartolo, Louis Koch, dan Annie Landauw.

Fatima dirilis tanggal 24 April 1938. Pemasarannya ditangani Tan Bersaudara. Film ini sukses di pasaran dan menghasilkan 200.000 gulden, padahal anggaran pembuatannya hanya 7.000 gulden. Kebanyakan penontonnya adalah orang pribumi, tetapi ada juga sejumlah penonton Belanda. Ulasan di harian Bataviaasch Nieuwsblad menyebutkan bahwa meski film ini tidak dapat dinilai dengan standar Eropa, pemeranan Roekiah sangat menarik dan industri perfilman dalam negeri tampaknya "kembali ke jalan yang benar".

Tan Bersaudara menikmati kesuksesan Fatima, namun Wong Bersaudara kurang puas dengan pangsa laba yang mereka terima karena dianggap terlalu rendah. Meski begitu, mereka terus bekerja sama dengan Tan Bersaudara sampai 1940, dan pada tahun 1948, Tan dan Wong Bersaudara mendirikan rumah produksi lain. Mocthar dan Roekiah tetap menjadi bintang utama Tan's Film sampai Mochtar meninggalkan perusahaan ini tahun 1940 akibat masalah upah.

Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menyebut kesuksesan Terang Boelan, Fatima, dan Alang-Alang (1939) karya The Teng Chun berhasil membangkitkan industri film lokal. Sebagian besar film dalam negeri yang dibuat sebelum kemerdekaan Indonesia diproduksi antara tahun 1939 dan pendudukan Jepang tahun 1942.

Fatima bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.